
🐏10🐏
"Pa... Papa!"
Papa mendekapku erat, menjagaku pada lingkaran lengannya yang dibalut bekas luka. Dia mengelus punggungku, memberi sedikit rasa aman di antara isak tangisku. Dia berbisik lembut, seperti yang biasa lakukan saat mengantarku pada dunia mimpi.
Mataku bertemu dengan pandangan Papa. Mata hijau itu tampak pucat sebelah, memantulkan bayangan wajahku yang masih dipenuhi air mata. Rasa takut akan sosok asing tadi masih membuatku gelisah. Aku merengkuh Papa, mencari perlindungan pada pelukannya. Kuraih bajunya, berharap dapat berlindung dari sosok di depan kami.
Papa masih mendekapku, tapi pandangannya kini beralih pada sosok yang berdiri depan pintu. Ayahku masih berbaring, kurasakan detak jantungnya kembali kencang tanda dia bisa jadi sama takut sepertiku kala melihat sosok tinggi besar di hadapan kami, terlebih tanduk panjang yang menghias kepala pria itu. "Siapa kau?" Papa bertanya dengan suara pelan, masih memeluk aku yang meringkuk di dadanya.
Dia seorang pria tinggi dengan badan besar, bahkan melebihi Papa dan kakekku. Wajahnya jelas tidak kukenal, kulit kecoklatan tampak senada dengan rambut lebat hitam dengan mata yang sama. Sementara tanduk besarnya menciptakan pantulan bayangan seperti serigala yang malam itu hampir saja memangsaku.
Aku merangkak mendekati leher Papa, berharap dapat berlindung di balik dirinya, hanya padanya aku berlindung. Usapan lembut di punggung sedikit memberi rasa tenang dalam situasi baru yang berdatangan, meski bunyi detak jantung ayahku juga menambah kegelisahan di balik raut wajah Papa yang terkesan tenang. Meski dikuasai rasa takut, sesekali aku menoleh guna memastikan sosok itu pergi atau justru menetap.
Pria itu tersenyum, memberi sedikit kesan ramah akan pertemuan menakutkan ini. Dia dekati tempat ayahku berbaring lalu duduk pada ujung kasur. "Aku dengar kisahmu dari O'Hare, sebenarnya sejak semalam kedatangan kalian membuat heboh satu desa."
Kurasakan tangan Papa masih mendekapku erat, aku balas dengan menyentuh wajahnya. Walau ayahku tampak tenang, terpancar ketegangan dari sorot matanya begitu memandang pria itu. Hatiku bicara melalui tatapan mata, walau tidak bisa bertutur kata. Ingin menenangkan Papa meski diri sendiri merasa dalam bahaya.
Pria itu melanjutkan, masih dengan senyuman terukir pada bibirnya. "Jangan khawatir, kamu dan bayimu aman di desa ini. Kami terima setiap penduduk baru dengan tangan terbuka. Hanya saja, kedatanganmu barusan mengingatkanku akan Lambert. Ya, kau putranya, bukan?"
Papa memandang ke arahku, tanganku masih menempel pada wajahnya. Dia mencium pucuk kepalaku, memberi rasa tenang di tengah suasana penuh kebingungan ini. Kubalas dengan menatap mata dia, terpantul bayangan aku yang memandang. Papa tersenyum tipis sebelum kembali menatap pria itu, mengiakan ucapannya.
"Sudah lama aku berurusan dengannya." Senyuman dari pria itu kali ini sirna begitu bertatapan pada ayahku, walau sedetik itu juga kembali pada raut wajah ramah darinya. "Kudengar kamu tidak ingin mengikuti jejaknya, benar? Kamu tampak terlalu lembut untuk pria keturunan Lambert, seperti soal ... Tandukmu itu." Matanya tertuju pada Papa, tepatnya pada bagian yang dia sebut tadi.
Papa menarik napas pelan, kulihat wajahnya masih tenang meski pancaran duka dari tatapan itu belum sirna. Tanduk melingkar di kepalanya mungkin tampak besar bagiku. Namun, aku sadar jika tanduk kakekku bahkan jauh lebih besar dan panjang dibandingkan miliknya. "Aku ingin hidup dengan tenang." Arah pandangnya kembali padaku, dia elus pipiku.
Aku coba meraih tangan yang menyusuri pipiku, hanya satu jari Papa yang dapat aku genggam. "Bah ... Ah." Aku keluarkan suara lagi, ingin bicara pada ayahku entah apa topiknya. Mencoba membalas setiap kalimat yang dia lontarkan walau itu tidak tertuju padaku.
Papa balas dengan meniru suaraku lagi, seperti biasa yang dia lakukan bersama ibuku guna mengajari diri ini cara bertutur kata maupun membalas ucapan. Meski hanya terbatas kosa kata singkat yang barangkali tidak bermakna bagi orang dewasa, kuharap setiap ocehan dapat memberi rasa tenang pada orang tuaku, seperti yang selalu mereka lakukan padaku.
"Aku tidak ingin hidup seperti ayahku, penuh dengan pertarungan tidak penting." Papa kembali berucap, masih menatapku, ekspresinya masih tenang sembari terus melayangkan pandangan pada aku yang berada di depannya. Jari kami masih saling menggenggam.
"Kamu tidak perlu memotong tanduk seperti itu. Biarlah terus tumbuh, karena itu bagian darimu. Kamu bisa melindungi anakmu dengan itu." Pria itu menunduk sedikit, memperlihatkan sepasang tanduk tegak yang menghias kepalanya. Tanduk itu begitu besar hingga hampir memakan sebagian dari kepalanya, menyerupai telinga serigala, aku kira dari pandanganku itu menafsirkan sosok tadi sama dengan yang memburu kami semalam.
Papa tidak menyahut, masih mengelus pipiku. Tampak merenungkan ucapan dari pria itu. Aku kadang melihat ayahku mengesekkan sebuah benda pada tanduknya hingga terkikis sebagian, membuat tanduknya lebih pendek dan tidak pernah lebih panjang dari itu. Belum pernah pula kulihat Papa membiarkan tanduk dia tumbuh seperti kakekku.
Aku balas tatapan Papa dengan senyuman, berharap itu dapat memberi sedikit hiburan baginya. Meski tidak dapat membaca isi hati, kurasa ayahku masih bersedih sejak kemarin. Aku sendiri masih kebingungan serta suasana aneh dan kesunyian yang tidak wajar akibat kepergian ibuku dan entah kapan dia akan kembali.
Pria itu kembali bicara. "Dari O'Hare kamu mungkin sudah mengenalku. Aku kepala desa ini, meski tidak bernama, kami menyebutnya Desa di Lembah karena memang ini satu-satunya desa pada lembah di bawah gunung. Kalau boleh tahu, ada keluarga lain yang tinggal di gunung sana? Atau peradaban?"
Papa masih menatapku yang berada di dadanya, sorot mata dia memancarkan pikiran mendalam. Kali ini elusan pada pipi beralih pada sentuhan lembut di rambut. "Kami terdiri dari kumpulan keluarga domba besar."-Suaranya memelan-"Sebelum para serigala menghabisi mereka satu per satu."
Aku coba raih wajahnya, berharap sedikit memberi rasa tenang saat dia kembali pada kenangan keluarga kami. Meski hanya mengenal sebatas orang tua dan kakekku, tidak pernah kuingat keluarga domba lain di sekitar. Mengira kami selama ini hanya keluarga kecil domba yang tinggal di gunung bersama.
"Kamu bisa ceritakan kapan saja." Pria itu menanggapi. "Untuk saat ini, bersyukurlah karena kamu dan anakmu selamat. Kami akan segera menyiapkan tempat tinggal kalian."
Papa menatap pria itu, kulihat pandangan matanya tajam, terkejut mendengar ucapan itu.
Namun, saat Papa membuka mulut tanda akan mengucapkan sepatah kata, pria itu kembali bicara. "Jangan cemaskan soal imbalan atau apa pun itu yang mengganggu pikiranmu, segera setelah kamu pulih, segera temui aku."
Papa kembali menatapku, kulihat sorot wajahnya masih memancarkan duka campur kebingungan, keningnya mengerut tanda dia sedari tadi berusaha mencerna segala hal yang terjadi dalam waktu singkat. Papa, apa yang ada di pikiranmu? Barangkali aku bisa menolong, entah bagaimana.
Aku angkat kedua tangan, mencoba meraih wajah ayahku. Rupanya dia paham, Papa dekatkan aku pada wajahnya membiarkan aku mendekap dia lebih erat.
"Beristirahatlah, kami akan menyiapkan segala kebutuhanmu." Pria itu terdengar melangkah menjauh, pintu kembali tertutup, menyisakan keheningan dalam ruangan.
Aku masih memeluk wajah Papa. Jari masih menyusuri wajahnya yang dipenuhi bekas luka, berharap sentuhan ini memberi kesan lembut di tengah suasana asing, seperti yang selalu dia berikan padaku.
Pandangan Papa yang tadi fokus pada kepergian pria itu kini beralih padaku yang masih lengket pada pipinya. "Tidurnya nyenyak?" Dia tersenyum.
Aku tidak tidur sedari tadi, jadi kubalas dengan gelengan.
Papa perlahan bangkit, tangan masih memegang aku yang berada di pipinya. Dia kembali duduk dengan bantal sebagai penyangga tubuhnya. Walau hanya tidur sesaat, sedikit lega aku melihat dia perlahan pulih. "Kok tidak tidur? Masih takut, ya?" Dia bicara dengan lembut sembari membaringkan aku ke pangkuannya.
Aku tidak mampu mengutarakan isi hati dengan kosa kata terbatas seperti ini. Namun, tidak bisa pula aku abaikan ayahku.
Ya, aku masih merasa asing, tidak bisa beristirahat karena takut lengah. Terakhir kali, malam kemarin lebih tepatnya, aku terlelap dalam balutan tidur dan malah terbangun dengan rumah dilahap api, serta keanehan dari wajah pucat ibuku.
Aku coba raih satu jari Papa, menggenggamnya erat dengan harap bisa memberi sedikit petunjuk pada ayahku akan perasaan ini meski tanpa sepatah kata. Ya, Papa, aku takut semua akan terulang lagi jika aku tidur.
Papa balas genggaman tanganku, dia kembali berbisik. "Papa selalu menjagamu, kita sudah aman di sini." Dia mendekatkanku pada dadanya, membiarkan detak jantungnya yang pelan menenangkan hatiku.
Barangkali, saatnya aku belajar menerima segala perubahan dalam hidupku.
Waduh, habis ini full santai dulu gak, sih? 😂
Iyah, aku masih ada lapak lain yang kudu diurus, cuma berhubung ini ringan aja seperti "Wonderful World of Flower" tadi, jadi bisa dikit dikendalikan. Oh ya, makasih udah mampir, ya! Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komen!
Sampai jumpa nanti!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro