Lintas Impian - 34
“Geisha.”
“Astaga naga, siapa itu!” refleks Geisha ketika mendengar panggilan itu, bahkan sampai tak sengaja menjatuhkan toples berisi buah saat hendak memasukkannya ke lemari es. Geisha mengambil kembali toples itu sembari mengelus dadanya. “Mama ngagetin aja! Ge kira siapa. Ada apa, Ma?”
“Mama cuma mau tanya, gimana UTS kamu? Lancar?”
Geisha menganggukkan kepalanya perlahan. “Lancar, Ma.”
“Kenapa kamu kayak ragu gitu?” tanya Sintia dengan nada mengintimidasi.
“Enggak pa-pa, Ma. Ge cuma takut enggak bisa ngasi hasil yang maksimal aja.”
“Kenapa ngomong kayak gitu? Mama lihat kamu setiap malam belajar di kamar. Atau, jangan-jangan, kamu cuma pura-pura belajar aja selama ini?”
Geisha mendesah kecil. Kenapa Sintia bisa mendapatkan pikiran seperti itu?
“Ge beneran belajar, kok, Ma. Ge udah serius. Cuma, Ge juga ragu sama hasilnya. Takut enggak maksimal nanti.”
“Enggak usah banyak ragu. Justru keraguan dan ketakutan itu yang buat kamu jadi enggak maksimal dalam mengerjakan sesuatu. Coba bangun pikiran yang positif supaya yang kamu dapat juga hasil yang positif,” ujar Sintia sebelum berjalan meninggalkan Geisha.
Mungkin, kali ini ada hal yang bisa Geisha petik dari omongan mamanya, bahwa pikiran seseorang menentukan hasil kerja. Barangkali selama ini Geisha terlalu pesimis akan kemampuan dirinya sendiri hingga saat mengerjakan sesuatu pun, dia tidak maksimal.
Getaran yang berasal dari ponsel yang ada di kantong celana joger Geisha membuat gadis itu segera menghilangkan semua kalimat Sintia. Geisha melihat nama penelepon sebelum menggeser logo berwarna hijau itu ke atas.
“Halo, Mo.”
“Halo, Ge.” Suara Morena di seberang sana terdengar berisik, mungkin tengah beradu dengan suara hujan yang tidak kalah kencangnya.
“Kamu udah selesai UTS-nya?”
“Udah, Mo. Hari ini baru aja selesai. Kenapa?”
“Aku rencananya mau ajak kamu ke kafe besok. Mumpung udah selesai UTS, jadi kita refresing dulu. Pasti, otak kamu mumet setelah UTS.”
Geisha mengernyitkan keningnya heran. “Sejak kapan seorang Morena bisa ngajak nongkrong kayak gini ke kafe? Biasanya, kalau enggak nge-date sama Steve, dating sama buku.”
“Ya, kan, sesekali aku pengen keluar sama kamu. Lagian, belajar juga ada bosannya, Ge. Ada jenuhnya.”
“Kayaknya ini bakal jadi hari keramat sedunia. Di mana seorang Morena bilang bosan belajar,” ledek Geisha seolah-olah itu adalah hal yang luar biasa efeknya.
“Ngeledek mulu. Jadi, gimana? Mau enggak? Kalau enggak, aku ngajak teman yang lain.”
“Ih, Morena sekarang mainnya ancaman, ya,” ledek Geisha lagi. “Iya, aku mau, kok, mau.”
“Oke, deh. Besok aku kabarin lagi di mana dan jam berapa, ya.”
“Oke, Mo. See you!”
***
Setelah mendapatkan kabar dari Morena, Geisha lantas bersiap-siap untuk menuju ke kafe. Perjalanan dari rumah ke kafe tidak memakan waktu yang banyak, hanya perlu lebih kurang 10 menit.
Sesampainya di pintu kafe, Geisha mencari keberadaan Morena. Gadis itu lantas mendengkus kesal ketika menyadari Morena tidak sendiri di sana, melainkan juga bersama Steve.
Geisha menghentakkan kakinya kesal sebelum berjalan menuju meja itu.
Gadis itu meletakkan tasnya di atas meja, kemudian bertanya dengan setengah jengkel. “Katanya cuma berdua, kenapa ada ni makhluk kasar juga, Mo?”
“Makhluk kasar?” Morena membeo.
“Iya, pacarmu yang onoh itu.” Geisha menunjuk ke arah Steve dengan dagunya.
“Panggilannya gitu amat, Ge.”
“Ya, daripada aku manggilnya makhluk halus? Mending makhluk kasar, kan? Jadi, kenapa dia ada di sini?”
“Steve cuma nganterin aku doang, Ge. Habis ini juga Steve pulang.”
Geisha melipat kedua tangannya sebatas dada ketika melihat Steve berbisik kepada Morena.
“Kenapa katanya teman kamu ini enggak suka sama aku, ya?”
“Apaan pake bisik-bisik? Kamu pikir aku tuli sampai enggak bisa dengar? Kalau mau nyinyir, langsung ae, Bang.”
“Kalau aku maunya bisik-bisik, memang kenapa? Enggak terima?” balas Steve.
“Ya, jelas, Morena sahabat aku.”
“Morena pacar aku!” Steve tidak mau kalah.
“Oh, jadi mainnya gitu. Mo, sekarang kamu pilih, kamu pilih pacar atau sahabat?!”
Morena mendesah. “Apa-apaan, sih, kalian? Setiap ketemu, pasti ribut.”
“Teman kamu, tuh, Yang,” ujar Steve mengadu.
Geisha yang tidak terima menatap nyalang Steve. “Lah, kok jadi aku? Orang kamu yang duluan.”
“Udah-udah, Steve mending kamu pulang aja. Daripada kita jadi bahan gosip orang-orang yang ada di sini,” ujar Morena menengadahi, sembari sedikit merasa malu karena menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada di kafe tersebut.
“Ya, udah, aku pulang dulu, ya, Sayang,” pamit Steve yang membuat Geisha bergidik ngeri.
“Sayang sayang pale lo peyang,” cibirnya. “Hargai jomlo di sini. Pacaran aja mulu.”
“Sirik aja, Mbak,” cibir Steve balik.
Geisha bersiap melepas sepatu untuk melemparkannya kepada Steve, beruntung Steve segera pergi. Sementara itu, Morena hanya tertawa melihat ulah keduanya.
“Kenapa ketawa?” tanya Geisha tajam.
“Kalian lucu. Setiap ketemu kayak Tom and Jerry aja, ribut mulu bawaannya. Lama-lama aku jodohin juga kalian.”
“Sok-sokan mau ngejodohin, nanti kejadian, nangis.”
“Emangnya kamu mau sama Steve?”
“Ya, enggak, sih. Siapa juga yang mau sama cowok aneh kayak dia. Nih, ya, bawaan setiap ketemu, pengen aku bakar hidup-hidup, tahu, nggak?” ujar Geisha dengan berapi-api.
“Serem amat, Ge.”
“Oh, jelas. Lagian, aku heran, kenapa kamu bisa pacaran sama dia? Padahal, kamu itu cantik, baik, pintar, pasti banyak yang ngantre untuk jadi pacar kamu.”
“Masalahnya, aku sukanya sama Steve. Bukan sama yang lain,” jawab Morena enteng.
“Iya, deh, yang bucinn,” cibir Geisha. Kemudian, tiba-tiba gadis itu terpikir akan satu pertanyaan. “By the way, Mo, aku mau tanya. Kamu pernah cemburu sama Steve, nggak?”
Morena mengernyitkan kening. “Cemburu?”
“Iya, kayak ngelihat Steve ngomong sama cewek lain.”
“Kalau ngomong aja enggak masalah, ya. Aku enggak mau terlalu cemburuan. Lagian, siapa tahu memang ada hal yang penting.”
“Kalau ngomongnya sampai kontak fisik gitu? Gimana? Kayak nyentuh bahu, megang tangan, atau rambut.”
“Ya, itu aku lihat dulu. Kalau yang bersikap kayak gitu itu saudaranya, aku oke-oke aja. Tapi, kalau bukan, jelas aku bakal cemburu,” jawab Morena. “Kenapa tanya kayak gitu? Kamu lagi cemburu sama siapa?”
Geisha menggeleng cepat. “Enggak ada. Aku nanya doang, Mo. Oh, iya, gimana kamu tahu kalau kamu itu cemburu?”
“Ya, aku pas ngelihat Steve kayak sakit gitu. Dada aku jadi terasa sesak. Terus, pas ketemu Steve, bawaannya pengen nyindir terus.”
Geisha terdiam. Kenapa semua ciri-ciri yang Morena sebutkan seperti apa yang dia rasakan?
Apa benar yang dia rasakan saat melihat Jo dengan perempuan itu adalah rasa cemburu?
***
1.007 words
©vallenciazhng_
10 Agustus 2022
R
e-publish : 13 Desember 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro