Bagian 22
Taman belakang rumah Anjani terjadi kericuhan, empat gadis yang tidak terlibat hanya bisa menatap kedua orang yang sedang bertengkar. Salsa meringis melihat aksi jambak-jambakan di depannya, ini pertama kali ia melihat adegan perkelahian secara langsung. Bukannya tidak ingin melerai, tetapi baik Selena atau Rebecca sama-sama kuat dan melarang mereka ikut campur.
"Lo harus ngalah, dong! Lo tahu orang tua gue gimana!" Suara Selena menggelegar, wajah gadis itu memerah karena amarahnya sedang memuncak. Ia mendorong tubuh Rebecca hingga nyaris tercebur ke dalam kolam renang.
"Ya, elo juga tahu orang tua gue!" pekik Rebecca balik.
Sebelum kembali didorong, Rebecca terlebih dahulu maju mendekati Selena dan membalas dorongan gadis itu. Keduanya sama-sama sedang panas, bahkan sudah dilerai beberapa kali pun tetap sama. Bukannya malah selesai, tadi Fiona sempat menjadi korban hingga kepalanya terantuk ke lantai.
"Kenapa baru sekarang? Waktu kita udah kelas 12. Kalau kayak gini gimana gue mau pindah kelas?" tanya Selena masih tak terima, "dulu lo goblok pelajaran Fisika dan lo juga bersikap biasa-biasa aja, kenapa sekarang baru ambisius dapat nilai seratus?" sambungnya.
"Lo pikir gue gak capek diomelin mulu karena dapat nilai di bawah rata-rata? Ya, gue pengen berubahlah. Apalagi kita kelas IPA, nilai Fisika juga termasuk perhitungan kalau masuk perguruan tinggi," jawab Rebecca dengan nada tak santai.
"Tapi enggak harus seratus juga, kan?"
"Mana gue tahu kalau hasilnya bisa dapet seratus. Lo, tuh, egois tahu gak!" Jari telunjuk Rebecca tepat berada di depan mata Selena, hingga gadis itu menghempaskan tangannya dengan kasar. Ia tersenyum sinis, sikap sombong dan sok pintar itulah yang membuat keduanya sering selisih paham.
Tangan Selena berpindah hingga bersedekap di depan dada, raut wajah seperti meremehkan tersebut membuat Rebecca ingin sekali menggaruk muka teman sekelas dan seklubnya itu. "Gak apa-apa gue egois. Emang cuma gue yang boleh dapat nilai seratus di kelas," cetus Selena.
Anjani, Fiona, Ria, dan Salsa hanya menyaksikan dari gazebo. Sedari tadi rasanya mereka ingin kembali turun tangan, tetapi sikap kasar kedua gadis itu membuat niat keempatnya hilang. Ria yang terkenal tomboy saja ragu, apalagi Anjani dan Salsa yang penakut dengan hal-hal seperti ini. Fiona jangan ditanya, ketika di-bully saja ia tidak melawan, bagaimana mungkin ia bisa melerai sebuah perkelahian.
"Dari cerita Selena dulu, kayaknya orang tuanya hampir sama dengan mama dan papa kamu, Sal. Cuma enggak terlalu parah," bisik Fiona.
"Apalagi dia emang pintar, jadi mungkin orang tuanya gak terlalu nekanin buat belajar," sahut Anjani.
Ria hanya mendengar ucapan kedua orang tuanya, ia sama sekali tidak tahu dengan cerita anak-anak IPA ketika berada di kelas. Begitu pula Salsa, terlalu sering berhadapan dengan buku dan jarang bergaul saat di sekolah membuatnya tak peduli keadaan sekitar.
"Setiap temen-temen sekelas dapat nilai seratus, Selena emang selalu ngamuk dan marahin orangnya," ungkap Fiona. Dari semua anggota klub yang sudah keluar atau masih bertahan, Fiona memang sekelas dengan Rebecca dan Selena dari kelas satu. Sisanya beda-beda kelas, kecuali Anjani dan Salsa.
Mata Salsa yang semula masih menatap Rebecca dan Selena pun langsung beralih melihat Fiona. "Oh, ya?" tanya gadis itu tak percaya.
"Iya. Berlaku buat sekelas aja, makanya kamu gak pernah dilabrak sama dia," jawab Fiona.
"Gak kebayang kalau Salsa sekelas sama Selena," celetuk Ria yang sedari tadi masih memperhatikan dua orang yang bertengkar itu. Ia akan turun tangan jika ada yang bermain fisik, kalau masih adu mulut dibiarkan saja.
Obrolan mereka terhenti ketika Selena mendekat dan masuk ke gazebo, gadis itu membereskan barang-barangnya yang terkeluar dari dalam tas. "Maaf, Sal, gue mutusin buat keluar. Gue mau fokus belajar aja dan gak mau satu klub sama orang munafik," sindirnya.
Rebecca ikut mendekat, ia mengambil ponsel dan kunci motor yang terletak di atas meja. Tanpa mengatakan apa pun, gadis itu langsung pergi dari rumah Anjani. Keempat gadis yang sedari tadi berada di gazebo hanya menatap kepergian itu, lalu beralih melihat Selena yang sedang memasang tas.
"Harus banget keluar?" tanya Ria.
"Iya. Bye," pamit gadis itu.
Selepas kepergian dua gadis yang sempat bertengkar tersebut, keadaan di gazebo langsung hening. Suara helaan napas Anjani bisa didengar oleh mereka semua, lalu tak lama Ria mengatakan, "Hari ini terakhir gue ngumpul sama kalian. Maaf kalau ada salah kata atau perbuatan yang menyinggung. Pengalaman di klub ini bener-bener luar biasa buat gue. Sal, makasih, ya, udah ngajak gue gabung di sini. Makasih juga buat Anjani."
Gadis itu langsung berdiri sambil mengambil barang-barangnya. "Gue pamit, ya, dadah," ujar Ria.
Satu per satu kepercayaan diri Salsa roboh karena anggotanya banyak memutuskan untuk keluar. Ia merasa tidak berguna dan menyalahkan ketidakbecusannya dalam mengelola klub ini.
"Aku juga capek. Apa klub ini dibubarin aja?" tanya Salsa.
Mata Anjani membulat, ia langsung mendekat ke arah Salsa dan memeluk gadis itu. "Jangan, Sal!" cegah Anjani.
Salsa menatap dua temannya yang masih berada di gazebo, ia menunduk lesu sambil mengusap air mata yang tiba-tiba saja menetes. "Tapi kita sisa empat orang, itu pun kalau Rebecca masih mau gabung," bantah Salsa.
"Gak apa-apa kalau empat orang, cuma kita bertiga juga gak masalah," balas Fiona.
Gadis itu teringat dengan kata-kata Rey ketika menceritakan masalah klub. Walaupun begitu, ia tetap saja merasa putus aja. Sebagian anggota memutuskan untuk keluar, tidak ada yang menjamin jika nanti empat orang ini masih bisa bertahan. Bahkan, Salsa ragu ketika ingin pergi karena takut ketahuan oleh kedua orang tuanya. Hanya Anjani dan Fiona yang bisa diharapkan, kedua temannya itu sama-sama dibebaskan oleh keluarga mereka.
Klub kamu luar biasa, Sal. Kalau pun mereka mau keluar, bukan berarti kamu yang gak becus sebagai pendiri atau ketua. Tapi itu murni dari keinginan mereka sendiri. Pertahanin apa yang udah kamu bangun, siapa tahu nanti akan ada pengganti yang lebih baik dari anggota yang udah keluar. Kalau enggak ada, mungkin ini udah takdir dari Tuhan sirkel pertemanan kamu di klub sama orang-orang itu aja. Lagi pula kamu juga jadi gak terlalu kepikiran dengan masalah mereka. Sal, kakak yakin kamu bisa menghadapi situasi ini.
"Apa aku bisa?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro