Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 29

Suasana tegang sisa semalam masih terasa hingga pagi hari ini, ketiganya tidak ada yang membuka suara sampai Safira menyediakan sarapan. Seporsi nasi goreng sudah tersedia di hadapan masing-masing, tetapi belum ada yang tergerak untuk memakannya. Bram masih sibuk dengan ponsel, Safira memainkan ipad, dan Salsa hanya melihat keduanya.

"Sal, mama udah minta temen buat ngajarin kamu dasar-dasar di kedokteran. Kalau udah selesai ujian kamu langsung belajar sama dia," celetuk Safira.

Walaupun nasi goreng adalah makanan favoritnya, seketika itu pula nafsu makan Salsa hilang. Bahkan, sesuap pun belum ada yang masuk ke perutnya. Kesabaran gadis itu sudah melampaui batas, kedua tangannya terkepal erat di bawah meja.

"Mama egois! Aku capek, Ma. Hidup aku diatur ini itu, kebebasan aku terengut. Aku udah turutin semua yang kalian mau dari kecil sampai sekarang, mungkin di masa depan juga. Aku bukan boneka yang bisa kalian mainin, aku punya perasaan dan keinginan. Ada mimpi yang pengen aku raih, tapi kalian buat aku gak bisa wujudinnya. Aku juga pengen main kayak cewek-cewek seumuran, jalan-jalan bareng, banyak yang mau aku lakuin tapi kalian larang."

Gadis itu mendorong kursi makan dengan kasar, ia berdiri dan menatap kedua orang tuanya dengan mata berkaca-kaca. Salsa sudah tidak sanggup, emosinya saat ini tidak bisa dikontrol. Walaupun begitu, ia tetap tak menaikkan nada bicara.

"Mama sama papa nyuruh aku belajar, belajar, dan belajar. Kalian pikir otak pusing. Setiap aku sakit yang disalahin pasti diri aku sendiri, padahal itu gara-gara kebanyakan belajar. Aku drop, aku stress, kalian gak pernah tahu itu, kan?" tanya Salsa dengan air mata yang perlahan mulai mengalir di pipinya.

Sebelum melanjutnya, Salsa menarik napas terlebih dahulu. Tangisnya melirih dan tersedu-sedu, tetapi masih tetap berusaha mengunykapkan apa yang dirasakannya. "Dalam pikiran kalian itu cuma ada nilai, prestasi, dan sesuatu yang bisa dipamerin ke orang lain. Aku gak mampu buat itu, tapi mama sama papa terus maksa. Kalian tahu, aku selalu nyalahin diri sendiri gara-gara gak bisa kayak Kak Rachel. Mama pikir aku gak mau sukses kayak kakak? Aku mau, tapi gak gini caranya. Aku mau sukses dengan cara aku sendiri," ungkap gadis itu menggebu-gebu.

Melihat Salsa yang mulai tidak terkontrol, Bram ikut berdiri, lalu disusul oleh Safira. "Salsa, jangan kurang ajar kamu sama orang tua!" bentak Bram.

Namun, teguran tersebut sama sekali tidak dihiraukan oleh Salsa. Ia masih belum puas, masih ada yang ingin disampaikannya. Gadis itu kembali melanjutkan, "Aku juga tahu kalian nyuruh les, sekolah, dan segala macam demi kebaikan masa depan aku, tapi semuanya keterlaluan. Jangan mentang-mentang aku nurut terus, bukan berarti aku gak bisa berontak!" Nada suaranya semakin meninggi, ia benar-benar sudah hilang kontrol.

"Papa bilang aku kurang ajar, tapi apa papa pernah ngerasain kayak aku? Dituntut, dibanding-bandingin, dipaksa, gak pernah didengerin, diatur, dan masih banyak lagi. Aku capek, Pa," teriak Salsa.

Ia sudah tidak peduli dengan sopan santun, Salsa ingin kehidupannya berubah. Jika hanya diam dan menuruti terus, gadia itu tak yakin pencapaiannya nanti bisa murni memberikan kebahagian.

"Oke, kalau kalian mau aku masuk kedokteran. Aku terutin, belajar sebelum masuk kuliah juga aku turutin. Tapi apa bisa, kasih waktu aku bernapas sebentar aja?" tanya Salsa pada Safira. Wanita berdaster itu tidak mampu menjawab, tubuhnya terpaku ketika pertama kali melihat sang bungsu mengeluarkan emosi yang tak pernah diperlihatkan.

Melihat hal tersebut, amarah Salsa semakin terpancing. Sepiring nasi goreng yang ada di depannya dicurahkan ke atas meja, hingga nasinya bertaburan ke mana-mana. Ia masih berpikir logis untuk tidak menghancurkan barang-barang, lalu kembali berkata, "Cuma dua hari gak apa-apa, kok. Dua hari aja biarin aku hidup layak kayak anak cewek lain."

"Apanya yang gak layak, sih, Sal? Kamu hidup berkecukupan, apa-apa langsung ada. Gak layak dari mana?" tanya Bram yang masih belum paham dengan keinginan Salsa.

"Kehidupan aku yang gak layak! Aku gak bisa main ponsel sepuasnya, aku gak pernah nonton bioskop, aku gak pernah makan ke restoran, aku gak pernah pergi ke tempat hiburan. Jangan mentang-mentang aku bodoh, aku diperlakuin beda dari Kak Rachel. Pilih kasih!"

Selesai mengatakan hal tersebut, Salsa langsung berlari ke kamarnya. Ia mengunci pintu dan menangis sepuasnya. Gadis itu beranggapan di dunia ini tidak ada yang bisa mengerti dirinya, mereka hanya bisa meninggalkan luka yang semakin mendalam.

"Salsa, sarapan kamu!" teriak Safira sembari menggedor-gedor pintu kamar Salsa, sementara gadis itu tetap menangis di atas tempat tidur sambil memeluk guling.

"Gak mau," tolak Salsa.

"Buku dulu pintunya!" perintah Safira tidak mau menyerah.

Namun, Salsa tetap tidak bergerak. Ia malah mengeratkan pelukan pada bantal guling sambil menindihkan bantal ke telinga agar tidak mendengar suara Safira lagi. "Gak ada yang boleh masuk."

"Kalau kamu lapar, sarapannya ada di atas meja, ya," ujar Safira sebelum meninggalkan lantai dua rumahnya.

Kedatangan Rachel yang tiba-tiba berada di dapur setelah Safira kembali ke sana membuat Bram terkejut. Begitu pula dengan wanita yang sedang membersihkan nasi yang bertaburan di atas meja. "Loh, Ma, ada apa, nih?" tanya gadis yang masih memegang kopernya.

"Kok, kamu pulang gak bilang-bilang dulu?" tanya Safira balik, ia mencoba bersikap biasa saja di depan anak sulungnya itu.

"Aku mau ngasih kejutan, tapi malah aku yang dapat kejutan. Mama sama papa berantem?"

"Enggak."

Otak Rachel langsung dapat menebak arah pembicaraan mereka, pasti tak jauh-jauh dari Salsa lagi. "Kalau gitu pasti Salsa. Dia kenapa, Ma?" tanya Rachel.

"Dia marah, Hel," jawab Bram

Mata Rachel membulat, ia tak menyangka Salsa bisa semarah ini. Padahal selama mereka kecil hingga sekarang, gadis yang belum genap 17 tahun itu anak yang penurut. "Salsa marah?" tanyanya tak peecaya.

"Iya. Dia ngungkapin semua yang dipendamnya selama ini. Mama salah, ya? Mama terlalu nuntut dia?" lirih Safira sambil duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Salsa.

Tangan Rachel melingkar di bahu Safira, wanita itu pasti terkejut dengan kejadian hari ini. "Mama gak salah, kok. Cara mama bener, tapi terlalu berlebihan. Aku bukannya mau bela Salsa, tapi ini juga buat kebaikan dia. Belajar berlebihan gak baik, Ma. Kalau dia stress gimana?" Nada bicara Rachel tetap melembut, ia tak mau membuat kedua orang tuanya semakin kepikiran.

"Adik kamu tadi bilang dia stress, Hel. Papa gak tahu harus ngapain sekarang."

"Gak apa-apa, Pa. Buat sekarang ini kita biarin dia ngeredain emosi dulu, nanti baru biacar baik-baik. Sukses gak harus jadi dokter, mungkin takdir Salsa berbeda dari aku. Biarin dia nentuin kemauannya, ya, Pa, Ma? Aku mohon, sekali aja biarin Salsa bebas dengan pilihan dia. Udah cukup selama ini peraturan kalian yang buat dia menderita," pinta gadis berprofesi dokter itu.

"Maafin mama dan papa, ya, Hel," pinta Safira sambil menggenggam tangan Rachel erat.

Kepala Rachel menggeleng beberapa kali, ia tak setuju dengan ucapan Safira tadi. "No. Bukan minta maaf sama aku, tapi sama Salsa. Aku gak pernah bayangin gimana jadi dia, adik aku orang yang kuat," ujar gadis itu.

"Iya. Dia anak yang kuat."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro