053 : REKOR BARU (1)
Aiden berusaha untuk mengendalikan air matanya tatkala bocah itu menyadari bahwa ia berada di tengah-tengah kerumunan para manusia yang tak pernah ia kenali. Semuanya semakin membuat bocah itu panik kalang kabut sebab berbagai macam suara berhasil meredam teriakan yang kini menyatu dengan tangisan. Aiden melihat ke atas, langit menjelang malam di Santa Monica mungkin adalah topik yang baik baginya untuk dapat memamerkan suasana di sana kepada teman-teman sekolah nanti. Namun, pemikiran itu tentu saja datang ketika ia masih bersama sang ibu di tengah-tengah hiruk pikuk pengunjung lain.
Aiden tidak tahu dia harus ke mana, suara bapak-bapak yang berteriak memamerkan gulali dengan berbagai bentuk membuatnya semakin panik, belum lagi orang-orang yang berlalu lalang tanpa memperdulikan terdapat anak kecil dengan tinggi tidak lebih dari pinggang orang dewasa tengah berdiri mematung.
Wajahnya saat ini benar-benar pucat pasi, dia tidak tahu harus bagaimana, berteriak pun tak ada guna sebab suaranya telah teredam dengan berbagai macam kericuhan pengunjung lain.
Bocah laki-laki berusia tujuh tahun tersebut tidak pantang menyerah rupanya, lantaran dia masih terus menjamah setiap sudut di dalam festival itu, mencari-cari sosok ibu satu-satunya, rela hampir terjatuh ketika sekumpulan wanita dewasa berbondong-bondong menabraknya ketika mereka melihat toko makanan yang sedang diskon, belum lagi hiasan-hiasan mencolok di setiap tiang-tiang yang menjadi kerikil bagi Aiden untuk menemukan ibunya.
Dia tidak akan lagi menjadi anak yang nakal, Aiden bersungguh-sungguh akan belajar dengan giat, tidak menumpahkan sup dan meletakkan kaos kaki di atas tempat tidur asalkan orang-orang di festival ini segera kembali dan ia mampu menemukan ibunya lagi.
Namun, sekarang Aiden tidak lagi berharap bahwa orang-orang di festival segera meninggalkan tempat ini secepat mungkin. Melainkan, saat ini yang Aiden harapkan hanyalah keselamatan nyawanya ketika sebuah bunyi ledakkan terdengar dari pantai dan berdoa semoga sang ibu mampu menemukannya dalam keadaan dengan jantung yang masih berdetak.
•••
Heldy di masa remaja mungkin akan menganggap pergi ke festival bersama pasangan adalah hal yang sangat memalukan. Sebab harus rela berdesakkan dan berbicara dengan nada yang tinggi dengan jarak yang dekat. Belum lagi teriakkan para penjual-penjual makanan yang berada di festival.
Namun semua pandangan buruknya terhadap semua itu berubah ketika ia dan Glen resmi menjadi pasangan! Dan ini adalah kesepuluh kalinya mereka menjejaki kaki di festival besar yang kerap digelar di Amerika. Heldy tidak akan mengetahui betapa menyenangkan melihat
kembang api warna-warni di langit sembari makan sosis bakar yang ia dan Glen beli walau harus rela membuang waktu setengah jam lebih.
Heldy juga tidak akan mengetahui betapa serunya memburu makanan bersama-sama atau betapa letihnya betis sebab harus berdiri berjam-jam.
Semua suka dan duka ketika ia dan Glen pergi ke festival adalah momen yang berharga baginya saat ini. Heldy bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia mengeluh ketika diajak untuk pergi ke festival, tetapi semua itu sedikit berbeda sekarang.
Festival kedua yang digelar di New York lebih sepi dibandingkan festival sebelum-sebelumnya. Heldy bahkan tidak harus perlu membuang waktu setengah jam demi membeli sepotong sosis bakar. Jalanan juga sangat lenggang, tidak ada mobil-mobil yang berderet sepanjang jalanan. Hanya ada segelintir orang yang sepertinya tertarik untuk mengunjungi festival ini.
"Kok sepi banget, ya? Tidak ada penjual popcorn atau hotdog juga," kata Glen sambil mengeratkan pengangan diantara keduanya.
Wanita berambut sepundak tersebut hanya tersenyum masam dan berkata mungkin cuaca malam ini tidak terlalu bagus untuk hadir ke sebuah festival. Namun, dia sangat ingat betul berita yang ia lihat siang tadi. Tentang peledakkan yang terjadi di Santa Monica, tepat ketika festival sedang berlangsung.
Heldy bukanlah remaja bodoh yang tidak memahami alasan mengapa festival hari kedua di New York saat ini benar-benar sepi. Sudah pasti karena orang-orang pun takut nasib mereka akan sama seperti pengunjung festival di Santa Monica beberapa hari yang lalu. Dia sedikit takut, dan jelas pula Glen tidak terlalu memperdulikan berita itu.
"Kita pulang saja, Glen! Aku kepikiran berita beberapa hari yang lalu!"
Awalnya Glen setuju dengan ajakan Heldy untuk segera kembali, dikarenankan festival tahun ini tidak meriah sama sekali walau di mana-mana sudah terpasang dengan jelas plang yang memberi tahu di salah satu sudut New York terdapat festival yang kerap digelar setiap tahun.
Namun, ketika suara petasan yang meledak di langit kota New York, Glen mengurungkan niatnya untuk kembali ke rumah.
Heldy juga terpana. Momen inilah yang ia tunggu-tunggu selama setahun lebih, melihat kembang api yang meledak-ledak dengan indah di langit adalah hal yang entah sejak kapan menjadi hobinya.
Kedua sejoli yang sedang terpaku dengan indahnya langit New York tidak menyadari ketika salah satu seorang penjual pernak-pernik di sana telah tewas sebab terbunuh oleh salah satu pengunjung wanita.
Lalu malam itu, di bawah suara heboh kembang api yang meledak-ledak di langit terjadi pertumpahan darah. Semua orang seperti dirasuki oleh berbagai macam iblis, saling menyerang bahkan tak segan-segan para penjual di sana mengeluarkan benda tajam, mengarahkan ke satu sama lain dan menusuknya tanpa ampun.
Heldy sepenuhnya tidak memperdulikan kembang api lagi. Dia membatu, tidak bisa bergerak sama sekali. Mungkin, kalau saja ia masih berada di usia remaja Heldy akan mengira ini semua adalah akting belaka dan mencari-cari letak kamera. Namun, kebodohan itu sudah sirna dari dirinya sejak lama, Heldy tidak akan membuang-buang waktu.
Pemandangan bunuh-membunuh secara brutal sudah terlihat dengan jelas.
Namun, secara tiba-tiba, perasaan amarah datang, berusaha ingin mendominasi tubuhnya. Terakhir kali sebelum Heldy benar-benar kehilangan kesadaran adalah jalanan itu sudah dipenuhi oleh berbagai macam genangan darah.
New York pada malam itu juga mencetak rekor baru.
•••
"Pembunuhan massal yang terjadi di Central Park, New York, tepatnya pada saat festival kedua musim panas menyebabkan 50 orang meninggal, dan 100 orang lainnya luka-luka. Kejadian pada pukul sebelas lewat lima belas malam tadi mengguncang dunia, lantaran kejadian ini terjadi tak lama setelah pasca ledakan bom di pantai Santa Monica. Pihak berwajib menduga ini adalah ulah teroris, tetapi sampai saat ini belum ada titik terang. Berita selanjutnya akan kami—"
Adam mematikan televisi dengan kasar lalu melemparkan benda pipih yang memiliki berbagai macam tombol ke sembarang arah. Dia kemudian menyenderkan bahunya ke sofa. Seharusnya pihak berwajib sudah menyadari kalau kasus yang sedang berseliweran di setiap berita adalah kasus yang direncanakan. Namun, entah apa yang sedang mereka semua lakukan sebab sampai detik ini agaknya tidak membuahkan hasil sama sekali. Hari ini adalah hari sabtu dan Adam tentunya memilih untuk bermalas-malasan di dalam rumah ketimbang harus keluar dan berlibur.
Dia juga sejak subuh-subuh tadi berharap kalau semoga dirinya itu tidak akan mendapatkan panggilan yang berkaitan dengan kasus di Santa Monica dan Central Park.
Kelopak mata Adam yang semula sudah terpejam kini terbuka lebar, napasnya tertahan begitu mendengar sebuah dering telepon.
"Hah, kurang ajar." Kata umptan rupanya tertahan di kerongkongan. Adam dengan malas sedikit membenarkan posisi dari duduknya kemudian meraih benda yang menjadi sumber suara.
Sebuah kontak nama terpampang di sana, menyebutkan panggilan yang berasal dari, Diana.
Ibu jarinya merasa enggan untuk segera menekan tombol agar sambungan diantara keduanya terhubung. Namun, menolak panggilan dari seorang wanita seperti Diana juga bukanlah ide yang baik jika tidak ingin mendengar celotehan panjang lebar dan tak bermutu ketika mereka berdua bertemu nanti.
"Halo, Diana?" Suara serak Adam menyapa lebih dulu.
Sembari menunggu balasan dari seberang sana, Adam bangkit dari posisi duduknya, mengambil cerutu dan juga korek api.
"Halo, Adam. Kira-kira apa yang akan kau lakukan di minggu esok?"
Pertanyaan yang dilontarkan Diana sudah sangat jelas memberi akhir yang sepertinya tidak akan ia sukai. "Ya? apa?" balasnya sembari menjepit benda pipih tersebut di antara telinga dan bahu.
"Dua hari lagi ada festival cokelat di Chicago. Aku berencana untuk mengajakmu pergi ke sana bersama. Bagaimana menurutmu?"
Suara helaan napas hampir lolos kalau saja Adam tidak menahannya rapat-rapat. Batinnya sudah membeo, seharusnya dia menolak panggilan itu sejak awal dan beralasan sedang melakukan panggilan alam.
"Hm, ah, kau tahu sendiri, Diana. Gajiku sepertinya tidak cukup jika sekadar untuk bersenang-senang. Jadi—" Adam sekarang sedikit gelisah. Dia tidak enak hati untuk menolak, tetapi dia juga tidak akan membiarkan dirinya terjebak bersama Diana berjam-jam.
"Kalau hanya alasan uang, tenang saja. Jadi bagaimana? Mau, ya? Lagipula kau pasti tidak ada agenda apapun, aku bisa saja memberikanmu pekerjaan lebih, tapi asalkan kau mau menemaniku ke sana bersama."
"Bukankah saat ini banyak kejadian teroris? Tidak ada kebijakan untuk menunda festival sampai pelaku pembunuhan dan peledakkan bom diketahui?"
Samar-samar suara Diana terdengar, sesekali terputus sampai Adam harus mencoba mencari sinyal agar obrolan mereka masih tetap berlangsung.
"Yah, itu kan baru asumsi warga saja. Lagipula kejadian itu terjadi saat festival musim panas bukan, lalu festival yang kita hadiri juga masih beberapa hari lagi. Tidak perlu khawatir. Bagaimana, kau sudah pasti akan setuju menemaniku, kan? Nanti akan kukenalkan dengan temanku yang tinggal di sana, dia bilang kalau dia memiliki pekerjaan."
Adam sedikit ragu, dia menimang-nimang apakah ia harus rela membuang waktunya bersama Diana, rela bila harus menjamah seluruh tempat bersama-sama? Namun, tawaran yang diajukan oleh Diana tak kalah menarik, sangat menggiurkan bagi laki-laki yang haus akan panggilan kerja. Pekerjaan tambahan adalah hal yang ia butuhkan saat ini.
"Oke, kuanggap jawabanmu adalah setuju. Baiklah, satu tiket pesawat menuju Chicago akan kupesan! Sampai jumpa Adam! Selamat malam!" tutur Diana sumringah.
Sambungan terputus tak lama setelah Diana mengucapkan salam perpisahan. Adam berharap keputusannya tidak akan salah. Entah mengapa, membayangkannya saja sudah sedikit mengerikan.
Menghabiskan waktu lebih dari sehari bersama Diana tentu menjadi pengalaman yang sangat menantang bagi pria berkepala tiga itu.
•••
Vincent sudah berkali-kali membaca laporan yang ia buat sendiri mengenai identifikasi manusia yang menjadi korban dalam fenomena pertumpahan darah saat festival musim panas di Central Park, New York. Tubuh korban sudah sangat jelas dicabik oleh benda tajam, tetapi yang sedikit janggal di sini adalah waktu pembunuhan itu terkesan tiba-tiba dan terang-terangan.
"Pak, istirahat saja! Matamu akan bertambah rabun jika berjam-jam hanya membolak-balik laporan yang kau tulis sendiri."
"James." Pria berusia setengah abad yang masih terlihat sangat bugar itu meneguk secangkir kopi yang dibawakan oleh bawahannya. "Tidakkah kau pikir laporan yang kita buat ini sedikit janggal dengan rekaman cctv di lokasi kejadian?"
James mengernyitkan dahi sehingga lipatan keriput terlihat lebih jelas. "Bapak masih memikirkan itu?"
"Tentu saja, rekaman yang kau tunjukkan kepadaku bagaimanapun juga sangat janggal. Semula semua orang baik-baik saja, lalu kemudian secara serempak mereka semua saling menyerang satu sama lain. Bahkan saat kita identifikasi tidak ada bagian luka seolah-olah mereka memang sengaja membunuh satu sama lain." Vincent mendesah berat. Kepalanya pening dan kelopak matanya sudah berusaha ingin jatuh begitu saja.
James meletakkan bokongnya di salah satu kursi, menegak cangkir kopi miliknya sendiri. Ruangan atasannya itu memang selalu memberi hawa yang dapat menghantarkan ngantuk, lantaran saat ini pun James sepertinya ingin sekali berada di alam bawah sadar.
"Inspektur yang menangani kasus ini juga berkata demikian."
"Coba kirimkan file berisikan rekaman cctv tiga puluh menit sebelum kejadian. Aku sama sekali belum merasa tenang bila tidak memastikan sekali lagi."
James hanya manggut-manggut saja sebelum akhirnya dia keluar dari ruangan yang cukup besar itu.
Tidak butuh sepuluh menit bagi James untuk mengirimkan file lengkap rekaman cctv ke komputer Vincent.
Walau mata yang sudah berusaha sekuat mungkin untuk menutup kelopak mata, Vincent mati-matian menahan, bahkan mengusir rasa kantuk berlebihan itu.
Pria dengan tubuh yang pendek, perut yang sedikit membuncit dan juga kacamata kota yang bertengger di batang hidungnya masih berusaha mengamati apapun yang terjadi di dalam rekaman cctv. Lima belas menit pertama semuanya masih terlihat normal, dua puluh menit kemudian di tengah-tengah taman terdapat beberapa orang yang bersiap-siap memasang petasan, di menit kedua puluh lima, seluruh perhatian pengunjung teralihkan oleh suara petasan di langit, lalu di menit tiga puluh lima, semua orang mendadak menjadi aneh.
Kemudian, klimaksnya berada di menit empat puluh. Semua orang mulai menyerang satu sama lain secara brutal dan tiba-tiba. Bagi Vincent ini tentu saja sangat janggal, sebab bagaimana orang-orang di sana bersikap normal seperti biasanya, tapi hanya dalam hitungan detik semuanya berubah bahkan tidak butuh lima menit untuk menjadikan taman itu menjadi genangan darah.
Bapak-bapak tua yang masih terheran-heran itu kemudian menyesap kopi dingin yang diberikan oleh James tadi.
Sudah dua jam Vincent memperhatikan layar yang memiliki radiasi itu, tetapi nyatanya usaha yang ia lakukan sama sekali tak membuahkan hasil. Suara ketukan terdengar dari balik pintu masuk, James datang dengan air muka seolah dia sedang membawa kabar yang sangat penting.
"Pak!" serunya lalu masuk secara terburu-buru.
"Pihak kepolisian baru saja mengirimkan rekaman cctv dari berbagai sudut. Silakan cek terlebih dahulu."
Vincent meraih sebuah flashdisk yang diberikan oleh James. Suasana ruangan Vincent tidak lagi mengundang rasa kantuk, melainkan kedua orang di sana dilanda rasa gugup serta tegang di sekujur tubuh.
Tidak mustahil untuk mereka menemukan kemungkinan penyebab terbaru ketika sudah memastikan rekaman cctv yang tersedia dari segala arah.
"Kau sudah melihat rekaman ini, James?" tanya Vincent sembari memasang flashdisk di komputer. James menjawab dengan sedikit gelengan.
Mereka berdua sama sekali tidak berbicara ketika sedang memperhatikan detik-detik sebelum rekor pembunuhan di New York terukir. Vincent menjeda rekaman yang sedang berlangsung, lalu memutar kursinya sehingga sepenuhnya menghadap James. "Aku sudah memastikan rekaman cctv sebelumnya. Puncak dari pembunuhan ini ada di menit empat puluh, kira-kira sepuluh menit setelah petasan pertama diluncurkan ke arah langit," jelasnya.
James mengangguk paham, setelahnya rekaman kembali diputar. Vincent memperhatikan siapa saja yang masuk dan keluar berharap barangkali menemukan pelaku yang menyulut pembunuhan ini.
Rekaman kembali dihentikan pada menit tiga puluh, ketika seorang gadis kecil dengan kisaran usia tiga tahun datang dari pintu masuk tanpa didampingi oleh siapapun. James mengernyit tatkala Vincent terlihat serius sekali untuk memperhatikannya.
"Bukankah dia hanya bocah kecil? Kurasa dia salah satu anak hilang yang sudah menjadi korban." Ada jeda cukup lama, sebelum James berkata, "malang sekali anak itu."
James menguap lebar-lebar setelah melihat jarum jam yang menunjukkan waktu dini hari.. Tanpa basa basi lagi, akhirnya laki-laki berambut cepak dan berkulit sawo matang tersebut dengan cepat pamit dan meninggalkan Vincent dengan posisi yang masih sama sedari tadi. Duduk menghadap layar komputer selama berjam-jam.
Entah instingnya benar atau tidak, tetapi Vincent harus memastikan dengan kepala dan mata miliknya sendiri.
•••
Hiruk-pikuk manusia dengan kegiatannya sudah mengawali pagi Adam. Dengan setelan seadanya, hanya kaos hitam yang dibalut oleh kemeja kain flanel berwarna coklat pudar dan celana panjang berwarna hitam serta satu koper kecil yang ia temukan di kamar kosnya.
Adam pikir kemarin, ketika Diana menghubungi dan mengajaknya untuk pergi ke Chicago dengan alasan agar perempuan itu memiliki teman saat menghadiri festival coklat yang digelar di Chicago nanti adalah delusi belaka. Bahkan jam enam pagi tadi, tidak ada pesan masuk dari yang bersangkutan, semakin membuat Adam resah saja kalau semua ingatan kemarin hanyalah imajinasinya belaka.
Adam menarik napas kemudian menghembuskan secara perlahan-lahan. Bukan sekadar dugaan yang asal saja, sudah beberapa minggu pria yang selalu bergantung dengan obat-obatan, ah tidak lebih tepatnya bergantung dengan Eva itu berusaha untuk melepaskan diri. Panggilan atau pesan menumpuk yang dikirimkan oleh Eva seakan hanyalah angin lalu.
Tidak, kau sudah benar-benar sembuh, Adam. Kau tidak membutuhkan obat atau benda-benda kecil itu lagi. Kau juga tidak butuh Eva. Pikirnya. Adam lalu membenarkan posisi koper hijau tuanya, dan kemudian menarik benda tersebut menuju kabin setelah mendengar bahwa penerbangan menuju Chicago akan terbang sedikit lagi.
Sebelum suara-suara itu semakin mendominasi, mendorongnya ke dalam sebuah lubang, dan mengurungnya di sana sendiri, Adam berkali-kali terus mengulang pikiran bahwa ia sudah berhasil kabur dari lingkaran setan sebelumnya. Bahkan setelah ia sudah duduk di dalam pesawat, dan ketika netranya untuk pertama kali melihat pemandangan dari atas, suara-suara, bisikan-bisikan yang tak menyerah masih terus-menerus mendobrak, berniat ingin meluluhlantakkan perisai yang susah payah Adam bangun.
Matanya terpejam, peluh dingin membasahi telapak tangannya. Tidak, kau tidak sedang berimajinasi, Adam. Hari ini kau benar-benar akan pergi ke Chicago bersama Diana. Itu benar adanya, sebab Diana telah memberikanmu tiket penerbangan yang seperti ia katakan.
Pesawat yang ditumpangi olehnya sudah lepas landas sejak satu jam yang lalu. Adam merasa jantungnya segera meledak-ledak atau barangkali terbang keluar menembus tulang dadanya, tepat di sebelah kiri seorang ibu muda bersama anak berusia kurang lebih dua tahun tampak tenang sampai akhirnya bocah yang duduk di pangkuan wanita dewasa tadi merengek-rengek.
Suara-suara yang selama ini Adam anggap sebagai bisikan iblis kembali terdengar, anak kecil yang disampingnya secara mendadak terlihat seakan berkepala sapi sedangkan tubuhnya memiliki bentuk bak kucing.
"Adam ... bangun ...."
Perkataan yang entah dikatakan oleh siapa kini berhasil mendobrak perisai milik Adam. Netranya tidak lagi menangkap suasana kabin yang diterangi oleh sinar mentari ketika pagi hari masih berlangsung, alih-alih demikian, sekarang semuanya tampak abu-abu.
Urat-uratnya menyembul dari balik kulit, Adam pikir ini sudah diluar kendali, bisingnya berbagai macam obrolan yang dilontarkan satu sama lain, kini hening. Hanya dengungan yang terdengar. Adam meremat jari-jemarinya sendiri.
Tidak. Tidak. Tidak.
Dengan konstan, Adam menutup telinganya, meronta-ronta dalam diam, berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang.
Kemudian penyiksaan batin yang kerap dirasakan terhenti, ketika seorang pramugari dengan sengaja menepuk pundaknya.
"Permisi, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" katanya diiringi senyum kecil.
Adam menoleh ke sana-ke mari dengan sangat canggung, seluruh pasang mata tengah menyorotnya, menjadikan sosok yang lagi dan lagi berhasil keluar dari lubang setan itu merasa terpojok.
"Tidak, tidak perlu."
Setelah menjawab disertai sedikit gelengan kecil, orang-orang di dalam sana kembali normal, sibuk dengan urusan masing-masing. Adam mampu menghela napas lega.
Dia tidak tahu kapan ia benar-benar akan sembuh, tetapi setidaknya saat ini dengan tanpa bertemu Eva serta menelan pil-pil yang sering diberikan oleh perempuan itu, Adam sedang melepaskan diri dari berbagai macam rantai yang menjeratnya.
•••
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro