Lintas Impian - 29
“Ge, hari ini kamu sibuk, nggak?” tanya Naura.
Geisha yang tengah bermain ponsel lantas menurunkan benda itu dan menggeleng. “Enggak, sih. Kenapa?”
“Tugas pak Wisnu tadi kita kerjain bareng-bareng, yuk? Aku enggak terlalu pandai bahasa Inggris soalnya.”
“Ya, sama. Malahan dulu pas sekolah, nilai bahasa Inggris aku selalu dapat nilai merah, enggak pernah tuntas, entah itu ulangan harian, UTS, atau UAS. Cuma anehnya, nilai di rapor selalu 80. Enggak tahu nilai gaib dari mana itu,” ujar Geisha yang berkebalikan dengan fakta sesungguhnya. Gadis itu cukup pandai di bidang bahasa, hanya saja, dia terlalu malas untuk serius di bidang akademik.
“Eh, iya, sama. Guruku juga sering ngasi nilai gaib. Cuma, ya, aku sama temen-temenku dulu senang-senang aja, yang penting nilainya tinggi,” jawab Naura yang kemudian membuat Geisha tertawa.
Geisha benar-benar merasa cocok dengan kepribadian Naura yang sama receh dengan dirinya. Meski terkadang, Naura bersikap sedikit polos yang membuat Geisha gemas.
“Kita mau ngerjainnya di mana? Di kafe?” tanya Geisha.
“Di rumah kamu aja, gimana? Aku enggak terbiasa ke kafe soalnya. Nanti yang ada aku malah malu-maluin,” ujar Naura jujur.
“Ih, santai aja kali. Dulu aku pas pertama kali ke kafe juga malu-maluin karena nanyain jenis minumannya satu per satu, mana mbak-mbak di belakang ngelihatin lagi. Malu banget.” Geisha sedikit bergidik ngeri ketika mengingat ulang peristiwa tersebut. Mungkin, itu adalah kejadian paling memalukan yang pernah dia alami seumur hidupnya.
“Aaa, Geisha, jangan buat aku jadi takut nanti ke kafe, nanti aku malu-maluin.”
“Enggak pa-pa, Nau. Kalau aku, sih, megang prinsip kayak gini. Enggak pa-pa malu, toh mbak-mbaknya enggak ngenalin kita. Jadi aman,” ucap Geisha berbangga diri.
“Iya juga, sih. Kamu bener.”
“Kalau kamu mau kerja di rumah aku, bareng aku aja sekalian. Kamu bawa helm, kan?” tanya Geisha.
“Bawa. Helm aku ditaruh di atas etalase lorong masuk.”
“Ya udah, kita ambil aja dulu.”
“Eh, bentar.” Naura menahan pergerakan Geisha dengan tangannya. “Aku kabarin pacarku dulu, ya. Takutnya dia nanti datang jemput aku.”
Geisha menganggukkan kepalanya. “By the way, kamu setiap hari diantar jemput pacar kamu?”
“Enggak. Kalau dia sempat aja, kan dia juga kuliah.”
“Oh, gitu.” Geisha ber oh ria. “Udah dikabarin?”
“Udah. Ayo, Ge.”
***
“Teks kamu udah selesai, Nau?” tanya Geisha yang baru saja menyelesaikan teks untuk videonya. Sementara Naura, gadis itu sedari tadi sudah sibuk bermain ponsel. Asyik cekikikan, entah sedang chattingan dengan siapa.
“Udah, tinggal aku translate pakai google translate. Kamu udah?”
“Sama, aku juga tinggal translate. Cuma, nanti aja, deh,” ujar Geisha kemudian meregangkan otot-otot tangannya. “Capek banget, ya Tuhan. Kenapa tugasnya ribet banget. Bikin video tentang kampus, ya, tinggal bikin. Kenapa harus pakai bahasa Inggris segala,” lanjutnya mengeluh lelah.
Ternyata, masuk jurusan Ilmu Komunikasi tidak semudah yang ada di bayangan Geisha pertama kali. Sebab, nyatanya, hidupnya harus dipenuhi dengan tugas membuat video. Belum lagi, video yang dibuat terkadang tidak dalam bahasa Indonesia. Meski gadis itu bisa, namun biasanya Geisha akan langsung menggunakan google translate untuk menerjemahkan teksnya. Ada cara yang mudah, kenapa harus menggunakan cara yang sulit?
Naura menepuk bahu Geisha perlahan. “Sabar, Geisha. Aku juga capek, kok. Namanya juga mahasiswa, pasti ada aja tugasnya,” ujar Naura bijak.
“Ya, tapi enggak gini juga. Sumpah, baru semester 1 udah pusing.”
“Capek? Pusing? Frustrasi? Siapa suruh kuliah!” seloroh Naura yang membuat Geisha tertawa.
“Kalau aku enggak kuliah, kayaknya nama aku bisa dicoret dari kartu keluarga.”
“Kasihan banget kamu, Geisha. Aku turut prihatin, ya.”
“Iya, makasih, ya, Naura.”
Naura lalu merentangkan kedua tangannya untuk menguap. Setelah itu, Naura mengusap matanya yang berair sejenak sebelum bersuara. “Yuk, yuk, kerja lagi. Jangan malas, Ge,” ujarnya seraya menarik lengan Geisha yang sedang membaringkan kepalanya di atas meja belajar. “Bangun, Ge. Duh, kamu berat banget. Makan apaan, sih?”
“Makan hati, Nau!” jawab Geisha cepat.
“Cie, Geisha lagi patah hati, ya? Pasti karena abang-abang yang itu,” ujar Naura.
Geisha segera mengubah posisi tidurannya menjadi duduk sempurna, menatap Naura penuh kebingungan. "Abang-abang yang mana, Nau? Abang tukang bakso?”
Naura mendengkus kesal. “Pura-pura enggak tahu aja. Itu loh yang pas itu ada di taman bareng kamu.”
Geisha mengernyitkan keningnya. Apa yang dimaksud Naura adalah Jo?
“Itu bukan abang-abang, Nau. Namanya Jonathan, dia anak hukum.”
“Nah, pokoknya itu. Dia siapanya kamu, Ge? Pacar kamu, ya?”
Geisha menggeleng cepat. “Bukan, dia cuma orang enggak dikenal yang mendadak jadi teman aku. Aku juga enggak tahu kenapa bisa temanan sama dia,” ujar Geisha berkelakar.
“Bisa jadi, Ge. Aku sama pacarku juga dulu saling enggak kenal. Gara-gara ketemu di bioskop, eh, malah jadian. Aneh banget, ya?”
Geisha mengangguk. “Iya. Aneh.”
“Tapi, semenjak kami jadian, udah enggak aneh lagu. Karena kami saling menyayangi satu sama lain. Di aitu romantis pake banget. Setiap bulan, dia selalu ngasi aku bunga, sampai aku bingung nyimpannya di mana,” cerocos Naura dengan penuh antusias. Sementara itu, Geisha hanya manggut-manggut saja menanggapi omongan Naura yang memuji pacarnya sembari membayangkan bagaimana penuhnya kamar Naura dengan bunga-bunga itu.
Geisha mendesah pelan, ternyata ada yang lebih bucin dibanding Morena. Dan, sialnya, kini orang itu berstatus sebagai teman Geisha.
“Mama kamu enggak marah kalau kamu pacaran, Nau?” tanya Geisha seketika.
Naura menggeleng. “Enggak. Mamaku itu sebenarnya enggak banyak larang aku, dia cuma larang aku untuk beli barang-barang yang enggak berguna aja.”
“Termasuk soal mimpi kamu?”
“Iya, enggak juga. Mama dukung semua mimpi aku. Cuma emang akunya yang terlalu banyak mimpi sampai aku bingung gimana mau nyeleksinya. Aku pernah mau jadi dokter, bahkan kepikiran untuk kuliah kedokteran, tapi enggak jadi karena aku takut darah. Mau jadi guru, tapi aku enggak pandai ngajarin orang. Jangankan ngajar, aku sendiri aja mungkin enggak paham materinya. Mau jadi pramugari, tinggi aku enggak sampai. Ujung-ujungnya, aku ikut jejak kakak aku aja. Dia lulusan ilkom, walau sekarang dia buka toko sendiri. Aneh banget. Tapi, dari dia aku banyak belajar bagaimana teknik public speaking yang benar, makanya aku tertarik dan milih jurusan ini.”
Penjelasan Naura ditangkap begitu baik oleh Geisha, meski telinganya sedikit panas karena kalimat itu terlalu panjang.
“Kamu pernah enggak punya mimpi untuk ke Korea, Nau?”
“Bukan pernah lagi, sering, Ge. Bahkan, aku sering mimpi untuk nikah sama Ahjussi. Cuma, semakin ke sini, aku semakin sadar diri, gimana aku mau nikah sama Ahjussi? Aku ke Korea aja kayaknya cuma jadi upil, tahu, nggak? Udah itu, bahasa Korea aku enggak lancar. Yang ada pas nikah, aku ngang ngong ngang ngong aja,” ujar Naura kemudian menertawai dirinya sendiri.
Sayangnya, Geisha ikut tertohok dengan kalimat itu.
***
Setelah Naura pulang, Geisha kembali masuk ke kamarnya dan betapa terkejutnya gadis itu ketika melihat kondisi kamarnya yang begitu berantakan. Beberapa polaroid yang tercecer akibat ulah Naura, bungkus kripik yang ada di lantai, dan beberapa hal lainnya yang membuat kamar itu tampak seperti kapal pecah. Maka, tugas Geisha setelahnya adalah membereskan kamarnya sebelum Sintia melihat ini semua dan mengamuk.
Geisha mulai memunguti bungkus kripik, membuangnya ke tempat sampah, mengambil polaroid dan memasukkannya ke dalam album. Dalam sekejap, kamar Geisha kembali rapi. Sepertinya semesta salah dalam memasangkan Geisha dengan Naura yang sama-sama ahli membuat kamar menjadi berantakan.
Seusai berberes, Geisha kembali merebahkan tubuhnya, namun itu tak berlangsung lama. Sebab, ada hal lain yang harus Geisha lakukan.
Geisha mengambil selembar kertas dan pulpen dan mulai menulis beberapa tulisan di atasnya. Geisha mengurutkan beberapa mimpi yang sempat dia lambungkan selama ini, kemudian memberikan tanda silang di sebelahnya serta penjelasan mengenai ketidakmungkinan yang terjadi.
Nikah sama Ahjussi (×)
“Mana cocok pangeran disandingkan dengan upil.”
Kerja di Korea (×)
“Mama juga kayaknya enggak bakal izinin kerja di Korea.”
Healing di Korea (×)
“Buang-buang duit.”
Dan, salah satu cara agar Geisha bisa tetap menginjakkan kakinya di negeri Ginseng itu adalah … “Aku harus belajar bahasa Korea yang benar, terus jadi penerjemah, nemenin orang ke sana, biar mama enggak punya alasan larang aku ke sana.”
***
1.281 words
©vallenciazhng_
4 Agustus 2022
R
e-publish : 9 Desember 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro