Pandanganku dipenuhi warna merah, kain yang menyelimuti tubuhku terasa panas akibat jilatan api yang kian ganas. Tubuhku berusaha menahan sakit yang menggerogoti. Tidak bisa berjalan, aku hanya mampu menjerit, berharap semua berhenti. Mengapa dunia berubah dalam sekejap?
Seingatku, aku hanya berbaring di pelukan ayahku. Seperti biasa, dia akan berbaring di sisiku sementara ibuku akan pergi ke luar sebentar hanya untuk menghirup udara malam sebelum menyusul kami ke dunia mimpi. Namun, begitu mata terpejam, jeritan memekakkan telinga menyentak aku dari ketenangan malam. Kasur tempatku berbaring kini berganti dengan tanah panas dipenuhi cairan merah. Terdengar jeritan lemah dari orang-orang yang sebelumnya dipenuhi tawa. Suara lembut dan penuh kasih dari ibuku kini hanya tersisa keheningan. Kulihat sosok yang selama ini membawaku ke dunia terkulai lemah, tidak lagi menyahuti panggilanku.
"Mama." Kucoba menyentuh kulitnya yang pucat, mencoba memanggil kembali. Namun, bunyi detak jantung yang biasa kudengar sejak dalam kandungan kini sirna, menyisakan raganya yang terbaring di sisiku tanpa kehangatan yang familier. Tidak lagi menyahuti tangisan maupun ocehan dariku.
Aku tersentak mendengar geraman. Suara yang sedari tadi begitu asing dan mengganggu keheningan malam kini terdengar semakin dekat. Belum pernah suara itu terdengar begitu jelas, biasanya kulihat ayahku hanya akan bangkit sejenak dan keluar rumah. Saat suara itu berhenti, dia akan kembali memelukku.
Namun, suara itu semakin keras, membuat aku yang tidak tahu apa pun merasa resah. Tanpa ada yang mendekapku, dunia tidak terasa aman.
Air mata luruh membasahi pipi, tidak tahu cara mengungkapkan rasa tidak nyaman sedari tadi. Cahaya merah di sekeliling membuat tubuhku terasa terbakar, cairan merah dengan bau menyengat, serta suara asing menggetarkan jiwa sedari tadi mengganggu.
"Ma ..." Aku merangkak kembali ke sisi ibuku, meski hanya tersisa sebagian dari dirinya. Matanya terbuka lebar, tapi tidak lagi memancarkan kelembutan. Kucoba menyentuh kulitnya yang dingin, tidak ada lagi kehangatan yang terpancar. "Mama." Harapanku, dia segera kembali dan melindungiku.
Namun, hanya tatapan hampa menyahut. Perasaan bingung menggelayut di pikiranku, ada apa dengan ibuku?
Geraman itu kembali terdengar, aku masih memegang ibuku, berharap dia segera bangkit untuk mendekapku. Bayangan besar menyelimuti pandangan, begitu aku menoleh, tatapan tajam mengarah padaku.
Tetesan liur terjatuh ke tanah, hampir mengenaiku. Mata kuningnya terus mengarah padaku, tidak pernah melepas pandangan. Geligi yang menghias di balik bibirnya dipenuhi cairan merah itu. Sementara sepasang telinga besar menghias kepalanya, tampak bagai tanduk yang aneh. Dia tidak terlihat seperti sejenis kami, giginya terlalu besar. Aku gemetar, tidak tahu siapa orang asing yang menakutkan itu.
Bayangan lain menyergap sosok itu, membuat keduanya terjatuh di antara cahaya merah yang menyala. Kudengar suara keras yang kukenal, suara yang biasanya terdengar lembut kini menggetarkan jiwaku.
Ayahku kini berhadapan langsung dengan makhluk itu. Dia menatap tajam lawannya, matanya memantulkan kobaran api yang mengelilingi mereka. Hatiku terasa teriris melihat tubuhnya dibalut luka dan cairan merah, tampak menyakitkan.
"Papa." Mataku menatap ke kilatan merah yang menyergap keduanya. Kucoba merangkak, berusaha meraih ayahku yang tampak kesulitan.
Kulihat sosok menyeramkan itu menahan gerakan lawannya, meski tubuh dia kini tertancap dengan sepasang tanduk ayahku. Kilatan merah perlahan menyergap mereka, saling mendorong ingin menjatuhkan lawan yang tidak juga menyerah. Tanduk melingkar yang tertancap di tubub sosok itu meneteskan cairan merah, membasahi wajah ayahku dan masih menahan lawannya.
"Papa." Meski suaraku terbatas hanya dalam beberapa kosa kata, aku berusaha mengungkapkan perasaan gelisahku saat ini. Tidak ingin melihat ayahku terluka maupun sosok menakutkan itu di depan kami.
Meski tubuhnya lebih rendah, ayahku mendorong lawannya hingga api kembali menyergap sosok itu. Kulihat dia berdiri tegak meski gemetar dipenuhi luka, tanduk melingkar yang menghias kepalanya kini dibasahi cairan merah yang menetes hingga menutupi sebagian wajah. Napasnya terengah-tengah, sementara mata dia terus memandang lawan yang baru saja tumbang.
Sosok menyeramkan itu kini terkulai di antara kobaran api, sedikit bergerak entah karena terkena api atau berusaha untuk bangkit melawan. Namun, perlahan dia mulai diam seakan membiarkan api perlahan menyergapnya. Menyisakan tubuhnya dibalut cahaya merah.
Mataku kembali tertuju pada ayahku, tubuhnya yang biasanya kuat kini tampak bergetar, dipenuhi cairan merah membasahi bajunya yang terkoyak, menampakkan luka-luka di sekujur tubuh. Aku mengoceh, berusaha mengungkapkan perasaan cemas. Ada apa dengan ayahku?
"Pa... Papa?" Aku merangkak mendekat, meski tangan hampir tidak sanggup menahan beban tubuh. Aku ingin segera memeluk ayahku, memastikan dia merasa aman. Seperti yang biasa dia lakukan padaku sebelum tidur.
Arah pandangnya tertuju padaku, sorot mata lembut yang familier kembali menyelimuti tatapan itu. Dia tersenyum tipis meski kulihat wajahnya kini dipenuhi luka dan cairan merah membasahi tanduknya. Mulut dia terbuka, seakan ingin mengucapkan sesuatu padaku.
Kilatan api menyeruak dari belakang, menyergap ayahku yang bahkan tidak sempat menoleh apalagi menghindar. Aku refleks berhenti, menyadari cahaya itu perlahan mengarah padaku. Namun, pantulan bayangan di balik sinar merah muncul.
Ayahku melompat, mendekapku erat selagi jilatan api menyergap kami. Mendengar dia menggerang, jantungku berdegup kencang. Takut akan apa yang terjadi pada kami. Api itu hanya menyerang dalam sekejap, tapi membuat ayahku berlutut di tanah sementara luka yang membalut raganya membuat dia gemetar. Tangan dia masih mendekapku erat, terdengar detak jantungnya yang berdegup kencang.
Aku kembali mengoceh, berusaha merangkai kata yang mengungkapkan rasa cemasku. Tidak ingin melihatnya kesakitan. "Papa!"
Meski wajahnya mulai pucat dibalut luka, dia masih tersenyum padaku. "Tidak apa-apa." Kecupan lembut mendarat di keningku, aku tidak paham mengapa dia tetap terlihat tenang. Aku terus mendekap ayahku, mencari perlindungan. Kurasakan tangannya dengan lembut melindungiku, perlahan mengelus rambut aku yang kini dipenuhi cairan merah dari tangannya.
Aku meraih lehernya, mencoba untuk menyembuhkan luka di hati ayahku yang mungkin saja ketakutan sepertiku. Entah mengapa dunia kami yang tenang kini dipenuhi kobaran api, tapi dia masih terlihat tenang walau tubuhnya tampak rapuh.
Mataku menatap sekeliling kami yang dipenuhi warna merah, sensasi panas masih mengekangku dalam ketakutan. Ingin sekali aku membawa ayahku pergi dari sini, tapi saat ini bahkan tidak sanggup merangkak lebih jauh.
Sosok lain, serupa dengan sebelumnya, kembali mendekat. Aku berseru ketakutan, dia menusukkan jarum ke bahu ayahku. Kurasakan tubuhnya tersentak, tapi masih mendekapku erat.
Geraman kembali terdengar, kali ini sosok itu memamerkan geliginya dan menggigit tangan ayahku. Napasku tercekat, seruan penuh takut kini bercampur dengan isak tangis. Kurasakan tangan ayahku perlahan menurunkan aku kembali ke tanah. Meski dia tampak sedikit goyah saat mencoba bangkit, masih saja dia sanggup berdiri di depanku, menghadap lawan baru yang baru saja menusuknya.
Seruan ayahku menggelegar, membuat aku gemetar. Tetesan cairan merah memenuhi tanah tempatnya berdiri, tapi dia tetap tegak menatap lawannya. Sepasang tanduk melingkar yang menghias kepalanya tampak siap menusuk lagi, meski diiringi dengan napas tersengal-sengal, matanya masih memancarkan pantulan cahaya merah yang mengekang kami, tidak tampak gentar.
Sosok menyeramkan itu kini tampak jelas dibalut cahaya merah, telinganya yang tegak tampak mencolok dibandingkan sepasang tanduk melingkar yang kami miliki. Geligi tajam masih menghias bibirnya yang dipenuhi cairan merah. Sementara matanya memantulkan bayangan ayahku di hadapannya. Makhluk itu sering dituturkan para orang tua agar anaknya tidak berani berjalan jauh dari rumah-serigala. Dia tampak lebih kecil dibandingkan serigala yang tumbang barusan.
Dia menyeringai selagi melihat ayahku. "Kau kira masih bisa hidup setelah ini? Semua domba di sini telah habis kami mangsa, kalian makanan penutupnya."
Kulihat ayahku tidak menyahut, meski mata dia terus menatap tajam lawannya.
Serigala itu tersenyum, tapi hatiku tidak nyaman melihat senyuman itu. "Sebentar lagi kau akan mati diracuni, pasrah saja!"
Aku tersentak saat ayahku melesat ke arah serigala itu. Tanduknya menancap tepat di bagian tengah tubuh serigala itu. Fisiknya yang hampir setara dengan ayahku membuat dia lebih cepat tumbang dibandingkan serigala sebelumnya. Meski begitu, kulihat dirinya masih menyeringai selagi raga yang pucat itu mulai terlalap api.
Ayahku masih berdiri meski tetap gemetar, matanya terus memandang ke lawannya yang perlahan disergap api. Dia terbatuk-batuk, membuatnya berlutut ke tanah. Tetesan merah masih memenuhi wajah dia, beriringan dengan luka yang membalut raganya.
"Papa!" Aku merangkak, meski kaki terasa terbakar saat menyentuh tanah yang dikelilingi api. Namun, rasa takut melihat kondisi ayahku membuat aku tanpa ragu terus mendekat.
Ayahku bangkit meski terhuyung, kembali meraihku ke pelukannya. Dapat kudengar detak jantung yang berdegup kencang, tanda dia mungkin merasa takut sepertiku.
"Papa, Papa," ucapku pelan, mencoba menenangkannya.
Dapat kurasakan pelukan hangatnya menyelimuti, suasana sekitar yang dipenuhi api masih membuatku resah. Ayahku kembali melangkah, meski kulihat dia berjalan begitu pelan dan beberapa kali nyaris terjatuh.
Dia kembali mengulangi kalimat yang sama seperti sebelumnya. "Tidak apa-apa. Kita aman-" Suaranya tercekat akibat batuk.
Aku menggenggam erat bajunya, selagi tangannya masih melingkari tubuhku. "Papa." Aku tidak ingin melihatnya sakit apalagi menderita. Ingin rasanya kembali ke masa saat kami hanya bermain bersama dan menyambut malam dalam ketenangan.
Ayahku kembali melangkah melewati jilatan api yang tersisa. Cairan merah terus menetes darinya, tapi dia terus bergerak entah ke mana. Kutatap wajahnya yang pucat dipenuhi luka, dia tampak jauh berbeda dari biasanya. Aku ingin sekali melihat ayahku kembali seperti semula, tapi bagaimana?
Dia terus maju, meninggalkan cahaya merah menyelimuti rumah kami yang sebelumnya indah dipenuhi bunga dan buah. Kabut asap menyelimuti sebagian pandangan, tapi dia terus saja melangkah meski sesekali terhenti sejenak untuk menenangkan napas akibat batuk.
Ayahku terus melangkah, hingga pandanganku tertutup bayangan pepohonan menyelimuti kegelapan malam.
Bab satu santai dulu gak sih? Gimana menurut kalian soal bab satu ini? Iya, meski sedikit santai, tapi aku gak mau ngasih info terlalu banyak, nanti gak penasaran lagi aowkwkwk
Sebelum kalian lanjut ke kegiatan masing-masing, aku kasih dulu komen sederhana dari desaigner cover cerita ini, dari Zhianyann.
Wah, pasti ceritanya manis bagai gula yekan? ^^
Sampai jumpa di bab berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro