11. Sakit
Bagas menatap anaknya yang tampak murung akhir-akhir ini. Setelah utbk berakhir, anaknya itu seperti tidak ada kehidupan lain. Hanya bisa berada di kamar, keluar hanya untuk makan dan menonton TV. Lea marah-marah saat itu dan menyuruh Raina untuk gerak berolahraga saat pagi. Tapi tetap saja Raina masih sukar diomongin baik-baik.
Sekarang ini, Bagas menyelidiki anaknya yang sekarang sedang bermain bersama Ghea ke mall terdekat. Dia masuk perlahan dan melihat beberapa buku berantakan berada di meja belajar bahkan kasurnya. Dia membuka buku terkait benang merah, bahkan ada 5 buku yang bisa ia lihat bahwa dia meminjamnya dari perpustakaan.
"Aku yakin dia sudah bertemu dengan pasangannya itu." Bagas terdiam dan melihat ada salah satu buku yang terbuka memperlihatkan ada salah satu kalimat yang digaris.
Benang merah akan terus menyatu seumur hidupmu kecuali kalau mereka memutuskan benang merah itu dengan seseorang berkemampuan B-red.
"Kenapa dia menggarisnya?" Bagas segera memotret halaman itu dan segera mengembalikannya ke tempat semula. Ia segera keluar dari kamar karena harus kembali ke kantor secepatnya karena istirahat siang ini akan segera berakhir.
Bagas akan mencari sesuatu itu agar Raina bisa lebih jujur kepadanya dan Lea. Ia tidak mau anaknya mengalami hal yang buruk.
.
.
.
.
.
"Seru 'kan?" Raina cuma mengangguk membuat Ghea tersenyum puas. Akhir-akhir ini ia melihat Raina tampak putus asa membuat Ghea ingin sekali menghiburnya. Ghea sadar pasti Raina tidak puas dengan performanya untuk utbk ini membuat dia terlihat seperti tidak ada kehidupan.
Ghea mengajak Raina untuk menonton bioskop. Raina bilang kalau ini kedua kalinya dia menonton. Ghea cuma bisa terheran padahal Raina ini terbilang bisa menyewa satu bioskop ini untuknya sendiri tapi Raina tidak terlihat ingin disanjung karena itu. Mungkin itu yang membuatnya dan Raina bisa dekat karena dia tidak memandang kekayaan sebagai tolak ukur pertemanan.
Disaat mereka sedang memesan, Raina sadar saat melihat Rama yang tak jauh mengantri di depannya untuk membeli tiket. Dia baru sadar pantas saja jari kelingkingnya seperti terasa akan sesuatu.
"Sial!"
"Ada apa?" Ghea menatap temannya khawatir.
"A-aku lupa ada les tambahan! Maaf ya duluan!" Raina memilih berlari meninggalkan Ghea yang tidak bisa bertanya lebih dan memilih untuk tidak menonton bioskop.
Di luar mall, Raina menghela napas kasar telah pergi dari sana sebelum membeli tiket nonton bioskop.
"Maaf, Ghea." Raina segera menaiki taksi yang lewat dan ia segera memesan ojek online dan menunggunya di halte. Semua itu tidak luput dari perhatian Ghea yang menatapnya dari lantai 3. Ia mulai menatap lamat seorang lelaki yang tak jauh dari sana mulai menghampirinya.
"Kau di sini bersama Raina?"
Ghea terdiam sebentar masih mencerna situasi. "Ohh tadi Raina memang ke sini tapi dia langsung pergi." Daniel menghela napas panjang dan segera pergi padahal ada seorang lelaki yang memanggilnya.
"Sebenarnya ada apa? Raina menyembunyikan sesuatu ...." Ghea terdiam dan memilih menemui lelaki itu.
"Kakak yang tadi teriak—"
"Pergi!" Ghea merasa tindakan lelaki di depannya sangat tidak pantas itu memilih untuk tidak menanyakan lebih jauh dan memilih turun dari lantai bioskop menunggu lift.
Ghea terdiam dan sejenak melihat ponselnya yang bergetar melihat nama Raina yang tertera.
"Hallo!"
"...."
"Ohh enggak apa-apa santai aja kayak sama siapa—HEYY PONSELKU!" Ghea terkejut dan ingin segera merebutnya tetapi lelaki yang memarahinya tadi membawa ponsel itu pergi agak jauh dari lift menuju ke tempat yang rada sepi.
"Ada yang mau aku bicarakan—SIALAN NGAPAIN SIH?! INI URUSAN HIDUP GUE!" Ghea terkejut saat lelaki itu mulai berbicara kasar kepada Raina.
"Sini balikin ponselnya!"
Rama memilih mengabaikan dan mendengarkan lebih lanjut percakapan itu. "Ckckck, licik juga ya caramu. Daniel, lo mending urusin aja hidup lo ya berantakan itu!" Rama mematikan ponselnya dan segera mengembalikannya ke Ghea.
"Bilang ke Raina suruh dia besok ketemuan sama gue di kampus sore nanti, gue tunggu di gerbang."
Ghea menggeram. "Enggak! Apa-apaan lo ngantur gue!" Ghea marah dan mulai bertindak kasar apalagi ini tentang sahabatnya.
Rama memilih tidak peduli. "Yasudah kalau tidak mau." Rama pergi meninggalkan Ghea dengan seribu tanda tanya.
Siapa itu Daniel dan lelaki di depannya tadi? Kenapa mereka berbicara tentang Raina?
»»——⍟——««
"Kamu mengajakku ke sini hanya karena kamu tidak ingin sendirian menunggu jodohmu itu?!" Raina menahan amarah untuk tidak mencakar muka polos menyebalkan itu dengan kukunya. Ia bahkan memaksa pembantunya untuk mencucinya tadi malam agar bisa ia pakai tadi pagi karena katanya ada pengumuman dari guru. Ternyata Ghea itu hanya beralasan saja.
Ohhh iya seorang wanita berkepala lima itu baru saja Ibunya pekerjakan saat merasa anak gadisnya itu menumpuk baju tanpa alasan. Memang jangan dicontoh anak sepertinya yang selalu menghabiskan sepotong baju padahal hanya dibuat untuk tidur saja. Pembantu itu dipekerjakan karena dia merupakan teman dekat dari Ibu Ghea.
"Sudahlah jangan marah-marah. Ayok kita tunggu jodohku itu!" Raina tersenyum miris. Sepertinya ini sudah bulan ketiga Ghea mencari yang katanya jodohnya itu di halte sekolah. Tapi sampai sekarang tidak ada kabar bahkan batang hidungnya sama sekali.
"Aku jadi menyesal karena memilih untuk menuju sekolah, kenapa tidak menghampirinya saja saat itu." Ghea mengutuk dirinya yang salah langkah. "Kenapa sih aku ini tidak peka?!" Raina cuma diam karena dia tidak bisa membantu persoalan itu. Semua itu hanya kesadaran dari pasangannya masing-masing. Sangat disayangkan kalau jodohnya itu bahkan tidak sadar karena hujan deras dan dia yang hendak menaiki bus.
"Semoga saja pasanganmu itu masih satu kota denganmu."
Ghea menatapnya mendelik. "Jangan doakan yang jelek gitu dong! Nanti kalau beneran dia ada di kota lain aku nangis nih!"
"Ya 'kan aku cuma berdoa!"
"Doamu itu tidak benar! Omongan itu doa tahu!" Raina menghela napas kasar. Dia serba salah lagi kalau Ghea sedang dalam mood yang menyebalkan. Tercetak raut wajah Ghea yang khawatir menatap jalanan yang tampak ramai di sekelilingnya.
"Pasanganmu itu akan segera kembali, aku doain sebentar lagi ketemu." Raina tersenyum dan memandang dia sedikit miris terhadap pasangannya sendiri. Ternyata lelaki tampan yang ia bayangkan itu akhlaknya tidak berparas sama sekali. Saat ditelpon itu, ia bisa merasakan aura egois dan tak mau terkalahkan yang membuat Raina sedikit meruntuki nasibnya itu.
"Ohh iya gimana pasanganmu itu? Aku juga lupa menanyakan Daniel itu dan ... lelaki yang mengambil ponselku itu." Ghea mulai marah mengingatnya lagi. Untung saja ponselnya tidak banting oleh lelaki itu, kalau dibanting dia bisa menghajarnya saat itu juga. "Kau tahu, lelaki itu ingin bertemu denganmu di kampus sore ini. Apa jangan-jangan dia—"
"Kamu mikirin apa sih?" Raina menatapnya dengan pandangan yang tidak bisa Ghea artikan. "Pasanganku itu sekelas dengan mereka ... tapi lelaki itu mengejarku terus-terusan. Entah apa yang dia inginkan." Ghea mengangguk paham. Inilah gejala kalau menjadi cantik itu, Raina memang sering diidamkan cowok di kelasnya tapi karena dia pendiam jadi mereka mundur perlahan. Ghea jadi bergidik kalau ada cowok semacam itu yang mengejar Raina.
"Tidak ada tanggapan gitu dari jodohmu?" Raina terdiam entah mau beralasan apa lagi. Rama itu jodohnya tapi Raina tidak mau kalau semua ini sampai ketahuan.
"Sebenarnya dia sudah memarahi lelaki itu, aku juga dilarang datang ke kampusnya lagi." Raina cemberut membuat dirinya pikir bahwa dia seharusnya masuk kelas akting saja.
"Ohhh pantas saja kamu kayak aneh gitu pas habis utbk, apa karena kamu diganggu ini? Kalau kamu diterima 'kan jadi kesempatan ketemuan semakin besar." Raina mengangguk membenarkan padahal nyatanya salah. Entah sampai kapan dia terus berbohong untuk menutupi nasibnya yang sangat miris ini.
"Doakan saja aku bisa menyelesaikan masalah ini."
"Tentu saja! Aku doain juga lelaki itu lenyap juga biar tidak mengganggumu."
Raina tersenyum miris mendengarnya.
Kalau dia mati, tidak ada kesempatan dia untuk menyakitinya agar mati, bukan?
.
.
.
.
.
.
"Kamu mimisan lagi, kecapean apa lagi sih?" Raina terdiam tidak tahu beralasan apa. Utbk sudah usai dan les pun sudah tidak ia lakukan lagi, apa dia perlu beralasan pada Ghea karena dia tidur seharian?
Ckckck, alasan apa itu?
"Kenapa tidak jawab? Orang tuamu pasti khawatir tahu! Kamu mau menyakiti mereka?" Ghea menggeleng pelan tidak mau menyakiti orang tuanya sendiri. Ini juga jadi alasan kenapa dia memilih untuk diam tidak menceritakan pada orang tuanya.
Kisah cinta orang tuanya sangatlah beruntung, tidak dengannya yang seperti sudah kehabisan napas karena kelelahan. Ternyata Rama di bayangannya tidak seperti yang ia inginkan, selalu saja ada masalah dan menurutnya ini sudah sangatlah fatal. Ia menyembunyikan mimisan ini agar tidak diketahui oleh orang tuanya. Bahkan tisu berhiasi darah itu dia buang sendiri dengan alasan ke perpustakaan desa atau bermain ke rumah Ghea.
Saat ini Ghea sudah melihatnya, apa yang harus ia lakukan?
"Tolong jangan ceritakan pada orang tuaku, mereka akan cemas nanti. Ini bukan sakit yang parah jadi kamu tidak usah khawatir." Raina memohon membuat Ghea makin yakin ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi ia yakin Raina tidak akan menceritakannya, selalu kalau ada kejadian baru Raina akan memberitahukannya. Itu seperti dia tidak bisa mencegah kesalahan fatal yang nantinya akan terjadi. Semua itu berulang-ulang membuat Ghea jengah.
"Kamu punya orang tua yang selalu memperhatikanmu, kamu juga punyaku sebagai tempat keluh kesah, apa itu masih kurang untuk tidak menyakiti dirimu sendiri?" Raina meremat kasur UKS di sekolahnya dan tidak bisa menengok ke arah Ghea yang berbicara seperti itu.
Raina tidak bisa melakukannya. Ia sudah berniat untuk menyembunyikannya. Dia tidak mau menjadi beban, apalagi Ghea yang akhir-akhir ini stres karena belum mendapatkan pekerjaan. Itu membuat Raina semakin tidak mau merepotkan Ghea sebagai sahabatnya sejak lama.
"Aku pulang duluan, mungkin sebentar lagi Ayahmu akan datang." Ghea berjalan pergi keluar dari ruang UKS membuat Raina menahan kesedihan yang mendalam.
Apa dia egois karena masalah ini?
Ghea terdiam dan segera berpikir untuk menunggu sekitar 5 menit untuk pergi dari UKS. Tapi saat dia beranjak Ayahnya tiba-tiba menelponnya saat itu juga karena sudah sampai di depan gerbang sekolah.
Raina berjalan menghampiri Ayahnya dan menaiki mobil yang mulai berjalan perlahan.
"Ayah tadi lihat Ghea di halte, apa kalian sedang marahan?" Raina terdiam mengangguk pelan. Bagas menghela napas panjang, memang terkadang sahabat itu perlu marahan untuk meningkatkan pertemanan mereka yang lebih kuat lagi nantinya.
Mungkin itu untuk kemarahan yang lain, pikirnya. Bagas tidak tahu saja apa yang membuat mereka marahan bisa mencelakakan Raina nantinya.
»»——⍟——««
Sebulan telah berlalu, penyakit ini lama kelamaan mulai menyakiti dirinya secara perlahan. Raina mulai lemah dan orang tuanya mulai khawatir padanya.
Ibunya selalu mengunci pintu kamarnya agar ia tidak diperbolehkan keluar. Semua itu tanpa alasan saat Ibunya tahu dia menyembunyikan tentang pasangannya.
Ibunya mulai tahu sejak dua minggu yang lalu, itu karena kesalahannya saat itu.
"RAINA! JAWAB IBU!" Raina menutup mulutnya menahan tangis saat Ibunya ternyata berada di kamarnya dengan membawa setumpuk sampah berisi tisu yang bernoda darah.
"Ibu tahu saat tukang sampah menyadari kamu selalu membuang sampah sekitar seminggu dua kali. Dia menemukan tisu berdarah di sana. Ibu awalnya tidak percaya, tapi menemukan obat pusing di bawah bantalmu? Kamu pasti menyembunyikan sesuatu dari Ibu bahkan Ayahmu sendiri." Lea terlihat sangat sedih melihat anaknya yang terlihat sangat kurus dan segera memeluknya erat.
Raina terdiam dan segera mendongak menatap Ibunya yang menahan tangis.
"Maafkan Ibu ...." Raina terdiam dan lelehan air matanya jatuh mengenai baju Ibunya saat tahu sang Ibu menangis deras di dekat telinganya.
"Ibu tidak tahu kamu sesakit ini. Maaf Ibu tidak pernah peka selama ini terhadap keadaanmu."
"Aku minta maaf, bu. Aku selalu menyembunyikan ini agar Ibu dan Ayah tidak terluka."
Setelah itu ia memilih diam untuk tidak memberitahu Ibunya. Ibunya juga diam dan memilih untuk mengurung anaknya itu di dalam kamar. Ayahnya hanya diam karena dia pasti akan melakukan hal yang sama dengan Ibunya, keluar rumah hanya akan menyakiti dirinya lebih jauh.
Semua itu yang seharusnya terasa aman dan tentram malah menjadi bencana baginya, entah bagaimana sakit itu menjalar di tubuhnya. Raina yakin bahwa bukunya menjelaskan kalau dia memang tidak akan terasa sakit bila hidup berjauhan dengan pasangannya itu. Tapi ini terasa sangat menyakitkan sekali baginya bahkan sudah dua kali dalam seminggu ini.
Raina curiga dan memilih mencari tahu hingga tepat pada dirinya yang tiba-tiba terkena pusing yang sangat menyakitkan. Ia dengan perlahan meraih jendela kamarnya dan membuka korden itu perlahan. Ia merematnya dengan kencang dan melihat seseorang yang ia kenali walaupun dalam keadaan kepalanya mulai berputar-putar.
Dia di sini?
Raina meringis dan tanpa sadar memukul mejanya saat sakit itu tak lama pulih saat suara mobil menjauh dari perkarangan rumahnya.
"Jadi dia ... memang berniat seperti itu." Keheningan itu pecah saat ringisan dan pukulan demi pukulan Raina lampiaskan kepada tembok yang tak bersalah. Ia sangat paham kalau Rama hanya ingin menyakitinya perlahan-lahan. Dia benci mengakuinya, tapi dia masih mencintai lelaki itu walaupun sudah membuat kenangan buruk di setiap waktunya. Kenyataan yang sangat indah terkesan langsung sirna hanya karena Rama menolaknya, saat dia tidak menegurnya, bahkan saat dia tidak peduli sama sekali dengannya. Itu sebuah fakta yang miris yang bahkan tak pernah ia pikirkan bahwa dialah sekarang yang menjadi pelaku.
"Apa aku harus pindah rumah?" Raina terdiam sadar bahwa 3 minggu lagi dia akan segera mendapat hasil utbk yang bahkan sangat tidak ia harapkan. Ia mungkin berpikir untuk kuliah di sana untuk mengusut tuntas mengenai Rama.
Akhirnya Raina enggan untuk melakukan penyelidikan itu karena sakit yang bahkan sangatlah perih. Jika ia terus bertemu Rama, Raina bahkan pastikan bahwa hidupnya pasti tidak akan lagi bahagia. Hanya akan ada pesan-pesan kematian yang sangatlah Raina benci.
Raina benci apapun yang berhubungan dengan kekecewaan. Dia sudah terlanjur kecewa dan akhirnya merasa bahwa semua itu tidak ada gunanya untuk mengejarnya lagi. Raina sudah terlanjur lelah untuk Memperhitungkan segala hal yang mustahil. Rama sudah sangatlah jauh, entah apa alasan dia tidak menerimanya pasti karena suatu hal yang sepatutnya sudah Raina tahu dari awal.
Rama sudah punya pasangan dan sebentar lagi Raina akan melihatnya dengan mata kepalanya sendiri. Raina harus kuat untuk melihatnya jika tanpa sengaja bertemu sekalipun
"Kalau aku diizinkan untuk bertemu dengannya lagi, aku ingin menonjok mukanya itu. Biar saja sekalian dia tidak usah tampan agar menua dengan kemalangan."
Pembicaraan itu tanpa sadar didengar oleh Bagas dan Lea sendiri yang ingin melihat anak itu yang ternyata belum tertidur.
"Lelaki itu tampan? Tapi dia tidak menyebutkan namanya."
Lea mengeluh kesal. Dia seharusnya tidak ikut untuk menebak teka teki ini bersama dengan suaminya itu. Sebenarnya jika ia marah sendiri kepada Raina, anak itu pasti akan memberitahukannya.
Memang ide Bagas ini menyusahkan sekali.
.
.
.
.
.
"Mereka mengintip?" Raina terdiam menghela napas panjang dan segera membuka pintunya hingga—
BRUK!
—Ibu dan Ayahnya terjatuh di lantai.
"Arghhh!!!! Kau cepat bangun!!!!" Lea memukul badan suaminya yang besar itu dan Bagas segera menggelindingkan diri untuk segera bangun tegap layaknya seorang paskibraka.
Raina segera menolong Ibunya yang merintih kesakitan untuk duduk di kasurnya. Ia menyesal saat tahu kalau ini terjadi. Kebetulan Ibunya sedang sakit pinggang.
"Kamu ini buka pintu enggak ngomong-ngomong!"
"Ya Ibu sama Ayah ngapain di sana?"
Hening.
Lea segera menatap tajam Bagas yang sedang membaca buku pelajaran milik anaknya dengan sangat tidak tahu waktunya.
"Ibu enggak mau tahu ya kamu cepat kasih tahu pasanganmu siapa atau Ayahmu Ibu gelindingin ke sungai?!"
Bagas mengeluh kesal. "Aku salah apa sih, saya—"
"Diam kamu!" Bagas seketika terdiam dan segera berbalik badan untuk kembali membaca buku itu dengan sangat tidak tahu waktu.
Raina cuma bisa terdiam membisu tak dapat menatap Ibunya yang sudah seperti banteng yang siap menyeruduknya. Ia tidak bisa berkelit lagi, tapi entah bagaimana dia harus memikirkan situasi ini dengan sangat kondusif. Ia tidak mau orang tuanya tahu nama Rama yang sebenarnya.
Bukan niat untuk melindungi, dia hanya ingin Rama juga ikut tersiksa karenanya. Jika orang tuanya tahu, kemungkinan terburuk bahwa dia dan Rama bisa saja diputuskan benang merah itu. Ia tidak mau itu terjadi dan Rama bisa bebas dengan hidupnya.
Dia tidak mau semua itu terjadi.
"Maaf aku menyembunyikan semua ini, tapi aku tidak akan memberitahukan nama itu. Aku memang sakit karena lelaki itu, tapi aku ingin dia juga ikut merasakan sakit."
Entah sakit apa yang Raina maksud, tapi orang tuanya paham bahwa pemikirannya tentang pasangannya berselingkuh ada di pemikiran anaknya. Ia pasti tidak mau pasangannya itu dibiarkan menikah dengan orang lain, sebagai balasannya bahwa benang merah itu tetap ada.
Bagas dan Lea paham kalau mereka tidak boleh memutuskan benang merah anak mereka dengan pasangannya itu.
»»——⍟——««
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro