Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

056: Wajah Sempurna

Bagaimana jika setiap rasa marah yang berbisik di dalam kepalamu hanyalah kreasi semu? para iblis dan Dewa-Dewa, serta semua yang hidup dan yang mati, dan kau benar-benar sendirian?

Adam terbangun di atas kasur. Matanya terbelalak dengan napas terengah-engah. Dia segera menggapai nakas di samping tempat tidur, membuka laci itu lalu merogoh sebuah wadah plastik transparan. Obat-obatan di dalamnya menjadi satu-satunya jalan untuk membedakan realitas, dan Adam berniat menelan beberapa pil.

Sudah lama rasanya sejak Adam terakhir kali mengalami mimpi-mimpi elusif yang terasa nyata seperti barusan. Dahulu, hari-hari buruk itu membuat Adam terpaksa menjalani masa rehabilitasi intensif selama bertahun-tahun, mengonsumsi psikotropika yang diresepkan, menjawab sesi konseling dengan daftar pertanyaan meresahkan. Semua itu selalu membuatnya gugup.

Sampai suatu ketika, dokter menyatakannya 'lulus'. Adam pun berhasil keluar dari samsara kegilaan, terbebas dari kurungan penjara pikiran yang dia ciptakan sendiri.

Adam bangkit dan beringsut ke tepian ranjang. Kedua kakinya diturunkan ke lantai. Sambil menenangkan diri, dia meremas wajahnya dengan kedua tangan tertopang di atas lutut.

Bisikan-bisikan misterius kembali memenuhi pikiran Adam. "Pendusta! Mereka semua ...." Adam menutup kedua telinganya rapat-rapat. "Temuilah wanita itu! Dia selalu dapat diandalkan."

Adam melirik wadah silinder plastik transparan. Hanya beberapa butir yang tersisa. Dia pun menyadari stok obat miliknya yang mulai menipis, bahkan tak lebih dari cukup untuk persediaan selama tiga hari. Apa yang terjadi? Mungkinkah kondisinya kambuh? sehingga terlalu berlebihan mengonsumsi tanpa dia sadari? Dia perlu menemui Eva!

Perlahan-lahan, bisikan dalam kepalanya mereda. Obat penenang itu mulai bereaksi. Eva sudah meresepkan antipsikotik guna membantunya mengendalikan diri, mencegah delusi dan rasa cemas.

Adam beranjak untuk membersihkan diri. Meskipun jarang bergaul, dia masih harus menyegarkan tubuhnya. Terlihat bekas luka di sebelah kiri saat dia bertelanjang dada. Luka menembus rusuk itu, dia dapatkan setelah ditemukan tak sadarkan diri. Dalam ingatannya ketika itu, hanya ada seorang wanita yang sudah menunggunya siuman di rumah sakit, dan wanita itu adalah Eva.

Sebuah ponsel di atas meja dia nyalakan kembali. Akhir-akhir ini, Adam sering mengabaikan panggilan masuk dari siapapun. Entah itu pesan singkat nan posesif dari Eva yang rutin mengingatkan sesi konseling di setiap akhir pekan, maupun tagihan bulanan dari ibu kos matre yang doyan berselingkuh di luar kota.

Sambil mengenakan handuk yang dilingkarkan di atas punggung, Adam menggulir layar ponselnya. "Hmm, pesan suara dari nomor tak dikenal?" Alisnya yang lebat mengernyit. "Paling-paling, ini ulah si Budi," pikir Adam sekali lagi. "Si Borling (bocor keliling) ini selalu saja mengerjaiku," keluh Adam setengah menyeringai.

Bahkan, tanpa menggunakan kemampuan deduktifnya yang luar biasa pun Adam mampu menebak kelakuan sahabatnya itu.

Seraya melempar ponsel miliknya ke atas kasur, Adam mulai memainkan pesan suara dari ponselnya. "Hey, Bung. Apa kabarmu? Aku sudah mendengar banyak tentang kasus-kasus yang pernah kau kerjakan. Insiden Gunung Lawu, ya ampun, begitu terkenal di internet. Aku turut senang kau sudah kembali, Kawan. Hey, dengar! Aku butuh bantuanmu dalam sebuah kasus. Kau pasti akan menyukainya. Aku sudah mengirimkanmu berita acara pemeriksaannya untuk kau pelajari. Hubungi aku jika kau tertarik pada kasus ini, oke?"

Pesan suara itu berakhir.

Adam segera duduk dan mengaktifkan komputer di meja kerja. Beberapa tautan di inbox terlihat utuh—tak pernah dibaca. Satu pesan terbaru, berjudul "Berita Acara Pemeriksaan", tampak berkedip-kedip seperti lampu malam sebuah papan reklame. Sepertinya, Biro Penyidik memang mengalami kebuntuan pada kasus tersebut sampai-sampai mengiriminya surel dengan headline berkedip.

Baru-baru ini, sebuah insiden aneh di perusahaan agensi model di Jakarta menarik perhatian. Seorang model cantik yang sedang naik daun, Laura Ayunda, menelepon polisi selama seminggu berturut-turut, mengklaim bahwa seseorang menguntitnya, tetapi kemudian panggilan darurat tersebut berhenti. Setelah itu, terjadi histeria massal dan pertikaian di agensi model tersebut hingga mengakibatkan beberapa orang tewas. Semua pelaku, ketika ditanyai polisi mengatakan bahwa mereka tidak bisa menjelaskan mengapa mereka bertindak brutal seperti itu, tetapi mengakui perbuatan karena suatu alasan: ingin menyakiti Laura Ayunda. Laura, anehnya tampak acuh tak acuh dengan semua kejadian itu.

Adam merasakan kejanggalan. "Gangguan stres pasca traumatik?" gumannya, menduga-duga. "Kegilaan sementara memang dapat dialami oleh siapa saja, tetapi orang-orang tersebut seharusnya memiliki riwayat kesehatan mental."

Cukup masuk akal. Namun, bagaimana bisa semua itu terjadi dalam waktu singkat secara bersamaan? Apa motif di balik peristiwa ini?

Adam memutuskan untuk keluar. Dia berencana mendalami kasus histeria massal itu dengan mengamati prilaku Laura dari dekat. Sambil mengenakan jaket kulit hitam dan fedora, Adam terlihat misterius layaknya seorang detektif. Adam sungguh pemuda yang cukup tampan jika saja dia tau cara mengaktifkan pesonanya.

Minggu ini, Eva meminjaminya sebuah motor bermesin dua silinder yang sebenarnya jarang dia gunakan. Wanita itu selalu memaksa Adam untuk membawa kendaraan agar Adam tak lagi mencari-cari alasan untuk tidak mengunjunginya, melewatkan sesi konseling yang terlalu penting. Adam menyimpan fedora kesayangan bersama beberapa dokumen dalam seatbox belakang kendaraan roda dua itu, mengencangkan helm lalu menembus jalanan Kota Jakarta yang penuh kemacetan.

Adam tiba di sebuah tempat parkir bawah tanah. Bagunan itu terhubung langsung dengan agensi tempat di mana Laura Ayunda bekerja. Untuk dapat mengamati prilaku Laura, Adam harus mempelajari aktivitas keseharian sang Model. Berbagai informasi tentang Laura sudah dia kantongi sebelum Adam melancarkan aksi pengintaiannya di siang itu.

Seorang wanita muda berjalan angkuh menuju sedan sport merah keluaran terbaru. Dari pandangan pertama, siapapun  bisa langsung tahu kalau wanita muda itu tak lain adalah sang model terkenal, Laura Ayunda. Rambutnya tergerai begitu menawan, menutupi leher jenjangnya yang anggun. Dia bagaikan sekuntum bunga yang tumbuh di permukaan Bulan, unik dan misterius.

Ketika Laura memasuki mobil, seorang pria berpakaian petugas keamanan tiba-tiba muncul. Pria itu mencoba menghalang-halangi sedan sport merah yang Laura kendarai. Tingkahnya begitu aneh dan sangat tidak sopan.

"Menyingkirlah, orang bodoh!" pekik Laura, berang. "Hey! Apa kau tuli? Aku sedang bicara padamu!"

Pria itu tak bergeming, malahan menggedor-gedor jendela samping sambil membuka paksa pintu mobil Laura yang untungnya sudah terkunci aman.

Adam segera mengambil tindakan. Sambil bergegas, Adam memperingatkan pria itu untuk menjauhi mobil Laura, mencegahnya agar tak melampaui batas. Pria itu merespons aksi Adam dengan sebuah dorongan mengarah tepat ke dada. Dia berniat merobohkan Adam.

Di antara kedua lengan si penyerang, tangkis cepat dan pisahkan kedua lengan itu ke arah berlawanan. Sementara tangan kanan melebarkan jarak ke samping luar, raih pangkal lengan kiri lawan sambil mencondongkan bahu kiri ke depan.

Adam kemudian menekuk siku kirinya untuk mempersempit jarak serang, meregang lengan musuh dengan gerakan sedikit mematahkan.

"Argh!"

Geser genggaman tangan kiri ke bawah pergelangan lawan. Tarik paksa lengan itu seraya berbalik memutar posisi tubuh.

Adam mengayunkan hantaman kanan pada pangkal punggung lengan kiri musuh. Gerakan berputar secara alami akan membuat musuh tersungkur membaham tanah, tetapi sulit melawan balik karena kuncian yang melumpuhkan. Adam mempelajari semua ini dari internet saat dia masih menganggur. Terkadang, kegabutan juga bisa berguna pada saat-saat yang dibutuhkan.

"Apa yang kau lakukan, Bung? Tenanglah!" tegas Adam, mengintimidasi pria itu.

Pria itu mulai tenang. Adam pun melonggarkan cengkramannya. Tatapannya yang kosong menandakan kalau pria itu sedang berada dalam kondisi disorientasi mental akut. Apa yang sebenarnya terjadi? Adam semakin curiga kalau prilaku tidak wajar pria itu ada hubungannya dengan Laura.  Ada sesuatu yang aneh dengan model cantik itu.

Adam, sambil menghampiri Laura. "Anda baik-baik saja, Nona?"

"Kenapa kau masih mengikutiku?" balas Laura, bernada sarkastik.

"Saya, um, Adam. Detektif lepas yang bekerja untuk kepolisian. Saya sedang menyelidiki peristiwa tragis yang menimpa agensi Anda. Sebetulnya, apakah Anda tahu mengapa ada banyak orang yang ingin menyakitimu, Nona Laura?"

Laura tersenyum cekikikan. "Mereka itu cuma iri," jawabnya singkat. "Oh, apa cuma itu saja, Tn. Detektif? Aku tidak punya banyak waktu untuk pertanyaanmu. Aku perlu bersiap-siap untuk acara televisi malam ini. Jangan buang-buang waktuku, oke?"

Aneh, Adam merasa sangat kesal ketika dirinya bersama Laura saat ini. Mungkin ... terlalu dini bagi Adam untuk kembali bekerja. Adam ingin segera menjauh dari Laura. Tiba-tiba, Adam mendapat telepon dari nomor tak dikenal sebelumnya.

"Adam, ini aku! Di mana kau sekarang?"

"Budi? Tadinya, aku berniat menghubungimu sebelum ...."

"Adam di mana pun kau berada, jangan coba-coba mendekati Laura Ayunda! Polisi menemukan tubuh seorang wanita muda di sekitar situs konstruksi. Jenazah wanita itu dinyatakan tewas sudah sejak seminggu yang lalu. DNA-nya cocok dengan identitas Laura Ayunda."

"Lalu siapa orang yang berada di depanku? Sial!" Adam segera mematikan telepon. "Nona Laura! Tunggu!"

Laura melesat dengan mobilnya. Hampir-hampir Adam tertabrak jika saja dirinya tidak tangkas menghindar. Adam pun bergegas menuju motor, memutuskan untuk mengejar Laura sebelum kehilangan jejak.

Aksi pengejaran berlangsung seru. Sedan sport merah memang jauh lebih unggul dalam hal kecepatan, tetapi padatnya jalan raya di siang hari membuat Adam lebih leluasa menyalip kiri dan kanan. Adam tiba di persimpangan, lampu merah menyala di depan. Sedan sport merah mengepot, menerabas lampu tanda berhenti, membuat pengendara lain mengerem keras di sekitarnya. Sedan sport merah pun kehilangan kendali. Kendaraan mereka saling menghantam satu sama lain.

Adam menghentikan motornya, berusaha mengejar Laura yang keluar dari mobil dan berlari menuju gang-gang sempit. Adam hampir saja menangkap wanita itu, tetapi pandangannya tiba-tiba menjadi kabur. Suara-suara misterius dalam kepalanya kembali muncul.

"Eksistensimu sendiri adalah tindakan pemberontakan. Mencoba menjadi atau tidak menjadi ... itulah pertanyaannya," bisik suara itu.

Tidak. Jangan sekarang! Sial. Di saat-saat seperti ini, Adam harus mengalami serangan delusi dan rasa cemas. Tubuhnya mendadak lemas, tekapar di antara kerumununan warga yang berdatangan untuk menolong.

Berpegang teguh pada kesadaran yang mengerikan ini karena takut tergelincir ke dalam kegelapan. Namun, kegelapan adalah mimpi dan setelah mimpi adalah kedamaian.

Adam tersadar kembali. Tubuhnya dibaringkan di atas kasur dalam kamar terapi dengan dekorasi dinding-dinding bermotif yang sudah sangat dia kenali. Suara tensimeter dari tangan seorang wanita terdengar jelas dan membalut lengan kirinya.

"Eva?"

"Sudah berkali-kali kuperingatkan, Adam. Pekerjaan ini tidak cocok untukmu."

"Maafkan saya, Dok. Saya berjanji, ini tidak akan terulang lagi."

Eva tersenyum manis. "Kalian para lelaki selalu mengatakan hal yang sebenarnya tidak pernah bisa kalian tepati. Sekarang dengarlah! Apa yang kau alami barusan adalah reaksi yang dipicu oleh stres. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Adam."

"Saya rasa ada sesuatu yang memicu kondisiku berubah tertekan. Tiba-tiba saja, suara-suara itu kembali muncul dalam kepala saya."

"Obat-obatan untuk terapimu sudah menipis, kan? Mengapa kau tidak mengunjungiku terlebih dahulu?"

Adam enggan menjawab.

Ada banyak pertanyaan yang masih enggan Adam utarakan pada Eva: rasa penasaran yang sudah lama dia pendam, tentang kepingan ingatannya yang hilang, tentang siapa jati dirinya saat semua ingatan itu masih utuh, tentang masa lalunya yang terputus. Dia enggan membagi itu semua kepada Eva, psikiater pribadi sekaligus sosok wanita yang paling memesona hatinya.

"Oke, bawa dulu stimulant ini bersamamu. Lain kali, akan kuresepkan antipsikotik yang lebih kuat untuk membantumu sementara."

"Terima kasih, Dokter."

"Apa kau yakin, tidak ingin kuantar ke apartemenmu? Aku sedang luang siang ini. Aku bisa menemanimu mengobrol semalaman jika kau mau."

"Ah, sekali lagi terima kasih, Dok, tapi saya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan."

"Oh, itu cukup menjelaskan kenapa pemuda itu sejak tadi menunggumu di luar. Aku sudah menyuruh orang itu masuk, tetapi dia sepertinya enggan. Rekan kerja barumu?"

Adam menggeleng, tak yakin.

Sedan hitam mengkilap, terpakir di depan klinik tempat dr. Eva bekerja. Seorang pemuda tinggi semampai dan seumuran Adam sedang duduk di atas kap depan mobil itu. Dia bersetelan bisnis formal berdasi corak kebiruan. Dari penampilannya saja, Eva bisa langsung tahu kalau pemuda itu pastilah orang-orang biro penyidik dari kepolisian.

Adam, sambil menuruni anak tangga teras klinik, menyapa pemuda itu. "Budi, dari mana kau tahu kalau aku berada di sini?"

"Bung, aku ini orang biro pemerintah," sahut Budi, melepas kacamata hitamnya. "Tugasku adalah mengawasi masyarakan sipil, kau lupa?"

"Kalian memang bekerja sangat cepat." Adam menghampiri Budi yang duduk menggantung di atas kap depan mobilnya. "Ada perkembangan terbaru?"

"Yeah. Beberapa." Budi segera terjun dari posisi duduk sebelumnya, menyambut kedatangan Adam. "Ayo! Kita bicarakan di mobilku saja." Budi pun berpamitan pada Eva. "Mari, Dok. Selamat siang."

Eva hanya membalasnya dengan lambaian tangan beserta senyuman manisnya yang memabukkan. Sementara di dalam mobil, Adam dan Budi bergegas, bekendara menuju markas kepolisian sambil berdiskusi.

Budi, sambil tersenyum-senyum melirik Adam dari kursi sopirnya. "Bung, pacar barumu itu seorang dokter muda?"

"Jangan salah paham, Bud," balas Adam. "Beliau dokter yang pernah merawatku selama masa rehabilitasi."

"Sial, Bung! Wanita itu begitu seksi. Apa kau yakin tak pernah tidur dengan psikoterapismu itu?

"Hey, jauhkan pikiran jorokmu. Eva bukanlah seorang wanita seperti yang kau pikirkan. Percayalah, kau tidak akan suka dengan wanita sok pintar yang terlalu mendominasi."

Budi menyeringai konyol. "Oh, nada bicaramu itu ... aku yakin kau sangat menyukainya."

"Terserah kau sajalah ... tapi ngomong-ngomong, siapa sebenarnya si Laura ini? Apa mereka dua benar-benar orang yang berbeda?"

"Kau ingat Kasus Gunung Lawu? Konon, di balik peristiwa itu ada keterlibatan sebuah organisasi misterius yang beroperasi secara rahasia di seluruh dunia."

Adam mengeryit. "Apa kau sedang membicarakan Yayasan SCP?"

"Kuyakin kau sudah melakukan penelitian tentang organisasi itu. Mereka juga mengirimi kami beberapa informasi tentang objek yang dapat berubah bentuk menjadi apapun dan mampu beradaptasi dengan lingkungan yang kami duga merupakan sosok Laura Ayunda. Bos-ku awalnya tidak percaya pada informasi tersebut sampai kasus histeria massal di agensi model itu."

"Sebuah Objek Anomali?" tanya Adam, semakin gelisah. "Kenapa kau tidak memberitahuku sebelumnya?"

Budi kembali tersenyum. "Kurasa, kau pasti sudah menyadari kemampuan Objek Anomali itu."

"Hmm, tidak heran. Aku merasa agresif saat berada di dekat Laura atau lebih tepatnya objek itu. Ia ternyata mampu mempengaruhi kesadaran orang lain."

"Kupikir, objek itu juga telah membunuh Laura yang asli dan menggantikan tempatnya."

"Tapi mengapa harus menargetkan seorang model terkenal?"

"Entahlah." Budi mengendikkan bahu. "Barangkali, ia ingin menjangkau khalayak yang lebih luas."

Adam mulai menyadari sesuatu. "Oh, sial! Laura sedang tampil di acara televisi malam ini yang juga disiarkan langsung di Bundara HI Jakarta. Jika ratusan orang menontonnya, akan terjadi histeria massal dengan konsekuensi yang tak terbayangkan."

"Apa?" Budi mendadak menepikan mobilnya. "Kalau begitu, Adam, aku butuh bantuanmu! Pergilah ke studio tempat acara itu akan berlangsung dan mintalah si produser untuk segera menghentikannya. Tapi ingat! Kau harus melakukannya diam-diam, jangan sampai menimbulkan kecurigaan Laura."

"Aku tidak punya wewenang sepertimu, Kawan. Bagaimana caraku melakukannya?"

"Jangan khawatir." Budi menjena sejenak pembicaraan. Sambil mengangkat telepon satelitnya, dia mulai berbicara dengan sandi-sandi komunikasi yang sulit dimengerti, seolah-olah sedang meminta bantuan darurat dari pihak tak diketahui. "Bawa pistolku ini," lanjut Budi usai menelpon. "Lakukan saja permintaanku tadi dan serahkan sisanya padaku. Aku sudah menerjunkan satuan tugas khusus untuk menuju gedung itu untuk mendukungmu."

"B-ba-bagaimana .... Kau tidak ikut bersamaku?"

"Aku perlu mengamankan Bundaran HI. Ada laporan tentang api kebakaran dan huru-hara yang sedang berlangsung di sana."

"Tampaknya, ini sudah dimulai."

"Aku takut begitu. Itu sebabnya kita perlu berpisah. Waktu kita tidak banyak, Adam. Acara itu harus dihentikan sebelum semuanya terlambat atau tidak akan ada orang lain lagi yang dapat menghentikannya."

Budi segera bergegas, meninggalkan Adam lalu menghilang di antara hiruk-pikuk kemacetan.

Tinggallah Adam sendiri di dalam mobil. Setelah bergeser dan duduk di kursi supir, Adam terdiam sejenak. Perhatian Adam kini tertuju pada gagang pistol yang Budi berikan padanya. Terdapat simbol aneh berupa sebuah lingkaran dengan tiga tanda panah berbeda yang menunjuk ke arah tengah. Rasa-rasanya, Adam sangat familiar dengan simbol ini. Namun, memori miliknya lagi-lagi terpotong dan tidak dapat mengingat jelas. Apakah Budi ternyata bagian dari organisasi misterius itu? Siapa sebenarnya jati diri Adam? Kenapa memori miliknya itu selalu berkaitan dengan makhluk-makhluk aneh dan Yayasan SCP?

Adam tidak punya banyak waktu untuk berpikir macam-macam. Saat ini, dia harus fokus untuk menghentikan siaran acara itu, dan kalau memungkinkan, menangkap Objek Anomali yang menengarainya, hidup-hidup. Mungkin hanya dengan cara ini, Adam memiliki kesempatan menggali informasi mengenai Yayasan SCP untuk mengetahui siapa sebenarnya jati dirinya.

Aneh. Ketika Adam tiba di parkiran gedung, tidak ada siapapun di sana, baik para karyawan maupun pihak kepolisian yang berjaga-jaga di luar. Padahal beberapa saat sebelumnya, Adam sempat berpapasan dengan dua helikopter militer yang melesat menuju gedung itu.

"Barangkali, mereka sudah memasuki gedung lewat rooftop. Aku harus memeriksanya," gumam Adam.

Hingga lantai ke-4, seluruh ruangan gedung itu mulanya kelihatan normal. Namun, Adam mulai menemukan adanya tanda-tanda bekas perkelahian di sepanjang koridor menuju studio utama. Beberapa tubuh sudah terlungkup tak bergerak di kiri dan kanan. Adam memeriksa jasad-jasad yang tergeletak itu, terdapat bintik pendarahan  pada bagian sklera mata disertai bekas kuku jari tangan di leher korban.

Berselang kemudian, Adam mendengar suara keributan dari arah studio utama. Dia pun bergegas untuk menghampiri sumber suara.

Para kru di dalam sudah terpengaruh oleh Objek Anomali itu. Mereka saling bertikai, mencoba membunuh satu sama lain menggunakan benda apapun yang mereka temukan. Sementara Laura duduk manis di atas sebuah sofa, memerhatikan kebrutalan itu sambil menyeringai. Darah mengalir dari meja sang pembawa acara, tewas dalam posisi duduk dengan kepala pecah berhamburan.

"Oh, Tn. Detektif. Apa kalian kemari untuk bergabung di pestaku?"

"Laura ... siapapun dirimu!" teriak Adam, menodongkan pistol. "Hentikan kekacauan ini! Atau saya terpaksa melakukan kekerasan! Ini peringatan terakhir!"

"Sampai kapan kalian akan bersembunyi seperti tikus, hah?" ujar Laura, melirik ke arah jendela.

Adam mengernyit sejenak. "Kalian?"

Tiba-tiba! Sekelompok personel berseragam tempur lengkap serba hitam mendobrak masuk ke studio. Masing-masing mengepung Laura yang duduk santai melipat lutut di atas sofa merah. Moncong senjata terhunus, siap membidik sasaran.

"Siapkan obat penenang!" perintah Budi pada anak buahnya. "Menyingkirlah, Adam! Pergi dari sini!"

"Manusia lemah." Laura menyeringai sinis. "Kalian akan menyesali ini."

Satu kedipan mata, Laura seketika berubah bentuk menjadi sosok lain dan jauh lebih berbahaya. Ia melesat seperti kelebat bayangan yang menyergap para personel dari segala arah. Pasukan bersenjata lengkap menjadi santapan tak berdaya. Darah-darah memuncrat bersama teriakan kematian. Pertahanan mereka ditembus bagaikan lembaran yang tercabik-cabik. Kecepatan sosok itu, bukanlah sesuatu yang bisa mereka tandingi. Beringas melahap tak menyisakan tawanan.

Sementara itu, Adam jatuh tersungkur. Utas peristiwa bermain cepat dalam pikiran, fragmentasi identitas yang berkelindan melalui refraksi visual. Masing-masing penuh dengan kehidupan, tawa, kesengsaraan, kebencian, layaknya lagu untuk dinyanyikan.

Berpegang teguh pada kesadaran yang mengerikan ini karena takut tergelincir ke dalam kegelapan. Namun, kegelapan adalah mimpi dan setelah mimpi adalah kedamaian.

Ketika Adam tersadar, betapa terkejutnya dia saat menyadari di mana dirinya berada. Bukan studio tetapi sebuah kamar yang sudah sangat dia kenali dengan dekorasi dinding-dinding bermotif familiar. Terlebih, bukankah dia sudah pernah mengalami ini? Tiada personel militer, tidak pula Budi maupun Laura di ruangan itu kecuali dirinya dan seorang wanita ber-snelli putih yang sedang memeriksanya di samping.

"Eva?"

"Syukurlah, kau baik-baik saja, Adam," ujar wanita itu seraya melepas balutan tensimeter dari lengan Adam.

Adam bangkit dari tempat tidurnya. "B-Budi ... di mana rekanku, Dok?"

"Oh, maksudmu pemuda itu?" balas Eva, berdiri lalu menyibak tirai jendela. "Sejak tadi, dia sudah menunggumu di luar. Aku sudah menyuruh orang itu masuk, tetapi dia sepertinya enggan. Rekan kerja barumu?"

Adam menggeleng, tak yakin. Deja vu atau Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Bukankah Adam sebelumnya sedang terjebak di antara pertempuran untuk menangkap Objek Anomali? Bukankah Budi sudah tewas di depan matanya dalam pertempuran itu? Kenapa Adam merasa dirinya seakan dilempar kembali ke percabangan ruang-waktu yang berbeda? Adam mencoba mengingat tetapi kepalanya terasa sakit.

Adam, sambil bergegas mengampiri Budi. "Apa yang terjadi? Di mana Laura?"

"Kau ini bicara apa, Adam? Kau yang menelponku untuk kemari, tidak ingat?"

"Ah, sudahlah. Lupakan saja. Ayo! Segera pergi dari sini."

Budi tersenyum sambil membukakan Adam pintu mobilnya, lalu berpamitan, "Terima kasih sudah merawat temanku, Dokter Eva. Selamat siang."

~TAMAT~

Bab ini ditulis oleh hedj__

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro