02. Toko Lokatraya
Kadang Yumna berkhayal menjadi sosok Ju Kyung dalam drakor True Beauty. Di mana Jukyung yang jelek dan kerap di-bully di sekolahnya menjadi cantik sebab bantuan make up saat dia akhirnya pindah sekolah. Lantas dipuja-puja bak bidadari turun dari kahyangan oleh para cowok maupun cewek. Disukai 2 cowok ganteng nan populer, Suho dan Seo Jun, di mana pada akhirnya mereka juga mencintai Jukyung yang asli, alias tanpa polesan make up.
Sesekali juga Yumna mengawang khayal menjadi Go Ae Jin dalam drakor Shadow Beauty. Sosok gadis yang kerap di-bully karena bermuka jelek, diam-diam bertransformasi menjadi cewek cantik paripurna saat di media sosial dengan nama Genie. Dia menjadi cantik dengan cara keterampilannya dalam mengedit foto-foto dirinya sebelum diunggah di media sosial. Pengikut dunia mayanya banyak hingga bahkan menjadi endors beberapa produk kosmetik. Pada akhirnya dia juga menemukan cinta sejati yang tak peduli bagaimana jelek wajahnya, cowok itu Lee Jin Sung, cowok ganteng member grup K-Pop rookie.
Ah, tapi itu hanya sebatas hayalan. Yumna tidaklah pandai ber-make up. Mukanya jika di-make up justru merasa dirinya seperti badut. Jadi dia tidaklah bisa menyamarkan wajah amat biasanya menjadi bidadari bak Jukyung.
Pun alamak, dia tidak lihai mengedit-ngedit foto, seperti mungkin mengedit bagian mata agar lentik layaknya Go Ae Jin mengedit fotonya sendiri menjadi sosok Genie yang bak dewi di setiap postingan medsos. Yumna palingan hanya pandai menambahkan filter di fotonya atau menambah beberapa stiker norak.
"Gimana rasanya jadi cantik ya, Yum?" sahut Siti sembari membenahi letak poninya yang masih rapi.
Malas menjawab dengan kata-kata, Yumna memilih mengangguk.
"Enak sih jadi cantik karena banyak yang suka, banyak cowok yang naksir, dan percaya diri kalo kemana-mana. Tapi sebenernya aku justru pengin jadi cewek pinter."
Satu napas dibuang Siti. Mukanya berubah kusut begitu membawa topik tentang dirinya yang justru ingin menjadi pintar, soalnya dia salah satu siswi bodoh di kelas. Langganan masuk rangking 5 besar dari belakang. Dia selalu tidak pede dengan otaknya yang telmi dalam menangkap pelajaran di kelas, kadang juga malu berat kalau ada sesi tunjuk untuk menggarap soal matematika atau ekonomi di depan kelas karena seringnya tidak bisa menjawab dengan benar. Pokoknya dia malu memiliki otak lemot dalam pelajaran, kalau di rumah dia langganan bual-bualan adik; pinter dandan doang, pelajaran sekolah goblok, ih malu-maluin.
"Mending kamulah, selalu masuk 5 besar rangking kelas, Yum. Lah aku?" ratapnya nelangsa. Ujung bibirnya saling menyudut, memberikan senyum terpaksa.
Masih di tempat duduknya, Yumna menaruh sisa cokelat green tea matcha-nya ke meja. Mendadak menjadi tidak enak hati ke Siti.
Sebenarnya sosok Siti memang tidaklah sempurna. Sekalipun cantik, dia telmi. Pun sesungguhnya dirinya ini jugalah tak semenyedihkan yang kadang dirinya rasa sebab bermuka amat biasa karena dia tidaklah selemot Siti dalam menangkap materi pelajaran di kelas.
Namun, bukankah memang begini tabiat manusia yang tak mudah puas dengan apa yang mereka miliki, bahkan menginginkan sebuah kesempurnaan?
Sebuah kesempurnaan yang sampai kapanpun tak akan bisa dimiliki karena ... bukankah tidak ada manusia yang sempurna di dunia sebab masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan?
Ah, tapi sekarang Yumna malas membahas begituan. Pasalnya dia sudah terjebak dalam sebuah pikiran lain.
Sebuah pikiran perkara; mungkinkah pada suatu saat nanti, aku bisa seberuntung Jukyung dan Go Ae Jin yang menemukan cinta sejati tanpa memandang bagaimana fisiknya aku?
***
Nabastala kian teriak. Angin berhembus cukup besar, satu-dua kali memberingsutkan anak rambut Yumna yang tengah berjalan pulang sekolah sendirian.
Rumahnya dekat dengan sekolahan. Itulah kenapa dia memilih berjalan kaki daripada naik sepeda ontel milik Taslim yang rantainya karatan, sudah tidak terurus dan teronggok bisu di garasi rumah sampai debunya tebal sekali.
Omong-omong tentang Taslim, lelaki 20 tahun itu adalah anak sulung di keluarga Yumna. Gadis yang mengklaim dirinya berkulit sawo bosok ini adalah anak tengah, adiknya bernama Masdar, masih umuran kelas 2 SMP.
Jika kalian tanya kakak dan adik Yumna itu juga berkulit sawo bosok, itu salah besar. Pasalnya mereka berdua justru berkulit kuning langsat. Mereka berdua bahkan berhidung mancung dan berbibir tipis, tingginya juga standar bagi para kaum lelaki Indonesia, tidak kependekan dan tidak ketinggian. Mereka berdua ganteng, good looking. Pokoknya bagaikan kopi pahit dan susu manis kalau dibanding dengan Yumna.
Aih, Yumna kadang merasa Tuhan begitu tidak adil. Di saat kedua saudaranya cakep-cakep, dia justru sebaliknya. Bahkan Taslim dan Masdar banyak banget yang suka, sampai-sampai pedekate dulu ke dirinya, sebagian cewek yang naksir 2 saudaranya sering menyogok dengan memberikan varian jajanan untuk menggali informasi tentang mereka berdua ke dia. Laris manis seperti baju-baju murah di Tanah Abang. Sedangkan dirinya? Nggak laku-laku.
"Kamu luka, Ceng," ujar Yumna pada kucing oren yang tubuhnya terluka. Dia berjongkok sembari mengamati luka kucing oren itu di pinggir jalan sembari sebelah tangannya mengelus kepala kucing agar tetap tenang. Kucing oren itu pastilah tengah menahan sakit di pinggiran perutnya yang terbaret luka, darahnya mengalir lamban, menodai bulu oren yang ada. Napasnya amat tak teratur hingga terdengar gerungan halus.
Masih di perjalanan pulang sekolah, saat melewati warung rames, Yumna malah mendapati tragedi kucing oren dilempar batu oleh Mamang pemilik warung rames. Dia tidaklah tahu bagaimana kronologi jelasnya. Dia hanya melihat Mang Tarjo marah-marah dengan menendang kucing oren, lalu melempar batu ke tubuhnya. Batu itu tidaklah besar, hanya seukuran genggaman tangan anak kecil, tetapi ujungnya runcing.
Tapi yakin sungguh yakin, kucing oren ini mengambil sesuatu di warung rames Mang Tarjo, mungkin ayam goreng atau ikan mujair, atau bisa juga malah tempe goreng. Analisisnya, Mang Tarjo naik pitam saat dagangannya itu berhasil diambil kucing oren, mengklam kucing ini sebagai pencuri, lalu adili dengan dilempar batu.
"Padahal kamu nggak tahu apa itu mencuri kan, Ceng? Yang kamu tahu sekedar berusaha cari makan," keluh Yumna. Hatinya didera rasa kesal pada Mang Tarjo, serta iba pada kucing oren yang kelaparan dan kesakitan. Manusia memang kadang begitu biadab, apa susahnya membagikan sedikit makanan untuk binatang yang juga makhluk ciptaan Tuhan? Kalau tidak mau berbagi, mbok ya setidaknya tidak usah menganiaya.
"Lukamu harus segera diobati, Ceng," jelas Yumna setelah dia akhirnya mengemban kucing oren itu. Dia sudah berdiri tegak, mengamati sekitar. Ekor matanya bergerak-gerak. Bertumpu pada sebuah toko di seberang sana.
"Toko Lokatraya? Sejak kapan ada toko itu?" Sebelah alis Yumna terangkat, mengamati dari kejauhan sebuah toko berbahan batu bata tanpa plester. Toko Lokatraya. Begitu tulisan besar yang tertera di dinding.
"Seingetku di sana warung seblaknya Teh Arum. Tapi ... "
Mendadak Yumna kehabisan kebendaharaan kata. Dia seperti orang lingkung kini setelah dipikir-pikir, seharusnya di petakan tanah toko asing itu adalah warung seblak Teh Arum. Dia paham betul, soalnya kemarin baru saja nyeblak bareng Siti sepulang sekolah, bahkan tadi pagi saat berangkat sekolah, masih berdiri tegak warung seblak Teh Arum di sana.
Kepala Yumna menengok kesana kemari. Mengamati setiap bangunan di sekitar, pedagang kaki lima, pohon palem, hingga tong sampah di pinggir jalan pertigaan tempatnya berada, semuanya tampak normal, ada pada tempatnya seperti biasa, hanya satu itu yang tidak; warung seblak, berganti toko asing nuansa warna terakota.
"Meong! Meong!"
Suara kucing oren membuyarkan pikiran Yumna yang mengawang keganjilan sekitar.
"Sakit ya, Ceng? Sebentar, aku cari bantuan," sahut Yumna sembari mengelus kepala kucing oren yang dipanggilnya Ceng, alias Koceng.
"Meong! Meong!"
"Pus! Pus! Pus! Sabar dulu, ya?" Sembari mengelus kepala kucing oren lagi, edaran mata Yumna kembali ke Toko Lokatraya yang entah menjual apa di sana. Dilihatnya pintu kayu toko itu tengah dibuka seseorang.
"Hei! Bawa kucingmu ke sini!" seru seorang lelaki yang barusan membuka pintu toko. Sebelah tangannya melambai ke arah Yumna.
Sekonyong-konyong, mendengar seruan itu, antensinya tertarik penuh pada Si Koceng, Yumna tidak ingat lagi akan pikiran petakan tanah di sana yang seharusnya warung seblak Teh Arum. Kucing oren adalah prioritasnya detik ini, harus segera diobati dan diberi makan.
"Meong! Meong!"
Meongan kucing oren membuat Yumna terburu-buru untuk segera beranjak pergi. Menyeberangi jalan menuju toko, di mana seseorang sudah bersedia membantunya di sana.
Nabastala masih saja terasa terik. Bahkan suhu pertigaan jalan di siang ini kian memanas. Asap mengepul tebal dari knalpot motor yang dimodifikasi sedemikian hingga bunyinya nyaring pekak saat melintasi jalan pertigaan, mempolusi udara sekitar, bahkan terdapat pejalan kaki yang batuk-batuk karenanya.
Yumna berhasil menyeberang. Langkah kakinya kian mengikis jarak ke toko itu.
Toko Lokatraya namanya. Toko yang secara misterius berada di atas petakan tanah warung seblak Teh Arum. Sebuah toko yang bukan sembarang toko. Karena toko itu menyajikan sesuatu yang amat berbeda dari toko-toko yang ada di muka bumi.
Toko Lokatraya. Sebuah toko yang kurang dari satu jam hendak menjadi perantara Yumna membeli sebuah paket menu yang dapat mengubah kehidupannya secara drastis dalam sekejap.
Sekejap ritme seseorang tiba-tiba bersin.
__________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro