
🐏3🐏
Aku tersentak mendengar seruan tadi, tampak bayangan mulai mendekat. "Ay! Ay!" Diriku kembali bersuara, meski sedikit cemas akan kedatangan sosok asing, aku sedikit berharap mereka orang-orang baik yang akan membantu kami.
Mereka semua mendekat dan segera membopong ayahku. Meski secara fisik mereka begitu rendah, mereka berdua sanggup menjaga keseimbangan tubuh ayahku. Sementara aku duduk di tanah mengamati tangan-tangan mereka yang menahan dia agar tidak jatuh.
Mata ayahku kembali terbuka lebar, dia melirik ke arah aku yang masih duduk di tanah. "Tolong ... Putraku." Dia menutup mulut saat kembali batuk. Menyadari dia mulai terhuyung, orang-orang itu segera membopong ayahku.
Aku merangkak, mencoba mengapai ayahku. Berharap segera mendekapnya seperti yang biasa dia dan ibuku lakukan saat aku merasa sedih maupun takut. Namun, sebuah tangan mengangkat aku, membuat diri ini terasa terkekang.
"Sssttt ... Tidak apa-apa, Sayang." Suara lembut dari wanita asing itu membuatku cemas. Dia memiliki telinga panjang dan rambut cokelat bergelombang menghias kepalanya hingga ke bagian punggung. Meski suara dan tatapan matanya terkesan lembut, aku lebih ingin ibuku yang memelukku saat ini. Mengapa dia tidak juga menyusul kami?
"Na! Na!" Aku memberontak, ingin segera lepas dan memeluk ayahku. Namun, elusan lembut pada punggung membuatku sedikit tenang.
Wanita itu kembali berucap dengan lembut. "Kalian aman bersama kami." Telinganya yang panjang tampak turun, melindungi wajahku dengan bayangannya dari sinar lampu rumah warga di sekitar. Sementara aku dibaringkan pada lingkaran lengannya yang lembut. Dia menggendongku, menyusul dua pria yang menuntun ayahku.
Cairan merah masih menetes di tanah, suara batuk terus memecah keheningan malam, membuatku tidak nyaman meski berada dalam pelukan hangat seseorang. Ayahku masih tampak kesakitan, aku harus membantu meski tidak bisa segera menghilangkan rasa sakitnya.
"Pa! Pa!" Kucoba meraih ayahku yang sedang berjuang untuk melangkah, meski tanganku begitu pendek untuk menyentuhnya.
"Tidak apa-apa, Sayang." Wanita itu kembali memelukku. "Jangan takut, kami akan menjaga kalian." Dia mengayunkanku pada pelukannya, persis seperti yang biasa ibuku lakukan agar aku tertidur. Namun, ini bukan dia. Aku ingin ibu dan ayahku!
"Papa! Papa!" Aku terus menyeru ayahku, berharap dipeluk orang tua sendiri. Semua ini begitu asing, tidak membuatku nyaman. Mulai dari ketiadaan ibuku, hingga ayahku yang sakit membuat diri ini semakin kalut pikirannya. Bayangan akan jilatan api yang telah melalap rumah kami kembali muncul. Tetesan cairan merah di tanah saat ini kembali mengingatkanku akan kengerian sebelumnya. Rasa heran dan takut bercampur padu, menciptakan tangis yang memecah keheningan malam.
Namun, kecupan lembut di dahi membuatku tenang. Begitu mata terbuka, kulihat ayahku tersenyum meski wajahnya masih pucat dan dipenuhi luka. Meski tidak lagi menangis, rasa cemas masih merasuki hatiku.
"Kita aman ... Di sini." Ayahku masih tersenyum sebelum kembali melangkah dengan gontai, dibantu dua orang yang masih setia di sisinya.
Aku terus memandangnya, meski diri ini masih di pelukan wanita asing itu. Namun, melihat ayahku tampak tenang di wilayah baru ini membuatku merasa sedikit aman. Mungkin saja ini tempat yang lebih baik bagi kami.
"Nyonya O'Hare, suamimu masih terjaga?" Salah satu orang yang membopong ayahku mulai bertanya. Rupanya, dia bicara kepada wanita yang menggendongku.
"Jangan cemas, dia selalu siap melayani siapa pun yang membutuhkan," sahut wanita itu.
Suara batuk ayahku kembali memecah suasana yang tadinya mulai mereda, dia masih dipegang dua pria yang membopongnya. Kudengar ayahku merintih, napasnya masih terputus-putus akibat batuk yang kadang menusuknya.
"Bertahanlah," ucap salah satu dari mereka kepada ayahku. "Kami tahu ini pasti perbuatan para serigala."
"Mereka ... meracuniku." Suara ayahku terdengar serak akibat batuk. "Rumah kami hancur, hanya aku dan putraku yang tersisa. Serigala itu telah lama mengincar kami." Cairan merah menetes dari bibirnya, napasnya terdengar berat saat dia tampak berjuang untuk terus melangkah.
"Kami akan membawamu ke rumah O'Hare," ujar salah satu pria yang berada di sisi ayahku. "Dia pernah mengobati korban dari serangan seperti ini."
Ayahku tidak menyahut, tapi dia terus ikut melangkah dibantu dua pria yang sedari tadi memastikan langkahnya seimbang. Walaupun secara fisik, aku melihat penduduk desa baru ini tampak begitu pendek, terlebih untuk dua pria yang berdiri di sisi ayahku. Mereka semua hanya setinggi sekitar bahu ayahku. Meski tubuhku waktu itu begitu kecil, aku sadar jika tinggi badan mereka terbilang lebih rendah dibandingkan para domba. Telinga mereka pun beragam bentuknya dan tidak ada yang bertanduk selain aku dan ayahku.
Salah satu pria yang menuntun ayahku tampak seperti serigala dengan rambut hitam, tapi badannya jauh lebih kecil. Dialah yang berkali-kali bilang pada ayahku untuk tetap bertahan. Sementara di sampingnya ada juga pria dengan warna rambut yang sama. Namun, kupingnya berbentuk runcing seperti serigala, tapi lebih pendek dan dilengkapi kumis panjang, matanya bersinar saat memantulkan cahaya lampu. Dia orang yang bertanya kepada wanita itu perihal suaminya. Jika lebih aku perhatikan, sorot mata mereka–terutama wanita yang menggendongku–tampak lebih lembut. Berbeda jauh dibandingkan para serigala.
Ayahku kembali batuk, cairan merah dari luka-luka itu masih membasahi tubuhnya. Saat dia hampir terjatuh, dua pria yang mendampingi ayahku segera memegang tangannya. Mereka kembali mengulangi kalimat yang sama, memberitahu jika kami semua semakin dekat menuju rumah seseorang yang akan membantu kami.
"Sedikit lagi," ujar pria yang matanya memantulkan sinar. "Tertidur sebentar saja, kau mungkin tidak akan bangun lagi."
Kulihat ayahku segera membuka mata, napasnya masih terdengar berat saat dia berusaha mengendalikan cairan merah yang terus memberontak ingin keluar dari bibirnya. Meski langkahnya terjeda sesekali demi menarik napas, dia terus melangkah dikawal dua pria tadi.
"Pa! Pa!" Aku mengoceh, mencoba memberinya semangat untuk terus melangkah. Tidak ingin aku meneruskan malam ini bahkan sepanjang hidupku tanpa kehadiran ayahku.
"Oh, dia bilang 'Papa, semangat!'" Wanita itu seakan memahami ucapanku. Matanya yang cokelat tampak berbinar saat tatapan kami bertemu.
Aku menatapnya dengan heran. Meski begitu, sedikit lega ada orang selain orang tuaku yang sedikit memahami ocehanku.
Ayahku terus maju, meski lebih tepatnya tampak diseret dua pria itu. Kedua pria itu terus bersuara, terdengar memberi harapan pada ayahku untuk terus melangkah.
Kulihat beberapa warga desa mulai menunjukkan dirinya, semua menatap ayahku yang sedang dibawa dalam desa ini. Aku amati semua orang yang menatap kami, semua memiliki ciri yang berbeda. Namun, tidak ada warga desa yang membuatku resah karena penampilannya. Semua tampak seperti orang biasa layaknya keluarga domba di pegunungan.
Mereka berhenti tepat di sebuah rumah yang sama besar dengan sekitarnya. Warnanya didominasi warna krem dan terdiri dari satu tingkat saja. Bentuknya yang setengah lingkaran membuat tempat itu tampak seakan menjadi lorong menuju ruang bawah tanah.
Pria yang matanya bersinar pun menoleh pada wanita itu. "Bukakan pintunya, Nyonya O'Hare."
Nyonya O'Hare membuka pintu menggunakan kunci, barulah aku sadar jika rumah ini memang berbentuk menyerupai lorong panjang menuju area bawah di tanah. Meski begitu, tempatnya tampak terang sehingga tidak terkesan seperti lubang persembunyian. Ayahku dibawa masuk, kedua pria itu berjalan pelan memastikan tidak ada di antara mereka terjatuh pada tengah tangga yang menuntun ke ruang utama. Sementara aku masih di pelukan wanita itu, menatap sekeliling dengan cemas dan kebingungan.
"Hei, O'Hare! Ada korban serigala lagi!" seru salah satu pria yang terus berada di sisi ayahku. Telinganya yang runcing tampak bergerak, seakan mencari keberadaan sosok yang dipanggil. Matanya tidak lagi bersinar saat cahaya telah memenuhi ruangan, berbeda saat di luar rumah tadi.
Kudengar suara pria yang berdecak kesal. "Serigala lagi, serigala lagi. Apa lagi yang mereka rusak?" Seorang pria bertelinga panjang muncul dari balik pintu kamar, matanya langsung menatap tajam ayahku, tampak sadar betapa gawat kondisinya. "Hei, jangan biarkan berdiri begitu! Lambat sekali kalian!"
"Sabar," tegur Nyonya O'Hare. Dia menyentuh pipiku, tepatnya mencubit dengan lembut. "Dia juga punya bayi kecil. Sama seperti kita."
"Kamu jaga bayinya," sahut O'Hare tanpa menatap sang istri. Rambut putihnya bergesekan dengan telinga panjangnya yang mulai mengarah ke bawah, barangkali sedang fokus pada apa yang di hadapannya. Dia berdiri di depan ayahku yang terbaring di kasur. "Kalian dari mana?"
"Dari gunung di atas sana," jawab ayahku. Matanya yang setengah terpejam terus memandang O'Hare yang berdiri di sisinya. "Para serigala memangsa keluargaku, mereka ingin–" Dia terbatuk, cairan merah kembali keluar dari bibirnya.
O'Hare tampak mengambil sejumlah benda yang asing dari balik lemari pada sudut ruangan. Aku kian cemas saat dia pegang beberapa bungkus berisikan bubuk entah apa itu. Dia segera mencampurnya dengan air, tampak begitu tenang meski sambil menatap tubuh ayahku yang gemetar akibat terus batuk. Mata ayahku masih setengah terpejam, tapi tetap memandangi O'Hare, sama seperti aku yang penasaran akan kegiatan pria itu.
Selesai mengaduk cairan dalam sebuah mangkuk, O'Hare menatap ayahku. "Minum, ini akan mengeluarkan semua racunnya." Dia angkat kepala ayahku, membantu dia untuk minum. "Para binatang buas, terutama serigala, sering memakai racun ini untuk menghabisi lawannya. Aku curiga mereka hanya ingin membunuhmu, bukan memangsa. Kau ada masalah dengan mereka? Atau mereka yang mencoba berlagak seperti kejadian beberapa tahun silam? Jangan bilang makhluk-makhluk ini ingin memperluas wilayah kekuasaan lain. Bah! Aku tidak mau mengungsi lagi!"
Ayahku kembali berbaring setelah minum, dia terus mendengarkan omelan dari O'Hare tentang para serigala. Aku sendiri terus memandang ayahku, berharap obat itu bisa membuatnya lebih baik. Suasana ruangan hanya diisi dengan omelan dan cercaan dari pria bertelinga panjang itu. Meski kurang memahami kata-katanya secara pasti, aku yakin dia pria yang berpengalaman menghadapi korban serigala atau pengobatan umum lainnya. Sementara si wanita dan dua pria yang menemukan kami, hanya berdiri di sudut ruangan dengan aku masih di pelukan Nyonya O'Hare.
"Tidak apa-apa, Sayang," bisik Nyonya O'Hare sambil mengelus rambutku. "Ayahmu akan segera sembuh."
Aku menatap wanita itu, berharap cemas jika semua ini akan berakhir. Bahkan di waktu yang harusnya menjadi kesempatan untuk beristirahat pun tidak terasa penting lagi. Mata ini terus menatap ayahku, memastikan dia baik-baik saja.
Ayahku menutup mulutnya, tampaknya ingin menahan batuk lagi. Tubuhnya kembali gemetar akibat batuk yang memaksa ingin keluar dari dirinya.
"Kalau merasa mual, keluarkan saja. Racunnya mau keluar," ucap O'Hare dengan nada tenang. Setelah membantu ayahku untuk duduk, segera dia raih sebuah wadah menyerupai mangkuk sebesar kepalan tangannya, dia arahkan pada ayahku.
Suara batuk kembali memenuhi ruangan yang tadinya ramai akan omelan O'Hare. Namun, aku kian cemas melihat ayahku terbatuk dengan keras, diiringi cairan merah dari mulutnya. Dia memuntahkan racun seperti yang O'Hare instruksikan. Sementara O'Hare mengelus punggungnya sambil memegangi wadah yang dipenuhi cairan kemerahan.
Nyonya O'Hare mendekapku dan berpaling, sepertinya berusaha mengalihkan pandangan mataku ke arah belakang, tepatnya pada tatapan dua pria yang menatap semua itu dengan sorot mata prihatin. "Ayo, kamu tidak perlu melihat ayahmu seperti itu." Tanpa menunggu balasan dariku, dia langsung saja berjalan menuju lorong yang berada tepat di belakang dua pria tadi.
Bjir bingung mau dipisah babnya apa ditambah–
Anyway, ngakak aku baca bagian bab ini soalnya lucu ngebayangin si baby domba yang gak berleher sepanjang cerita awowkwkwk mana gigi cuma 6 biji
Dinistain mulu gak sih? 🐏
Eh aku dah ganti emot per bab, soalnya ya Domba.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro