2 - Rayn
Pagi hari yang cerah di desa yang asri. Pagi seperti ini sudah banyak orang-orang desa yang keluar dari rumah untuk pergi bekerja. Menyapa [name] yang juga baru keluar dari rumah bibi.
"Waduh nak [name], mau kemana nih?" sapa salah satu warga di sana. Seorang wanita tua dengan sebakul kue di atas kepalanya.
"Iya mbok, saya mau ke bukit." [Name] menjawab dengan sopan. Lantas membungkukkan badan untuk menghormati orang yang lebih tua darinya. Wanita tua itu mengangguk-angguk. "Hati-hati ya, mbok mau pergi jualan dulu."
"Iya mbok, hati-hati juga di jalan."
Setelah wanita tua itu pergi. [Name] menghirup udara segar. Menatap ke arah bukit yang akan ia kunjungi pagi ini.
[Name] pikir saat ia terbangun, Grace sudah menghilang dari kasur. Tapi ternyata perempuan itu masih di sana, tertidur dengan lelapnya. Sepertinya Grace lelah setelah sering kurang tidur setiap malam dan bangun pagi buta. Jadi [name] membiarkan gadis bule itu tertidur.
"[Name]?" panggil salah seorang abangnya. [Name] menoleh ke arah pintu. Ada Gempa yang kelihatannya hendak keluar juga. Gempa lantas mendekati adiknya itu dan mengusap rambutnya.
"Mau ke bukit?" tanyanya. [Name] mengangguk. "Iya bang."
Gempa menurunkan tangannya. Lantas memberikan [name] sekantung bunga yang biasanya ditaburkan di atas makam seseorang.
"Kemarin sore, abang dan Thorn hendak pergi ke toko. Lalu Thorn memetik beberapa bunga. Dia bilang, untuk Rayn." Gempa menyodorkan sekantung bunga itu pada dirinya. [Name] menerima bunga itu sambil tersenyum kecil. "Makasih abang."
"Sama-sama." Ia mengusap kepala adiknya itu sekilas. "Hati-hati ya."
"Iya."
Setelah itu [name] berlalu pergi dari sana. Ia berlari pelan seperti joging biasa. Menyapa beberapa warga yang melihat dirinya. Hingga kakinya menapak ke bukit yang memang ingin dia kunjungi.
Langkahnya membawa gadis itu mendekat ke arah pohon besar di tengah bukit. Lalu, ada makam tanpa [nama] di sana. [Name] berjongkok di samping makan Rayn. Menghadap ke arah matahari yang hendak terbit.
[Name] berganti posisi menjadi duduk. Lantas menyentuh makam itu sambil tersenyum sedih.
"Hai, sudah lama aku tak kemari," ujarnya memulai. Meski Rayn tidak bisa menjawab sama sekali. [Name] melanjutkan bicaranya. "Waktu itu aku lupa, tapi sekarang aku ingat. Namamu, Rayn."
"Bagaimana mungkin aku bisa lupa dengan orang yang paling berjasa menyelamatkan nyawaku."
[Name] membuka kantung tersebut. Ia mengambil bunga bermacam jenis dalam genggaman tangannya. Dan menebarkan bunga-bunga itu di atas makam. Menebarkan bunga itu pelan-pelan.
"Sekarang Rena juga menyusulmu, kau sudah bertemu dia? Kalian berdua sedang apa di sana?" Semua bunga sudah ia tebar. Kini hanya menyentuh-nyentuh bunga di atas makam dengan jari-jari miliknya. "Jangan khawatir, Grace ada bersamaku. Kami sekarang sedang mencari tahu penyebab segala hal ini. Mungkin saja kami menemukan petunjuk."
Angin berhembus pelan. Menerbangkan setiap helai rambut coklatnya. Ia mengeratkan sweater yang ia pakai. Tidak menyangka akan sedingin ini berada di bukit pada pagi buta.
"Kami akan kembali ke pulau itu. Bantu kami, ya?"
Merasa cukup. [Name] berdiri. Namun ia baru sadar bahwa ada sesuatu dibalik batu nisan tersebut. Ada sebuah tanaman yang [name] hapal betul namanya.
"Lavender," gumamnya.
[Name] tidak tahu apakah lavender itu tumbuh sendiri di belakang batu nisan ataukah ada seseorang yang menanamnya. Ia juga tidak tahu siapa yang menanam lavender tersebut di sana.
"Grace? Ah gak mungkin, kemarin dia bilang gamau kemari." Menepis praduga yang berlebihan. Ia buru-buru meninggalkan bukit.
.
.
.
Halilintar keluar dari rumah. Ia terlihat bosan hanya diam di dalam. Tetapi ia menemukan [name] tengah duduk diam di pagar rumah. Halilintar memutuskan untuk menghampirinya.
"Oh, bang Hali." [Name] sedikit terkejut karena ada yang menepuk pundaknya. Ia pikir itu adalah Grace.
"Sedang apa?" tanya Halilintar singkat. [Name] hanya angkat bahu dengan bibir cemberut. "Gatau mau ngapain, Grace gak bangun-bangun. Harusnya hari ini kita berangkat ke pulau rintis kan?"
Halilintar mengangguk paham. Lagipula mereka ke sini pun atas rencana Grace. Jadi wajar jika mereka menunggu Grace. Dan [name] kelihatan tidak enakan membangunkan Grace yang terlihat sangat lelah.
[Name] memperhatikan abangnya. "Menurut bang Hali, Grace itu bagaimana?"
Halilintar menautkan kedua alisnya bingung. "Bagaimana ... apanya?"
"Sifatnya mungkin? Atau sesuatu yang mencolok dari Grace?"
Halilintar berpikir sejenak. Ia memandang langit biru di hadapannya cukup lama sebelum akhirnya menjawab. "Mengerikan."
[Name] hampir saja tersedak ketika mendengar abangnya yang wajahnya seperti mau mengamuk itu mengatakan hal yang seperti ini. "Maksudnya?"
"Kadang aku menemukan dia menatapku lamat-lamat, lalu tertawa remeh," jelas Halilintar. Ia bahkan mengusap pundaknya sendiri.
"Oh," jawab [name] datar. "Makanya itu kadar kegantengan dikurangi, nanti dijadiin boneka kan repot."
"Boneka?" beo Halilintar dengan bingung. Jelas saja. Yang mengetahui tentang Grace seorang pemilik boneka mayat hanya Rayn, Rena dan [name].
"Membicarakan apa?" Blaze tahu-tahu nongol di belakang. Sepertinya tertarik dengan bahan pembicaraan dan ingin ikut mengobrol.
"Hanya berbicara mengenai Grace," jawab [name]. "Menurut bang Blaze, Grace itu gimana?"
"Hmm, sebentar." Blaze memasang pose berpikir. Dahinya bahkan berkerut seperti berpikir keras. "Kuat."
"Hah?"
"Aku pernah melihatnya membantu seorang kakek tua yang jatuh dari sepeda karena barang bawaannya terlalu banyak dan berat. Lalu Grace datang membantu, ia memikul semua barang itu. Bukankah itu artinya dia kuat?" jelas Blaze panjang lebar. [Name] dan Halilintar mengangguk-angguk paham.
"Duri pernah loh lihat Grace memikul galon penuh terus naik tangga." Duri muncul dari belakang Blaze. Membuat mereka yang ada di sana hampir meloncat kaget.
"Angkat galon?" tanya [name] lagi memastikan. Seingat dia, tidak ada adegan yang mengharuskan Grace memikul galon.
"Waktu hotel kedua, Duri pernah lihat dia bawa sendiri galon penuh itu dari lantai satu ke lantai 3 dengan tangga karena lift saat itu sedang rusak." Duri menjelaskan meski ia sendiri tidak yakin kenapa Grace repot-repot mengangkat galon berisi penuh air itu ke lantai atas.
"Oh [name] ingat. Waktu itu gara-gara tempat minum di kamar kami kosong dan Grace marah-marah karena tidak ada satupun karyawan yang menanggapi." [Name] berusaha mengingat juga.
"Enak ya ngomongin aku."
Tahu-tahu orangnya sudah muncul di belakang. Mereka sampai lompat karena terkejut. Grace menghela nafas panjang.
"Kenapa tidak ada yang membangunkanku." Nadanya terdengar kesal. Meski begitu, [name] menanggapinya dengan santai. "Kau sangat nyenyak sehingga aku tidak tega mau membangunkanmu."
"Terserah." Grace mengikat rambutnya yang tergerai.
"Bersiap-siaplah, nanti siang kita akan langsung berangkat ke pulau itu."
Mereka saling bertatapan sebelum membalas. "Ya!"
Grace hanya tersenyum singkat sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam rumah.
.
.
.
Mereka dalam perjalanan. Memakai mobil tentunya. Kali ini Halilintar benar-benar mengambil alih kemudi. Pemilik mobil hanya diam di samping sang supir sembari memperhatikan jalanan sekitar.
Mereka sampai di pelabuhan. Grace segera turun namun menyuruh mereka semua untuk tetap berada di dalam mobil.
Dari dalam mobil, mereka melihat Grace menghampiri salah satu kapal besar di sana.
"Bisa kami pergi dengan mobil?" tanya Grace pada seseorang yang sepertinya pemilik kapal yang lumayan besar itu.
"Tidak bisa, mobil terlalu besar," balasnya. Namun bukan Grace namanya jika tidak memiliki rencana.
Ia mengeluarkan cek dari dalam kantung baju. Menyerahkan kertas cek tersebut dengan angka fantastis ke tangan orang tadi. Matanya langsung membelalak kaget melihat jumlah deret angka yang banyak.
Grace menyeringai. "Aku beli kapal ini."
.
.
.
"Grace keterlaluan," komentar [name] saat tahu bahwa kapal yang mereka naiki ini dibeli secara cash oleh Grace. Kapal sebesar ini, bisa bukan hanya mereka yang naik. Bahkan mobil secara paksa dimasukkan Grace ke dalam kapal.
"Aku tidak bisa berlama-lama," jawab Grace. Grace ini tipe-tipe psiko sultan. Mana ada yang bisa mengalahkan Grace. Mungkin bisa-bisa presiden ia singkirkan hanya dengan mengacungkan selembar cek berisi angkat-angka berderet penjang.
Lupakan itu.
Grace santai di pinggir kapal. Memperhatikan laut yang bergelombang. Aroma laut tercium sampai atas kapal. Ia terlihat biasa saja.
Berbeda dengan Duri yang sepertinya mabuk laut. Hanya diam di dalam kapal dengan Gempa yang mengurusnya. Blaze ada di ujung kapal, menerima terpaan angin yang menghembus dari sisi depan kapal.
Halilintar berada dipinggir kapal satunya. Duduk diam sembari memperhatikan kapal dan lautan. Serta memandang langsung ke arah pulau yang akan mereka tuju.
Tak berlangsung lama, mereka sampai di sana. Jarak kedua pulau tidak sejauh itu. Setelah kapal diparkirkan di pinggir pelabuhan. Mereka menatap pulau itu sejenak.
Pulau itu jelas berbeda. Sudah tidak lagi hidup. Gedung-gedung dan rumah-rumah yang berada di sini hancur serta gosong. Pulau seolah tidak memiliki penghuni.
[Name] dan yang lain segera turun ke bawah. Grace terlebih dulu mengeluarkan mobilnya agar mereka bisa mudah mengelilingi pulau tanpa harus jalan kaki. Lagipula pulau ini sangat luas untuk mereka hampiri semuanya.
Grace muncul dari dalam kapal dengan mobilnya. Menghampiri [name] dan keempat abangnya yang sudah turun ke bawah. "Aku sudah menyuruh kapal ini tetap disini sampai kita kembali. Cepat naik, kita akan berkeliling pulau."
Mereka awalnya tampak ragu. Namun memutuskan untuk naik mobil. Lalu Grace memacu mobilnya melintasi pemukiman warga yang telah hancur.
Jalanan masih terbilang lumayan bagus. Jadi tidak ada masalah ketika mobil Grace sendirian meluncur di jalanan. Mereka memperhatikan seisi pulau lamat-lamat.
"Separah ini," gumam [name] tak percaya. Ia saat itu pingsan. Jadi tidak tahu jika pulau rintis mengalami ledakan sedahsyat ini.
"Bagaimana dengan para penduduknya waktu itu?" tanya [name]. Halilintar menjawab, "Sebelum ledakan, sekitar sembilan puluh tujuh persen penduduknya telah dipindahkan hingga selamat. Sedangkan yang lainnya sepertinya tewas bersama ledakan."
Alis [name] bertaut bingung. "Dipindahkan?"
Halilintar mengangguk. "Para warga mengatakan kalau ada beberapa orang yang menyuruh mereka evakuasi, meski awalnya para warga menolak. Namun mendengar ledakan pertama di pasar malam waktu itu. Mereka semua langsung berlari menyelamatkan diri ke kapal yang telah dipersiapkan."
"Kapal yang telah dipersiapkan?" Tatapan [name] langsung beralih ke arah Grace yang mengemudi. Grace terlihat angkat bahu. "Yang pasti itu bukan aku."
"Tapi kau punya banyak uang."
Grace menghela nafas. "Itu sekarang, sebelum perusahaan ayahku yang berada di tangan Noel akhirnya pindah kepadaku."
"Eh? Grace punya perusahaan?" tanya Gempa.
"Ya, perusahaan Greenland yang sering kalian dengan dan banyak cabangnya itu merupakan perusahaan ayahku. Perusahaan intinya awalnya ada di pulau ini, tapi karena meledak, mereka sepertinya langsung menggantinya ke kuala lumpur," jelas Grace panjang lebar. Mereka yang mendengar pun mengangguk-angguk.
Grace berhenti mendadak. Membuat mereka yang ada di dalam mobil terkejut.
"Aduh kepalaku," ujar Duri sambil memegangi kepalanya yang terantuk.
"Ada apa?" tanya [name].
Grace menunjuk ke arah depan. Ada mobil lain dengan beberapa orang yang muncul dari sana. Ia menghela nafas lelah. "Ada orang lain selain kita di sini."
.
.
.
***tbc***
A/n:
Heyyo!
Ada yang naruh lavender? Kira-kira siapa ya?
Kenapa Grace suka ngeliatin Halilintar? Wah jangan-jangan bakal dijadiin boneka nih.
Ternyata Grace strong, pantas kecil-kecil bisa ngalahin pasukan Noel ya.
Buset Grace beli kapal sendiri. Sekaya apa sih? Eits jangan-jangan kalo ada rampok kerumahnya, dia yang ngerampok balik rampoknya.
Siapa orang-orang itu? Penduduk yang masih bertahan? Ataukan orang yang mengincar mereka?
Ciee lagi pada daring ya, tapi pusing ga tuh ngebagi otak buat belajar sama bikin teori ceritanya Ruru hihi
Kemarin Ruru tersedak ketika ada yang memasangkan Halilintar dan Grace. Selain umur mereka jauh. Bayangin kalo mereka lagi berantem. Bisa-bisa Halilintar berakhir jadi patung lilin.
Ruru gak melarang kalian sih mau ship siapa atau siapa. Tapi jangan terlalu meresahkan ya. Masa ada yang sampai ngeship [name] dan Grace sih?
Semangat daringnya ya, kita ketemu lagi di chapter berikutnya. Babay!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro