Chapter 9
"Pembohong"
*** Yuuma's pov ***
(Drap! Drap! Drap!)
Tidak peduli ini berada di koridor sekolah atau akan ditegur--bahkan dihukum--oleh sensei, kami berdua berlari menuju atap sekolah.
"Kenapa Rinto-san meminta kita ke atap?" heranku.
"Karena..." Maehara mulai berpikir, "...tidak tau, dia tidak memberitahuku." sambungnya kemudian.
Aku hanya bisa palm face mendengar penjelasan Maehara.
(Brak!)
Kosong.
Sepi.
Tenang.
Sunyi.
"Apa-apaan ini?" gumamku menuju tengah atap bersama Maehara.
(Whooosh...!)
Perhatian kami tertuju ke atas dan melihat sebuah helikopter militer!!
"Ayo naik!" ucap pemilik suara, yang tak lain dan tak bukan adalah Rinto dan sebuah tangga dilempar dari helikopter.
Kami berdua menaiki tangga itu dengan cepat dan kami pun masuk ke dalam helikopter, dimana sudah ada Rinto duduk disana. Tangga ditarik kembali dan pintu ditutup.
"Oke, ke bandara." perintah Rinto.
"Siap, Rintarou-sama." sahut pilot yang ada di depan, dan Rinto menoleh ke arah kami lalu memberikan senyuman khasnya.
"Sudah kuduga (Name) akan berbohong mengenai jadwal penerbangannya." ucap Rinto.
"Rinto-san," panggilku, "Apakah Rinto-san berbohong mengenai (Name) yang tinggal di Jerman bersama Mrs.(L/n)?" tanyaku.
Rinto mengangkat sebelah alisnya, "Kenapa aku harus berbohong? Apalagi mengenai (Name) dan Mama?"
"Jadi (Name) yang berbohong..." gumamku dan aura hitam mulai mengelilingiku, "Aku penasaran apa tujuan (Name) berbohong padaku..."
"Isogai, tenangkan dirimu. Aku melihat tanduk dan ekor setan imajiner padamu." komentar Maehara dan aku kembali normal, lalu menghela napas.
"Aku juga heran kenapa (Name) tidak mau memakai pesawat pribadi keluarga?" gumam Rinto
'Ah, mengingat alasan (Name) ke Inggris membuat hatiku sakit.' pikirku mencengkram dadaku yang terasa sesak sekarang.
"Ah, aku baru ingat." ucap Maehara, "Kenapa Rinto-san menjemput kami menggunakan helikopter, bukan menggunakan mobil?"
Rinto hanya mendengus lalu tersenyum bangga, "Jika pakai mobil, maka biasanya--di film-film--akan terjebak macet, dan itu mainstream. Keluarga (L/n) adalah keluarga anti-mainstream jadi aku memakai helikopter. Selain tidak terkena macet, memakai helikopter itu anti-mainstream." jelasnya panjang lebar.
Sweatdrop...
Aku berani bersumpah sekarang aku melihat Rinto memakai kacamata hitam dengan efek 'bling-bling' di belakangnya.
"Be-begitu ya?" ucap kami serempak.
"Ngomong-ngomong, kenapa kau bertanya seperti itu, Isogai? Apa kau tidak mempercayaiku?" tanyanya curiga.
"Ah, tentu saja bukan begitu." ucap Maehara menyela,"(Name) membohongi Isogai mengenai itu."
"Mengenai dia dan Yuusuke yang tinggal bersama Mama di Jerman? Memangnya dia memberitahu Isogai seperti apa?"
"Dia dan keluarganya mengalami kecelakaan di dekat kota Kyoto, dan sejak itu tinggal di mansion yang berada di Kyoto." gumamku.
"Ah, itu setengah benar." ungkap Rinto, "(Name) dan Yuusuke memang mengalami kecelakaan di dekat kota Kyoto. Akibat kecelakaan itu, mereka harus dirawat di Jerman dan mereka mulai tinggal disana bersama Mama."
"...he?" ucapku tak percaya dan aura hitam kembali muncul, "Jadi dia memberiku kebenaran yang setengah-setengah? Memangnya kue, setengah-setengah?"
"Isogai, kau mungkin akan kupanggil devil sekarang, auramu mengalahkan aura Akabane dan Asano jika mereka sedang kesal." ungkap Maehara, "Coba tarik dan lepas napas, itu akan membantumu tenang, lho."
"Huft..."
Tarik napas.
Buang.
Tarik napas.
Buang.
Tarik napas.
Buang.
Tarik napas--
"Oke, sekarang kau jadi seperti ibu-ibu akan melahirkan, Isogai." komentar Maehara tersenyum mengejek.
Perempatan imajiner pasti memenuhi kepalaku sekarang.
"Ma~e~ha~ra~" panggilku penuh kekesalan.
"Berhenti, kalian berdua." tegur Rinto, "Aku tidak mau ada terjadi kasus pembunuhan di ketinggian 2000 kaki dan di dalam sebuah helikopter militer." gumamnya membuat kami berdua terdiam.
...
...
...
...
"Tapi aku benar-benar kesal sekarang..." gerutuku.
"ISOGAI!!"
"Rintarou-sama, bandara sudah terlihat."
"Ah, landing di dekat pesawat pribadi kita." perintah Rinto.
"Siap, Rintarou-sama."
Baru saja ketinggian helikopter mencapai 10 meter, kami berdua sudah melompat dan berlari menuju satu-satunya pesawat yang sedang bersiap untuk take-off.
"Oh, kalian punya waktu 30 menit sebelum pesawatnya berangkat." ucap Rinto.
Saat itulah aku melihat rambut (h/c) yang sedikit berterbangan karena angin yang kuat di bandara, berada di paling belakang diantara para penumpang yang lain. Syal berwarna (f/c) juga sedikit berkibar akibat angin. Tanpa pikir panjang, aku mempercepat langkahku. Perempuan pemilik warna lensa (e/c) yang tertutupi oleh kacamata tebalnya itu menoleh ke arah kami dan aku yakin dia sangat terkejut melihat kedatangan kami.
"I...sogai-kun? Ma...ehara-kun?" ucapnya tak percaya.
"Bicaralah dengannya, Isogai. Aku dan Rinto-san akan mengurus para penjaga yang datang." ucap Maehara sedikit mendorong punggungku, "Tapi bukan bearti aku menyerah, ya? Aku tau kita berdua lagi-lagi jatuh cinta pada perempuan yang sama, Isogai."
Aku hanya mengangguk, membuat Maehara tersenyum lalu menyusul Rinto yang sedang menahan 2 petugas keamanan.
"(Name)," panggilku dengan datar lalu aku memegang kedua bahunya, "Kenapa...?"
"Apa... maksudmu, Isogai-kun?"
Aku menggeretakkan gigiku dengan kesal, lalu menguatkan peganganku di kedua bahu (Name).
"Kau tau pasti apa yang kubicarakan, (Name). Jujurlah padaku atau..."
*** (Name)'s pov ***
"Atau...?" tanyaku.
"Atau ini..." aku berani bersumpah kalau aku melihat Isogai tersenyum khas duo devil tadi.
Pemikiranku terputus saat tangan kiri Isogai berpindah ke belakang kepalaku, dan tangan kanannya berpindah ke pinggangku. Detik selanjutnya Isogai menarik tubuhku dan...
"Eh?"
"Kenapa? Mengharapkan aku menciummu?" tanyanya.
...Isogai menempelkan keningnya ke keningku, dan jarak kami sangat dekat sekarang.
(Deg! Deg!)
"A-apa yang kau lakukan, Isogai-kun?" tanyaku panik.
"Beritahu aku kebenarannya, atau yang kau harapkan barusan akan benar-benar terjadi." ancam Isogai lalu mendekatkan wajahnya ke sebelah telingaku.
Dengan begitu, wajahku langsung menjadi seperti kepiting rebus: merah, sangat merah.
"A-a-aa..." mulutku seperti ikan kehabisan air, terbuka dan tertutup.
Isogai yang melihat ini hanya tersenyum, "Jika kau hanya membuka dan menutup mulutmu, maka aku akan menambahkan lidahku kedalam harapanmu, lho." ancamnya.
Dan tentu saja, wajahku jadi semakin parah--itupun jika menjadi seperti kepiting rebus masih belum parah.
"Da-darimana kau belajar kata-kata itu??" panikku.
"Guru bahasa inggris saat SMP."
"Ba-baiklah," ucapku mendorong Isogai, "A-aku akan cerita yang sebenarnya."
"Bagus." ucap Isogai puas lalu menyilangkan kedua tangannya, "Sekarang kenapa penjelasanmu tentang tinggal di Tokyo sejak umur 3 tahun itu berbeda dengan Rinto-san? Mana yang benar, kau atau Rinto-san?"
"O-oh, mengenai itu..." ucapku memulai, "Aku dan Yuusuke tinggal di Jerman sejak umur 3 tahun. Lalu saat umurku 12 tahun, aku dan Yuusuke kembali ke Jepang dan tinggal di Kyoto."
"...kenapa kau berbohong padaku? Tapi menjelaskan semuanya pada Maehara?" tanyanya.
"Aku juga penasaran." sahut Maehara berdiri di sebelah Isogai.
Aku menghela napas, "Kalian tau kan tujuanku pergi ke Inggris?"
"Langsung saja, (Name)." ucap mereka serempak.
"Ini adalah pertemuan terakhir kita, kenapa kalian--terutama kau, Isogai--masih ingin tau tentang diriku? Apa untungnya mengetahui masa lalu orang yang akan meninggal?" tanyaku.
Mereka berdua saling pandang, lalu tersenyum padaku.
(Deg! Deg!)
--tentu saja itu membuat wajahku yang baru kembali normal, menjadi panas dan merah kembali.
"Alasannya cukup sederhana, (Name)." ucap Maehara.
"Ya, cukup sederhana..." sahut Isogai.
"Itu karena kami mencintaimu, (Name) (Surname)." ungkap mereka serempak.
Lensaku membesar, tak percaya dengan apa yang mereka ucapkan.
"Bodoh..." gumamku, "Kenapa kalian jatuh cinta padaku!? Aku akan MATI!!"
"Tapi itu tidak ada hubungannya dengan aku yang mendapat penjelasan palsu, (Name)!" bentak Isogai, "Apa kau tau rasanya dibohongi oleh orang yang kau cintai?"
Aku hanya menggigit bagian bawah bibirku.
"Maaf jika ini membuatmu tersinggung, Maehara." gumamku, "Tapi, aku lebih mempercayai Isogai daripada kau."
"Aku mengerti," ungkap Maehara, "Asal kau memaafkanku itu sudah lebih dari cukup, setelah kejadian itu."
"Dan Isogai," paggilku, "Aku berbohong padamu agar kau tidak terganggu--"
"Oh, sayangnya aku sangat terganggu saat tau kalau kau berbohong padaku, (Name)." potong Isogai.
"Kau adalah orang terakhir yang ingin kusakiti, Isogai."
"Tapi kau menyakitiku dengan berbohong padaku."
"KUMOHON, ISOGAI!" bentakku, "Semakin aku menjelaskan segalanya padamu, semakin dekat kita dan semakin sulit aku untuk pergi ke Inggris."
"(Name)..."
"Kenapa... kalian jatuh cinta pada perempuan sepertiku, yang menutupi segalanya? Pada perempuan yang akan mati sepertiku ini?"
Aku memegang tasku dengan erat, dan menutup mataku.
"Tapi," ucap Maehara mengusap pipi kananku--dimana air mataku menetes--membuatku membuka mataku dan melihatnya, "Cinta memang seperti itu, kan? Cinta itu kejam."
"Sama kejamnya dengan dunia ini." sahut Isogai mengusap pipi kiriku.
"Lagipula, apa bagusnya aku? Aku begitu dingin terhadap kalian selama 3 bulan ini." ungkapku.
"Cinta tidak perlu alasan, bodoh." sahut Maehara menjitakku.
"Ow!"
"Kami mencintaimu apa adanya, (Name)." ujar Isogai.
"Tapi tetap saja..." gumamku, "Ada banyak perempuan lain di dunia... dan tentunya masih hidup."
Maeharan hanya tertawa kecil lalu menepuk kepalaku dengan pelan, "Tapi kami jatuh cintanya padamu, mau bagaimana lagi? Cinta terjadi begitu saja."
"Kalian harus segera melupakanku, agar kalian bisa melangkah ke depan dan menemukan cinta baru." pintaku.
Isogai hanya memutar bola matanya lalu mengacak--ya, mengacak habis--rambutku, "Maaf, melupakan orang yang disayangi itu adalah TIDAK MUNGKIN di kamusku."
"Begitu juga denganku." sahut Maehara.
Aku tidak bisa menahannya lagi. Air mata yang kutahan sejak sampai di bandara, keluar dengan derasnya sampai membasahi syal pemberian Onee-sama.
"Ba-ba-baka..." ucapku ingin memukul mereka, tapi tenagaku habis, "Laki-laki paling ba-baka yang pe-pernah kulihat."
'Cinta itu kejam, tapi indah disaat yang bersamaan.' itulah kalimat yang Onee-sama ucapkan padaku saat pertemuan terakhir kami.
Aku memeluk mereka dengan erat, "Terima kasih untuk segalanya," ujarku, "Hiroto. Yuuma."
Lalu aku melepas pelukanku dari mereka.
"Benar juga," ucapku mengusap air mataku, "Ayo kita buat janji lagi."
"...huh?"
"Begitu aku menyumbangkan hatiku dan Onee-sama pulih, maka Onee-sama akan pulang ke Jepang dan masuk ke SMA Kununigaoka lagi." jelasku, "Jadi saat Onee-sama datang, tersenyumlah dan bahagialah." pintaku lalu menunjukkan kedua jari kelingking-ku, "Janji?"
Mereka hanya menatapku lama, sampai akhirnya menghela napas dan masing-masing menautkan jari kelingking mereka--yang lebih besar--pada jariku.
"Janji."
"Terima kasih." ucapku tersenyum lebar, walau air mata masih mengalir di pipiku.
Baru saja aku ingin melangkah menuju pesawat, tiba-tiba ada yang menarik tanganku dan menciumku...
...yang tak lain dan tak bukan adalah Isogai.
'Eh?' lensaku membesar saat ada sesuatu yang lembut dan panas memasuki mulutku.
1 hit!
2 hit!
3 hit!
4 hit!
5 hit!
...
...
...
20 hit!
Dan Isogai melepas ciumannya dariku, yang sekarang sudah semerah tomat dan sepanas api.
'Kakiku... lemas...'
"Anggaplah aku mengabulkan harapanmu, hime." ucapnya tersenyum.
"Sepertinya kau mengerti apa yang Bitch-sensei praktekkan pada Nagisa, Isogai." ejek Maehara lalu mencium bibirku singkat, "Aku tidak mau kau meleleh sekarang, (Name). Pergilah ke pesawatmu sebelum kau benar-benar meleleh."
Aku hanya mengangguk pelan lalu berjalan sempoyongan menuju pesawat.
*** Yuuma's pov ***
"Isogai Yuuma, Maehara Hiroto..." aku dan Maehara menoleh pada Rinto yang sudah mengeluarkan aura killer, "Berani sekali kau mencium adik keduaku, huuh?"
"Sudahlah, Rinto-san." ucap Maehara, "Kau tidak tau apa yang akan terjadi ke depannya, kan? Jadi lebih baik dilakukan sebelum menyesal."
Lalu kami bertiga melihat pesawat (Name) melakukan take-off. Setelah melihat pesawat hilang ditelan awan, aku melihat jari kelingking-ku lalu menggeretakkan gigiku, membiarkan air mata mengalir di pipiku.
"Pembohong," gumamku, "Jangan membuat janji yang tidak akan ditempati."
***
Mampus lu, Reader-chan ಠ_ಠ Kau membuat duo ikemen menangis, siap-siap mendapat amukan dari pecinta ikemen--//padahal dia yang nulis//--//author dipanggang fangirls.
Setelah ini epilog, hm? (͡° ͜ʖ ͡°) Epilognya itu lanjutan dari epilog di buku "What the Hell!?" ya?
Kritik dan saran yang membangun akan sangat diterima~
-Rain
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro