Lintas Impian - 4
Setelah berendam cukup lama di bathtub, Geisha berjalan ke luar dari kamar mandi dengan handuk kecil berwarna putih yang dia gulung bersama dengan rambutnya ke atas. Pikirannya kali ini terasa lebih plong setelah berendam. Semua hal tentang status pacaran yang tadinya memenuhi semua rongga di otaknya perlahan sirna. Mungkin, memang benar, kita perlu sedikit lebih rileks untuk menghilangkan stress.
Geisha mengambil ponselnya yang ada di atas meja rias untuk sekadar menggulir media sosial. Setelah cukup lama bertahan di beranda medsos, Geisha meletakkan kembali ponselnya, lantas menurunkan handuk kecil yang kemudian dia gunakan untuk mengelap rambutnya. Tak lupa, Geisha mengubah posisi duduknya agar berada tepat di depan kipas angin yang dapat membantu mengeringkan rambut lebih cepat.
Posisi duduknya itu membuat Geisha berhadapan langsung dengan dinding penuh tempelan poster dan polaroid yang disusun membentuk love. Semua foto yang terpampang di poster maupun polaroid itu ialah foto idolanya. Seseorang yang memberikan efek membara pada semangatnya untuk lebih giat bekerja mengumpulkan pundi-pundi rupiah agar bisa menginjakkan kaki di negeri yang sama dengan idolanya.
“Ahjussi … aku janji, aku akan segera memenuhi janji aku untuk ketemu sama kamu. Mungkin, aku butuh beberapa bulan lagi untuk menabung dan setelah itu, impian aku untuk ketemu sama kamu akan jadi kenyataan. Setelah kita ketemu, aku akan buktiin ke Morena bahwa aku enggak cuma sekadar halusinasi untuk ketemu sama kamu,” tutur Geisha seraya mengelus wajah idolanya yang terpampang begitu besar di poster.
Setelah lulus dari SMA, Geisha memang langsung melamar kerja. Hal itu bukan karena suruhan orangtuanya, melainkan keinginan Geisha sendiri untuk mencari lebih banyak uang tabungan untuk mewujudkan impiannya.
Di tengah keheningan, terdengar suara teriakan dan gedoran di pintu kamar Geisha secara bersamaan. Merusak adegan romantik ala-ala drama Korea di mana seorang aktris utama mengucapkan janjinya pada sang kekasih. “Kak Ge, disuruh turun ke bawah buat makan malam sama mama!”
Karena Geisha tak kunjung menjawab, Aria selaku si pelaku gedoran pintu kembali menggedor pintu. “Kak Ge! Makan malam!”
Geisha yang baru ingin menggantung kembali handuknya berdecak sebal. Tidak puaskah Aria membuatnya kesal setelah pulang kerja tadi? Dan, apa sekarang dia juga ingin menghancurkan pintu kamar Geisha?
Geisha melempar asal handuknya ke atas kasur kemudian membuka pintu kamar dengan kasar.
“Mau ngehancurin pintu kamar?!” tukas Geisha tajam.
Aria menggeleng polos. “Kata papa, pintunya terbuat dari kayu kuat, jadi enggak mungkin bisa roboh hanya karena aku gedor, Kak.”
Geisha memutar bola matanya kesal. “Terserah!”
Gadis itu kemudian menutup pintu kamar dan segera turun ke bawah meninggalkan Aria.
***
Acara makan malam berlangsung dengan penuh ketenangan. Tidak ada yang bersuara, termasuk Geisha yang biasanya paling riuh. Hanya terdengar suara sendok dan garpu yang bertabrakan dengan piring. Setelah selesai makan, Geisha bertugas merapikan piring bekas makan lalu membawanya ke bak cuci piring. Sudah menjadi rutinitas setiap malam bagi Geisha untuk mencuci piring sehabis makan. Sebab, di pagi hingga sore hari, Geisha sibuk bekerja dan yang mencuci tentu Sintia—mamanya. Maka dari itu, untuk membantu mamanya, Geisha mengambil jatah malam.
Setelah mencuci dengan sabun berwangi lemon, Geisha membilas piring beserta sendok dan garpu dengan air kran yang mengalir pelan. Begitu pelan, sampai tangan Geisha terasa pegal karena menunggu sabun di piringnya lenyap. Akan tetapi, Geisha sudah biasa seperti ini. Tidak banyak berharap pada air kran yang laju di malam hari, mengingat setiap rumah pasti tengah menggunakan air yang membuat pergerakan air dari pusat bergerak melambat akibat terbagi.
“Ge, nanti sehabis cuci piring, ke ruang tamu, ada yang mau Mama bicarakan.”
Geisha hampir saja melompat terkejut karena suara Sintia yang secara tiba-tiba menyela keheningan. “Ih, Mama ngagetin aja.”
“Mama enggak ngagetin kamu, kamunya aja yang terlalu lemah. Dikit-dikit kaget,” cibir Sintia kemudian berjalan meninggalkan Geisha ke depan.
“Mama nyebelin!” seru Geisha sebal. “Untung aja aku enggak jantungan.”
Geisha mengelus dadanya sembari menghela napas lega. Tanpa dia sadari, piama tidur yang dia pakai menjadi basah karena tangannya yang basah. Namun, bukan itu yang dipikirkannya sekarang, melainkan satu hal yang membuatnya merasa bak dejavu. “Dulu pas aku sekolah, aku juga sering tiba-tiba ngagetin Morena. Apa begini rasanya dikagetin sama orang lain secara tiba-tiba? Jantung berdebar lebih cepat dari biasanya, udah kayak orang jatuh cinta aja.”
Usai bergumam demikian, Geisha kemudian menggelengkan kepalanya. Hatinya mendadak was-was. “Ternyata, kalimat ‘karma is real’ itu beneran nyata, ya. Kayaknya, aku harus minta maaf sama Morena. Kasihan dia kalau jantungan karena aku.”
Geisha bahkan baru sadar, hubungannya dengan Morena agak bermasalah hari ini karena dirinya yang langsung meninggalkan Morena tadi siang. “Aku juga harus minta maaf karena udah ninggalin dia di kafe.”
Geisha melanjutkan kegiatan mencuci piringnya kemudian menyusul sang mama yang kini telah duduk di ruang tamu bersama Haikal—papa Geisha. Geisha mendaratkan tubuhnya di sofa yang berseberangan dengan kedua orangtuanya yang kini terlihat sibuk dengan ponsel masing-masing.
“Mama mau bicara apa?” tanya Geisha seraya mencoba menerka hal apa yang sekiranya hendak dibicarakan oleh Sintia atau barang kali Haikal juga. Pastinya ada hal yang cukup penting yang hendak mereka bicarakan. Sebab, tidak biasa Sintia memintanya untuk berbicara di ruang tamu seperti ini.
Baik Sintia maupun Haikal meletakkan ponsel mereka di atas meja. Keduanya sama-sama menatap Geisha yang membuat gadis itu meneguk ludahnya. Kenapa tatapan orangtuanya seakan-akan mengintimidasi dirinya?
“Kurang dari tiga bulan lagi, tes UTBK bakal dilaksanakan, kan? Kamu udah mempersiapkan diri kamu, Ge?” tanya Sintia yang membuat Geisha mengernyitkan keningnya.
“Mempersiapkan diri untuk apa, Ma?”
“Ya, untuk mengikuti UTBK, supaya kamu bisa berkuliah. Apalagi?”
“Tapi, Ge enggak pernah ada rencana untuk kuliah, Ma.”
Mendengar jawaban putrinya, Sintia sontak menegapkan tubuhnya. Raut kekesalan begitu kentara dari raut wajahnya. “Enggak ada rencana kuliah gimana? Mama udah kasih kamu waktu gapyear selama setahun, dan kamu malah bilang seperti itu?”
“Ya, emang itu kenyataannya, Ma. Ge enggak mau kuliah. Dan, enggak akan pernah mau kuliah. Kuliah itu enggak pernah ada di daftar kehidupan Ge, Ma.”
“Mau jadi apa kamu kalau enggak kuliah?!”
Suara Sintia terdengar meninggi. Haikal yang berada di sampingnya mencoba untuk menenangkan istrinya. “Bicaranya enggak usah pakai nada tinggi seperti itu, Ma.”
“Tapi, Geisha perlu dikasih sedikit pencerahan, bisa-bisanya dia enggak mau kuliah,” sela Sintia.
“Ma, kuliah itu kan enggak menjamin kesuksesan. Banyak, kok, orang sukses di luar sana yang enggak kuliah dulunya. Karena, yang terpenting itu bukan kuliah, Ma, tapi mimpi mereka. Bagaimana mereka bisa menjadikan mimpi mereka menjadi nyata,” tutur Geisha mencoba memberikan penjelasan.
Bukannya tersentuh dengan kalimat bijak Geisha, Sintia malah semakin naik pitam. “Sejak kapan kamu pandai menggurui Mama?”
“Ge enggak menggurui Mama, kok. Ge cuma menyampaikan fakta dari apa yang Ge lihat, Ma, bahwa orang yang sukses itu berawal dari mereka yang mencoba menggapai mimpinya.”
“Memangnya, apa mimpi kamu sampai-sampai kamu berpikiran untuk enggak kuliah, Sayang?” Kini, giliran Haikal bersuara.
“Ge punya mimpi untuk bisa ke Korea suatu saat, Pa. Geisha ingin bertemu dengan idola Geisha, dan mungkin juga menetap di sana. Papa tahu, kan, seberapa pengennya Ge ke negeri Ginseng itu?” Geisha menjelaskan apa yang telah lama menjadi impiannya itu kepada Haikal. Berharap, Haikal maupun Sintia dapat mencernanya baik-baik dan tidak menghakimi keputusannya.
“Jadi, itu alasan kamu memaksa ingin bekerja? Agar kamu punya uang tabungan untuk pergi ke Korea?” tanya Haikal lagi. Geisha mengangguk.
“Kamu pikir, dengan pergi ke Korea, kamu bisa sukses?!” cerca Sintia. “Enggak ada gunanya kamu ke Korea. Lebih baik, kamu gunakan uang tabungan kamu untuk kuliah.”
“Ma, Ge enggak mau kuliah, Ge udah bilang, kan? Mama enggak bisa maksa Ge kayak begini. Ge juga punya mimpi, Ge mau—”
“Mama enggak butuh alasan apa pun dari kamu sekaligus Mama enggak pernah nyuruh kamu untuk milih. Intinya, Mama mau kamu kuliah, Geisha!” Sintia lantas berdiri dari posisi duduknya dan melangkah pergi dari sana.
“Ma! Mama enggak bisa maksain kehendak Mama kayak gini ke Ge. Ge udah besar, Ma. Ge berhak menentukan keputusan Ge sendiri!”
Sayangnya, perkataan Geisha hanya dianggap sebatas angin lalu oleh Sintia. Sementara itu, Haikal berusaha untuk meredamkan kekesalan yang bersarang di diri putrinya.
“Udah, Sayang. Lebih baik, kamu turuti saja kemauan mama kamu. Lagi pula, dengan kamu kuliah, kamu tetap bisa menggapai mimpi kamu. Hanya saja, mungkin waktunya sedikit tertunda,” ujar Haikal seraya mengelus puncak kepala Geisha.
“Tapi, Ge tetap enggak mau kuliah, Pa! Ge enggak mau kuliah,” kata Geisha final.
***
1.351 words
©vallenciazhng_
5 Juli 2022
Re-publish : 13 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro