Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. Organisasi

Yogyakarta.

Satu kata penuh makna yang didapatkan Raina setelah sampai. Ia merasa kangen kepada wilayah yang selalu menjadi kenangan untuknya.

Perjalanan yang cukup memakan waktu hampir satu harian penuh telah usai setelah sampai di pedesaan yang sangat asri. Ia telah sampai di rumah neneknya yang telah modern karena Ayah dan Pamanku telah membenarkan rumah yang sebelumnya telah reyot itu.

Raina turun dan melihat neneknya yang memeluknya erat dan menangis membuatku terharu.

"Bu, aku nginep ya sampai lusa." Nenek mulai mendekat padanya dan—

BUGH!

"Kemana aja kamu baru ngabarin Ibu hah?!" Bagas meringis sakit dan mengingat sejenak apa kesalahannya.

"Ayah kenapa dipukulin begitu?" Raina terdiam membuat Lea cuma bisa tersenyum.

"Kayak enggak tahu aja Ayahmu gimana. Nenek udah sering nanyain Ayahmu itu tapi dia ngilang terus makanya marah." Lea tersenyum senang melihat suaminya dipukuli.

Hehehe, ada pembalasan soalnya kemarin Bagas menyembunyikan ikat rambutnya di langit-langit kamarnya.

.

.

.

.

.

"Rain, jangan rebahan mulu ya! Bantuin Ibumu sini ngupas bawang!" Raina mengeluh kesal dan berjalan keluar kamar agar tidak diamuk oleh singa betina. Bahaya soalnya ....

Raina segera berjalan menuju ke belakang rumah. Sebelum menuju ke dapur, ia harus pakai sandal terlebih dahulu karena ia akan menginjak tanah tanpa ada lantai di sana.

"Sini! Di kamar mulu kamu!" Raina mengangguk dan melihat Ayahnya yang tersenyum sambil makan roti dengan bungkusnya yang dibuang sembarangan.

"Ohh iya sekalian dibuang ya ...." Bagas langsung kabur begitu saja membuat darah Raina mulai mendidih.

"Bu, gapapa ya coret Ayah dari KK. Ganti suami aja gapapa kok beneran," pekik Raina sambil mengupas bawang dengan keadaan amarah memuncak.

»»——⍟——««

"Rain, Ayah pulang dulu. Jangan jadi beban rumah ya apalagi beban negara."

"Iya terserah Ayah saja." Raina mendengus dengan masih memeluk Ibunya yang kemudian mengelus kepalanya lalu ia dan Ayah mulai masuk ke dalam mobil.

Raina dan Nenek memandang mobil yang telah menjauh dari rumah. Ia sebenarnya berharap ingin tinggal di Bandung di kamarnya dengan nyenyak, tapi ada kalanya karena masalah ini dia harus mandiri dengan tinggal bersama neneknya.

"Ran, Si Mbah mau beli sayur dulu." Raina mengangguk patuh dan melihat Neneknya yang berjalan dengan perlahan apalagi dengan badannya yang sudah mulai membungkuk karena keseringan menyapu halaman. Kali ini ia yang akan menggantikan Neneknya untuk menyapu halaman bahkan meringankan pekerjaannya. Ia segera masuk ke dalam rumah sembari menyapu di dalam rumah yang lumayan luas untuk hanya berdua. Sebenarnya terkadang om dan tantenya ke sini untuk menjenguk dua minggu sekali yang rumahnya berjarak 12 km dari rumah. Mungkin dia akan bertemu dengan om dan tantenya beberapa hari lagi. Tante Wina sudah mengirim pesan padanya untuk datang dengan motornya.

Setelah selesai menyapu rumah, ia segera menyapu halaman belakang terlebih dahulu yang berisikan banyak dedaunan berguguran yang tampaknya sudah beberapa hari tak disapu. Ia menyapu dengan sesekali menyapa orang lewat yaitu tetangga Neneknya yang berada di belakang rumahnya.

Setelah selesai dengan menyapu halaman belakang, ia tiba-tiba disapa oleh seorang perempuan yang raut wajahnya tampak ia kenali.

"Kamu Raina anak Pak Bagas 'kan?" Raina terdiam sebentar lalu mengangguk membuat dia tersenyum senang.

"Kamu ingat aku enggak? Aku Hera, dulu waktu SD kita sering main bareng."

Sejenak Raina berpikir bahwa dialah Hera, teman lamaku yang berpisah karena dia saat itu sekolah dengan sistem asrama. Sekarang Raina tersenyum menyadari dia tidak sumpek tinggal di Yogya karena ada seorang teman di sini.

"Aku ingat, udah lama ya kita enggak jumpa."

"Syukurlah kalau kau masih mengenaliku, kukira 3 tahun aku di sekolah asrama membuatmu lupa." Hera berucap asal membuat Raina mendengus. "Ohh ya, kau pindah ke sini karena keterima kuliah di sini?" Sejenak Raina terdiam, sebenarnya dia ingin menyembunyikan ini, tapi tetap saja semua akan terbongkar.

"Enggak keterima aku, makanya aku pindah ke sini buat ngejar kuliah di sini untuk tahun depan." Raina mulai mengajak Hera ke depan agar mereka mengobrol di sana dan disetujui oleh Hera yang sedang ada waktu luang karena sudah selesai membereskan rumah.

"Kenapa kamu ngambil kuliah di sini? Mau mandiri?" Raina yang mendengar alasan klasik itu segera mengangguk. Mungkin ia akan menceritakan permasalahannya tentang pasangannya nanti. Dia ingin bersenang-senang bermain dengan teman lamanya itu setelah sekian lama.

Raina dan Hera sebenarnya seumuran. Ayah Hera adalah teman dekat om nya dulu. Sebelum menikah dengan tantenya, omnya selalu mengajaknya untuk bermain ke rumah temannya dan bertemu dengan Hera yang saat itu masih berusia 7 tahun. Pertemanan itu masih mereka jalani hingga kini.

"Kalau mau mandiri itu ya tinggal di kost-kostan, tapi gapapa sih tinggal di rumah nenekmu juga biar aku ada teman." Hera bertanya dan menjawab sendiri jawabannya.

"Kamu lanjut ke mana?" Hera segera cemberut mendengarnya membuat Raina tahu pasti apa yang terjadi.

"Aku jadi guru les di sini. Kalau uangnya cukup, aku bakal kuliah sepertinya tahun depan sama sepertimu." Mendengar uang cukup membuat Hera tersentuh, Hera masih memikirkan bagaimana dia mendapatkan uang sedangkan dia hanya tinggal berusaha saja karena orang tuanya bahkan sudah sangat tercukupi soal finansial.

"Heh sana sapu tuh masih banyak sampahnya! Aku mau rebahan dulu sambil makan jambu.

Hera segera duduk di sebuah saung sambil memakan beberapa jambu yang tadi pagi sudah diambil oleh Nenekku untuk orang tua Raina yang baru saja pulang tadi.

"Heh yang bersih ya! Jangan sampai daunnya masih ada!" Suruh Hera yang mulai bertingkah seperti seorang majikan.

Tingkahnya mengingatkannya pada Ghea yang selalu saja mengganggunya.

Raina tebak Ghea mungkin sedang berada di pasar untuk membantu Ibunya yang berjualan. Tidak tahu saja si jangkung itu sedang mencari teori konspirasi tentang Ghea dengan lelaki yang bisa disebut Rama itu.

Kalau Raina tahu, yakinkan bahwa temannya itu kembali bertingkah aneh seolah-olah dia bisa memecahkan sesuatu yang memang benar adanya.

.

.

.

.

.

Daniel bisa katakan bahwa orang tua Raina dan itu orang yang tidak peka sejagat raya. Ghea pun sama seperti kedua orang tua itu. Tapi balik lagi bahwa memang mereka sama-sama sayang dan tidak ingin orang yang dicintai tersakiti begitu saja.

Daniel mengingat saat kemarin ia didatangi oleh Ayah Raina yang memohon padanya agar dia bisa memberitahu siapa pelakunya itu. Ia yang terenyuh kembali mengingat bahwa Raina tidak memperbolehkannya, ia memenangkan orang tua berkepala empat itu karena anaknya akan baik-baik saja. Raina orang yang cerdas membuat dia bisa mempertimbangkan apapun hingga dia akhirnya pindah ke Yogyakarta.

Di samping itu, Daniel masih sering melihat Ghea yang berada di halaman kampusnya mencari orang yang bernama Rama itu. Perempuan dengan motor bututnya itu tanpa malu masuk ke dalam halaman kampus dengan percaya diri tanpa mengindahkan tatapan orang lain. Itu membuat Daniel salut karena dia ternyata sahabat yang baik, walaupun sebenarnya dia harus lebih cerdas lagi dalam memikirkan sesuatu agar tidak membuang bensinnya karena telah datang selama 3 hari berturut-turut. Di beberapa hari itu juga ia mengabaikan pesan Ghea dan mengatakan bahwa dia menjalani persiapan KKN padahal waktunya masih beberapa minggu lagi.

"Apa yang membuat Raina bertingkah seperti ini? Dia masih ingin melindungi Rama?" Daniel masih tidak mempercayai ini. Temannya itu mulai terlihat problematik, tapi Raina tetap melindunginya.

"Tetap saja manusia itu tetaplah manusia yang sejatinya dia juga masih ingin mencintai." Daniel tersenyum dan menatap benang merah ditangannya yang sudah putus. Ia mulai memilih tak mempedulikannya dan pergi dari kamarnya untuk mencari udara segar di luar rumah.

Mungkin seharusnya dia tidak keluar rumah, apalagi melihat Rama dan Sarah yang baru saja turun di depan rumahnya yang bahkan kebetulan sedang kosong karena pembantunya sepertinya terlambat datang. Ia harus menangani orang ini di jam 8 pagi yang seharusnya dia isi dengan berolahraga.

"Apa kau tidak membiarkan kami masuk?" Rama berujar membuat Daniel segera keluar dan menutup pagarnya. "Kau tidak mau membiarkan kami masuk ya ...." Sarah berujar di sebelahnya yang memegang pagarnya.

"Singkirkan tanganmu itu atau akan ku pukul kau di sini."

"Gila lo! di sini banyak cctv—"

"Sejujurnya lebih gila lagi jika kalian malah tertangkap basah di sini kalau kalian ternyata bukan seorang pasangan."

"Lo bukannya belain Rama malah—"

"Belain? Cewek enggak guna kayak lo masih punya otak enggak? Pantes aja ya pas benang merah gue putus sama pasangan gue kalian malah diam aja ... baru keliatan belangnya sekarang." Daniel segera pergi masuk ke dalam rumah dan membanting pintunya untuk menyampaikan amarahnya karena menahan untuk tidak memukul muka Rama yang sedari tadi menatapnya sinis.

"Udah kita nanya aja ke Ayahnya itu, lagian cewek itu juga belum ngasih tahu kalau gue pasangannya." Rama segera mengajak Sarah pergi.

Andai kata Daniel tahu itu, dia pasti akan langsung memberitahunya pada Raina.

»»——⍟——««

Tampaknya kehadiran Hera membuat hari Raina semakin berwarna. Ini hari keduanya bertemu dengan Hera dan anak itu sudah mengajaknya berjalan-jalan dengan motornya untuk ke area pasar membeli jajanan.

Setelah selesai membereskan rumah, Raina segera meminta izin kepada neneknya yang sedang memasak agar bisa ikut dengan Hera. Neneknya berkata agar dia tidak terlalu lama membuat Raina setuju dan segera pamit kepadanya dan segera mengabari Hera saat itu juga. Hera pun dengan sigap menjalankan motornya dan tidak butuh waktu lima menit untuk sampai di rumah Raina.

Perjalanan itu sangatlah menyenangkan apalagi mereka melewati sawah dan juga kebun sayur milik warga. Mereka memandangi perjalanan dan Hera menunjuk Ayahnya yang sedang menanam padi. Setelah melewati sawah yang berhektar-hektar, mereka sampai di pasar dalam waktu 5 menit dan segera memakirkan motor itu untuk membeli jajanan pasar yang letaknya berada di dalam pasar.

"Aku tinggal dulu ya, mau beliin bubur buat Nenek." Hera mengangguk dan ia segera mencari letak di mana penjual bubur berada dan tak lama terlihat bubur yang dijual tersisa sedikit.

Raina segera membeli dua untuk Nenek dan juga dirinya di rumah. Setelahnya dia segera berjalan menyusul ke Hera yang berada di pasar dekat gerbang masuk yang menjual berbagai jajanan pasar.

Raina segera mengambil donat dan juga 3 bungkus klepon untuk Neneknya yang sangat menyukainya. Setelah itu mereka segera pergi keluar dari pasar yang sangat ramai itu dan kembali ke tempat parkir.

"Aku mau beli teh dulu ya, kamu tunggu sini." Raina mengangguk sembari mengacungkan jempolnya dan melihat Hera yang menaruh jajanan itu di motor dan dia segera masuk kembali ke dalam pasar yang ramai.

Panas terik mulai menyengat di waktu pukul setengah delapan pagi. Ia segera mencari tempat duduk di tempat teduh yang tak jauh dari tempat parkir. Ia segera menunggu Hera dengan melihat pemandangan desa yang terlihat ramai tanpa memegang ponselnya. Kebetulan ponselnya sedang di cas karena baterai habis.

"Yok kita pulang!" Hera segera menarik tangan Raina yang mengaduh karena temannya sangat kencang sekali memegangnya, tapi yang membuat ia salah fokus bukan karena rasa sakitnya ....

'Benangnya ....'

Raina melotot tak percaya terhadap apa yang ia lihat di depan matanya.

Kenapa benang merahnya bisa putus?

Raina terpaku sebentar dan tak lama menyadari bahwa dia masih belum boleh memberitahukan ini pada Hera.

"Hey! Kenapa kau melihat jari kelingkingku?!"

Double sial! Raina cuma tersenyum saja dan segera memasang helm di kepalanya agar Hera tidak banyak berbicara lagi. "Ayo Ayahmu sudah menunggu di sawah!" Hera menghela napas panjang dan mulai menuruti Raina saat dia mulai menaiki motornya kembali. Mereka segera menjauh dari pasar menuju ke sawah yang jaraknya tak jauh dari sini untuk memberikan bekal pada Ayah Hera.

Setelah sampai, Hera memberhentikan motornya dan menyuruh Raina untuk tunggu di sini sebentar.

"Jangan lupa ya jelasin kok kamu bisa liat benang merahku ...." Raina mulai mangap ingin menjelaskan tapi Hera sudah pergi menjauh darinya.

"Ternyata Hera sepintar itu langsung tahu ... tapi apa memang Ghea itu bodoh makanya dia tidak tahu?"

Sepertinya Raina lupa bahwa orang tuanya bahkan belum tahu mengenai penglihatannya itu. Apa mereka dinggap bodoh juga?"

.

.

.

.

.

.

"Jelaskan atau aku masukkan kau ke dalam empang?!" Raina yang sedang membersihkan rumahnya mendengus kesal karena Hera malah asyik memakan kue yang ia beli sambil melihatnya yang sedang mengepel lantai. "Yang bersih ya babu!" Saat itu juga Raina melempar sebuah dus lampu yang berada di sebelahnya tapi tidak mengenai anak itu yang badannya sudah terlihat seperti ulat bulu yang meliuk-liuk ke sana ke mari. Bahkan ia sudah sangat sabar dengan anak itu yang malah membuang sampahnya sembarangan.

"Aku bakal lakuin itu terus sampai kamu kasih tahu kamu punya penglihatan A-red atau B-red?!" Teriak Hera membuat Raina segera menutup mulutnya.

"Jangan teriak lagi! Nanti aku kasih tahu habis ngepel! Awas aja sampai nenekku tahu?!" Raina segera menyondorkan lap pel ke muka Hera yang dibalas dengan mukanya yang tidak peduli.

Setelah usai mengepel lantai, ia segera duduk dihadapan Hera yang masih melahap kali ini dia memakan getuk dengan sekali lahap. Entah bagaimana tubuhnya sangat kurus berbanding terbalik dengan porsi makanannya yang melebihi batas wajar.

"Jadi apa kekuatanmu? Apa itu menyenangkan? Apa kamu pernah mencobanya? Apa—"

"Berhenti atau aku jitak kepalamu!" Hera terkekeh saat sadar dia malah bertanya banyak pada temannya yang baru ditemuinya 2 hari yang lalu, bisa dikatakan sudah lama dia tak menemuinya.

"Ini sebenarnya simpel, aku mendapatkannya dan kekuatanku adalah B-red. Sudah kelar, bukan?" Hera menggeleng.

"Jadi kamu bisa memutuskan benang merah orang lain? Itu terdengar sangat menyenangkan."

"Ya lumayan ...."

"Terus ... bagaimana kamu bisa punya benang merah yang putus?" Raina segera melihat keadaan sekitar ketika memastikan Neneknya masih di kebun belakang rumah untuk menanam.

"Nenekmu sudah tahu. Ya ... peristiwa ini pasti diketahui oleh semuanya. Saat ada orang dengan berkemampuan sepertimu melihat benang merahku terputus, dia langsung teriak membuat semua orang tahu. Aku bahkan harus menjelaskan kepada semuanya bahwa memang ya ... aku ditinggal jodohku dari lama. Sangat disayangkan aku bahkan tidak tahu pasanganku sendiri yang mana." Raina merasa sangat sedih mendengarkannya. Impian Hera pasti sangat menyedihkan karena tidak bisa terkabul.

"Aku harap kau bisa menemukan jodohmu yang sangat baik dan pengertian denganmu." Raina tahu bahwa Hera hanya ingin tahu tapi rasanya dia juga tidak mempunyai jodoh karena hal itu.

.

.

.

.

.

"Apa aku harus menawarkanmu untuk mengikuti organisasi?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro