Lintas Impian - 25
“Gimana sotonya? Enak, kan?”
Geisha sengaja menahan dirinya untuk tidak mencicipi kuah soto demi menunggu hingga Jo mencobanya. Dan, setelah itu, Geisha meminta review dari lelaki itu terhadap rekomendasi tempat makannya.
“Iya. Enak banget. Sepertinya ini soto terenak yang pernah saya makan. Selain itu, warungnya juga bersih, menambah selera makan. Kamu memang jago memberi rekomendasi tempat makan,” ujar Jo sekaligus memuji Geisha.
Geisha yang mendengar pujian itu kemudian berbangga diri. “Makanya, jangan pernah remehin seorang Geisha. By the way, kalau kamu butuh rekomendasi tempat makan nanti, jangan sungkan untuk nanya sama aku. Nanti aku kasih nomor aku ke kamu, jadi kamu bisa tanya langsung lewat chat.”
“Iya, Geisha. Terima kasih untuk tawarannya. Tapi, sejujurnya, saya lebih suka makan makanan di rumah yang dibuat oleh mama saya.”
“Kalau itu sih enggak usah dibilang. Makanan buatan emak itu emang yang paling top, deh.” Geisha mengacungkan kedua jempolnya terhadap Jo.
Geisha lalu mulai mencicipi kuah soto yang tidak pernah terasa membosankan di lidahnya. “Lezat banget,” gumamnya.
Wajah menikmati gadis itu tidak luput dari pandangan Jo. Walau begitu, Jo tetap melanjutkan acara makannya.
Tak butuh waktu lama, mangkuk berisi soto ayam di hadapan Jo dan Geisha habis. Bahkan, mangkuk Geisha bersih tak bersisa setetes kuah pun. Seolah setiap tetes itu harus dia habiskan.
Geisha melipat sedotan dan kemudian menyedot teh es dari gelasnya. Setelah itu, menarik selembar tisu untuk mengelap bibirnya yang sedikit berminyak karena kuah soto.
“Nah, makannya udah selesai. Jadi, sekarang waktunya kamu tepatin janji untuk cerita,” ujar Geisha antusias.
Jo tertawa kecil. “Berasa ditagih sama rentenir, ya, saya.”
“Loh, emang muka aku mirip rentenir?”
“Bercanda doang saya, Ge,” balas Jo tersenyum. “Oke, saya mulai cerita, ya? Sebenarnya, sejauh ini, enggak ada orang yang tahu apa alasan sesungguhnya saya ingin memilih jurusan hukum. Bahkan, teman dan keluarga saya sendiri. Cuma, karena saya sudah terlanjur janji dengan kamu, saya bakal cerita.”
“Eh, kalau emang itu terkesan privasi dan kamu enggak mau cerita, gak pa-pa, kok. Aku enggak maksa,” potong Geisha cepat.
“Enggak privasi sebenarnya, hanya saja memang agak sedikit enggak logis kedengarannya. Jadi, saya masuk hukum itu karena kakak saya. Dulu, kakak saya pernah kerja di salah satu toko kosmetik, lumayan lama, sekitar beberapa tahun. Tapi, anak dari bos toko itu sepertinya enggak suka dengan kakak saya yang di mana kakak saya sendiri enggak tahu alasannya. Karena, kakak saya enggak merasa pernah ngelakuin hal jahat ke dia.”
“Aneh banget, ya. Bisa-bisanya ada orang ngebenci tanpa suatu alasan,” ujar Geisha berkomentar.
“Saya juga enggak tahu. Tapi, suatu hari, kakak saya dituduh mencuri beberapa barang kosmetik di toko tersebut, padahal kakak saya sama sekali enggak pernah lakuin hal itu. Tapi, karena terlanjur murka, kepercayaannya dikhianati, bos kakak saya laporin kakak saya ke penjara.”
“Terus, ujungnya gimana?”
“Kakak saya terbukti enggak bersalah. Ternyata, anak bos itu yang sengaja masukin barang di toko ke tas kakak saya. Hal yang buat saya enggak terima ialah bos kakak saya malah minta menyelesaikan hal tersebut secara kekeluargaan, di mana kondisinya itu telah masuk ke tindak pencemaran nama baik. Sayangnya, karena pada dasarnya kakak saya baik, kakak saya mau dan nurut aja untuk menyelesaikannya secara baik-baik. Bahkan, yang bikin saya enggak habis pikir, setelah masalah itu selesai, bos kakak saya masih berani minta kakak saya untuk kembali bekerja di sana,” ujarnya terdengar menggeram.
Geisha sedikit ngeri karena nada bicara Jo, namun tetap berusaha memberikan respons yang baik. “Terus, kakak kamu mau balik kerja di sana?”
“Enggak, karena orangtua saya enggak izinin. Orangtua saya takut kakak saya akan mengalami hal serupa lagi.”
Geisha mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi, ini alasan kamu masuk hukum? Karena kamu merasa kalau hal yang menimpa kakak kamu itu merupakan suatu tindakan yang mengarah pada ketimpangan hukum?”
“Iya, lebih tepatnya, saya ingin menegakkan hukum di Indonesia. Kejadian yang menimpa kakak saya hanya satu di antara banyaknya masalah ketimpangan yang ada di negeri ini. Mungkin, saat itu, saya masih enggak bisa bantu apa-apa untuk masalah kakak saya. Tapi, setidaknya, setelah saya bisa memilih, saya akan membantu orang-orang di luar sana yang mengalami hal serupa dengan kakak saya.”
Geisha menatap Jo dengan tatapan penuh pukau. Gadis itu salut. Jo penuh dengan ambisi. Kebaikan hatinya tentu menjadikan hal tersebut menjadi berkah bagi orang-orang di sekitarnya.
“Luar biasa. Aku baru kali ini dengar alasan yang sekeren ini memotivasi orang untuk kuliah. Kakak kamu pasti bangga punya adik sehebat kamu,” puji Geisha. “Oh, iya, kamu punya foto kakak kamu?”
“Ada. Kenapa?”
“Boleh lihat?”
“Sebentar.” Jo lalu merogoh ponsel yang ada di kantong celananya, membuka layar, dan mencari foto kakaknya yang ada di galeri. Setelah itu, Jo menunjukkannya kepada Geisha. “Ini.”
“Wah, cantik banget. Pantas aja anak bosnya iri dan enggak suka sama kakak kamu.”
“Iya. Kakak saya memang cantik. Dia perempuan tercantik kedua setelah mama saya. Dia perempuan hebat dan tangguh. Harusnya, saya yang beruntung mempunyai kakak seperti dia.”
Mendengar bagaimana Jo mendeskripsikan kakaknya membuat hati Geisha menghangat. Sebegitu hebatnyakah sosok kakak perempuan itu bagi Jo?
“Kapan-kapan aku boleh ketemu dia? Pasti seru bisa kenalan sama dia,” ujar Ge antusias.
“Boleh. Tapi, sepertinya hanya kamu yang akan banyak ngomong, sedangkan dia enggak,” jawab Jo yang membuat Geisha mengernyit heran.
“Kenapa gitu?”
“Kakak saya sudah tenang di sana.”
Geisha seketika memundurkan sedikit tubuhnya, agak terkejut dengan pernyataan Jo. Timbul rasa bersalah di hati gadis itu karena telah membuat Jo mengingat kembali perihal kakaknya. “Maaf, aku enggak maksud.”
“Santai, Ge. Saya sudah mengikhlaskan kakak saya.”
“Kalau boleh tahu, kakak kamu meninggal kenapa? Karena sakit?”
Jo menggeleng perlahan. “Dia kecelakaan sewaktu hendak pulang dari rumah temannya.”
Geisha mengangguk-anggukkan kepalanya, menjawab kalimat Jo dari dalam hati.
Suasana seketika menjadi hening. Geisha bingung hendak memulai topik kembali seperti apa dan Jo yang sedang melihat jam tangannya.
“Oh, iya, saya ada jadwal pemotretan habis ini di waterfront. Saya antar kamu dulu, ya, ke kampus?”
“Pemotretan? Aku ikut, boleh?” pinta Geisha.
“Serius?”
“Iya. Aku mau lihat gimana fotografer bekerja. Boleh?”
“Boleh. Saya bayar uang dulu. Kamu tunggu di motor aja.”
“Oke!”
***
“Kamu duduk di sini aja, biar enggak kena panas. Sekalian saya titip tas saya, ya,” ujar Jo kemudian meletakkan tasnya di sisi kanan bangku.
“Iya, aman. Enggak bakal ilang, kok.” Geisha mengangkat jempolnya. “By the way, aku mau nanya bentar, boleh?”
“Boleh. Apa?”
“Tadi kamu bilang kalau belum ada satu orang pun yang tahu tentang alasan kamu masuk hukum, lalu apa yang mendorong kamu untuk ceritain hal itu ke aku? Bukannya aku masih tergolong orang baru untuk kamu ceritain? Kamu enggak takut aku cerita ke orang lain?”
Jo tertawa kecil. “Sekalipun kamu cerita, apa untungnya untuk kamu?”
Geisha menggeleng perlahan. Memang tidak ada suatu keuntungan pun bagi dirinya jika menceritakan kembali cerita Jo.
“Lagi pula, itu bukan aib. Silakan-silakan aja kalau mau menceritakannya ke orang lain.”
Geisha menggeleng cepat. “Aku enggak ada niatan cerita ke orang lain, kok.”
Jo menyunggingkan senyumnya. “Saya percaya sama kamu, Geisha. Sama seperti kamu memercayai saya yang masih orang baru untuk kamu.”
***
1.146 words
©vallenciazhng_
30 Juli 2022
Re-publish : 4 Desember 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro