Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

The Stolen Name

.
.
.

The Stolen Name Fukuyama12,
singulari_tas, Niiflaaa

Genre:  Fantasy, Teenfict,  Friendship
.
.
.

"Finn, apa kau minggu depan sedang kosong? Jika iya, pergi temani aku beli buku, yuk!"

Seorang siswi dengan parfum berbau menyengat mendekat padaku, tidak hanya dia, ada beberapa temannya yang juga datang. Aku bisa mendengar siulan menggoda dan iseng dari teman-teman yang berada di sekelilingku. Aku menghela panjang dan menarik kembali tanganku yang ia tarik seenaknya.

"Aku ada janji minggu ini," ucapku.

"Benar. Finn akan menonton bioskop dengan kita!" sahut salah satu temanku. Gadis itu mendesah kecewa.

"Sebagai gantinya, aku berikan rekomendasi buku yang kamu inginkan. Kamu suka baca tentang apa?" lanjutku.

Gadis itu tiba-tiba memperhatikan layar ponselnya dan tertawa kecil dengan teman-temannya, lalu dengan cepat mengalihkan pembicaraan. "Ah, kau tahu tentang mitos yang akhir-akhir ini sedang terkenal?"

Aku mengernyit dalam dan memilih untuk kembali berfokus pada buku di tanganku daripada gadis yang tidak memperhatikanku. Mereka selalu saja berpura-pura menyukai apa yang kusukai hanya untuk mencari perhatianku.

"Anak perempuan suka sekali dengan hal seperti itu, ya?" ucap salah satu temanku menanggapi siswi asing yang masih tidak ingin melepaskanku. "Memangnya mitos tentang apa?"

Gadis itu mengernyit dalam. Sepertinya dia tidak suka dengan orang lain yang menanggapi perkataannya. "Ini hanya cerita mitos saja, sih. Kudengar ada fae yang berkeliaran di sekolah ini."

"Fae? Apa itu?"

Aku mengernyit. "Fae makhluk mitos yang itu?"

Aku bisa melihat mata gadis-gadis itu berbinar saat aku ikut dalam pembicaraan yang terjadi. Sepertinya tanpa sadar karena tertarik, aku jadi mengucapkan apa yang ada dalam pikiranku.

"Iya, iya! Fae yang mereka bilang bisa mengambil nama seseorang!"

"Apa itu bisa dipercaya?" Temanku menatap ragu pada siswi itu. Aku memang suka membaca cerita fantasi, tetapi aku sebenarnya tidak percaya jika mereka benar-benar ada. Itu di luar nalar manusia.

Drrt! Drrt!

Getaran pada ponsel mengalihkan perhatianku. Jam akan menunjukkan pukul dua belas  siang. Sudah waktunya, aku harus pergi dari sini sebelum terlambat.

"Kau mau ke mana?" Gadis itu masih tidak ingin melepaskanku.

"Ada yang harus kulaku ... kan."

Wajahku menoleh sepenuhnya pada lorong  di luar kafetaria yang hanya terpisahkan oleh kaca. Di sana, ada gadis berambut gelombang yang bergerak dengan lembut mengikuti langkah kaki pemiliknya, berjalan bersama dengan sekumpulan orang-orang yang juga sedang berusaha menarik perhatiannya.

Mata kami bertemu, sekilas aku bisa melihat matanya bersinar kehijauan menghipnotis diriku. Tak peduli dengan tarikan atau panggilan yang dilakukan oleh para siswi atau teman-temanku, aku berjalan keluar dari kafetaria.

Perasaan berdebar muncul tatkala aku bisa melihat punggung mungil itu yang semakin dekat setiap kali aku melangkah maju. Aku tidak membenci aroma khas yang tercium saat aku melewatinya.

Aku menahan perasaan rindu yang semakin membuncah saat aku benar-benar jauh dari sosok itu. Aku bukan sedang menghindarinya, tetapi sedang menunggu keberadaannya, di sebuah tempat di pinggir danau yang ada di WGAVers ini.

Tak lama setelah aku sampai, Anna, gadis yang menjadi alasan mengapa dadaku bergemuruh itu, muncul di belakangku.

"Maaf karena terlambat datang."

Alunan suaranya menggema di telingaku. Bagaimana mungkin aku tidak bisa memaafkannya setelah ia berkata seperti itu dengan wajah ayunya yang terlihat sedih.

"Yang terpenting adalah keberadaanmu," ucapku.

Dengan sedikit keraguan, tanganku bergerak menyentuh pipinya yang dingin dan sejuk. Perasaan aneh menyelimutiku saat Anna memejamkan matanya dan menikmati sentuhan yang kuberikan kepadanya.

Aku menelan ludah. Sudah beberapa hari ini aku menahan diri sejak berpacaran dengannya. "Aku ... apa aku boleh menciummu?"

Menahan debaran gugup, aku menunggu jawaban dari gadis yang baru saja membuka kelopak matanya. Matanya mengerling ke arahku, membuatku gemas saat melihatnya.

"Apa yang akan kamu berikan padaku sebagai gantinya?"

"Gantinya? Akan kuberikan segalanya padamu."

"Segalanya?"

Badan kami saling mendekat. Ia tidak menolak saat aku mengangkat wajahnya agar bisa semakin dekat denganku.

"Iya, segalanya," bisikku.

Bibir kami bertemu dalam sebuah kecupan singkat yang tidak membuatku puas. Kami berciuman dua kali. Bukan ciuman panas, hanya ciuman ringan agar menenangkan  perasaan menggebu yang ada dalam diriku.

Di sela-sela itu, aku membuka mata, kupikir aku sedang berhalusinasi karena perasaan cinta ini. Dalam samar-samar penglihatanku, aku melihat sosok yang berbeda. Rambutnya yang berwarna seperti pasir berubah menjadi merah dan telinga yang ada dalam genggamanku terasa lancip.

Namun, aku mengernyit dalam saat melihat sosok yang lain. Itu bukan Anna yang tadi kusentuh, dia juga bukan gadis berambut merah yang samar-samar, melainkan sosok berambut hitam gelombang yang dipotong belah samping, yang tingginya sama denganku.

Tentu saja sama. Karena sosok yang berdiri itu, adalah diriku. Aku melihat diriku tersenyum licik padaku. Aku menunduk, menatap tangan yang berubah menjadi tembus pandang. Aku melihat Anna ada dalam pelukannya, matanya yang tadi bercahaya berubah kosong seolah-olah tidak memiliki nyawa.

"Akhirnya aku mendapatkan tubuh ini," ucapnya dengan suara yang familiar di telingaku.

"Apa .. yang kau lakukan?" tanyaku tidak percaya.

"Aku selalu mengincar nama dan tubuhmu. Akhirnya aku mendapatkannya."

Sosok yang menyerupai diriku itu memindahkan Anna yang tidak sadarkan diri pada punggungnya. Ia berjalan pergi mengabaikanku yang masih tertegun.

"Kembalikan tubuhku!" Meski aku berteriak, ia tetap tidak menoleh.

Kedua kakiku serta merta bangkit, nyaris berpacu mengejar, jika saja sebuah seruan terkesiap tepat di belakangku tak mengagetkanku hingga terjatuh.

"Ya ampun, dia juga mendapatkanmu?!"

Aku ... aku kenal suara itu.

Berbalik segera, dan di sanalah ia, Anna, menatapku dengan bola mata lebar membuka.

Kuakui emosi nyaris merenggut akal sehatku. Aku hampir saja berderap mendekat padanya, menudingkan telunjuk sembari berteriak-teriak, menuntut kebenaran atas hubungan kami dan hatiku yang entah lebih dilukai oleh wujud fisikku yang mendadak direnggut orang lain atau wacana bahwa perasaan cinta Anna barangkali bohong.

Fakta bahwa aku baru saja menyaksikan tubuh kolaps gadis itu dipapah pergi oleh sesuatu berwujud serupa diriku, juga "Anna" kedua yang berada di hadapanku ini tampak memudar layaknya hologram, dan seluruh badanku yang kini rupanya bernasib serupa, memaksa otakku mengambil jeda.

Ada apa ini sebenarnya?

Kepanikanku barangkali mengemuka dengan sangat jelas, karena Anna ini mulai menjelaskan yang lebih simpatetik.

"Rumor itu benar. Apa kau, sengaja atau tidak, pernah berkata sesuatu pada ... pada 'diriku' yang secara tidak langsung memberi-'ku' izin untuk mengambil identitasmu?"

"Apa? Tentu saja ti—" Wajahku segera memanas. "Kubilang akan kuberikan segalanya ...."

Anna mendesah frustrasi. "Laki-laki dan gombalannya."

"Memangnya kenapa? Aku suka padamu, oke?" Kugigit lidahku sendiri. "Nya! Aku suka pada-'nya'. Siapa pun itu yang berada dalam tubuhmu ... yang sekarang berada dalam tubuhku juga."

Hanya aku atau wajah pudar Anna tampak agak merah?

"Tentu saja kau suka, Fae itu karismatik. Dan sebelum sialan itu mencuri nama orang lain lagi, kita harus mengambil kembali milik kita."

Aku masih tak yakin dapat memercayai semua ini, tetapi lebih baik beraksi daripada hanya berdiam diri.

"Oke, bagaimana caranya?"

Dengan senyum miring, Anna menunjukkan sesuatu yang tak kusadari sedari tadi ia genggam. Seutas panjang rantai sepeda. Huh?

"Um, oke?"

Anna mengacungkan senjatanya dengan bangga. "Besi, kautahu, mereka bilang Fae lemah terhadap besi. Sudah kucari-cari berminggu-minggu dan hanya rantai ini yang bisa kupegang dengan tubuh lembek ini. Ya, jangan kaget begitu. Wujud fisikmu sudah dicuri, wujud fisikku kini tinggal tubuh tanpa jiwa, sekarang kau dan aku hanyalah kumpulan ide dan mental yang tertinggal."

Gadis itu menikam perutku dengan telunjuknya yang menembus masuk hingga pergelangan tangan. Rasanya sangat tidak menyenangkan. "Tidak banyak yang dapat kausentuh kalau dirimu secara harfiah hanyalah konsep abstrak."

Semua itu terlalu banyak untuk diserap, jadi kutanyakan satu-satunya hal yang kumengerti. "Mereka? Siapa itu mereka?"

Anna memandangiku seolah aku sangat bodoh. "Lihat ke sekelilingmu. Ya ampun."

Dan di sanalah baru kusadari. Awalnya memang sulit untuk dipandangi, tetapi jika aku berkonsentrasi, dapat kulihat belasan (puluhan?) figur transparan gelap mengelilingi kami.

Apa ... apa nasibku juga akan seperti itu? Memudar, menghilang, dan tak terlihat.

"Akan kurebut kembali." Gumaman Anna mengembalikan fokusku. "Hidupku tidak sempurna, tapi itu tetap hidupku. Punyaku." Ia menyodorkanku ujung rantai sepeda. "Ayo rebut kembali."

***

Mentalku nyaris terpecah lagi ketika kami menyelusuri koridor sekolah mencari keberadaan Fae. Orang-orang benar-benar tak menyadari kehadiran kami, salah satu teman sekelasku bahkan hampir menembus melewati tubuhku.

Tak dihiraukan. Tak eksis. Rasanya sangat tidak enak. Aku tak habis pikir bagaimana Anna dapat melewati ini semua berminggu-minggu lamanya dan tetap waras?

"Bagaimana dia mencuri namamu?"

Anna terdiam.

"Dia bilang, dia ingin punya teman dan merasakan banyak kehidupan. Kupikir keluarganya tak utuh seperti keluargaku, jadi kubilang kehidupan kami ditukar pun tidak akan ada bedanya, dan dia boleh saja mencicipi jika ingin." Ia meringis. "Dia benar-benar melakukannya—"

Ucapan Anna dihentikan mendadak oleh gemuruh yang menggema silih berganti di sekitarku. Butuh sepersekian detik bagiku untuk menyadari bahwa itu berasal dari mereka-mereka yang telah direnggut namanya, tepat di belakang kami. Sementara di depan sana, pada pintu UKS sang pencuri berdiri terkesiap memandangi kami.

Anna-lah yang pertama bergerak, ia melesat menubruk perut Fae, membuat mereka berdua terjungkal masuk ke ruangan. Aku agak terlambat, menyusul sekuat tenaga menutup pintu dengan tangan fanaku.

Dapat kulihat betapa lincah si Fae ini, tetapi kami punya senjata rahasia. Sementara Anna mengungkung Fae dalam tindihan tubuhnya, kubelenggu segera kedua tangan sang peri dengan rantai. Mata palsuku yang beriris merah menatap nyalang padaku, sementara Fae menggeliat. Kurasa besi memang kelemahannya.

"Kembalikan!" Anna meraung. "Itu bukan punyamu!"

"Tidak tahu diri!" Fae meludah, suaranya kini bukan suaraku, melainkan menyerupai kumpulan banyak orang yang berbicara dalam waktu bersamaan. "Kalian pikir hanya kalian yang boleh menjejakkan kaki di bumi, hidup dan memiliki nama. Jadi kenapa aku tak bisa?!"

Barangkali aneh menyatakan ini, tetapi ... entah bagaimana dapat kurasakan adanya keputusasaan di sana.

Katanya Fae tak pernah berbohong.

“Hentikan!”

Aku menoleh, ia berhasil mengalihkan perhatianku sementara. Entah siapa dia yang pasti dia sedang memakai pakaian kuno.

“Biarkan dia bebas. Aku berjanji akan membawanya pergi asalkan kalian merelakan apa yang sudah Fae lakukan sebelumnya.”

Anna berontak. Di kala Fae akan lenyap, mengapa dengan seenaknya berkata begitu?

“Tidak, dia merugikan banyak orang! Kamu siapa? Jangan meracau,” ungkap Anna dengan sarkas.

Tatapanku kembali ke tubuh tanpa jiwa yang sudah terjebak dalam kungkungan dunia tak kasat mata.

“Aku adalah teman dekat Fae sekaligus orang pertama yang menjadi korban dari semua ini.”

“Jadi, apa maksudmu?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Tenang. Jangan gegabah. Aku sudah ikhlas dan merasa kasihan. Sebab, Fae terus-terusan mencari korban.” Tatapannya  kini beralih ke pemilik nama yang berada di ambang kematian. “Berhenti mengambil nama orang lain dan terimalah wujud aslimu, Fae. Pulang, dan aku berjanji akan menjadi temanmu selamanya di sana.”

Perkataan itu menimbulkan getaran hebat lalu disusul seberkas cahaya yang tiba-tiba saja menyilaukan mata, membuatku menyilangkan kedua tangan berusaha melindungi mata dari terpaan cahaya.

“Baiklah. Aku meminta maaf dan perlu kalian ketahui bahwa aku senang melihat kehidupan manusia yang penuh warna.”

Aku tertegun saat melihat lebam tipis akibat pertengkaran ini perlahan memudar. Pantulan cahaya itu semakin bersinar lalu berhasil memecahkan diri menjadi sebuah kepingan-kepingan kecil hingga para arwah pun kembali ke tubuhnya masing-masing, termasuk aku dan Anna.

Di detik itu juga aku langsung terbangun dengan embusan napasku yang tersengal. “Apa itu tadi?” Kemudian aku mengulurkan tangan, melihat lebam yang ada di tubuhku setengah sembuh lalu perhatianku teralihkan saat sebuah spidol melayang ke jidaku hingga membuatku mengadu kesakitan.

“Finn! Pergi ke kamar mandi! Lain kali jangan tidur sewaktu pelajaran dimulai.” Lalu disusul suara teriakan yang membuatku bak orang linglung yang sedang tersesat. 

Entah, ini mimpi atau nyata tapi yang pasti sekarang aku sedang mengamati ruangan, menatap wajah-wajah temanku yang sedang menjadikanku pusat perhatian.

Tamat.

***

Jangan lupa meninggalkan jejak

Minggu, 9 Januari 2022.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro