Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 - Solar

Pagi semuanya berjalan seperti biasa. Ice melangkahkan kakinya masuk dalam kamar sambil menenteng makanan.

Baru masuk, ia sudah disuguhi sang kakak yang ternyata bangun. Manik safir itu bertatapan langsung dengan manik aqua milik Ice. Ice masuk ke kamar, lalu menutup pintu dan mendekati sang kakak.

"Bang Taufan lapar?" Ice membuka bungkus belanjaan dan mengeluarkan makanan yang ia bawa. Masih panas kelihatannya. Ice memasak itu sendiri di toserba yang ada di dekat markas.

"Apa itu?" tanya Taufan. Melihat sebuah makanan yang menurutnya mewah. Karena ia belum pernah memakan itu selama menjadi budak di pemukiman.

"Ini ayam goreng. Ice suka ini karena pernah makan dengan [na--" Ice menggantungkan kalimatnya. Ia murung. Entah kenapa bahkan dirinya sakit saat mengingat hal itu.

"Aku boleh makan ini?" tanya Taufan. Ia takut-takut. Ice tersenyum miring saat mendengarnya. Lantas memberikannya ke tangan Taufan. "Tentu, kalau kurang bang Taufan bisa minta lagi padaku."

Taufan menatapi ayam goreng di tangannya. Lalu memakan ayam itu. Sontak matanya berbinar. Ia tertawa kecil dan bergumam bahwa ayam goreng tersebut enak.

"Nanti kita cari tempat yang lebih baik ya," kata Ice. Ia berdiri dari duduknya dan beranjak keluar.

"M-mau kemana?"

Ice menoleh sedikit saat membuka pintu. Ia tersenyum tipis. "Menyelesaikan pekerjaan." Lalu Ice keluar dari kamar dan mengunci pintunya.

Taufan hanya diam di kamar. Tidak tahu juga harus berbuat apa. Sekarang ia merasa terpenjara dalam sebuah tempat yang ia tidak ketahui ada dimana. Malam dan siang sama saja ditempat ini. Tidak ada celah cahaya masuk yang menandakan bahwa tempat ini berada di bawah tanah.

Sama seperti sebelumnya, ia juga selalu di kurung dalam basement. Cahaya matahari hanya ada disela-sela pintu. Gelap. Tidak ada lampu yang menerangi ruangan. Suara langkah kaki bahkan mampu membuat ia gemetar.

Tiba-tiba dia didatangi sekelompok orang yang mengaku adalah keluarganya. Lalu diculik oleh orang yang juga mengatakan ia adalah keluarganya. Lantas harus pada siapa ia percaya?

Tok! Tok!

"Uh?" Taufan melihat ke arah pintu. Ia yakin tadi ada yang mengetok pintu. "Ice?"

Taufan menaruh makanan tadi di atas meja. Lantas mendekati pintu tersebut. Namun ia tidak bisa membukanya. Hanya bisa mengintip di balik celah yang berada di bawah pintu.

Ada orang, tapi Taufan yakin itu bukan Ice.

"Siapa?" tanya Taufan. Tapi tidak ada jawaban. Hanya ada selembar kertas kecil yang diselipkan masuk lewat celah bawah pintu.

Taufan mengambilnya. Membuka lipatan kertas kecil tersebut dan membaca isinya.

"Kau mau tahu kebenarannya?" gumam Taufan saat membaca kertas tersebut.

Kriet!

"Eh?"

Taufan kaget saat pintunya terbuka. Ia yakin tadi terkunci. Namun tidak ada seorang pun yang masuk.

Taufan pun memutuskan untuk melihat ke luar. Menemukan koridor asing sejauh mata memandang. Tapi di sebelah kiri, ia melihat seseorang berjubah hitam tengah berbelok ke lorong lain.

Taufan tidak diam saja. Ia memilih untuk mengikuti sosok itu. Namun saat sampai di belokan. Seolah sedang menunggunya di ujung jalan, sosok itu berbelok lagi ke kanan. Taufan langsung saja mengejarnya. Beruntung, tempat ini sedang sepi.

Hingga sosok tadi menghilang. Dan Taufan bingung harus kemana. Tapi ada sebuah pintu, yang lebih besar dari pintu lainnya, terbuka.

Taufan masuk ke sana. Namun baru beberapa langkah, pintu tersebut tiba-tiba tertutup. Taufan panik, tapi ia juga takut untuk berteriak.

Ia memilih untuk mengitari ruangan tersebut. Terlihat berbagai alat aneh yang menyerupai barang-barang di laboratorium.

"Ini tabung itu." Taufan melihat dengan tatapan tak percaya saat menemukan sebuah tabung yang mirip persis dengan miliknya, tempat ia tertidur sebelumnya.

Pikiran Taufan melayang kemana-mana. Mengenai apakah ia adalah seorang anak yang diculik dan dimasukkan dalam tabung. Lalu di eksperimen sehingga menghasilkan orang-orang yang mirip dengannya.

Taufan berkeliling lagi. Sebelum akhirnya menemukan seseorang yang ia cari.

"Grace." Taufan tanpa banyak pikir langsung saja berlari ke sana. Grace dimasukkan dalam sebuah tabung namun berbeda dari tabung miliknya. Lebih seperti tempat kaca dan dipenuhi air. Banyak selang yang terhubung ke tubuh Grace.

"Ah, gimana cara ngeluarinnya?" Taufan melihat berbagai tombol-tombol yang ada. Namun ia sama sekali tidak mengerti. Matanya tertuju pada sebuah kursi. Tanpa banyak pikir, ia ambil kursi itu dan lempar ke arah Grace.

Kaca tersebut retak. Hingga akhirnya pecah dan Grace keluar dari sana, bersamaan dengan air yang jatuh melimpah.

"Grace?" Taufan mendekati Grace. Menepuk-nepuk pipinya supaya sadar.

Bunyi sirene mengejutkannya. Tanda bahaya telah aktif. Taufan panik, ia tidak bisa membawa Grace pergi dari sini.

"Siapa kau?!" Orang-orang berjubah lain berdatangan. "Itu orang yang dibawa Ice kan?"

Mereka menangkap Taufan dan Grace. "Tidak! Tidak! Lepaskan aku!" Taufan memberontak. Grace masih belum sadarkan diri.

"Diam!" Seseorang menyuntikkan sesuatu ke tangan Taufan. Dalam sekejep, Taufan lemas. Lalu kesadarannya kembali menghilang.

.

.

.

"Ah, Grace meninggalkan handphonenya lagi." [Name] mengambil handphone Grace yang berada di kursi kemudi. Ia seperti merasa de javu. Lalu benar terjadi, telepon dengan nomor asing itu masuk.

[Name] mengangkatnya. Menaruhnya di telinga. Tapi kali ini tidak berbicara.

Tut!

Telepon itu dimatikan lagi. [Name] jadi kesal. Ia tidak tahu siapa penelepon tersebut.

"Kata sandi handphone Grace apa sih? Apa tanggal lahirnya? Ga mungkin terlalu simpel. Warna kesukaan? Makanan kesukaan?" [name] terus-menerus berpikir. Mungkin saja dengan membuka handphone Grace, ia mendapatkan petunjuk penting untuk menemukan Grace dan Taufan.

"Masih sih kata sandinya ...."

'[Name] meresahkan'

Dan handphone tersebut terbuka.

Muncul sudut perempatan siku-siku di dahi [name]. Gadis itu terlihat kesal. "Oh begitu ya Grace."

Melupakan hal lain. Segera ia buka kontak telepon. Dan secara mengejutkan, nomor asing itu bukan hanya sekali menelepon, tapi sejak mereka berada di hotel yang pertama.

Dan lagi ini bukan telepon keluar. Melainkan telepon masuk dan artinya mereka sudah mengobrol selama beberapa menit dan kali.

"Grace menyembunyikan sesuatu, lagi."

Tring!

Muncul notifikasi pesan. [Name] terkejut saat nomor yang mengirimkan pesan tersebut adalah nomor asing yang sebelumnya menelepon.

Tanpa basa-basi, langsung [name] buka pesan tersebut. Menemukan sederet kata-kata singkat yang tertera.

'Pukul 10.00 datanglah ke tempat sampah pulau rintis, kalian akan menemukan cara untuk menyelamatkan Grace dan Taufan'.

[Name] terkesiap. Ia mencermati kata-kata tersebut lebih dulu. "Sepertinya bukan penculik yang mengancam, itu artinya dia--"

[Name] langsung berlari masuk rumah dengan handphone tersebut masih berada di genggaman tangannya. Ia membuka pintu dengan keras. Membuat semua abang-abangnya terkejut.

"Aku punya petunjuk soal keberadaan Grace dan bang Taufan!"

.

.

.

"Kau gak capek begini?" Seseorang mendekatinya. Solar lantas mendengkus kasar. "Mau capek pun aku tidak bisa berhenti, Nut."

Lelaki bernama Nut itu tertawa. "Hei, ayolah. Kau punya keluarga dan mereka mencari kalian. Kau kan bisa langsung menemui mereka dan membuat rencana."

Solar menggeleng. Mengatakan bahwa cerita seperti itu tidak akan terjadi.

"Aku ... tidak bisa."

"Apa? Karena kau hilang saat kejadian?" terka Nut yang langsung tepat mengenai ulu hati Solar. "Tapi itu bukan salahmu."

"Tetap saja, seandainya kalo aku bersama mereka waktu itu mungkin kami bisa menyelamatkan bang Taufan dan bang Ice. Tapi aku malah--" Solar menghentikan ucapannya. Mau dipikir berapa kali pun, ia tetap merasa bersalah atas kejadian baik di masa lalu maupun sekarang.

"Yah." Nut berbaring di rerumputan. Menatap langit cerah di atasnya. "Sayangnya tabung itu malah direbut sehingga Taufan dan Ice ada di tangan mereka ya."

"Tapi Solar, apa kita bisa menyerahkannya pada gadis bule itu? Bukankah ia sama saja?"

Solar melihat layar handphonenya. Ada balasan lain dari sms yang ia kirim. Meski di ujung sana tidak tahu bahwa ia yang mengirim pesan. Tetap saja senyumannya tidak bisa ia tahan karena senang.

"Tentu saja, dia adik Noel kan? Bukankah kita harus percaya padanya?"

"Noel? Bukan Niel?" tanya Nut bingung. Solar menggeleng. "Kan nama aslinya Noel."

Nut tertawa mendengar itu. "Bikin nama kok deket banget sama nama asli."

"Mana kutahu, tanya aja sama yang bikin."

"Eh yang bikin kan udah mati."

"Oh, benar juga."

Dapat sms balasan lagi. Solar berdiri dari duduknya.

"Mau kemana?" tanya Nut. Solar merenggangkan otot tubuhnya. "Biasa, kau mau ikut?"

"Nggak deh, good luck, bro."

"Ya." Solar pun pergi dari sana. Meninggalkan Nut sendirian di atas rumput.

"Ah, kapan selesainya sih."

.

.

.

Ice baru saja kembali. Ia awalnya berniat memata-matai keluarganya. Tapi ternyata mereka telah pindah duluan. Rumah kemarin kosong.

Ice masuk dalam markasnya. Melewati orang-orang yang juga baru kembali dari misi.

Brak!

Seseorang menabrak Ice. Sosok bertubuh tinggi dan besar. Ia menatap dengan tatapan ejekan. "Ups, si kerdil. Tidak kelihatan."

Ice berdiri dari duduknya. Ia langsung hendak pergi sebelum mendengar orang itu berbicara lagi.

"Dia sama saja seperti saudaranya itu, pembawa masalah."

Ice terpaku sebentar. Orang-orang tadi pergi. Ia hanya memicing tajam. Lalu firasatnya mulai tidak enak, lantas segera berlari ke asramanya.

"Ah?" Ice menemukan pintu kamarnya terbuka. Ia langsung masuk. "Bang Taufan?!" panggilnya. Namun tidak ada yang menyahut. Mengecek ke kamar mandi, sang kakak juga tidak ada.

Ice buru-buru keluar. Ia menarik salah satu orang yang lewat dengan kasar. "Dimana kakakku?!"

"Maksudmu kakak kecilmu itu? Dia baru saja membuat masalah tadi. Di lab."

Ice langsung berlari ke sana. Menuju ke lab. Namun sayangnya tidak menemukan siapa-siapa di lab. Itu berarti Taufan sudah dipindahkan. "Dimana Taufan?!" pekiknya marah.

Ia melihat kekacauan. Dimana ada sebuah tabung kaca yang hancur dan air yang merusak alat elektronik tersebut.

"Borara," gumamnya. Tidak ada tempat lain. Pasti Borara yang mengambil kakaknya ke sana.

Dengan itu, ia langsung saja berlari pergi ke tempat dimana Borara berada.

Brak!

"Dimana kalian bawa kakakku?!" pekiknya. Borara melihat Ice, menatap tidak suka. Ice menghampiri Borara dan menarik kerahnya kasar.

"Santai bocah kecil, itu karena kakakmu yang berulah lebih dulu."

"Berulah? Apa maksudmu?"

Borara menggeser tubuhnya. Menunjukkan sang kakak yang diikat bersama dengan Grace.

"Kak!" Ice langsung menghampiri Taufan.

Borara berdiri di dekat Ice. Ia memegang sebuah tombol kecil sembari menyeringai.

"Kau tahu Ice? Kami tidak membutuhkanmu lagi."

Bzzt!

.

.

.

***tbc***

A/n:

Siapakah sosok yang menuntun Taufan menuju Lab?

Apakah yang mengirimkan sms pada handphone Grace itu adalah Solar?

Apa yang sebenarnya membuat Solar enggan kembali ke keluarganya? Karena rasa bersalah?

Apa yang akan terjadi pada Ice?

Akhirnya menuju konflik dan cerita makin dalam. Solar akhirnya muncul lagi di cerita. Namun, masih belum pasti siapakah bos dari penjahat-penjahat tersebut.

Apakah seperti perkiraan pembaca? Solar adalah bosnya? Grace memiliki kepribadian ganda dan bos? Noel ternyata bos dan masih hidup? Atau ada orang lain dibalik semua ini?

Sehat-sehat ya otaknya, muach *kedip sebelah mata*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro