Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6 - Pemukiman

Mereka melakukan perjalanan setelah berbincang sedikit mengenai apa yang akan mereka lakukan setelahnya. Tentang apakah ada penduduk atau tidak, mereka harus mengecek terlebih dahulu.

Kali ini Halilintar lagi yang membawa mobil. Grace hanya duduk diam di sebelahnya sembari memakan cemilan yang bersisa. [Name] dibelakang mengobrol bersama Blaze dan Duri. Sedangkan Gempa terlihat membaca koran lama yang ia temukan di pasar malam.

Grace melirik Gempa. "Serius sekali, apakah ada informasi dari koran lima tahun lalu?"

Gempa melihat ke arah Grace. Ia menggeleng singkat. "Tidak, kupikir aku hanya ingin tahu sedikit mengenai masa lalu pulau ini."

"Mengingat kenangan ya," gumam Grace.

"Omong-omong, aku sudah menelepon ayah dan bunda kemarin. Mereka marah karena kita lupa meminta izin dan seenaknya pergi begitu saja." Gempa melipat koran itu dan menaruhnya di pinggir pintu. Blaze dan Duri membelalak.

"Benar juga, aku lupa kalau kita belum izin!" Blaze memegangi kepalanya. Ia sampai sekaget itu.

"Lalu, apa kata mereka?" tanya Duri. Gempa tertawa canggung.

"Ayah bilang, kita disuruh berdikari."

Halilintar hampir membanting stir karena mendengar hal itu. Seharusnya mereka tidak perlu bertanya lagi. Sudah pasti jawabannya adalah kata andalan tersebut.

Mereka heran, kenapa ayah mereka bisa sesantai itu. Padahal telah kejadian sebesar ini bahkan ketika ketiga saudara mereka menghilang.

Ya, mereka juga tidak bisa melupakan fakta dimana kedua orang tuanya sempat down karena kejadian lima tahun lalu. Namun ayahnya bangkit dari keterpurukan dengan cepat. Tidak ingin membagi hal negatif ke anak-anaknya.

Seperti biasa. Kedua orang tua lagi-lagi bekerja diluar kota dan pulang beberapa kali sehari dalam sebulan. Kadang tidak pulang sama sekali dalam sebulan.

Mereka beruntung orang tua mereka tidak berubah dengan mengekang mereka.

"Ayah sempat terkejut karena kubilang kita akan kembali ke pulau rintis dan mencari saudara kita yang hilang. Diakhir, dia bilang hati-hati." Gempa tersenyum tipis. Seperti mereka yang awalnya kehilangan harapan. Ternyata masih ada harapan bahwa saudara mereka masih hidup dan mereka bisa hidup bersama lagi.

Mobil yang dikendarai mendadak berhenti. Halilintar mencoba menghidupkan mesin namun gagal. Grace mengintip, seperti yang ia duga, kehabisan bensin.

"Sebentar, aku ingat membawa bensin cadangan." Grace keluar. Halilintar ikut keluar. [Name] sampai geleng-geleng karena melihat Halilintar sudah seperti anak ayamnya Grace. Akhir-akhir ini Halilintar memang lebih perhatian pada Grace. Atau karena Grace mengingatkannya pada sesuatu?

Grace membuka bagasi mobil. Menyingkirkan barang lain dan mengambil jeriken berisi bensin yang sudah ia persiapkan. Menaruhnya di bawah tanah.

Halilintar mengambil jeriken berisi bensin tersebut. Grace mencari selang lalu memberikannya ke Halilintar.

"Bisa pakai itu?" tanya Grace. Bersiap-siap hendak menuang, Halilintar berhenti lagi.

"Ada corong? Sepertinya susah kalau cuma pakai selang." Grace mencari lagi. Menemukan corong kecil terselip diantara barang-barang lain. "Yang ini?"

"Ya, pegang itu."

Grace memasukkan ujung corong ke lubang tempat menaruh bensin. Halilintar langsung mengangkat jeriken berisi 20 liter bensin itu dan menuangnya masuk ke dalam corong.

Halilintar selesai. Grace mengambil kembali jeriken itu dan memasukkannya dalam bagasi.

"Sana, coba hidupkan." Halilintar hendak kembali ke kursi kemudi duluan. Grace juga baru mau menutup bagasi sebelum tiba-tiba ada yang menyerangnya dari arah samping.

Grace bertahan dengan jeriken tadi hingga jeriken tersebut terbelah menjadi dua. Grace jatuh ke tanah. Halilintar yang baru mau masuk mobil pun sontak kembali lagi.

"Grace?!"

"Ck! Siapa lagi?!"

Seseorang memakai pakaian serba hitam dan jubah. Serta masker yang melindungi wajahnya. Terlihat membawa dua buah belati di tangannya.

"Siapa itu?" Halilintar membantu Grace berdiri. Tak lupa Grace langsung menutup pintu bagasi.

"Mana kutahu, kau pikir aku kenal dengan semua penjahat yang melawanku?"

"Ck!"

Orang tadi melesat maju hendak menyerang lagi. Ia mengayunkan belatinya. Grace telah lebih dulu mendorong Halilintar mundur. Lalu ia menggunakan kakinya untuk menendang perut orang tersebut.

Orang itu mundur ke belakang. Grace langsung melesat maju, menyerang dengan tangan kosong. Tapi serangannya dipatahkan oleh seseorang tadi dengan sekali gerakan.

Grace melakukan tackle. Orang itu sempat oleng. Melihat kesempatan, Grace menarik tangannya dan menghantamkan sosok tadi ke mobil.

Kalian bertanya kenapa Halilintar tidak membantu? Dia bahkan bingung harus membantu bagaimana.

Lengan orang tadi menghantam kepala Grace. Grace oleng. Ia menggunakan belatinya untuk menusuk Grace. Namun Grace lebih dulu berputar sehingga serangan tersebut meleset.

"Kau ... kali ini siapa yang menyuruhmu?" Grace menggertakkan gigi. Ia tidak bisa melihat wajah orang tersebut dengan jelas.

Bukannya menjawab. Justru orang tersebut kabur.

"Hey!"

Grace mengejar. Halilintar telat menghentikannya. Grace bahkan berhasil meraih jubah orang tersebut dan menariknya hingga jatuh. Lalu ia duduk di atas orang tersebut dan mengambil alih belati tadi.

Kedua tangan orang itu di tahan oleh tangan dan kaki Grace. Kaki Grace satu lagi menahan paha orang tersebut.

"Grace!" Halilintar berlari ke arah mereka.

"Kau tidak mau jawab?" Grace menarik masker orang tersebut. Namun belum sempat melepasnya. Terdengar bunyi ledakan yang membuat Grace merinding.

Lagi, Grace sepertinya juga trauma dengan suara ledakan.

Melihat kesempatan. Orang itu langsung melepaskan diri dari Grace dan kabur. Halilintar melihat ke arah gedung tempat bunyi ledakan itu terjadi. Itu bukan murni suara ledakan, hanya suara rekaman yang terdengar besar.

Sepertinya orang tadi berkomplotan, bukan hanya sendirian.

"Grace? Kau tak apa?" Halilintar berjongkok. Menarik Grace yang diam dan menutup telinga.

"Kau ... trauma dengan suara ledakan?" ujar Halilintar tak percaya. Ia mengguncang bahu Grace. "Hei! Sadarlah! Itu bukan suara ledakan asli, itu cuma rekaman!"

"Ah!" Grace menatap Halilintar. Lalu melihat ke sekeliling. Menghela nafas lega karena ternyata semuanya baik-baik saja.

"[Name] dan yang lain bagaimana? Mereka diserang juga?" tanya Grace sambil melihat ke arah mobil. Halilintar menggeleng. "Sepertinya hanya kau yang diincar."

"Ah, begitu." Grace berjalan kembali menuju mobil bersama Halilintar. [Name] langsung menerjang peluk ke arah Grace. "Kau baik-baik saja? Ada yang luka?" serang [name] dengan pertanyaan beruntutan.

Grace melepas [name]. Sepertinya Gempa dan yang lain sempat kewalahan menahan [name] untuk tetap berada di mobil.

"Tidak apa, dia kabur."

"Mengincar Grace lagi?" tanya Gempa.

"Sepertinya tempat ini terlalu berbahaya untuk Grace, kita harus segera ke pemukiman penduduk supaya aman," tukas [name]. Mereka semua mengangguk setuju. Lalu kembali naik mobil dan melakukan perjalanan yang tertunda.

.

.

.

"Tempatnya di sini?"

Mereka berhenti. Lalu memutuskan untuk masuk. Melihat betapa sepinya tempat tersebut.

"Oh? Kalian siapa?" Ada seseorang yang muncul. [name] langsung saja menghampiri orang tersebut. "Anu, permisi. Apa pemukiman penduduk yang tinggal di pulau ini ada di sini?"

"Ya kurasa, kami salah satunya. Kalian dari pemukiman yang mana?" tanyanya.

"Kami dari luar pulau. Kami kemari karena ingin mencari saudara kami," sahut Grace. Berdiri di samping [name]. Orang tersebut ber-oh-ria.

"Selamat datang di kampung kami," ujarnya hangat. "Kemarilah, apa kalian dari perjalanan yang jauh?"

Orang itu langsung memimpin perjalanan. Mereka semua mengikuti dari belakang.

"Kami dari pulau ibukota," jawab Gempa. Orang tersebut mengangguk-angguk. "Jauh sekali."

"Hei! Apa kau pernah melihat seseorang yang mirip seperti kami? Laki-laki berambut coklat dan bersurai putih. Kami kehilangan tiga saudara kami!" Blaze langsung asal ceplos. Beruntung saja orang di depan mereka bukan orang yang begitu jahat.

"Seperti kalian? Sebentar." Orang itu memperhatikan wajah mereka semua. Kecuali Grace tentunya yang berbeda sendiri. "Ah pantas saja aku merasa familiar, ada satu orang yang mirip kalian di tempat ini. Tapi sepertinya umurnya lebih kecil dari kalian."

"Lebih kecil? Jangan-jangan Solar?!" terka Duri dengan semangat. Blaze mengangguk setuju. "Yang paling kecil itu Solar, kurasa dia."

"Um, oh ya, kalian ku antar ke tempat ketua dulu ya? Sistemnya sama seperti ketua RT." Ia tertawa.

"Baiklah, tidak masalah."

Mereka sudah memasuki perkampungan. Kali ini baru terlihat ramai. Yang lainnya bekerja seperti biasa. Ada anak-anak yang sedang bermain, hingga orang dewasa yang sibuk bekerja.

"Kalian masuk saja." Orang itu mempersilahkan masuk. "Aku pergi dulu, soalnya ada urusan."

"Iya, terima kasih telah mengantar."

"Ayo, masuk." Grace mengetuk pintu. Setelah terdengar bahwa mereka disuruh masuk. Grace membuka pintu dan masuk ke sana.

Terlihat seperti ruang kerja kecil. Terlihat simpel dan bersih. Lalu di ujung ruangan, ada seorang pria paruh baya yang melihat mereka.

"Oh? Tamu asing?"

"Permisi." Mereka semua masuk dan mendekat.

"Kalian dari luar pulau? Ada keperluan apa kemari?" tanyanya. Ia melepas kacamata hitamnya.

"Kami kemari mau mencari saudara kami yang hilang di pulau ini," ujar Gempa. Pemimpin tersebut terdiam sebentar, lalu terkekeh. "Sudah lima tahun berlalu, baru mencari ya."

"A-ah itu."

"Tidak apa, kalian pasti punya alasan tersendiri." Pemimpin itu memasang kembali kacamatanya. "Kalian bisa panggil aku Kokoci, pemimpin di tempat ini."

"Tak kusangka ada kehidupan di pulau ini, bahkan ada pemimpinnya," gumam Blaze.

"Kalian tahu sendiri bagaimana susahnya masuk ke pulau lain, karena terus-menerus ditolak, jadi kami membuat tempat sendiri di pulau kami."

"Boleh kami tinggal di sini?" Grace langsung bertanya tanpa basa-basi. Kokoci tertawa sejenak. "Tentu saja, silahkan. Lagipula kalian ingin mencari saudara kalian bukan?"

"Kalau begitu terima kasih."

"Berbaurlah dengan warga lain, mereka ramah-ramah kok."

"Baiklah."

Setelah berbincang sedemikian rupa. Mereka keluar dari tempat tersebut.

"Kupikir bakal ribut kayak difilm-film, ternyata mereka sangat ramah!" Duri terlihat senang. "Yang kau tonton itu film zombie, Duri," sahut Blaze.

"Jadi kita mau kemana? Bukankah harus mencari tempat tidur untuk malam ini?" Gempa melihat sekeliling. Sebelum ia berhenti pada satu titik.

"Eh?"

Halilintar melihat adiknya itu. "Kenapa, Gempa?"

"Itu." Gempa menunjuk ke arah seseorang yang tengah mengobrol bersama yang lain. Yang lain juga ikutan melihat. Lalu mata mereka membelalak.

"I-itu Taufan?"

.

.

.

***tbc***

A/n:

Waduh, ada yang menyerang Grace lagi. Siapa ya?

Grace trauma dengan suara ledakan? Apa gara-gara kejadian lima tahun yang lalu?

Apakah benar penduduknya ramah?

Taufan ditemukan? Apakah benar? Ataukah mereka salah lihat lagi?

Dari hari ke hari ternyata ship Halilintar dan Grace makin menggila. Saya cukup prihatin. Bilang aja kalian mau duitnya Grace juga, ya kan? 🌚

Halilintar itu polisi dan Grace itu hampir-hampir psiko. Bukannya mereka kebalikan? Apalagi mukanya sama-sama datar dan pendiam.

Kemungkinan kalau mereka berantem. Si Halilintar jelas bisa ngelawan Grace karena dia seorang polisi.

Tapi lain cerita kalo dibekap dari belakang pake obat bius 🌚

Stay tune terus. Babay

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro