❬ 10 ❭ Pesta Kelulusan
Alvaska datang seperti yang dikatakannya saat di telepon tadi. Dia memakai baju bebas dan masuk lewat jalan belakang seperti yang Vano lakukan sebelumnya. Mereka pindah ke tempat yang lebih teduh karena matahari telah benar-benar mengambang di atas kepala.
Di taman belakang sekolah dekat dengan pohon besar yang Keyra sendiri tak tahu apa namanya, mereka membicarakan masalah dengan kepala dingin. Tak ada teriakan marah ataupun tinju yang saling melayang.
Awalnya tak ada yang membuka percakapan sama sekali. Keyra yang merasa takut menatap Alvaska hanya bersembunyi di belakang tubuh Vano yang lebih besar darinya, memegang erat kemeja putihnya hingga kusut.
"Key," panggil Alvaska selembut mungkin. Keyra bahkan sedikit terkejut mendengar nada halus yang berasal dari Alvaska. Selama mereka menjalin hubungan, Keyra tak pernah mendengar Alvaska berkata lembut seperti sekarang.
"Maaf. Gue pasti nakutin lo selama ini." Suara Alvaska terdengar serak. "Setelah ini kita mungkin nggak bakal pernah ketemu lagi, Key. Jadi gue mohon, untuk terakhir kalinya lo mau nunjukkin wajah lo, kan?"
Keyra menggeleng. Sama sekali tak ingin memperlihatkan wajahnya pada orang yang telah menindihnya kuat hingga ia hampir tak bisa bernapas. Keyra tak dapat melupakan wajah penuh nafsu milik Alvaska.
"Key...." Alvaska memanggilnya lagi.
Vano dengan sigap menghalangi pandangan mata Alvaska yang sedari tadi hanya tertuju pada Keyra. "Keyra bilang dia nggak mau. Jangan paksa."
Alvaska menyerah. Dia langsung membicarakan intinya.
"Gue bakal pindah. Mau itu tempat tinggal gue ataupun sekolahan. Gue nggak akan pernah muncul lagi di depan kalian berdua."
Vano sedikit terlonjak mundur. Sedangkan Keyra memelototkan mata di belakang sana saking kagetnya. Keyra sedikit mengintip untuk melihat ekspresi yang dikeluarkan Alvaska. Meski tidak terlihat jelas, tetapi kantung mata Alvaska tampak lebih menghitam, matanya juga sembab seolah telah menangis semalaman.
"Kenapa?" tanyanya mencicit.
Alvaska meliriknya sebentar. "Orang tua gue bilang, kalo gue bakal dipindahin ke sekolah yang ada asramanya juga. Karena hidup gue nggak sepenuhnya punya gue. Jadi, gue harus nurutin apa kata mereka."
"Kalo lo setersiksa itu, kenapa nggak kabur? Kenapa nggak hancurin aja mimpi yang mereka bangun?"
"Gue nggak bisa kabur. Gue nggak punya tempat buat kabur." Alvaska menggigit bibir bawahnya, "Kesalahan yang gue perbuat udah nggak bisa diperbaiki lagi. Gue mungkin udah kehilangan akal. Sebenernya gue nggak layak dapetin maaf dari kalian, tapi gue bener-bener nyesel. Maafin gue, Keyra. Vano."
"Gue nggak butuh permohonan maaf lo. Karena meski lo minta maaf pun, waktu nggak bisa diputer. Nggak ada yang bisa kita lakuin buat perbaiki kesalahan yang udah lalu. Gue cukup marah. Tapi lo juga punya hak buat marah sama gue. Seperti kata lo, kita udah impas."
Keyra keluar dari tempat dia bersembunyi. Ia memberanikan diri menatap wajah Alvaska yang sedang menunduk. "Gue terima maaf lo," katanya. "Tapi gue nggak bisa nggak benci sama lo, Al. Lo udah cukup buat gue ngerasain takut lagi. Awalnya ... gue merasa bersalah udah ngebiarin lo tertekan sendirian, tapi gue nggak bisa terima perlakuan buruk lo. Gue kira ... seenggaknya lo bakal ngehargain gue sebagai cewek. Tapi ... lo justru perlakuin gue kayak gitu. Gue kecewa, Al."
Alvaska ikut membalas tatapan Keyra, "Maafin gue, Key." Dia beralih menatap Vano, "Gue punya pesan buat lo, Van. Tolong jagain Keyra. Jangan sampe ada orang yang kaya gue deketin Keyra lagi."
Vano menjawabnya dengan suara yang dingin, "Tanpa lo pinta pun bakal gue lakuin."
Setelah itu, Alvaska benar-benar menghilang seolah ditelan bumi.
❬✧✧✧❭
Sepulang dari sekolah, Keyra hanya merebahkan tubuhnya di atas ranjang tanpa bergerak sedikit pun. Keyra merenung dalam waktu lama hingga matahari terbenam pun Keyra tak tahu.
Berita menghebohkan tentang Vano itu telah hampir setahun berlalu dan tak ada penyelesaian apapun yang berarti. Vano tak berniat membuka mulut dan menjelaskan segalanya. Membiarkannya begitu saja.
"Biarin aja mereka kenyang sama berita gue itu. Nggak ada gunanya juga buat gue lurusin semuanya." Vano bilang begitu saat Keyra maupun Radit menyarankan untuk meluruskan berita tentangnya yang semakin lama malah semakin menyimpang jauh dari kebenaran. Jika Vano sudah bilang begitu, maka Radit dan Keyra hanya bisa menyerah. Tak berniat menekan Vano lebih jauh.
Dan selama itu pula Vano bersikap tak acuh dengan tidak mendengarkan ocehan serta bisikan di belakang badannya. Menyumpal kedua telinganya kuat-kuat dan hanya berbicara pada orang yang dianggapnya penting.
Mengingat hal itu cukup membuat Keyra merasa sangat bersalah karena telah banyak menyusahkan Vano. Hanya saja Vano selalu mengatakan bahwa ini bukan sepenuhnya kesalahan Keyra karena Vano jugalah yang mengambil keputusan untuk membantunya.
Lalu sekarang pihak sekolah akan mengadakan pesta sebagai puncak acara perpisahan di sekolah. Para murid juga diwajibkan datang secara berpasangan. Ini memusingkan bagi Keyra. Haruskah dia mengajak pergi Vano pada tempat yang ramai, sedangkan Vano sendiri membencinya?
"Gila juga gue lama-lama," Keyra terdiam sejenak. "Tapi, kalau bukan sama Vano terus sama siapa? Masa iya harus sama cowok lain yang ada di kelas? Merinding banget!"
Kembali diam, Keyra melirik ponsel berlogo apel gigit sekejap sebelum atensinya teralihkan pada suara bel yang berulang kali ditekan. Menimbulkan gaduh di rumah yang penuh keheningan.
Dengan segera ia bangun dari tempat tidurnya. Berjalan secara perlahan-lahan. Keyra sedikit takut saat akan membuka pintu, sebab saat melihat ke arah jam, sekarang sudah lewat dari jam malam. Namun, Keyra tetap memaksakan langkahnya. Dia melewati kamar Padmarini. Pintu kamar ibunya itu tertutup, yang berarti ibunya sudah terlelap dalam tidur. Keyra meneguk ludahnya. Takut jika ibunya terbangun karena kebisingan suara bel.
Keyra memutar knop pintu. Tampak pemandangan yang membuat Keyra sedikit menarik napas lega karena ternyata bunyi bel itu ulah Vano. "Apaan? Bisa nggak sih ngebelnya biasa aja? Gue udah mikir yang enggak-enggak, tau!"
Vano hanya terkekeh kecil. "Nggak biarin gue masuk?"
Keyra mendelik. "Mau ngapain lo malem-malem?" Kini mata Keyra menatap penampilannya yang sama-sama masih memakai seragam sekolah. Bedanya, Vano membiarkan kancing teratasnya terbuka. Memperlihatkan dalamannya yang berupa kaos hitam polos kebanggaan lelaki tersebut.
Matanya kembali beralih pada paper bag yang dibawa oleh Vano. "Itu buat gue?"
"Iya."
"Em, mau minum?" tanyanya dengan nada canggung. "Cuma ada air putih tapi."
"Lain kali gak usah nawarin. Bawain aja langsung." Keyra mendecakkan lidahnya tanpa sadar sambil berjalan ke arah dapur.
Vano duduk di sofa ruang tamu. Menatap beberapa tumpukan buku yang berada di sekitarnya sambil menunggu Keyra.
"Nih." Ia menyodorkan segelas air putih bersamaan dengan beberapa kue sebagai camilan. "Omong-omong yang lo bawa itu apa, Van?"
"Gua bawain dress buat lo pake ke acara pesta perpisahan nanti."
Jawaban Vano membuat Keyra membesarkan matanya, terkejut. Apa-apaan sikap Vano yang seolah mengajaknya pergi bersama ini?
"Lo mau jadi pasangan gue?"
"Kita kan emang pasangan. Ya jelas gue harus ikut pergi juga."
"Emangnya nggak masalah buat lo? Ini pesta, lho! Banyak orang yang dateng. Apalagi nanti di sana pasti berisik banget. Emangnya lo yakin bakalan baik-baik aja?"
"Makanya itu gue harus ikut. Gue nggak apa kok. Justru bakal nyesel kalo gue nggak ikut."
Keyra menahan tawa. "Jadi gitu." Meski Vano tidak mengucapkannya secara langsung, Vano jelas tengah mengkhawatirkannya. Keyra merasa senang mendengarnya. Jarang sekali ada seseorang yang cemas padanya seperti ini.
Jika yang berada di sampingnya kini adalah Alvaska, akankah dia juga mengkhawatirkannya? Keyra belum pernah melihatnya. Apalagi setelah hari itu, Alvaska tak lagi tinggal di sini. Dia benar-benar pindah. Meskipun itu bukan kemauannya sendiri, melainkan paksaan dari kedua orangtuanya. Keyra pikir mereka mungkin memulai hidup baru dengan kembali membangun reputasi yang sempat hancur. Keyra berharap agar Alvaska menemukan kebahagiaan yang layak. Bukan dengan saling menyakiti tentunya.
Vano berkunjung malam-malam hanya untuk mengantarkan bajunya hingga Keyra menghadiahi Vano berupa omelan pedas.
"Soalnya kalau gue anterinnya besok belum tentu bisa. Seminggu ini gue bakal sibuk sampe nggak bisa ketemu lo dulu."
"Gitu. Emang ada urusan apa?"
"Sekarang ayah udah resmi cerai. Jadi kita sibuk buat pindahan."
"Em, apa gue harus ucapin selamat?"
Vano menyunggingkan senyum. Dia memperbaiki posisi duduknya dengan menyandar pada sofa sambil tangannya melipat di dada. "Harus," ucapnya pongah.
Keyra tersenyum kecut. Vano tampak bahagia dengan perceraian kedua orang tuanya. Ya, tentu saja dia bahagia. Karena dengan begitu, Vano dapat lepas dari bayang-bayang ketakutannya selama ini.
Mengetahui jika beban di pundak lelaki itu sedikit menghilang, membuat Keyra merasa senang juga. Keyra lalu menepuk-nepuk kepala Vano pelan seolah sedang meninabobokan seorang bayi. Vano tak menolak diperlakukan begitu olehnya. Dia tampak damai-damai saja, bahkan hingga menutupkan kedua matanya. Tampak menikmati kasih sayang yang dialirkan Keyra lewat tepukan kepala.
"Kamu udah berjuang keras selama ini, ya, Vano. Anak baik! Mau aku kasih Milkita?"
Seketika itu pula Vano mendelik. "Gue nggak suka permen rasa susu, Key!"
"Hahaha." Tawa yang manis keluar dari mulut Keyra. Mengusili Vano adalah hobinya saat ini.
❬✧✧✧❭
Hari semakin cepat berlalu, dan mereka sedang dihadapkan dengan acara puncak yaitu pesta perpisahan.
Keyra sedang mematut dirinya. Dia baru saja selesai memakai make-up dan sedang memakai dress pemberian Vano malam itu. Gaunnya berwarna merah terang yang kainnya jatuh mencapai batas lutut dengan model berlengan pendek yang sedikit memperlihatkan kedua bahunya. Tampak sangat elegan meski cukup tertutup untuk dikategorikan sebagai gaun pesta. Vano sungguh-sungguh menjaganya.
Keyra sedikit berputar di depan kaca besar. Berulang kali mengecek penampilannya sebelum keluar menemui Vano yang sudah menunggu di ruang tamu. "Selera dia bagus juga," gumamnya.
Tangannya meraba ke arah dada kiri, di mana letak jantungnya berada dan berdetak sangat cepat, seolah sedang menaiki roller couster. Keyra menghembuskan napasnya pelan-pelan agar kegugupannya mereda. Perlahan kakinya melangkah keluar kamar, menuju lantai bawah.
Sesampainya Keyra di sana, matanya terpaku pada Vano yang tampak menawan memakai jas berwarna hitam keabuan bersama dengan kacamatanya yang setia.
"Lama banget! Untung nggak sampe jenggotan," keluhnya sambil menatap Keyra yang masih berdiri di ujung tangga.
Keyra berdeham pelan menghilangkan kecanggungan yang diam-diam terjadi di antara mereka. "Ayo, cepet! Jangan kelamaan di sini. Bentar lagi acaranya bakal dimulai."
"Hm. Ayo," jawab Vano dengan suara datar.
Keduanya berjalan bersisian sambil bergandengan tangan setelah keluar dari mobil yang baru Vano beli beberapa hari lalu. Sebelum masuk ke aula gedung di mana pestanya dirayakan, Vano berbisik padanya. "Keyra. Hari ini lo sangat memesona," katanya.
Keyra menarik senyum hingga ke pipi. Pujiannya mungkin sedikit berlebihan, tetapi dapat menggelitik perut Keyra hingga ia nyaris tak berhenti menebarkan senyum di sepanjang ruangan.
Sebuah ruangan besar dengan banyak dekorasi seperti balon berukuran sedang dengan berbagai macam warna dan huruf yang membentuk sebuah kata berupa ucapan selamat atas kelulusan yang menempel di tembok serta beberapa pita yang menggantung di aula terlihat sangat cantik. Belum lagi beberapa tempat seperti photoboth yang disiapkan benar-benar dihias sempurna dan menimbulkan kesan estetis.
Awalnya saat Keyra masuk ke dalam, ia merasa was-was. Sedikit-banyak ia merasa cemas tak menentu. Takut kalau-kalau semua orang menyinggungnya dan Vano seperti hari-hari ke belakang. Akan tetapi, kekhawatiran yang tak mendasar itu nyatanya cuma pemikiran negatifnya saja. Berbeda dari yang dibayangkan, mereka sama sekali tidak membicarakan hal-hal buruk yang berhubungan dengan Vano maupun Keyra. Mereka semua hanya melihatnya dengan tatapan antara kagum dan iri.
Keyra melirik wajah Vano untuk mengecek ekspresi apa yang dia keluarkan. Melihat Vano yang berwajah dingin dengan dagu terangkat angkuh, membuat Keyra puas. Vano tampak percaya diri lagi setelah sebelum-sebelumnya wajah kaku itu terlihat mendung diisi murung.
Mata bulat milik Keyra berlari ke arah jajaran makanan yang membuat perutnya bergejolak ingin melahap apapun yang tampak lezat. Dia menarik tangan Vano. Wajahnya berseri.
"Ambil kue, ya? Keliatannya enak."
Vano mengangguk, mempersilahkan Keyra melakukan apapun yang ia mau.
Pembicaraan para gadis yang memperdebatkan siapa pasangan terbaik di pesta terdengar oleh Vano. Mereka sempat membawa-bawa nama Keyra dan Vano sebagai pasangan paling cocok. Telinga Vano agaknya memerah karena malu.
"Kenapa, Van?" tanyanya saat Vano tak menanggapi obrolannya sedari tadi.
Vano tersentak. Dia membersihkan tenggorokannya yang terasa mengganjal oleh dahak yang sebenarnya tak ada.
Vano tersenyum tipis. "Katanya gue ganteng."
Setelah mengucapkan itu, Keyra menepuk lengan atasnya keras. Merasa geram.
"Diem-diem ternyata lo narsis banget, ya, Van!" Keyra mendelikkan matanya.
Vano terkekeh pelan. "Lo nggak akan bilang gitu juga?."
"Tanpa gue bilang begitu juga lo pasti tau kalo lo emang ganteng. Udah deh, ah. Cari Radit aja sana!"
"Kenapa malah Radit?"
"Kalian kan temen deket. Masa mau pura-pura nggak kenal?"
"Nggak usah. Dia yang bakal nyamperin gue ke sini."
Keyra sedikit menggelengkan kepala merasa sedih atas nasib Radit yang bahkan tak dipedulikan teman terdekatnya. Vano memang benar-benar patut diomeli berjam-jam.
Acara berjalan lancar. Hampir semua orang yang hadir ikut meramaikan acara. Dan sekarang adalah waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh para pasangan—kecuali oleh Keyra, yaitu acara dansa.
Jujur saja jika Keyra sedikit malu. Dia tidak pandai berdansa. Keyra terus-terusan melihat lantai tanpa sekalipun menoleh ke arah wajah Vano yang tampak diselimuti kesal. Dia tak suka saat seseorang mengabaikannya.
Vano menghela napas dan mendadak berhenti hingga membuat kaget Keyra serta semua orang yang melihat mereka. "Gua ada di depan lo dan bukan di bawah kaki lo, Key."
Pernyataan tersebut membuat Keyra panik. "Tau kok. Tapi kalo nggak liat kaki gimana gue harus gerak?"
"Harusnya bilang dari awal kalo nggak bisa. Kita berhenti aja. Gue juga udah pegel."
Mereka kembali ke tempat duduk yang berada di ujung. Menghabiskan waktu dengan menonton orang-orang berdansa hingga Radit datang menghampiri keduanya dengan heboh. Dia datang berpasangan dengan Reva yang tampil cantik dengan gaun yang sewarna dengan langit malam.
Keyra memeluk sahabatnya erat. Dia hampir akan menangis mengingat mereka telah lulus dan akan meninggalkan masa SMA yang penuh dengan kepelikan. Reva menepuk punggungnya lembut dan tersenyum menanggapi.
"Key, lo udah banyak berjuang. Gue di sini buat dukung kebahagiaan lo dan juga Vano."
"Em!" serunya sambil menganggukkan kepala di pelukkan hangat milik Reva.
"Udahan dong peluk-peluk Revanya, Key. Dia punya gue!" sambar Radit menarik Reva hingga pelukkan mereka terlepas.
Sambil mengusap matanya yang berair, Keyra berucap ketus, "Nggak akan gue restuin!"
"Heh! Kalo gitu gue nggak akan restuin hubungan lo sama Vano juga!"
"Kok ngikut gue, sih!"
"Kan lo duluan."
"Udah, berisik. Biarin aja kenapa sih, Dit," ujar Vano yang muak melihat Radit seperti orang yang baru saja mengenal cinta.
"Huh!" dengusnya sebal. Vano selalu ada dipihak Keyra apapun yang terjadi. Dia benar-benar menepati janji untuk menjaganya. Sama halnya dengan Keyra yang selalu ada dipihak Vano apapun situasi yang mereka hadapi.
Mereka pasangan yang saling menguatkan dan saling memberikan kasih sayang yang sempat terlupakan oleh keduanya untuk sesaat lalu. Keyra dan Vano adalah pasangan kekasih yang Radit hormati sebab hubungan yang mereka jalin bukan sekadar nafsu berahi dan bukan pula sebatas rasa ingin saling mencicipi. Mereka tulus saling menyayangi hingga yang ada dalam hati mereka adalah perasaan kuat untuk saling melindungi. Hal-hal seperti itu sangat jarang terjadi bagi seorang remaja yang belum sepenuhnya memasuki usia dewasa.
Pada awalnya, Radit sempat menaruh curiga yang berlebihan pada Keyra. Dan pada hubungan dekat mereka berdua. Hingga beberapa bulan yang lalu, Keyra menjelaskan kejadian sebenarnya pada Reva dan Radit yang saat itu berada di rumahnya untuk menonton film bersama. Tentu Vano juga ikut ada di sana. Keyra juga mengatakan hal yang belum pernah Vano dengar sebelumnya. Pada saat itu, Keyra mengaku bahwa dia juga seorang aseksual. Dia bahkan sampai menunjukkan bukti berupa laporan medis pada mereka karena mereka sempat tak percaya juga. Vano sempat marah karena dia tak berkata jujur padahal mereka berjanji untuk saling terbuka. Dan Keyra meminta maaf karena ia pun lupa jika dia belum pernah memberi tahu Vano tentang itu. Mengira bahwa Vano sudah tahu sejak awal.
Dengan penjelasan panjang dari Keyra dan Vano, Radit jadi mengetahui bahwa Keyra tak pernah berbohong soal ucapan jika nasibnya mirip seperti Vano.
Mendengar mereka yang berani terbuka dengan apa yang mereka rasakan mampu membuatnya terharu. Reva bahkan ikut menangis dipelukkan Keyra sambil terus mengatakan maaf karena tak ada disaat Keyra sedang mengalami ketakutan. Kejadian penuh tangis itu membuat hubungan mereka jadi lebih dekat sebagai teman dan sahabat.
"Kalian nggak ikut dansa?" tanya Reva setelah meneguk segelas air putih.
"Tadi udah kok," jawab Keyra begitu terburu-buru. Tak ingin Vano mendahuluinya.
"Oh, gitu, ya. Sayang banget gue nggak sempet liat." Reva terdengar kecewa, tetapi Keyra semakin melebarkan senyum penuh rasa bersalah.
Dengan kikuk, Keyra tertawa. "Ahaha, kapan-kapan aja liatnya, ya. Vano tadi juga udah pegel, makanya kita berhenti."
Vano hendak menyangkal, tetapi sebelum suaranya keluar, mulutnya lebih dulu disumpal dengan telapak tangan Keyra. Dia melirik Vano dengan sorot tajam seolah berkata 'diem aja!'
Radit yang baru selesai keluar dari toilet memiringkan kepalanya saat melihat Keyra sedang mengancam Vano dengan matanya itu. Dia mengangkat bahu dan mengajak Reva untuk ikut terjun ke lantai dansa.
"Oh, iya, Key. Tadi gue denger-denger dari anak lain katanya lo payah pas dansa tadi, ya. Makanya kan, udah gue bilang buat belajar dansanya ke gue aja dibanding cuma praktek sendiri lewat Youtube. Susah dibilangin, sih!"
"RADIT BANGSAT, IH!"
❬ The End ❭
Penutup cerita yang manis🤧
Kalian dapet salam dari Keyra dan Vano. Katanya, kalo cari pasangan itu harus hati-hati.
Oh, iya! Ada nasehat dari Tiara juga.
Katanya, "Kekerasan seksual akan selalu menjadi trauma bagi perempuan yang mengalaminya bahkan kehidupannya akan hancur. Trauma itu akan membuat pikirannya kacau serta jiwanya terganggu. Jadi, jangan sepelekan kekerasan seksual sekecil apapun, baik itu hanya sentuhan kecil secara paksa pada seorang perempuan, itu sudah menjadi kekerasan seksual. Perempuan adalah makhluk yang harus dijaga dan dihormati."
Hm ... poin penting yang pengen aku sampaiin di sini itu: Mau gender kalian perempuan ataupun laki-laki, pelecehan seksual itu nggak bisa ditolerir sama sekali. Sekecil apapun perbuatannnya, yang namanya pelecehan seksual pasti bakal nimbulin dampak yang berkepanjangan.
Assalamualaikum, para pembaca sekalian!
Nah, sekarang waktunya masuk ke kesan-pesan selama event🥰
Kata Nadia (nadiasafera): Bagi aku sendiri, ini pengalaman pertama aku nulis secara berkelompok, dan ini lebih susah dari yang aku bayangin!😭 Nyatuin 3 kepala dengan cara penulisan dan pemikiran yang jauh beda itu susahnya pake banget. Sebenernya aku kesusahan sendiri waktu revisi chapter awal sampe akhir, karena ada banyak typo dan keenggaksesuaian dialog (lebih tepatnya penempatan dialog) dan aku jadi harus bekerja 2 kali :))
Tapi ini emang seru, sih. Meski aku sempet stress wkwk. Pesan buat Marsya dan Tiara, ke depannya kalian harus lebih teliti, ya. Soalnya banyak banget typo-typo yang harus dibenerin lagi dan kadang malah kelewat juga sama aku wkwk.
Tiara (SitiaraPelmansyah): Kesan yang kudapat setelah ikut event kelompok ini menyenangkan karena bisa berbagi pendapat serta ilmu, walaupun sedikit kerepotan karena dalam mengerjakan event-nya harus buru² dan untuk memikirkan alur cerita gak mudah. Pesan yang dapat kuambil dari kegiatan event ini adalah "Jangan menyepelekan apapun sekalipun itu tugas yang terlihat mudah dan jangan pernah menunda kegiatan apapun kalau pada akhirnya kita sendiri bakalan repot diujung seperti aku:v"
Marsya (Zharx_cha): Jujur ini event pertama aku yang sangat berkesan, di mana harus mikir ide matang-matang, belum lagi berbagi chapter juga, dan yang lebih sulit adalah kebahasaan yang digunakan. Setiap penulis selalu berbeda dalam bahasanya. Ada yang gaul, kaku, dan lainnya. Benar-benar berkesan menurut aku. Satu cerita yang kita buat berbagi-bagi itu tidak mudah. Mungkin bisa diselesaikan cepat nyatanya enggak, ini juga pembelajaran buat aku sekaligus pengalaman pertama hehehhe. Dari event ini aku banyak belajar. 'Jangan pernah memudahkan suatu hal, meskipun kamu melakukan bersama' . Semangat semuanya, terima kasih.
Kita mau bilang makasih dan maaf buat para admin yang dibikin repot gara-gara kelompok ini. Kalian luar biasa sabar banget ngadepin kelompok Yara😭😭
Makasih banyak semuanya! ❤
Sekian, terima gajih—eh, terima kasih!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro