Salim 1692
(History, horor, thriller)
.
.
.
Salim 1692 singulari_tas Fukuyama12 Niiflaaa
.
.
.
"Eh? Ke mana semua orang?"
Bersamaan dengan celetukkan Fae O'Cleirigh; Finn Richardson dan Annabeth Ethelyne, turut menoleh mencari fedora jingga guru sejarah berikut rombongan teman sekelas mereka yang tak lagi tampak di mana-mana. Museum kini hanya menyisakan artifak-artifak pada dinding dan lapisan kaca, serta lalu lintas pengunjung yang mulai menyepi.
Finn menengok jam tangan, yang segera membuatnya memukul dahinya sendiri. Sarkofagus raksasa di hadapan mereka rupanya terlampau menyita waktu daripada yang mereka duga. Menyadarinya, berlarilah tiga siswa-siswi tersebut sembari merapikan notes masing-masing ke dalam ransel.
Sambil terus mengutuk pada setiap langkah, tentu saja.
"Sial, sial, sial."
"Kenapa tidak bilang sudah lewat tiga puluh menit?" kata Finn, satu-satunya lelaki dalam kelompok tersebut.
Yang segera membuat Fae mendelik padanya. "Kau yang bawa jam tangan."
"Ponselmu, kan, punya jam juga, Clery!"
"Aku sedari tadi sibuk mencatat tugas karyawisata kelompok kita, Richard!"
Tipikal persahabatan mereka, ketika Fae dan Finn-dua individu dalam dua ujung spektrum yang berbeda-mulai berdebat, Anna-lah yang akan meredakan suasana. "Sudah, sudah. Aku yang terlalu terpana dengan hiegrolif di sarkofagus itu sampai-sampai lupa ingatkan kalian."
Yang serta-merta membuat Fae dan Finn serempak menyanggah habis-habisan. "Tentu saja bukan salahmu."
Anna tertawa kecil, bertanya dalam hati bagaimana gerangan dua temannya yang nyaris selalu bertikai dalam setiap kesempatan ini bisa begitu kompak. "Grup kelas bilang tempat pertemuannya di gerbang museum sebelah kanan."
Finn meneliti pamflet museum yang ia keluarkan dari sakunya. "Ada jalan potong. Lewat sini."
Mengikuti Finn, dua siswi tersebut menikung masuk pada sebuah ekshibisi besar bertuliskan Salem Witch Trials, pameran dengan penerangan begitu redup hingga Fae, Finn dan Anna tak dapat melihat ke mana ruangan tersebut berujung.
Memperhitungkan waktu yang telah sangat terlambat, ketiga sahabat tersebut saling tatap, kemudian sepakat tanpa suara untuk berpencar mencari jalan keluar.
Fae mengambil jalur barat, berpikir dengan bentuk ruangan bujur sangkar-seperti tergambar pada peta di pamflet-salah satu dari mereka bertiga pasti akan menemukan letak pintunya.
Sumber pencahayaan pada ekshibisi ini hanyalah lampu redup yang terpasang pada masing-masing artifak dalam selimut kubus kaca. Fae mendapati bohlam paling terang berasal dari sebuah replika batu nisan yang memiliki tulisan berukir.
GILES COREY
DITINDIH BATU HINGGA MATI
SEPT. 19, 1692
Bulu pada tengkuknya seketika berdiri. Ia pernah menonton video tentang ini, perburuan penyihir di kota Salem zaman dulu, ketika para penduduk dituduh mempraktikkan sihir lalu digantung hidup-hidup. Namun, ia tak pernah tahu ada pula yang dieksekusi dengan ... cara seperti ini. Bahkan namanya terdengar maskulin, para pria pun tak lepas dari ketidakadilan perburuan penyihir.
Melangkah lebih dekat, Fae juga mendapati adanya lukisan hitam putih, mendeskripsikan proses eksekusi tersebut.
Seorang pria paruh baya-bukan, lansia bahkan, dibaringkan dan diapit dalam dua papan kayu persegi, di mana lusinan batu dua kali lipat lebih besar daripada kepala manusia ditumpuk bertingkat-tingkat di atas perutnya. Sekelilingnya ramai oleh orang-orang, momen penyiksaannya dijadikan tontonan.
"Giles Corey."
'Lebih.'
Fae tersentak, "H-huh?"
'Lebih lagi.'
Gadis itu menelan ludah, telinganya berdenging. "Halo? Suara siapa itu?"
'Lebih banyak batu lagi.'
***
Teman-teman pelautku pernah bercerita tentang pengalaman tangan mereka yang dimutilasi ketika dokter kapal kekurangan anestesi. Rasa sakit yang membuncah begitu hebat hingga pada titik di mana kau tidak akan merasakan apa pun. Bahwa lenganmu kini hanya tungkai tumpul tanpa telapak tangan.
Aku berdoa pada yang Mahabesar agar saat tersebut tiba, tetapi tak kunjung datang juga.
Tak pernah tahu bahwa dipotong tanpa bius bahkan tak semenyakitkan ditekan bongkahan batu. Rasa lapar yang mengiris-iris lambungku, hasil tiga hari terbaring hanya diberi air dan roti, bahkan tak dapat kurasakan lagi, tenggelam dalam hempasan ombak yang lebih tinggi.
Barangkali karena aku tidak lagi memiliki lambung? Telah pecah berurai bersama isi perutku yang lain?
Gambaran tersebut terlampau lucu hingga aku tertawa. Mengeluarkan lidahku, bahkan. Dapat kurasakan ujung tongkat inspektur mendorong lidahku masuk kembali ke dalam mulut.
"Tidak ada yang lucu dari pertanyaanku, Pak Tua! Kita sudah tiga hari di sini, jadi kutanya sekali lagi, apakah kau seorang penyihir?"
Pertanyaan ini lagi. Aku sudah sangat muak. Pada tetanggaku yang menuduhku dan istriku. Pada hakim-hakim yang mengetuk palu. Pada pemerintah yang berpura-pura buta dan bisu.
Jika aku tak mengaku bersalah, mereka tak akan percaya. Istriku dan aku akan digantung, tanah dan rumahku akan disita, anak-anakku akan yatim piatu dan jelata. Jika aku mengaku bersalah, aku dan istriku barangkali tak akan digantung, tetapi tanah dan rumah kami tetap akan direbut atas nama penyelewengan akidah. Anak-anakku tak akan bahagia. Aku pun harus mengakui kejahatan yang tak kulakukan dan bahkan wajib menuduh orang lain agar bebas dari hukuman.
Orang lain yang-tak hanya dirinya, tetapi juga seluruh keluarganya-akan bernasib sama denganku.
Persetan.
"Lebih!" kikikku, "lebih banyak batu lagi!"
Wajah inspektur semerah tomat kini, ataukah pembuluh darah di mataku yang sudah mulai pecah? "Terserah kalau itu maumu. Prajurit!"
Seretan roda gerobak dan langkah kaki membentur telingaku. Namun, tak kudengar semua itu. Gelak tawaku mengubur segalanya.
"Lagi! Lebih lagi! Lebih banyak batu lagi!"
***
Fae O'Cleirigh jatuh terduduk. Dahi, kerah dan telapak tangannya lembap oleh keringat. Ujung rambut merahnya bahkan melengket di wajah, basah sepenuhnya.
Gadis itu segera bangkit, membabi buta menggapai kubus kaca artifak tempat replika makam berada. Mata hijaunya menyala dalam pantulan bohlam, menelusuri apendiks pada kertas laminating.
'Kematian Giles Corey tiga hari sejak eksekusinya dimulai membuat masyarakat dan sebagian kubu hakim mulai mempertanyakan moral dari perburuan penyihir ini. Hingga akhirnya mereda dan berangsur-angsur berhenti pada tahun berikutnya.'
Fae mengembuskan napas, tak sadar sedari tadi menahannya. Setidaknya dengan segala penderitaannya, Giles Corey berhasil mengamankan warisan untuk anak-anaknya dan bahkan turut andil dalam penghentian mimpi buruk berkedok perburuan moral akidah ini.
Sementara Anna. Bukannya mencari jalan keluar, ia malah menemukan sesuatu yang menyita perhatiannya.
Malleus Maleciferum.
Sebuah buku panduan berburu penyihir.
Mata Anna terpejam. Ikut merasakan penyiksaan yang dialami oleh para korban.
Kemudian matanya terbelalak saat ruangan dengan desain bangunan kuno menyambut pupil matanya hingga derap langkah seseorang membuatnya gelagapan mencari tempat persembunyian.
Betapa kagetnya Anna saat melihat tubuh seseorang sedang meronta-ronta sambil menarik tali di lehernya sedangkan kedua kaki pria itu sudah tidak menyentuh lantai.
"Sudah saya katakan bahwa saya bukan penyihir."
Pria itu melotot bahkan beberapa kali Anna harus menutupi mulutnya sendiri agar tidak berteriak histeris, akibat pemandangan yang ada di hadapannya.
Retina Anna bahkan mendadak melebar saat menyaksikan wajah pria itu sudah berubah warna menjadi ungu kemerahan, sedangkan busa halus dan liur terlihat mengucur di sudut bibirnya. Lidahnya pun juga ikutan menjulur keluar. Namun, tubuhnya masih meronta-ronta, berayun kian kemari.
Kemudian terlihat pria itu kehilangan fungsi otot. Gerakan pernapasannya perlahan turun dan berhenti pada menit selanjutnya.
Selama hampir tiga abad Malleus Maleficarum (The Witches' Hammer) adalah manual profesional untuk pemburu penyihir. Karya dua Inkuisitor paling terkenal pada zaman ini masih merupakan dokumen kekuatan kepercayaan zaman itu. Di bawah Banteng Paus Innocent VIII, Kramer dan Sprenger mengungkap ajaran sesat dari mereka yang tidak percaya pada penyihir dan menetapkan tatanan dunia yang tepat dengan setan, penyihir, dan kehendak Tuhan.
Aturan formal untuk memulai proses peradilan ditetapkan: bagaimana hal itu harus dilakukan dan metode pengucapan hukuman; kapan harus menggunakan uji coba dengan besi panas; bagaimana seharusnya jaksa melindungi dirinya sendiri; bagaimana tubuh akan dicukur dan mencari tanda dan jimat, termasuk yang dijahit di bawah kulit. Seperti yang dikatakan Summers, itu adalah buku kasus di meja setiap hakim.
Iya, Malleus Maleciferum berisi beragam teknik penyiksaan dan pembunuhan seperti digantung dan dibakar hidup-hidup untuk berburu, menginterogasi dan membunuh terduga penyihir.
Kemudian Anna berbalik. "Sihir itu jahat."
"Sihir itu membuat perjanjian formal dengan setan."
Suara itu tiba-tiba saja menggema di gendang telinganya, hingga membuat tubuh Anna tersentak saat Fae sudah berada di hadapan. Menatapnya dengan sorot kekhawatiran.
"Ann, are you okay?" Anna masih mencoba menetralkan pernapasan. "Aku mendengar kamu berteriak lalu kuputuskan untuk mencari keberadaanmu, dan ternyata kau di sini."
Masih dengan keringat dingin yang menetes, Anna berusaha mengembalikan kesadaran. Ia menoleh pada objek yang terbungkus kaca itu lalu kembali menatap Fae. "Oh-ya. Aku baik-baik saja."
"Ayo kita cari Finn!"
Kemudian perlahan mereka melangkah menjauhi tempat itu sedangkan Anna masih terfokus menatap Malleus Maleciferum dengan sejarah di baliknya.
***
Ada angin dingin yang membelai tengkuk Finn, membuat seluruh badannya bergetar kecil karenanya. Suasana ruangan ini memang sedikit aneh, apalagi hanya ada tiga orang yang sedang menempatinya. Pemuda itu menoleh pada tulisan yang tertempel di dinding, yang disinari oleh lampu kuning hangat.
"Aku memohon pada kehormatan Anda, bukan untuk hidup saya sendiri
Aku tahu jika aku harus mati dan waktuku sudah ditetapkan tapi ...
Jika mungkin, aku harap tidak ada lagi pertumpahan darah bagi orang-orang yang tidak bersalah."
Di situ tertulis jika kalimat tersebut diambil dari petisi yang ditulis oleh Mary Esty sekitar tahun 1692.
Dari ratusan tulisan yang ada di tempat ini, Finn sadar jika seluruh korban dari praktek pemusnahan penyihir adalah orang-orang yang tidak bersalah.
Ada sesuatu yang menarik seluruh indera Finn saat ia menoleh dan mengamati selembaran tua yang terpajang dalam etalase kayu. Hanya ada kaca yang membatasi benda itu dari dunia luar yang kejam, yang sudah membunuh pemiliknya dengan cara yang keji.
Jari Finn semakin mendekat perlahan, hingga berhasil menyentuh permukaan kaca yang dingin. Namun bukan hanya jarinya saja yang membeku, ia merasakan sebuah listrik statis terasa menusuk di ujung jari Finn. Namun, bukannya menarik tangan atau mengumpat seperti yang biasa dilakukan, Finn justru mematung. Di depannya, seolah-olah ada sebuah bayangan yang lewat secara cepat. Finn memejamkan matanya, mencoba menghilangkan rasa pusing yang tiba-tiba menghampiri.
Suara teriakan nyaring yang mendengung dalam telinganya terasa nyata, suara tangisan dari beberapa orang yang ditahan agar tidak melangkah maju. Lalu yang terakhir, tampak jelas dalam penglihatan Finn, seorang wanita paruh baya, yang tersenyum sendu menatap dunia.
Di mana ini?
Finn mengernyit kebingungan, pada desa di mana tidak ada satu mobil pun yang lewat. Tanah-tanah kosong terlihat di beberapa tempat, dan model rumah-rumah yang ada di sini tidak terlihat baru. Pakaian-pakaian yang dikenakan oleh orang-oarng sangat kuno, seperti film bertema abad pertengahan.
"Sudah kubilang, ibuku bukan penyihir!"
Finn menoleh cepat pada suara yang terdengar secara jelas itu. Seorang pemuda yang jauh lebih tua darinya menatap Finn dengan sedih, membuat perasaan yang sama muncul padanya.
"Jadi dia benar-benar penyihir?"
Finn mencoba menemukan suara itu, dan ia mendapati ibu-ibu yang menatapnya sembari berbisik dengan suara keras yang bahkan ia sendiri bisa mendengarnya.
"Padahal dia sangat rajin ke gereja. Aku tidak menyangka dia seorang penyihir."
Keringat dingin menetes meski jantung Finn berdetak kencang. Ia menelan ludahnya ketakutan. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini. Semua orang menatapnya dengan takut, marah, benci, dan hal negatif lainnya. Satu-satunya tatapan sedih adalah dari orang-orang yang memanggil Finn dengan sebutan 'Ibu', meski ia seorang pemuda tujuh belas tahun.
Batu-batu yang terlempar ke arahnya tak juga membuat Finn sadar, matanya memerah karena darah yang mengucur dari dahinya, belum lagi rasa nyeri saat benda padat itu mengenai sekujur tubuhnya. Orang-orang yang menatap dengan membawa obor di tangan, seolah-olah hendak membakarnya.
Tiba-tiba tempat berubah, menjadi sebuah ruangan gelap dan hanya ada jendela kecil yanag menjadi sarang cahaya untuk menyelinap masuk. Tempat ini terasa membeku, belum lagi borgol yang juga terasa dingin di kakinya. Finn rasa ia hanya diam, tetapi apa yang ia lihat sekarang adalah tangannya yang sedang menulis di sebuah kertas lusuh, dengan tulisan asing berbahasa kuno. Namun, kertas itu terlihat seperti benda yang terpajang dalam etalase kayu itu.
Pemandangan berubah, sebuah pusat kota yang ramai dan dipenuhi oleh puluhan kepala yang hanya memandang dirinya. Sorak-sorakan untuk segera menyelesaikan hukuman terdengar, dan Finn lagi-lagi menjadi tokoh utama dalam kejadian ini.
Tali rami yang tebal menggantung di hadapannya, seolah bersiap untuk menyambut lehernya. Finn takut, ia belum siap untuk mengakhiri hidupnya, tetapi orang-orang di belakangnya terus mendorongnya. Bersamaan dengan itu, ada perasaan kosong dalam hatinya, seolah menerima semua takdir yang tertulis.
Simpul itu bergerak mengalungi lehernya, Finn menunduk, menatap papan kayu yang ada di bawah kakinya. Tangan orang yang memberi aba-aba itu masih terangkat, lalu bergerak memotong angin, bersamaan dengan papan kayu yang bergerak turun.
Pijakan Finn sudah hilang dan ikatan itu memeluk erat leher, tidak membiarkan udara masuk ke dalam hidungnya.
Hah!
Finn membuka mata, kesadarannya kembali dan ia melihat tangannya masih menyentuh kaca yang dingin. Ia menarik jari, lalu menoleh pada kedua temannya dan berjalan ke arah mereka, masih dengan jantung berdebar.
Apa yang kulihat tadi?
"Hey, bagaimana kalian bisa masuk ke sini?" Seorang pria tua berambut abu-abu dan berjenggot mendatangi mereka, pakaiannya rapi berdasi. Ia terlihat berwibawa dari caranya berbicara.
"Kami ingin kembali, tapi pintunya tiba-tiba hilang," jelas Fae, entah pria itu akan percaya atau tidak. Wajahnya terlihat pucat akibat apa yang baru saja terjadi padanya.
"Benarkah? Beberapa pengunjung sering bercerita seperti itu, tetapi aku tidak pernah mengalaminya. Padahal pintu masuknya juga besar," ucap pria itu.
Ketiganya menoleh pada dinding di belakang pria berjas, memang benar ada pintu keluar di sana, padahal tadi mereka hanya melihat dinding kosong.
"Yah, mungkin mereka hanya ingin menunjukkan akhir hidup mereka yang kelam," ucap Anna.
Finn menoleh padanya. "Kau melihat sesuatu? Aku tadi juga tiba-tiba merasakan hal aneh."
Anna mengangguk. "Saat aku menyentuh salah satu benda, tiba-tiba saja aku bisa melihatnya bergerak, seolah-olah sedang menunjukkan sesuatu padaku."
"Aku juga, tiba-tiba saja aku seperti sedang merasuki tubuh pemilik dari benda yang kusentuh," cerita Fae.
"Kudengar setiap benda memang meninggalkan memori dari pemiliknya, seperti benda sakral. Mungkin mereka memang ingin memberitahu kita jika mereka sebenarnya tidak bersalah. Mary Eastey juga menulis hal itu, berharap agar tidak ada orang tak berdosa yang tiba-tiba saja dihukum," ucap Finn.
"Mungkin saja, tapi yang penting adalah, kita bisa keluar dari tempat ini."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro