Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lintas Impian - 30

“Geisha, lagi apa, Nak?”

Geisha yang sedang sibuk dengan isi pikirannya tadi sedikit terkejut dengan suara Haikal yang tiba-tiba menggema ke indra pendengarannya.

“Eh, Papa. Kapan Papa masuk ke kamar Ge?”

Haikal tersenyum kecil. “Kamu pasti fokus banget sampai enggak nyadar Papa buka pintu tadi,” ujar Haikal.

Geisha hanya menyengir sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Maaf, Pa.”

Haikal lalu berdiri di sebelah geisha sembari memerhatikan hal apa yang tengah dikerjakan oleh putrinya itu. “Kamu lagi apa?” tanya Haikal tidak paham dengan isi tulisan Geisha. Bukan karena tulisan Geisha yang berantakan dan tidak terbaca, melainkan karena tidak paham dengan maksud tulisan itu. “Nikah sama Ahjussi?”

“Itu daftar mimpi Geisha, Pa. Geisha pernah mikir untuk pengen nikah sama Ahjussi karena kedewasaannya. Tapi, kayaknya itu semua mustahil. Kalau kata Naura, kami ke Korea kayaknya cuma bakal jadi upil yang enggak ada artinya. Gimana mau nikah sama Ahjussi?”

“Anak Papa cantik gini masa disamain sama upil?” tanya Haikal.

“Ih, beneran tahu, Pa. Mama juga enggak bakal izinin Ge ke Korea dengan tujuan yang enggak jelas. Makanya, Ge sekarang punya misi baru, Ge mau rajin-rajin belajar bahasa Korea supaya Ge bisa jadi penerjemah, terus Ge dapat pekerjaan untuk ke Korea. Kalau kayak gitu, Mama pasti izinin Ge untuk ke sana. Iya, kan, Pa?”

Haikal tersenyum kemudian menganggukkan kepalanya. “Iya, Sayang. Papa sama mama pasti dukung putri kami untuk jadi orang yang lebih baik dan hebat.”

Geisha benar-benar bahagia. Dia sungguh beruntung karena mempunyai ayah seperti Haikal yang tidak pernah sedikitpun menentang mimpinya, sekalipun sang mama berlaku sebaliknya.

“Pa, kalau Ge mau les bahasa Korea, boleh? Biar lebih cepat belajarnya dibanding belajar sendiri. Boleh, ya, Pa?” pinta Geisha dengan mata berbinar. Dari tatapan penuh binar itu, ada seonggok mimpi yang berusaha gadis itu capai.

“Iya. Nanti Papa daftarkan kamu untuk les bahasa Korea, ya?”

“Tapi, Ge mau minta izin dulu sama mama. Kira-kira mama izinin nggak, ya, Pa?”

“Mama pasti izinin, kan ini untuk kebaikan kamu, bukan untuk hal main-main.”

“Iya, sih, Pa. Nanti, deh. Geisha minta izin pas mama udah pulang dari rumah temannya. Doain Ge, ya, Pa, supaya mama izinin Ge.”

‘Iya, pasti, Sayang.”

Geisha kemudian memeluk Haikal. “Makasih, ya, Pa. Papa emang yang paling hebat, paling baik. Ge benar-benar beruntung punya papa kayak Papa. Ge sayang Papa.”

“Papa juga sayang sama putri kecil Papa,” ujar Haikal.

“Ih, Pa, Ge udah gede tahu, bukan putri kecil lagi, dongg,” protes Geisha merengek.

“Masa, sih? Tapi, masih suka manja kayak gini.”

“Ini bukan manja, Pa. Ge cuma meluk Papa, masa gini aja dibilang manja?”

Bukannya membalas protesan itu, Haikal malah diam sembari mengusap puncak kepala Geisha lembut. “Bagi Papa, selamanya kamu akan menjadi putri kecil Papa,” tutur Haikal perlahan. “Ngomong-ngomong, kamu enggak cium bau apa pun dari Papa?”

Pertanyaan Haikal membuat Geisha mendongak “Apa? Bau parfum cewek lain, ya? Papa selingkuh?” tuding Geisha.

“Mana berani Papa selingkuh, Ge. Mama kamu galak.”

“Iya juga, ya. Lalu, apa, Pa?”

“Papa belum mandi, loh, ini. Kamu enggak nyium bau keringat Papa?”

Mendengar itu, Geisha sontak melepas pelukannya dan menjauhkan diri dari Haikal. “Ih, Papa, bau! Kenapa enggak mandi dulu baru meluk Ge?”

“Ya, kamunya aja yang main nyosor.”

“Ih, sana Papa pergi!” usir Geisha. Sementara itu, Haikal hanya tertawa, kemudian undur diri dari kamar itu daripada putrinya semakin mengamuk.

Setelah Haikal ke luar dari kamar, Geisha kemudian kembali melihat daftar yang tadi dia tulis. Geisha mengambil double tape dari dalam rak, juga sebuah gunting. Gadis itu menggunting double tape, dan menempelkan ke kertas yang tadi dia gunakan untuk menulis, lantas mengelupas bagian double tape di sisi yang lainnya.

Geisha memilah bagian dinding mana yang bagus untuk ditempeli kertas itu, hingga dia menemukan tempat yang strategis di dekat meja belajarnya.

“Nah, gini bagus,” gumamnya. Tangan Geisha lalu ke sebelah kanan dinding, menemukan kumpulan polaroid yang ditempel membentuk love di sana.

“Maafkan aku, Ahjussi. Mungkin, kali ini motivasi terbesar aku ke Korea bukan untuk kamu lagi. Tapi, setidaknya aku masih bisa menggapai impian aku yang lain, Menuhin feeds Instagram aku dengan foto-foto di Korea.”

***

Suasana rumah yang tadinya tenang tanpa adanya kehadiran sang perusuh kini kembali gempar. Pasalnya, si pelaku kerusuhan nomor satu telah pulang. Siapa lagi jika bukan Aria. Bocah SD itu tengah memamerkan puzzle baru yang dibelikan Sintia. Aria dan puzzle memang dua hal yang tak terpisahkan. Dibanding robot-robotan, Aria lebih suka bermain puzzle yang lebih mengasah otak. Tak heran bila Aria memiliki IQ yang lebih baik, setidaknya dari Geisha.

Ngomong-ngomong, Geisha sudah lama tidak melihat Aria berkutat di ponselnya untuk menghubungi sang pacar. Mungkin, dia sudah memutuskannya. Baguslah, daripada Geisha harus terus merasa minder akan status adiknya itu.

Bosan melihat Aria yang kini sedang sibuk menghancurkan susunan puzzle miliknya, Geisha memilih untuk menghampiri Sintia yang ada di dapur. Sintia terlihat tengah menuangkan sayur dari plastik bening ke mangkuk berukuran sedang.

“Wah, lontong sayur, ya, Ma?” tanya Geisha mencium aroma masakan itu.

“Iya, tadi pas pulang dari rumah teman, Mama lewatin orang yang jual lontong, jadinya Mama beli,” ujar Sintia yang kemudian beralih untuk mencuci tangan yang berminyak terkena kuah lontong tadi. “Panggil papa dan Aria sana, Ge. Suruh makan malam.”

“Oke, Ma.”

Geisha lantas bergegas untuk memanggil Haikal dan Aria. Setelah semua anggota keluarganya lengkap di meja makan, barulah mereka memulai acara makan malamnya. Geisha mengecap kuah lontong yang sudah lama tidak dia santap. Pasalnya, Sintia jarang memasak lontong, dibanding memasak, Sintia lebih suka membeli lontong yang dijual di tepi jalan.

Nasi di piring Geisha ludes dalam sesaat, namun Geisha belum juga beranjak dari sana, membuat Sintia menatap putrinya heran. “Kenapa masih di situ? Biasanya, selesai makan kamu langsung ke belakang. Ada yang mau kamu bicarakan?”

Geisha mengangguk. “Iya, Ma.”

“Kenapa? Nikai kamu rendah? Atau, kamu dapat teguran dari dosen?”

“Bukan, Ma.”

“Lalu, apa?”

Geisha melirik sejenak ke arah Haikal yang kini tersenyum kepadanya seolah tengah memberikan semangat. "Ge mau izin ikut les bahasa Korea, Ma.”

“Enggak boleh!” jawab Sintia cepat.

“Kenapa, Ma? Ge ikut les, kan, tujuannya bukan untuk main-main, Ma. Ge mau nambah pengetahuan bahasa Ge.”

“Bahasa Indonesia aja dulu nilai kamu pas-pasan, sok-sokan mau les bahasa Korea. Yang ada buang-buang uang aja les kayak gitu,” cerca Sintia.

“Tapi, Ma—”

“Enggak ada tapi-tapian. Sebentar lagi kamu UTS, lebih baik kamu fokus belajar untuk ujian kamu dibanding mikirin hal-hal yang enggak penting kayak gitu. Awas aja kalau nilai kamu rendah!” ujar Sintia penuh dengan ancaman.

“Ma, jangan ngancam Geisha kayak gitu. Kasihan dia,” sela Haikal di tengah-tengah suasana menegangkan itu.

“Udah, Pa, Geisha itu harus diginin biar dia serius belajar dan enggak mikirin ke Korea aja!”

***

1.097 words
©vallenciazhng_

5 Agustus 2022
R

e-publish : 10 Desember 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro