
01. Mancungan Bibir daripada Hidung
Andai bisa jadi Si Cantik!
Gerutuan itu entah sudah ke berapa sekian kali dilontarkan Yumna saat meratapi dirinya yang jauh dari kata cantik.
Nasib menjadi cewek bukan berparas cantik dan pendiam, menanti ada sosok cowok menaksir dirinya saja harus berabad-abad.
"Ini buat kamu aja, Yum. Kayaknya Dodi deh yang ngasih kek beginian," cicit Siti dengan sebelah tangan menjulurkan sebatang cokelat Silverqueen.
Pagi-pagi, setelah selesai piket menyapu kelas, Siti menemukan harta karun di laci meja tempat duduknya. Sebatang Silverqueen dari Dodi, kelas sebelah yang menaksir Siti. Klepek-klepek banget Dodi dengan Siti, sekalipun ditolak mentah-mentah berkali-kali dari kelas 1 SMA, tapi selalu berusaha lagi dan lagi untuk mendapatkan cinta Siti hingga kini sudah kelas 2 SMA semester akhir, masih sibuk berjuang mendapatkan cinta Siti.
"Itu kan Silverqueen kesukaan kamu," jawab Yumna yang belum juga menerima uluran Silverqueen rasa matcha di tangan Siti.
"Iya, ini kesukaan aku. Tapi ini dari Dodi, aku nggak mau makan," jelas Siti, meraih paksa sebelah tangan Yumna yang menganggur di meja, menggenggamkan paksa tangan Yumna pada batangan cokelat itu.
"Kenapa nggak mau? Takut diguna-guna?"
Kedua mata Siti membulat.
"Nggak kok. Males aja kalo makan makanan pemberian Dodi, nanti dikira diem-diem suka," sangkalnya dengan cemberut, beringsut duduk di bangkunya yang berada di barisan paling depan dan paling pojok.
Siti memang tipikal jaim, tapi memang dia benar-benar tidak suka Dodi, dia sudah menaksir cowok lain. Cowok lain yang terlihat lebih sempurna dalam banyak hal dibanding Dodi yang sekolah saja langganan bolos.
Jika kalian membayangkan Siti jelek itu salah. Namanya memang Siti yang kadang malah ditemukan nama Siti menjadi bibi pembantu di novel-novel atau sinetron dan berparas pas-pasan. Dia juga bukan Siti selevel tukang jamu gendong yang cantik bohay bak gitar Spanyol seperti dalam FTV. Siti yang ini adalah Siti. Siti Binti Suherman. Siti yang hanya bernama Siti, tanpa nama belakang atau depan.
Tapi Siti yang ini juga cantik, tak kalah dengan kecantikan Siti pedagang jamu gendong di FTV. Bedanya, Siti sahabat Yumna tidaklah bohay bak gitar Spanyol, dia lebih langsing bak model-model yang berlenggak-lenggok di catwalk.
Satu napas dihempas Yumna. Dia pun bergegas duduk di bangkunya yang berada di belakang Siti persis. Mulai membuka bungkus cokelat sajenan pagi Dodi. Mengemilnya sembari ikut-ikutan polah Siti yang menatap keluar lewat pintu kelas yang terbuka lebar.
Satu batang cokelat sudah habis ditelan Yumna. Dia masih saja mengikuti alur Siti yang melamun. Ah, tepatnya bukan melamun, melainkan Siti sedang menunggu seseorang lewat.
Seseorang itu ... cowok yang ditaksir Siti.
Jadi rutinitasnya begini; setiap pagi saat sekolah tidak libur, Siti kerap berangkat lebih pagi daripada siswa-siswi lain di sekolah SMA Bumi Sakti, lantas dia duduk di kursinya sembari menatap ke luar pintu kelas, menanti cowok itu, namanya Karang, kakak kelas Siti.
"Ehem-ehem ...." Akhirnya setelah beberapa saat berlalu, Yumna mengeluarkan jurus mautnya meledeki Siti.
Karang akhirnya lewat juga. Lengkap mengenakan seragam putih abu-abu dengan gaya khasnya, di mana baju putihnya dikeluarkan sebagian dari celana abu-abu yang selalu saja bebal tidak diberi sabuk. Sepatu kets sekolahnya bertali merah. Tas gendongnya hanya diselempang satu. Rambut hitamnya agak berantakan, terkesan tidak rapi tanpa peduli sisiran, tapi justru membuat pesona sendiri untuknya.
Hanya dengan menatap Karang yang lewat saja lolos membuat jantung Siti mendadak senam. Ritme tubuhnya menegang dengan mencengkeram ujung rok abu-abunya saat Karang justru tiba-tiba berhenti di depan pintu kelasnya.
Pancaran mata Karang perlahan teratensi ke dalam kelas Siti. Menepuk sebelah bahu teman di sampingnya yang juga ikut-ikutan berhenti di depan kelas Siti.
Tampak Karang membisikkan sesuatu pada temannya itu yang agak gempal. Tak berselang lama, kedua netra temannya ikut melirik ke dalam kelas Siti. Mengamati sesuatu di dalam sana.
Lambat-lambat, kedua pipi Siti memanas. Dia yakin, detik ini, tatapan mata Karang tengah tertuju padanya.
Wajah Karang amat putih bersinar, hidungnya mancung, alisnya tebal, tatapan matanya tajam, bibirnya tipis.
Dan ... ada lesung pipit cukup dalam di sebelah pipinya. Siti berhasil menyaksikan pemandangan pipi berlesung kecil itu saat Karang tersenyum usai temannya berhenti mengamati, membisiki cowok itu kembali.
Sekonyong-konyong, perasaan Siti tidak karuan. Dia yakin lontaran senyum tadi itu untuknya. Pasalnya di kelas hanya ada dirinya dan Yumna. Tidaklah mungkin senyuman indah Karang justru dilontarkan untuk Yumna sahabatnya yang berparas amat biasa. Cowok sekeren dan sepopuler Karang jelaslah tidak akan tertarik dengan cewek modelan Yumna.
Ah, jantung Siti mau meledek. Dia malu-malu, berdalih membenahi poni rambutnya sembari menunduk.
Sedangkan, Yumna acuh tak acuh, terus memakan sisa batang cokelat. Melanjutkan menyaksikan pemandangan itu; kakel populer bernama Karang yang akhirnya bisa tersenyum juga ke Siti.
Momen yang diidamkan Siti datang. Setelah sekian lama memendam cinta dan tak berani mengungkapkannya dahulu, sinyal cinta tak bertepuk tangan akhirnya berhilal. Senyuman menawan itu jelaslah kode kalau Karang menyukai Siti.
Yumna menarik pandangannya.
Siti masih saja malu-malu kucing, tinggal berdalih menggaruk tengkuk lehernya yang tidaklah gatal.
Karang dan temannya berlalu, melanjutkan langkah menuju kelas mereka.
Ada bunga-bunga indah bermekaran yang singgah di hati Siti. Dia kembali menatap ambang pintu itu, bayangan momen Karang tersenyum tertinggal di sana, membuatnya bereuforia lagi.
Namun, sebaliknya dengan Yumna. Hati gadis pendek ini justru mendongkol. Bukan dongkol sebab senyuman Karang bukan untuknya. Bukan. Dia tidaklah menaksir Karang. Melainkan dia cemburu pada Siti. Cemburu karena begitu mudah cowok-cowok menyukai Siti karena Siti cantik. Sedangkan dirinya malah boro-boro. Selama 16 tahun hidup di dunia, dia tidak pernah merasakan bagaimana sensasi ditaksir cowok. Dia tidaklah cantik, juga pendiam. Tidak ada cowok yang tertarik padanya.
Bagaimanapun, Yumna masihlah gadis normal. Begitu pubertas, dia mulai merasakan ketertarikannya pada lawan jenis. Diam-diam menaruh rasa yang berbeda pada cowok. Diam-diam nyidam ditaksir cowok.
Yumna bukanlah tipe cewek yang bakalan berpacaran jikapun akhirnya ditaksir cowok. Pacaran saat masih sekolah bukanlah prinsip hidupnya. Dia tipe cewek quirkyalone yang lebih nyaman jomblo dan enggan membuat hubungan spesial dengan sembarang orang.
Sungguh, dia hanya sekedar ingin tahu bagaimana rasanya ditaksir cowok. Jika ada satu saja cowok yang menaksirnya, itu sedikit bisa mengobati rasa sebalnya pada diri sendiri perkara dirinya ini jelek dan tidaklah menarik.
Secara psikologis, mungkin mudahnya begini: kalau ada yang menaksir dia, berarti sebenarnya dia tidaklah jelek-jelek amat, menarik, dan laku.
Mendadak, dadanya Yumna menyesak. Lidahnya tidak lagi merasakan sensasi rasa cokelat matcha dengan baik.
Kadang dia malu memahami tentang kegilaannya itu yang ingin ditaksir cowok. Barangkali kalau saja teman-teman sekelasnya tahu, dia akan ditertawakan sedemikian rupa. Barangkali mereka akan riang mengolok; bahwa selama ini sosok Yumna yang terkenal lugu, polos, naif, ternyata lebay dan membuat ilfeel. Barangkali mereka akan bertepuk tangan riang dan bercie-cie, akhirnya sosok Yumna yang kaku suka juga ke cowok.
Batin Yumna tertawa, terbahak-bahak atas pikiran berlebihannya. Dia merasa dirinya amatlah menyedihkan dan norak. Dia benci dirinya, apalagi fisik yang dirinya miliki. Dia pendek, kulit sawo bosok, wajah terlalu biasa dengan--
"Yum, ternyata hidung sama bibir kamu, mancungan bibir kamu, ya?"
Suara lembut Siti di setahun lalu saat mereka berdua belajar bersama di rumahnya menggaung di ruang pikiran Yumna. Saat itu, dia kurang percaya dengan omongan Siti yang terlampau jujur soal fisiknya. Dia melongo sejenak, lalu mengatupkan mulut, bingung merespon apa, hingga memilih alternatif nyengir canggung sebagai tanggapan terbaik.
Kalian tahu? Sebenarnya Yumna amatlah sensitif perkara dikomentari soal fisiknya yang demikian. Tetapi dia memilih diam. Toh, kesaksian itu sungguh benar.
Dia tidaklah berhidung mancung layaknya Siti. Dia tidaklah memiliki bibir tipis layaknya Siti. Satu kesatuan itu, yang jika saja dilihat dari samping akan menampakan penampakan yang indah, apalagi dengan mode temaram, bakalan amat estetik. Tidaklah seperti dirinya yang berhidung pesek, bibir tebal, menjadikan jika dilihat dari samping pastilah mancungan bibir, tidak estetik, jelek.
"Yum, menurutmu Kak Karang mulai naksir aku nggak sih?"
Lamun Yumna buyar begitu Siti menengok ke arahnya. Wajah ayunya yang putih bersinar, semringah nian. Bibir tipisnya mengembang, memamerkan gigi putih rapinya yang mode gigi kelinci.
Perasaan Yumna tengah kacau. Dia malas menjawab begituan, tetapi dia penasaran tentang suatu hal.
"Gimana rasanya jadi cewek cantik, Sit?"
Itulah rasa penasaran Yumna.
Rasa penasaran yang bahkan sejak kecil sudah Yumna tanggung sedemikian.
__________________
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro