Lintas Impian - 20
Ternyata, menjadi seorang mahasiswa tidak sebebas yang ada di novel. Bebas menggunakan pakaian apa pun, tidak membawa tas dengan kapasitas yang berat, jarang diberi tugas, sekalinya diberi tugas jarang ditagih oleh dosen. Nyatanya, yang Geisha rasakan justru kebalikannya.
Beberapa dosen mengharuskan agar mahasiswa di kelasnya mengenakan kemeja. Tasnya selalu berat diisi oleh barang-barang keperluannya. Dan, satu lagi, tugas yang datang silih berganti. Baru masuk minggu ketiga kuliah, Geisha sudah mendapatkan 3 tugas, meski batas pengumpulan tugas cukup lama, namun sang dosen selalu menagih di setiap pertemuan, membuat Geisha tak jarang kepikiran dengan tugas-tugas yang ada.
Sekarang, sepertinya Geisha tidak boleh sembarang memercayai cerita-cerita yang ada di dalam novel atau di film-film. Benar-benar menipu.
“Kayaknya enakan nikah, ya, dibanding kuliah,” celetuk Geisha tanpa sadar.
“Astaga, Ge. Enggak boleh mikir gitu. Baru juga semester 1, udah mikir nikah aja. Gimana udah masuk semester akhir? Bisa-bisa nekat kabur ke Korea untuk nikah sama Ahjussi,” ujar Geisha menepuk kening mulusnya dengan tangan sebelah kiri yang tidak memegang stang motor.
Geisha memperlambat laju motornya setelah memasuki pekarangan rumahnya. Saat gadis itu melepas helm, dia baru menyadari bahwa ada Morena yang berkunjung ke rumahnya dan sedang berbincang dengan Sintia. Geisha dengan cepat turun dari motor dan menghampiri Morena dan Sintia yang duduk di teras.
“Mo, tumben datang enggak ngabarin ke aku dulu?” tanya Geisha. Baik Sintia dan Geisha menoleh saat Geisha menginterupsi perbincangan keduanya.
“Eh, Ge. Iya, soalnya tadi datangnya mendadak. Jadi enggak sempat ngabarin kamu. Ini juga aku baru sampai. Mungkin, sekitar 10 menit yang lalu. Iya, kan, Tan?” Morena menoleh kepada Sintia.
“Iya. Morena baru aja sampai. Mana bawain martabak telur kesukaan kamu lagi.”
Mendengar kata martabak, kedua bola mata Geisha berbinar. “Serius, Mo? Kamu bawa martabak? Udah lama banget aku enggak makan.”
“Iya, Ge. Aku tahu pasti kamu udah lama enggak makan martabak. Soalnya, selama beberapa bulan ini, kan, kamu mengendap di dalam rumah terus. Makanya, aku bawain martabak untuk kamu.”
“Aaaa, kamu emang paling pengertian, deh, Mo. Coba aja kalau kamu itu cowok, udah lama aku gebet kayaknya,” tutur Geisha yang membuat Morena tertawa.
“Dan, sayangnya, aku itu cewek dan aku masih normal, Ge.”
Geisha mendengkus kesal. “Ya, iya, Mo. Makanya aku bilang 'coba aja kalau kamu itu cowok'. Bukan berarti aku suka sama kamu yang sekarang. Gimana, sih.”
“Tapi, kalau aku cowok, aku juga enggak sudi digebet sama kamu. Berisik soalnya.”
“Omongannya tajam amat, ya, Bun.” Geisha melipat kedua tangan di atas dada.
“Bercanda, Ge,” kata Morena kemudian tertawa. Morena kemudian beralih pada Sintia. “Tan, kok anaknya baperan banget, sih?”
“Oh, sekarang mainnya ngadu, ya?” tukas Geisha.
Sementara itu, Sintia hanya bisa geleng-geleng kepala. “Tau, deh, kalian. Tante mau masuk ke dalam dulu taruh martabaknya, ya.”
“Kebetulan Morena juga udah mau pamit, Tan,” ujar Morena turut berdiri kemudian menyalami tangan Sintia.
“Oh, iya. Hati-hati, ya, Morena. Makasih juga untuk martabaknya, ya.”
“Sama-sama, Tan.”
Sintia kemudian beranjak dari sana, berjalan masuk ke dalam, menyisakan Geisha dan Morena di teras.
Geisha yang masih melipat dadanya, melirik Morena sekilas. “Cepet banget, Mo, udah mau pulang?”
Morena mengangguk. “Iya. Ada kuliah habis ini.”
Geisha kemudian menurunkan lipatan tangannya. Gadis itu mengantarkan Morena ke depan. “Mo, hati-hati ya.”
Setelah Morena pulang, Geisha pun masuk ke dalam. Tanpa meletakkan totebag serta bersih-bersih terlebih dahulu, Geisha langsung menarik kursi di ruang makan dan duduk di sana. Tangannya dengan lihai membuka kantong plastik dan mengeluarkan kotak berisi martabak di dalamnya.
“Wangi banget,” ujarnya seraya membaui aroma martabak itu. “Baru cium baunya aja udah ngiler.”
Namun, belum sempat Geisha mencomot sepotong martabak itu, suara Sintia terlebih dahulu menggema. “Coba bersih-bersih dulu, Ge. Cuci tangan baru makan. Banyak kuman itu.”
Geisha membolak-balikkan kedua tangannya kemudian menggeleng. “Enggak pa-pa, Ma. Lagian, udah biasa Ge makan enggak cuci tangan. Ge enggak kenapa-napa juga. Paling sakit perut aja. Minum obat, sembuh, kelar. Tapi, kalau nahan ngiler karena martabak ini, Ge enggak bisa.”
“Iya, deh. Suka-suka kamu,” ucap Sintia pasrah. Wanita itu turut menarik kursi dan duduk di kursi yang berseberangan dengan Geisha. Berdeham sejenak, sebelum berkata, “Tadi mama ngomong sama Morena. Meskipun dia ikut banyak kegiatan, tapi IP-nya masih bisa stabil, ya. Selalu 4.”
Geisha menganggukkan kepalanya. “Iya, Ma. Kan, pada dasarnya, Morena emang pintar. Jadi, enggak heran.”
“Mama mau kamu kayak Morena, Ge. Kamu kemarin bilang enggak mau ikut organisasi atau kegiatan apa pun di kampus, kan. Di rumah aja. Jadi, pasti IP kamu bisa 4.”
Geisha lagi-lagi menunda acara memakan martabaknya untuk menjawab kalimat sang mama. “Ge enggak bisa janji, Ma.”
“Kenapa ngomongnya gitu? Morena aja bisa. Kenapa kamu enggak bisa?”
Dan, entah kenapa, Geisha benci ketika nada bicara mamanya yang mendadak naik setingkat. Sebab, jika sudah begitu, maka itu artinya Sintia sudah berniat untuk menuntutnya mengikuti apa yang dia mau.
“Ge sama Morena itu beda, Ma. Lagian, Ge juga baru masuk kuliah. Butuh adaptasi, Ma. Sistem di sekolah sama kuliah itu beda jauh.”
“Beda gimana? Kalian lulus dari sekolah yang sama. Dari kelas yang sama. Kalau Morena bisa, kenapa kamu enggak? Jurusan Morena lebih susah lagi dibanding jurusan yang kamu pilih.”
“Kenapa Mama jadi banding-bandingin Ge sama Morena, Ma?”
“Mama bukan ngebandingin. Tapi, itu faktanya. Morena bisa, kan, karena mau belajar. Itu artinya kamu juga bisa asal mau belajar.”
“Tapi, kapasitas otak orang kan beda-beda, Ma.”
“Tuhan ciptain manusia semua sama, Ge. Enggak ada yang pintar, enggak ada yang bodoh. Bedanya, cuma kamu mau berusaha atau enggak!”
Geisha berusaha meredam rasa kesalnya terhadap Sintia. Gadis itu menghela napasnya, sebelum kemudian memilih untuk menyudahi perdebatan itu.
“Udah, Ma. Ge capek debat sama Mama. Ge mau istirahat.”
Geisha meraih totebag yang ada di kursi sebelah dan beranjak pergi dari sana.
“Ge, Mama belum ngomong selesai! Ini martabaknya juga enggak mau dimakan?”
“Enggak mau. Buat Mama aja. Ge udah enggak pengen makannya!”
***
Geisha membanting keras pintu kamarnya. Persetan dengan kemungkinan pintu itu akan roboh. Gadis itu melempar totebag miliknya asal ke atas ranjang, disusul dengan dirinya yang sengaja dia banting di atas sana. Geisha mengacak rambutnya kacau.
“Kenapa mama hobi banding-bandingin aku sama Morena? Baru aja aku masuk kuliah, udah ditekan kayak gini,“ gumam Geisha.
“Apa kemarin dengan aku nurutin kemauan mama untuk kuliah itu enggak cukup? Apa enggak cukup mama redam semua mimpi aku?”
“Apa sebenarnya mama malu punya anak kayak aku?”
***
1.050 words
©vallenciazhng_
23 Juli 2022
R
e-publish : 30 November 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro