Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lintas Impian - 50

Beberapa tahun setelahnya...

Ruang Sidang

Pintu ruangan terbuka, menampilkan seorang gadis dengan pakaian putih-hitam dan setumpuk kertas yang dijepit dengan klip hitam. Senyum di wajahnya merekah, bagaikan tengah mendapat durian runtuh.

Sementara itu, di luar ruangan, sudah ada beberapa orang yang siap menyambutnya dengan ucapan selamat.

“Gimana, Ge? Sidangnya lancar?” tanya Morena menyambut Geisha.

“Sidangnya lancar jaya, Mo!,” seru Geisha bahagia.

Hari ini adalah hari yang paling dinanti dari semua mahasiswa. Hari sidang yang akan menentukan kelulusan mereka dari kampus. Begitu juga dengan seorang Geisha yang berhasil menyelesaikan sidang skripsi di pertengahan tahun ketiga.

Geisha yang pada awalnya enggan untuk berkuliah dan menganggap bahwa hal tersebut adalah hal yang sia-sia, berhasil membuktikan bahwa dia bisa menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Juga, gadis itu berhasil mengubah pandangannya tentang dunia perkuliahan.

Seiring berjalannya waktu, Geisha sadar bahwa kuliah bukan hanya tentang mengejar kesuksesan. Sebab, kuliah memang tidak bisa menjamin terkait hal tersebut.

Akan tetapi, ada hal yang lebih penting dibanding itu semua. Di bangku kuliah, Geisha belajar banyak hal. Tentang tanggung jawab, kedisiplinan, etika dan tata krama, public speaking, dan masih banyak hal lainnya.

Karakternya yang mudah bergaul membuatnya banyak berkenalan dengan senior-senior terdahulu. Yang terpenting ialah Geisha bisa mengenal lebih banyak teman dari berbagai kalangan yang mengajarkannya mengenai kehidupan, khususnya kehidupan setelah kuliah.

“Hua, selamat, Geishaku tercintaaa. Kamu hebat banget,” ujar Naura seraya mengulurkan sebuah buket bunga dengan dominan warna pink kepada Geisha.

“Geisha memang enggak pernah mengecewakan. Anak Sixtakuler memang keren-keren!” sambung Sarina, salah satu teman Geisha yang juga tergabung ke dalam grup Sixtakuler.

Sixtakuler adalah sebuah grup yang berisikan 6 orang dari anak Ilmu Komunikasi.  Ada Geisha,  Naura,  Sarina, Revita, Devia,  dan Venny. Asal mula tercetusnya grup tersebut ialah karena keselarasan selera, yakni mereka sama-sama menyukai Korea dan seisinya, yang kemudian menjadikan mereka bersama dalam berbagai kegiatan.

Sixtakuler bukan sekadar grup yang isinya mengidolakan bias, namun lebih dari itu, Sixtakuler berisikan mereka yang mau belajar bahasa dan budaya Korea. Setahun belajar bersama, mereka memutuskan untuk membuka suatu kelas bahasa Korea berbayar. Menariknya lagi, uang yang dihasilkan dari kelas berbayar tersebut digunakan untuk keperluan amal, seperti disalurkan kepada orang-orang yang membutuhkan, panti asuhan dan panti jompo terdekat, dan lain sebagainya.

Lewat Sixtakuler jugalah, Geisha berhasil membuktikan kepada Sintia dan Haikal bahwa tidak ada yang sia-sia dari dunia Korea yang selama ini dia elu-elukan.

Namun, Geisha tahu bila ini semua terjadi bukan semata-mata karena kemalasan, melainkan tekad untuk berusaha membuktikan. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Jo.

Ngomong-ngomong perihal Jo, hubungannya dengan Geisha masih berlangsung, bahkan bisa dibilang semakin mesra. Begitu kata Naura kepada Geisha.

Lelaki itu masih berada di pulau yang berbeda dengan Geisha. Setelah menyelesaikan S2 nya selama 2 tahun kurang beberapa bulan, Jo masih menetap di sana karena urusan pekerjaan. Di balik kesibukannya, Jo menyempatkan untuk pulang 2 kali dalam setahun guna bertemu dengan Geisha.

Sayangnya, hari ini, salah satu hari penting di dalam hidupnya, Jo tidak bisa datang. Ada sedikit perasaan sedih yang menghampiri hati Geisha. Namun, itu semua terobati melihat antusiasme teman-temannya yang telah hadir di sini.

“Makasih banyak, loh, kalian. Pake repot-repot bawa buket segala. Ngerepotin aja tahu. Padahal, dengan kalian datang ke sidang aku aja, aku udah senang banget,” ujar Geisha penuh haru. Tangan gadis itu sekarang sudah tidak mampu menerima buket yang diberikan oleh temannya yang lain saking penuhnya.

“Ah elah, Ge. Biasanya juga suka ngerepotin, enggak usah malu-malu gitu lah,” ledek Naura yang membuat semua orang yang ada di sana tertawa.

Tapi, apa yang dikatakan oleh Naura memang benar. Selama berkuliah bahkan hingga tahap mengerjakan skripsi, Geisha banyak merepotkan semua teman-temannya, terutama Morena dan Naura. Mereka berdua yang bolak-balik menemani Geisha untuk mencetak proposal, meng-acc judul. Mereka juga yang selalu menyemangati Geisha untuk bisa segera menyelesaikan skripsi. Tanpa mereka, mungkin Geisha masih stuck di dalam pengerjaan skripsi.

“Naura kalau ngomong suka benar, yee,” sambung Devia.

“Oh, jelas. Naura gitu, loh,” ujar Naura dengan pedenya. “By the way, untuk merayakan sidang Geisha, gimana kalau kita makan-makan?!”

“Kamu yang traktir?” Geisha membeo.

“Ya, kamu lah! Kamu yang lulus sidang, kok aku yang traktir?“

“Lah, kan, kamu yang ngajak.”

“Aku cuma mewakili ajakan kamu.”

“Debat aja terus sampai personil Sixtakuler ada yang jadi presiden,” ujar Sarina.

“Jadi, Geisha, kamu mau traktir kita-kita makan atau enggak? Kalau enggak, buket bunganya kami ambil balik,” seloroh Morena yang mendapat persetujuan dari semua orang yang ada di sana.

“Lah, kok jadi ngancam? Gimana ceritanya, sih, kalian. Enggak ikhlas, ya, ngasinya.”

“Sebenarnya, begini Geisha ... di dunia ini enggak ada yang gratis. Bahkan, kamu lahir aja enggak gratis, kan? Maka dari itu, buket-buket semua yang ada di sini juga enggak gratis. Dibeli pakai uang. Sebagai gantinya, kamu harus nraktir kami makan,” jelas Naura panjang lebar yang membuat Geisha geleng-geleng kepala.

“Iya-iya. Ayo, kita makan-makan. Aku yang traktir. Anggap aja ini ucapan terima kasih, karena kalian udah hadir di sidang aku,” ujar Geisha pasrah.

Yeay, bip bip horray. Geisha memang terbaik!” seru Naura paling heboh, seperti tidak mengingat bahwa mereka masih ada di depan ruang dosen.

Ssstt, Naura, jangan berisikkk,” kata Venny memperingati.

“Oh, iya-iya, sorry. Lagi semangat,” ucap Naura menggaruk kepalanya.

“Udah, makan-makannya pada jadi, enggak, nih? Kalau enggak, aku mau pulang.” Kini, giliran Geisha yang memberikan ancaman. Membuat semua teman-temannya sontak berseru panik, takut bila agenda makanan gratis hari ini tidak jadi.

***

Geisha tidak menyangka bahwa niatan untuk mentraktir teman-temannya adalah niatan yang paling dia sesali setelahnya. Sebab, sepertinya, mereka semua dengan sengaja memesan makanan spesial dengan harga termahal, membuat dompet Geisha seketika kering, layaknya tanaman yang tidak disiram air dan pupuk.

Walau begitu, Geisha tidak benar-benar menyesal. Dia ikhlas mentraktir teman-temannya. Anggap saja, itu adalah suatu perayaan atas berhasilnya sidang gadis itu hari ini. Lagipula, itu hanya akan berlangsung sekali dalam seumur hidup.

“Enggak pa-pa, deh, kantong jadi kering. Asalkan, buket bunganya enggak ditarik balik. Kan, lumayan untuk foto-foto,” ujar Geisha cekikikan di motornya sendirian.

Hari sudah gelap, ketika Geisha tiba di rumah. Gadis itu melepaskan helm dan bersiap untuk masuk ke dalam rumah dengan menenteng satu paperbag pemberian teman-temannya tadi. Sedangkan, bunga-bunga lainnya, dia titipkan di rumah Morena terlebih dahulu, yang lebih dekat dengan restoran tempat mereka makan tadi. Geisha tidak mungkin membawanya hingga ke rumah dengan menggunakan motor. Bisa-bisa, semua buket itu akan berceceran ke jalanan.

“Ini mobil siapa?” Geisha bertanya kepada dirinya sendiri tatkala mendapati sebuah mobil bertengger di depan rumahnya.

Tanpa menerka lebih panjang, Geisha berjalan memasuki rumahnya.

“Geisha, pulang!” serunya kepada seisi penghuni rumah.

Kedua bola mata Geisha membulat, gadis itu refleks menutup mulutnya ketika melihat keberadaan seseorang di ruang tamu, tengah berbincang dengan kedua orangtuanya.

“Jo-Jonathan?” Geisha membeo tidak percaya. Yang di hadapannya sekarang benar-benar Jo, bukan?

Geisha mengusap matanya, guna memastikan bahwa sosok Jo yang ada di sana bukanlah sekadar bayangan, melainkan nyata.

Sosok itu berjalan mendekat, lantas meluruskan kedua tangan kepada Geisha. Kali ini, Geisha benar-benar yakin bila sosok yang ada di hadapannya ialah nyata.

Geisha dengan segera menghambur ke dalam pelukan Jo. Dalam sekejap, air matanya menetes turun, meluapkan semua rasa rindu yang kadang menyiksanya.

“Kata kamu, kamu enggak bisa hadir di sidang aku. Tapi, kamu ada di sini,” ujar Geisha merengek.

Jo tersenyum, seraya mengelus puncak kepala Geisha lembut. Awalnya, laki-laki itu memang tidak bisa datang, namun melihat sedikit jadwal lengang yang bisa dia curi untuk berangkat ke sini, Jo tidak menyia-nyiakannya.

“Saya juga baru sampai, Geisha. Maka dari itu, saya tidak bisa hadir di sidang kamu. Saya minta maaf, ya,” kata Jo dengan lembut, berusaha memberikan pengertian kepada kekasihnya.

Melihat kemesraan sepasang kekasih itu, Haikal dan Sintia memilih untuk undur diri dari ruang tamu. Memberikan ruang bagi Jo dan Geisha berbincang, guna melepas rindu yang mungkin sudah memuncak.

***

Makan malam kali ini terasa utuh bagi Geisha, mengingat ada Jo yang hadir di sisinya. Lelaki itu tengah mengambil nasi, ketika Geisha menahan wajahnya dengan tangan dan melihat lekat-lekat wajah Jo dari jarak yang cukup dekat.

“Enggak bosan ngelihatin wajah saya terus?” tanya Jo yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Geisha.

“Enggak.”

Sementara itu, di tempat duduknya, Aria sibuk memprotes aksi kakaknya tersebut. “Kak Ge kayak enggak ketemu sama Kak Jo berapa abad aja, sampai dilihatin kayak gitu,” celoteh Aria.

“Emang enggak ketemu satu abad,” balas Geisha.

“Kasihan Kak Jo. Dilihatin terus sama Kak Ge. Nanti Kak Jo risih,” lanjut Aria lagi.

Kali ini, Geisha berhenti memandang kepada Jo. Memilih mengalihkan pandangannya kepada Aria, dan menatap adiknya sinis.

“Jo yang dilihatin aja diam-diam. Kenapa kamu yang sewot? Kamu iri, ya, enggak pernah dilihatin sama pacar kamu?” ujar Geisha ketus.

“Geisha, udah. Enggak usah dilanjutin,” ujar Jo menengahi perbincangan itu. Jika tidak, maka mungkin perdebatan itu akan terus berlangsung sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.

Usai makan malam, Jo mengajak Geisha untuk duduk di teras. Menikmati semilir angin yang kali ini berembus cukup kencang, membuat rambut-rambut Geisha beterbangan, menutupi sebagian wajahnya.

Dengan jemarinya, Jo menepikan rambut yang menutupi wajah Geisha dan mengaitkannya ke belakang telinga.

“Gimana sidang kamu tadi, Geisha? Sepertinya, kamu belum menceritakannya,” ujar Jo membuka percakapan.

Geisha mengangguk cepat, lantas mulai menceritakan perihal sidang skripsinya tadi siang dengan antusiasme yang tinggi. Dimulai dari bagaimana perasaan deg-degan yang menguasai dirinya saat mendekati jam sidang, keringat dingin yang menghampiri kala Geisha mempresentasikan isi skripsinya, wajah-wajah dosen yang tampak serius menuliskan komentar untuk Geisha, hingga akhir dari segala ketakutan Geisha yang berujung pada kebahagiaan. Tidak ada satu bagian pun yang luput dari cerita Geisha.

“Aku pikir, aku bakal ngulang sidang lagi, tapi ternyata enggak. Aku seneng banget, Jo,” ujar Geisha dengan wajah berseri.

Jo yang mendengar cerita Geisha ikut tersenyum. Ada perasaan bangga yang meluap-luap di hatinya ketika mendengar cerita dari kekasihnya tersebut.

“Dari awal, saya yakin, pacar saya enggak mungkin mengulang sidang.”

“Apa tadi kamu bilang? Pa-pacar saya?” Geisha membeo tak percaya ketika mendengar kata tersebut muncul.

“Iya. Ada yang salah dengan ucapan saya?”

Geisha menggeleng. Tidak ada yang salah memang. Namun, entah kenapa, mendengar bagaimana Jo memanggilnya tadi membuat kupu-kupu di dalam perut Geisha beterbangan.

“Salting, ya?” ledek Jo yang membuat Geisha semakin malu, lantas memukul lengan laki-laki itu.

“Ih, Jo. Berhenti ngeledekk.”

“Oke-oke, Geisha. Saya berhenti. Sekarang, boleh saya melanjutkan pembicaraan?“

Geisha tersenyum kecil. Mengapa pembicaraannya terkesan formal seperti ini?

“Iya, boleh, Jonathannn,” ujar Geisha dengan nada yang begitu lembut.

“Saya mau bilang, saya bangga sama kamu, Geisha. Terlepas dari alasan apa kamu kuliah, terlepas dari banyaknya keluh-kesah kamu saat menjalani perkuliahan, kamu berhasil melewatinya. Saya benar-benar bangga sama kamu.”

“Aaa, aku terharu banget. Aku juga enggak nyangka, aku bisa ngelewatin ini semua hingga akhir. Makasih banyak, Jo. Ini semua berkat dukungan dari kamu yang enggak henti-hentinya menyemangati aku,” imbuh Geisha.

Jo menyunggingkan senyumnya. “Kamu enggak perlu terima kasih sama saya, Geisha. Karena, yang sepantasnya kamu ucapkan terima kasih adalah diri kamu sendiri. Yang telah berjuang dari awal hingga akhir.”

Geisha mengangguk. “Iya, Jo. Hei, Geisha. Makasih banyak karena kamu udah bertahan hingga sekarang, ya. Aku bangga sama kamu! Aku sayang kamu!“ ujar Geisha bermonolog kepada dirinya sendiri.

Hal itu tak luput dari pandangan Jo.

“Karena kamu sudah selesai sidang, saya pengin kasih suatu hadiah untuk kamu.”

Mendengar kata hadiah, mata Geisha berbinar. “Hadiah? Hadiah apa itu?” tanyanya tak sabaran.

Sembari menunggu Jo merogoh sesuatu dari saku jaketnya, Geisha mencoba menebak sekiranya hal apa yang akan dihadiahkan Jo kepadanya.

Mulut Geisha menganga lebar ketika melihat sesuatu yang dikeluarkan oleh Jo di hadapannya.

“Jo—ini?”

“Bulan depan, saya ada masa cuti. Kita ke Korea bareng, ya? Kita wujudin impian kamu yang sempat tertunda.”

***

1.933 words
©vallenciazhng_

27 Desember 2022

Notes : sepertinya, ini adalah part terpanjang dari antara part di cerita Lintas Impian. Semoga kalian tidak bosan membacanya, hehe.

Anyway, ini adalah part terakhir. Nantikan sedikit extra part yang akan di-publish paling lambat 31 Desember ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro