Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

053 : REKOR BARU (2)


Seluruh tubuh Adam seakan berubah sepenuhnya menjadi puding yang sering dijual pagi-pagi oleh ibu kosan. Kakinya untuk pertama kali menginjak tanah Chicago. Ini pertama kalinya bagi Adam menjejaki sebuah negara asing.

Adam langsung pergi ke luar setelah pesawat telah benar-benar mendarat. Sekarang, pria itu hanyalah turis sebatang kara jika saja Diana tidak segera datang dan menjemput teman lamanya yang sedang berdiri di dekat pintu masuk bandara, sendirian, malam-malam dan hanya membawa satu koper kecil.

"Jadi, ceritakan kepadaku bagaimana rasanya pertama kali menaiki pesawat sendirian?" tanya Diana sembari tersenyum usil. Kemudian jari langsing wanita itu menekan tombol agar jendela mobil terbuka lebar.

Udara malam hari menerobos masuk ke dalam. Memporak-porandakan helaian rambut milik Adam maupun Diana. Perempuan di sampingnya sibuk bersenandung sembari sesekali menyesap sebatang rokok dengan merk yang cukup mahal. Bibir merah Diana terbuka dan mengatakan, "Sudah hampir lima tahun kita tidak pernah bertemu, ya?"

Adam menggeleng kecil. "Setahun yang lalu kau menemuiku di Indonesia."

"Oh, iya! Aku benar-benar lupa!" Wanita berambut gelombang itu dengan sengaja menepuk keningnya sendiri, wajah oval Diana yang sama sekali tidak berubah sejak mereka bertemu di bangku sekolah menengah. Namun, yang sedikit berbeda hanyalah helaian rambutnya kini berubah total menjadi warna merah mawar.

"Kau mengalami patah hati sampai-sampai merubah seluruh model bahkan warna rambutmu, Diana?"

Tidak ada jawaban yang jelas pastinya selain tawa Diana yang menggelegar. Mereka cukup lama bernostalgia, membicarakan masa di mana Adam yang selalu ditolak perempuan yang disukai, atau ketika Diana menjadi anak perempuan yang sering dianggap preman. Mobil yang Adam tumpangi melipir ke salah satu tempat makan siap saji. Menu di tempat ini tidak jauh-jauh hanya sebatas ayam tepung, soda, kentang, dan burger.

"Adam, aku akan memesan pasta terbaru di sini. Kau mau apa?" tanya Diana setelah membaca buku menu.

Adam tentu tidak akrab dengan seluruh makanan di sini, berharap semoga makanan yang akan ia makan nanti mampu masuk ke dalam tenggorokannya saja Adam sudah sangat bersyukur. "Entahlah, terlihat menarik semua sepertinya. Aku pesan seperti pesananmu saja." Itulah alibi terbaik menurut Adam.

Sepuluh menit, waktu yang tidak lama, seorang pramusaji memberikan dua pesanan yang mereka pesan. Adam tergoda untuk melahapnya lebih dulu, sebab ini lebih baik daripada apa yang ia pikirkan. Namun Diana tak kunjung selesai dengan sesi memotret makanan miliknya. Adam juga bukanlah pria yang tidak memiliki etiket makan bersama seseorang, walaupun saat ini perutnya sudah memohon-mohon agar segera diberi asupan.

Kedua teman lama itu kembali berbincang-bincang, 30 menit kemudian makanan sudah habis lalu mereka kembali ke dalam mobil, Diana melajukan kendaraannya dengan kecepatan rata-rata, oleh karena itu keduanya sampai di penginapan yang akan ditinggali oleh Adam untuk sementara ini satu jam setelahnya.

Diana tidak mengulur-ulur waktu lagi, wanita dewasa itu berkata dia masih memiliki jumlah pekerjaan yang harus segera dilaksanakan, tidak ada pertanyaan basa-basi dari Adam, seperti bertanya di mana ia bekerja atau pekerjaan apa itu? Namun, yang pasti pekerjaan Diana adalah yang mampu menghasilkan banyak pundi-pundi uang sampai rela merogoh kocek demi mengajaknya ke Chicago.

•••

Esok paginya, sinar mentari menerobos masuk ke dalam kamar Adam melalui gorden. Adam segera meraih telepon genggamnya, melihat pukul berapa dan sedikit was-was kalau Diana sudah menelepon berkali-kali, tetapi semuanya masih aman terkendali.

Setidaknya masih tersedia lima belas menit untuk pria itu segera bersiap-siap, sebelum panggilan dari Diana terdengar. Adam buru-buru membuka koper yang masih tergeletak di sembarang tempat, mengambil sepotong kaos abu-abu polos dan celana jeans selutut, kemudian berlari kecil menuju kamar mandi.

Dia harap Diana tidak akan membuangnya nanti atau membiarkan Adam menjadi gelandangan di Chicago bila ia telat sedikit.

•••

"Kamu telat lima menit, anak gadis." Suara Diana menyambutnya lebih dulu, jendela kaca dibuka, sedangkan Diana yang duduk di kursi pengemudi sembari menghisap rokok.

Pintu penumpang paling depan terbuka, Adam masuk dengan wajah yang canggung, tak enak hati. "Kau yang datang terlalu cepat, Diana."

Diana tidak menanggapi balasan Adam dengan serius, pedal gas sudah perempuan itu injak, mobil yang mereka naiki kini berjalan sepenuhnya, membelah kota Chicago di pagi hari. Pukul sembilan, semua orang ternyata keluar pada hari ini dan pada jam ini pula. Adam sibuk memperhatikan jalanan, lampu merah, penjalan kaki, dan beberapa gedung atau tempat penginapan yang sesekali terlihat.

Adam terkesima, ada perasaan bersalah sebab saat Diana menghubungi, Adam setengah hati merasa menyesal telah mengangkat panggilan itu. Diam-diam dia menyampaikan maaf di dalam hati, berkhayal kalau mungkin saja Diana mampu membaca isi hati orang.

"Bagaimana tentang pekerjaan tambahan dari temanmu? Kau tahu, aku benar-benar sebatang kara, Diana. Butuh pekerjaan lebih sekarang."

Sebutlah Adam sebagai pria miskin yang tidak memiliki harga diri atau tahu diri.

Diana mematikan rokoknya, membuang puntung rokok tersebut ke jalanan sampai akhirnya pengendara mobil lain mendekati mobil mereka, berteriak marah karena puntung rokok milik Diana terbawa angin dan jatuh di salah satu kaca depan mobil pengemudi lain.

"Kamu akan bertemu dengannya nanti. Dia juga menghadiri festival cokelat bersama kita. Omong-omong, dia juga punya jabatan yang tinggi, kalau tidak salah menjadi seorang akuntan di perusahaan besar," jawab Diana setelah meminta maaf kepada pengemudi yang marah-marah tadi.

"Kukira orang-orang seperti itu memilih berpergian ke tempat mewah."

"Entahlah."

"Oh, ya, Diana! Bagaimana perkembangan kasus yang terjadi di Santa Monica dan Central Park?"

Diana menoleh lalu melotot. "Bagaimana aku tahu, aku bukan polisi atau apapun itu. Tapi, sepertinya pihak berwajib masih menyelidiki, kejadian itu menggemparkan seluruh penduduk Amerika, tetapi yah seperti yang kamu tahu, Adam, manusia juga cepat sekali melupakan."

Adam manggut-manggut saja, netranya masih terpaku dengan jalan raya yang sedang mereka lintasi. "Padahal itu kasus yang cukup serius, beritanya sampai ke mancanegara."

"Ya, semua orang masih membicarakan, sih. Kamu mungkin akan mendengar topik itu dipembicaraan orang lain ketika berada di bus umum atau di stasiun kereta."

Mereka kembali lenggang. Setengah jam kemudian mobil Diana sudah terparkir rapih. Puluhan orang memasuki area festival dengan santai, bahkan membawa anak-anak mereka untuk menghadiri. Ini agak ganjil menurut Adam, peristiwa mematikan kemarin itu belum sampai seminggu, tapi tidak ada larangan untuk membuka festival?

"Kau serius kita tidak akan menjadi korban selanjutnya, Diana?"

"Apa sih! Kamu terlalu mencemaskan hal-hal yang tidak-tidak. Kalau kamu ragu, kamu tidak akan bertemu dengan temanku yang seorang akuntan di perusahaan besar. Dia sangat sibuk, Adam. Hanya di waktu-waktu seperti ini saja. Waktu ajaib."

Adam dan Diana sudah keluar dari dalam mobil, hangatnya mentari langsung menyerang kulit-kulit mereka. Langit cerah, tidak ada awan. Sekilas ini memang hari yang tepat untuk menghadiri sebuah festival atau paling tidak berburu cokelat.

Diana memimpin jalan di antara keduanya, selalu memeriksa setiap kedai yang ada. Berbagai macam cokelat memang terpampang dengan jelas, mulai dari ice cream, gulali, permen, hingga kue tart. Benar-benar surga coklat.

Sekarang tangan Adam tengah memegang satu ice cream coklat. Diana membelinya tadi ketika sang penjual mengatakan bahwa coklat yang mereka gunakan adalah impor dari Belgia.

"Wah! Coklatnya bukan main!" Wajah Diana memerah dan matanya hampir keluar. Saat sedang merasakan ice cream yang katanya dari 'Belgia' itu, tiba-tiba suara dering telepon terdengar.

"Oh, Adam, tolong pegang ice cream dan kue punyaku dulu."

Diana merogoh kantong celananya, di sana telepon genggam dengan teknologi terbaru terlihat.

Wajahnya tadi terlihat antusias kini menjadi lebih antusias lagi. Diana langsung berkata bahwa temannya sudah tiba di pintu masuk, maka keduanya pun segera membelah orang-orang yang sedang berdesak-desakan. Ice cream Adam telah jatuh sebab pundak seorang wanita yang tak sengaja menabraknya. Adam tidak menyadari betapa jauhnya mereka menelusuri festival itu.

"Diana!" Seorang pria dengan usia kisaran setengah abad memanggil, kepalanya botak plontos, perutnya sedikit buncit dan beberapa janggut yang tak terurus telah tumbuh di dagunya. Adam ingin mengeluarkan suara melongo ketika Diana ikut menyapa.

"Oh, Vin. Ini temanku! Perkenalkan namamu, Adam." "Adam? ulang pria itu.

Adam sekarang sedikit ragu, dia seakan tidak asing dengan wajah dan proporsi tubuh orang yang di hadapannya.

Mereka bertiga berbicara sebentar setelah mengetahui nama masing-masing, tidak ada obrolan khusus sebenarnya, hanya basa-basi yang sering dilakukan oleh orang banyak. Namun, tiba-tiba suara teriakan terdengar, orang-orang yang tadi terbuai dengan berbagai cokelat berbondong-bondong untuk keluar. Darah sudah memenuhi pakaian beberapa orang, banyak wanita, laki-laki, bahkan anak-anak yang terjatuh saat berusaha keluar

kemudian bangkit lagi, gerai-gerai coklat yang tadi mengundang selera makan sudah hancur, tidak ada bentuknya. Mereka bertiga bergeming. Mata yang berbicara kala itu, sedetik kemudian teman Diana menarik tangan Adam dan Diana. "Diana, cepat kembali menggunakan mobil, jangan tanya kenapa, lakukan saja, dan aku meminjam temanmu sebentar!" katanya walau terpatah-patah sebab sembari berlari.

Diana telah masuk ke dalam mobilnya, dia berpencar tanpa ribut ataupun bertanya, barangkali skenario seperti kasus di Santa Monica dan Central Park menjadi jawaban pertamanya. Sosok botak ini juga sudah masuk ke dalam mobil dan Adam sudah duduk di kursi penumpang paling depan. Di belakang mereka orang-orang berusaha untuk kabur, beberapa histeris karena kejadian pembunuhan ternyata sudah terjadi lagi.

Semuanya persis seperti apa yang Adam bayangkan.

"Hei, Adam. Kau mengenalku dan aku mengenalmu. Entah kebetulan semacam apa, tapi aku adalah dokter di organisasi. Tepatnya kelas B, ini sebenarnya melanggar protokol, tapi aku harus memastikan sendiri sebab ini adalah hal yang gila."

Bagi Adam ini semua benar-benar terlalu tiba-tiba. "Organisasi?"

"Jangan pura-pura tidak tahu." Kemudian sosok itu menunjukan sebuah tanda pengenal yang bertuliskan, 'Vincent. E, class B.'

Adam menyandarkan tubuhnya ke kursi penumpang. Dia menghela napas. "Astaga, aku lupa bahwa aku masih menjadi anggota."

Vincent memutar mobilnya, melewati jalan yang lebih kecil. Mereka sudah sepenuhnya jauh dari tempat festival, sebelum mengambil jalan pintas memang banyak sekali mobil polisi bahkan helikopter dengan wartawan di dalamnya turut hadir. Sekali lagi Amerika menjadi kacau.

"James, laporkan semuanya kepadaku." Rupanya sambungan sudah terhubung ke radio mobil.

"Saya sudah memantau. Tidak ada yang mencurigakan selain anak berusia tiga tahun yang sama seperti di kasus Central Park."

Vincent terdiam, tangannya masih memutar stir mobil dengan kecepatan tinggi. Memang sedikit ganjil anak berusia tiga tahun datang sendiri ke festival dan membuat kekacauan.

"Kau melihat anak itu sudah berapa menit di dalam kawasan festival?" Adam ikut bertanya. "Vin, ini bukan suaramu?"

"Dia Adam, anggota SCP juga. Tidak apa, jawab saja ceritanya."

"Ah, sekitar 15 menit. 5 menit adalah waktu ketika semuanya sudah kacau, jadi anak itu berada di sana 10 menit sebelum kejadian kacau balau."

Adam terpaku. Jawabannya sudah jelas, tetapi pria itu sedikit ragu juga. "Kau benar-benar yakin anak itu juga berada di Central Park?"

"Yakin, Pak."

"Saya juga yakin, karena saya yang memastikannya lewat kamera cctv." Adam menarik napas, dia harap prediksinya tidak salah.

"Namun bagaimana mungkin anak itu menjadi penyebabnya?" "Dia anomali, Pak."

Lenggang di antara ketiga pria itu. "Ini baru prediksiku, dia berada di sana 10 menit dan 5 menit kemudian semuanya sudah kacau balau. Ini masih asumsi kasar, tapi kau bilang kau sudah memastikannya saat di Central Park melalui kamera cctv. Kalau anak itu datang 10 menit sebelum terjadinya pembunuhan, maka kita sudah dapat garis besarnya."

"Sekarang, panggil beberapa anggota yang lain, ikuti anak itu dan pantau dia. Bila dia sudah memasuki wilayah ramai cepat bawa dia menjauh bagaimanapun caranya. Aku tidak tahu dampak anak itu sampai berapa meter, jadi pastikan berganti-gantianlah memantaunya. Saat malam tiba tangkap saja."

•••

Adam memasuki lorong demi lorong. Dia dan Vincent sudah berada di gedung SCP yang tersedia di Amerika. Jelas, letak gedung ini benar-benar jauh dari peradaban dan tidak mampu dijamah oleh teknologi terbaru.

Mereka tentu mencari informasi, kembali memastikan lagi yang terjadi di Central Park. Sampai ketika pukul dua dini hari, mobil khusus SCP datang, sebelum itu ketika James mengabari bahwa dia dan anggota yang lain sudah menangkap bocah yang tidak diketahui namanya, Vincent lebih dulu diamankan sampai nanti anomali baru tersebut sudah ditempatkan di salah satu ruangan.

Ketika rombongan anggota itu masuk, Adam berhasil melihat bagaimana rupa anak perempuan yang kiranya berusia 3-4 tahun.

Dia dan anggota yang lain sudah memakai pakaian sesuai dengan standar keamanan SCP. Mengikuti jejak anggota-anggota yang lebih dulu menangkapnya dan memasukan bocah itu ke dalam ruangan berkaca. Vincent sudah diperbolehkan untuk melihat anak itu, dia kembali mengenakan pakaian dengan standar keamanan lebih tinggi lagi. Selama dua jam Vincent memantau dan tentu bersama Adam juga, tapi tidak ada tanda-tanda pemberontakan.

Bocah perempuan di sana terlihat tenang walau kebingungan, tidak menangis atau mengalami tantrum.

Keesokannya, pukul 09.00 beberapa anggota SCP masuk ke dalam ruangan, mengajak berbicara dan mengisi ruangan itu dengan benda-benda yang kerap dimainkan oleh anak-anak. Mereka menyulap sebuah ruangan kosong mononton menjadi tempat yang diimpikan oleh semua orang.

Adam termasuk salah satu anggota SCP yang masuk ke sana. Di pergelangan tangan setiap anggota terpasang sebuah timer.

"Halo, anak manis," sapanya, tetapi tidak ada reaksi apapun. "Kau lihat? Sekarang kamar ini adalah milikmu."

Anak perempuan tadi langsung memperhatikan kamarnya yang penuh akan buku-buku cerita, mainan, bahkan berbagai macam camilan.

Anomali baru dihadapan Adam saat ini hanyalah memiliki perawakan bagai anak-anak umum lainnya, rambutnya yang berwarna hitam panjang dan mengenakan pakaian dress kuning yang sudah amat kotor, berbagai noda tertempel di sana.

"Paman memiliki sesuatu, kau mau?"

Adam mengeluarkan sebuah coklat dan juga permen biasa, hal yang mampu membuat Vincent mengernyitkan dahinya di luar atas tindakan yang dilakukan oleh Adam. Lawan bicara Adam takut-takut mengambil dua permen biasa, kemudian suara peringatan dari timer yang mereka kenakan telah bunyi. Tanda bahwa mereka semua haruslah segera keluar.

Setelah Adam sudah disterilkan, kini dia kembali memantau bersama Vincent. Mengatakan bahwa kemungkinan besar penyebab pembunuhan massal sebab dia terpancing ke festival hanya demi permen di sana.

Pukul 13.45, inilah yang mereka tunggu-tunggu. Pengeksekusian kelas D. Jantung Adam bertalu-talu. Bagaimana kalau prediksinya salah? Bagaimana kalau anomali yang sesungguhnya masih berkeliaran di luaran sana?

Seorang wanita dewasa masuk ke dalam tanpa menggunakan pakaian keamanan apapun. Berdiam diri di sana sampai akhirnya pada menit ke-10, bola matanya hampir keluar, dia membabi buta di dalam, berusaha melukai anomali yang tidak melawan sama sekali, walau sudah dicakar, dibanting, bahkan dipukul anomali itu sama sekali tidak merasakan kesakitan. Butuh semenit baginya mencari pelampiasan amarah, wanita tadi saat ini menyakiti dirinya sendiri sebelum tewas di tempat.

Sesuai dengan perkiraan Adam, tidak meleset.

"Adam, oh astaga." Vincent bergumam di sebelahnya. "Anomali itu sepertinya tidak bisa mati atau merasakan rasa sakit."

Ini bukan waktu untuk mengkhawatirkan itu, sebab mereka harus memantau dan mendapatkan kesimpulan dari pengeksekusian kali ini, dua pria berbadan besar dan berotot masuk, sama seperti wanita tadi. Di menit ke-10 efeknya muncul, dua pria tadi mulai berkelahi, darah muncrat ke mana-mana, bahkan sampai ke kaca, tetapi anomali di dalam tidak merasa terganggu bahkan terlihat sedang asyik sendiri dengan berbagai mainannya.

Pukul 19.27 malam, sebuah permen kembali diberikan kepada anomali tanpa nama itu, tapi yang berbeda adalah di dalamnya mengandung sebuah racun yang mematikan. Adam, Vincent dan anggota lain yang berasal dari kelas B ikut mengawasi. Ketika anak perempuan di dalam sudah memakan dan menelan permen yang diberikan, selama 10, 30, 50 menit setelahnya tidak ada efek sama sekali.

Napas para pengamat tertahan dengan pasti. "Ini gila, kemungkinan besar dia berada di kelas keter. Namun, sebaiknya coba kita bawa dan temukan dia dengan SCP-682."

Tidak ada yang menentang. Beberapa orang yakin bahwa anomali baru tersebut akan segera dicabik-cabik dan sebagian lainnya berpikir bahwa cara itu pun tidak akan berpengaruh. Ketika hari sudah semakin larut, anomali anak perempuan tersebut segera dibawa, kedua matanya ditutup dan tangannya diborgol.

"Apakah ini paman yang memberiku permen tadi?" katanya, untuk pertama kali anak itu mampu mengeluarkan suara. Adam yang sedang menuntunnya dengan beberapa rekan di belakang menjawab, "Kau menyukainya, Nak?"

"Ya, itu enak sekali."

"Baiklah akan kubawakan lagi nanti, tapi ada yang harus kau lakukan terlebih dahulu." Adam sebenarnya merasa tak tega, dia juga tidak ingin anomali berbahaya seperti ini benar-benar berada di kelas keter, tapi dia juga merasa kasihan bila nanti anomali yang baru saja berbicara dengannya akan keluar tanpa nyawa.

Anomali anak perempuan tadi sudah sepenuhnya masuk, kali ini pengamat kelas B sudah mengawasi. Vincent sibuk menyatat. Anak itu mula-mula sedikit takut, berlari menuju pojokan, tiga puluh menit kemudian tidak ada reaksi apapun dari pihak SCP-682.

"Apakah SCP-682 tidak mendeteksi adanya anomali lain?" tanya pengamat lain heran.

Bocah perempuan di dalam sudah semakin berani, dia mengajak SCP-682 berbincang, mengelus-elus helaian rambutnya, tertidur di ekor bahkan bermain kejar-kejaran. Kejadian yang membuat para pengamat terbelalak. Kalian harus ingat, tanpa adanya perlawanan dari SCP-682 itu sendiri.

Vincent menghela napas, "Sudah. SCP baru itu adalah keter."

•••

TAMAT

Bab ini ditulis oleh strawsea

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro