Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Menyedihkan

Hal pertama ketika Raina sampai di rumah, ia hanya memikirkan sesuatu hal yang disesalinya seumur hidupnya. Ia segera berlari masuk meninggalkan Ayahnya yang menatapnya bingung di lantai bawah saat anaknya naik tangga ke kamarnya.

Raina sesegukan sambil mengunci pintu kamarnya. Ia segera terduduk di pintu dan mengingat suatu hal yang terjadi di kampus itu.

Ting!

Raina membuka ponselnya dan melihat pesan yang dikirimkan Ghea. Ia seperti menimbun banyak pesan hanya untuk mengirimkan pesan untuknya.

Kenapa kamu tidak menjawab?

Raina hanya terdiam menghela napas panjang dan mengetik agar Ghea berhenti dan melempar ponsel itu ke atas kasurnya. Ia memeluk lututnya dan segera menghapus air matanya yang entah sejak kapan mengalir deras jatuh mengenai pipinya. Tak lama suara tangis ia rasakan dan segera memeluk tangannya dan memegang jari kelingking miliknya untuk tahu apa yang ia ingat sebelumnya.

"Duh para satpam itu apa tidak punya sopan santun?! Mereka mengusir kita bahkan tanpa memastikan apa yang terjadi itu benar atau tidak? Ckckck, dasar!" Ghea menendang batu yang menghalangi jalannya untuk sampai di halte dekat tempat les Raina.

"Hey kalian!" Mereka berdua sama-sama menengok ke belakang dan melihat seseorang yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.

"Apa aku boleh berbicara dengannya terlebih dahulu? Maaf ...." Raina mengangguk dan Ghea segera pergi menuju halte yang jaraknya tidak jauh dari sini.

"Kau siapa?"

"Ohh iya, aku Daniel. Aku cuma mau tanya kau beneran ... pasangannya Rama?" Raina sedikit membulatkan mata dan segera bingung karena takut untuk menjawab jujur. "Ohh iya tenang saja, aku hanya bertanya saja. Aku kebetulan teman dekatnya." Raina mengangguk paham oleh perkataan Daniel di depannya.

"Maaf sebelumnya, aku merasa Rama diikuti oleh seseorang dan aku menemukan kalau kau pelakunya. Aku melaporkan semua itu ke Rama. Tapi saat kau bilang kalau sebenarnya kau pasangannya ... maaf aku tidak tahu." Raina terdiam merasa ada yang janggal.

"Aku juga minta maaf karena terlanjur malu menemuinya padahal baru beberapa kali ketemu." Daniel menggeleng mengatakan itu baik-baik saja. "Tapi Kakak ... kapan memberi tahunya tentang diriku?"

"Kemarin, entah bagaimana semua mulai ramai dengan kasus ini. Maaf kalau aku yang memulai semuanya."

"Tidak apa-apa, tenang aja." Raina menghela napas lega, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa perasaan tidak wajar ini yang di alami.
"Lalu siapa Kak yang melakukan pengusiran kepadaku?"

"Aku bilang tidak hanya di depannya, ada beberapa teman lainnya. Tapi kalian benar seorang pasangan, bukan?" Raina mengangguk kencang. "Sebenarnya kita mengobrol di kantin, aku yakin ada yang mendengarkan dan mencari siapa yang menguntitnya. Dia mempunyai banyak fans yang tidak ingin melihatnya tersiksa."

"Tapi Kakak yakin itu bukan kelakuan teman Rama sendiri ...." Daniel menjadi salah tingkah menggaruk lehernya.

"Mungkin saja, sebenarnya bisa saja Rama yang melakukan itu kalau dia tidak sadar kalau ternyata kamu jodohnya."

Raina masih merenung membicarakan semuanya, dia takut sekali bagaimana hidupnya akan tersiksa bila benar orang yang melaporkannya adalah Rama, pasangannya sendiri. Ia sangat takut akan hal itu.

"Ini tidak mungkin, ini pasti bukan ulah Rama." Raina menggeleng tertawa kencang dan tak lama mulai menangis. Ia bahkan tidak tahu Rama secara dekat, apa dia punya orang yang dicintai di kampusnya, dia bahkan tak tahu menahu. Raina merasa harus lebih dekat dengan Rama dengan gerakan secepat mungkin.

Jadi, bolehkah ia datang kembali ke kampus itu? Untuk sekedar mempertanyakan respon sebenarnya jika memang Rama yang melaporkannya.

Raina mulai merasa hidupnya mungkin akan buruk jika Rama melakukannya.

"Lalu apa aku harus melakukannya?"

.

.

.

.

.

.

"Kamu baik? Maaf aku mengganggumu. Aku cuma ingin mengatakan sesuatu ...." Raina terdiam menunduk kelu karena tidak bisa melanjutkan ucapannya. Apalagi saat melihat ada beberapa teman Rama yang mengintip dari beberapa pohon yang ada. Kebetulan mereka sedang berada di taman kampus yang mulai sepi.

"A-aku ...."

"Kamu mau menunda pekerjaanku yang—"

"Kenapa kamu melakukan ini ... aku tahu kalau kamu sudah tahu kalau aku pasanganmu ...." Raina bisa melihat Rama yang menatap ke arah lain. "Kenapa kamu melakukan itu? Kenapa kau pura-pura tidak mengenaliku?" Raina menggenggam erat tangannya merasa dia tidak baik-baik saja. Dia juga bukan orang yang bisa menahan sakit setelah kejadian Yuna karena pasangannya.

Rama hanya diam dengan hati yang terpaku menatap bagaimana benang merah mereka terikat erat, tanda mereka adalah sepasang sejoli yang harus memandu kasih.

"Maaf soal itu, aku tahu beberapa hal dari Daniel—tapi bukan aku yang melaporkannya. Sungguh ...." Raina terdiam saat melihat Rama melakukan aksi menggenggam erat dan ponselnya melihat ponsel itu yang mulai berdering.

"Maaf aku harus pergi."

Apa itu jawaban yang selama ini ia cari?

»»——⍟——««

Sunyi.

Satu kata bagi Raina yang merasakan bagaimana tubuhnya mulai mendingin. Ia memeluk tubuhnya yang sudah diselimuti selimut tapi suhu itu tetap menguasai tubuhnya. Ia juga merasakan pusing di kepalanya yang terasa mencekik membuatnya menahan diri dengan meremas tangannya. Sakit ini tidak bisa terhindarkan bahkan saat ia sudah meminum obat sekalipun.

Ini pasti karena sore tadi.

Iya, ini pasti karena itu.

"Kenapa kamu harus pergi? Aku belum dapat jawabannya!" Raina sedikit memekik dan menahan tangan Rama.

Srek.

Rama melepas lengannya yang dipegang dan hanya bisa menatap Raina dengan pandangan memburu. "Apa kau bisa dengar perkataan tadi? Apa aku harus menggunakan cara kasar padamu?" Raina hanya bisa memandang dengan mata membulat saat lelaki dihadapannya mulai menggertaknya. "Sungguh, kau membuatku muak. Aku menolakmu dan pergi itu bukan jawabannya?" Raina terdiam tak bisa berkata apa-apa saat Rama pergi dan membuat teman-temannya yang mengintip heran padanya.

Saat itu juga Raina meringis dan pergi berlawanan arah saat itu juga, pulang dan berharap bahwa hari ini tidak pernah terjadi apapun.

"Mungkin aku harusnya mengejar lagi agar dia bertanggung jawab, tapi apa cinta bisa dipaksakan?" Raina menghela napas panjang akan hal itu.

Di ruangan lain, Bagas dan Lea masih memikirkan sesuatu yang menimpa anaknya. Awalnya Lea ingin sekali memaksa agar anaknya cerita dengan menggedor-gedor pintunya, tapi lain halnya saat suaminya menyuruhnya untuk tidak berlaku kasar padanya saat ini.

"Aku takut terjadi sesuatu dengan Rain. Kenapa kita tidak langsung ke kamarnya? Kenapa kamu menahanku di sini?!" Lea berteriak kesal saat Bagas masih saja menahan tangannya agar tetap duduk di sampingnya.

"Aku tahu kamu panik, tapi ini tidak baik buat Rain mengetahui hal ini ... dia tidak akan pernah menceritakannya jika kejadian ini terjadi. Rain memendamnya sendirian sekarang, sepupunya sudah tiada. Kita tidak punya tempat untuk bertanya mengenai dirinya. Apa kita masih harus bersikap sama?" Lea seketika luluh dan diam dan mulai menangis.

"Jadi kita harus apa?" Lea menutup mukanya saat merasakan air mengalir dari matanya. Ia sadar bahwa selama ini selalu keras pada anaknya membuat dia tidak menjadi tempat curhat untuk anaknya.

"Kita harus tenang, aku akan bertanya padanya saat mengantarnya nanti. Sekarang kita harus cari tahu sendiri mengenai Rain saat ini ...." Bagas sedikit teringat mengingat bagaimana beberapa minggu yang lalu Raina merasakan tentang keberadaan pasangannya.

Apa Raina sudah menemukan pasangannya?

Jika itu benar ... apa membeli obat sakit kepala di tangannya itu adalah bukti dia mendapatkan reaksi penolakan?

"Apa Raina akan baik-baik saja?" Lea menatap Bagas yang mukanya mulai masam seperti menahan amarah.

"Iya ... dia akan sangat baik-baik saja," ucap Bagas bersungguh-sungguh.

Dia harus mencari tahu sesuatu, apa dia harus bertanya pada Ghea?

.

.

.

.

.

Raina tersenyum mulai mengikat dasinya dan keadaannya sekarang sudah lumayan baik. Ia belajar untuk menetralkan pikirannya agar tidak mengingat bagaimana kejadian kemarin.

Ia membaca di beberapa artikel bahwa jika kamu mengalami reaksi penolakan, kamu harus bisa menetralkan pikiranmu untuk tidak membayangkan dan memikirkan pasanganmu. Raina bersyukur bisa melakukan itu dengan baik hingga kepalanya yang pusing dan batinnya yang menggigil mulai mereda dan sembuh secara total.

Raina berjalan keluar dan menatap Lea dan Bagas yang menunggunya sambil tersenyum senang.

Lea dan Bagas bisa melihat anaknya yang tidak melihat ada sakit apapun yang terjadi padanya. Beda seperti kemarin saat anak mereka merasakan pusing yang berkelit dan menganggap kalau terjadi sesuatu hal yang buruk.

"Ayah tidak mengantarku?" Lea tersadar dan segera menyenggol bahu Bagas yang langsung berdiri dan memberi hormat.

"Siap laksanakan!" Bagas segera berjalan ala petugas paskibra membuat istri dan anaknya menghela napas panjang.

"Sudah sana susul Ayahmu! Dia aneh gitu juga tetap Ayahmu itu!" Raina terkekeh dan segera ngacir pergi menyusul Ayahnya yang sudah berada di mobil.

Bagas tersenyum melihat anaknya yang tersenyum cerah mulai membuka pintu mobil dan menutupnya cepat.

"Ayok cepat berangkat, yah! Jangan nyengir terus seperti orang gila!" Bagas cuma bisa tersenyum miris dan mulai menjalankan mobilnya untuk keluar dari halaman rumah.

Raina terlihat baik-baik saja, Bagas yakin anaknya tidak ada masalah dan hanya merasa tidak enakkan untuk merepotkan orang tuanya.

Bagas tersenyum bahagia akan hal itu.

»»——⍟——««

"Kamu kecapean ya sampai mimisan gitu?" Raina mengangguk dan memegang tisu di tangannya yang berisikan darah. Untungnya hidungnya telah berhenti mengeluarkan darah karena dengan cepat mendapatkan penanganan di UKS. "Jangan bilang kamu ngerjain tugas fisika itu?" Ghea melotot dan memikirkan tentang tugas itu yang bahkan sangat sulit sekali. Raina mengangguk dengan kebohongan saat mendapatkan alasan masuk akal yang dilontarkan oleh Ghea.

Masalah berbohong bisa ia urus nanti, tapi ia tidak mau sampai ada yang tahu penyakit ini berasal dari mana.

"Gila! Udah cepat tidur sana mumpung lagi jam kosong, aku mau beliin bubur dulu ya ...." Raina mengangguk dan menatap UKS yang sudah kosong dan tak berpenghuni. Apalagi istirahat kedua sudah usai dan guru kebanyakan sudah datang ke kelas mereka masing-masing.

Raina segera berdiri membuang tisu kotor itu ke tong sampah dan mulai duduk diam di kasur memikirkan penyakitnya. Ini baru tahap awal, seperti yang diucapkan Yuna sebelumnya yang pernah membicarakan ini padanya.

Yuna saat ini sudah dibawa pergi ke kota lain. Tapi Alan tidak diberi balasan yang setimpal dan hanya ditinggalkan dengan selingkuhannya.

"Aku mencintainya, aku tidak mau dalam kehidupan selanjutnya harus berpisah dengannya."

"Apa yang aku alami saat ini menandakan bagaimana perasaan Yuna sesungguhnya pada Alan?" Raina terdiam saat itu marah-marah karena Yuna tidak memberikan hukuman apapun kepada Alan dan selingkuhannya dan memilih pergi. Sebenarnya ternyata jawaban Yuna terjawab tepat saat ini. Bagaimana cinta bisa membuatmu gila.

"Aku bertemu dengannya belum ada dua bulan, tapi rasanya aku sudah menyimpannya ... aku tidak bisa melepaskannya." Raina merasakan hatinya yang sakit merasakan kembali saat kemarin Rama menolaknya.

Kenapa dengan Rama? Apa alasan dia menolak dirinya?

"Apa dia punya perempuan lain?" Raina menggeleng kuat dengan menggenggam erat tangannya sedikit marah. "Tidak mungkin ... tidak ada perempuan lain—tapi aku bahkan baru mengobrol dengannya kemarin dan menganggap dia baik?" Raina merutuki dirinya sendiri apakah cinta membuatnya gila?

"Tidak, aku tidak gila karena cinta."

Raina mempertahankan dirinya bahwa dia tidak mencintai Rama terlalu dalam. Tidak tahu kalau besok ataupun nanti.

"Aku bisa menghilangkan rasa sukaku dengan menjauhinya ...."

.

.

.

.

.

"Kamu jadi milih universitas itu?" Raina seketika terdiam.

Beberapa hari lagi utbk telah tiba, ia masih menyembunyikan apa pilihan universitasnya dari semuanya termasuk Ghea. Ayah dan Ibunya tentu tahu dan ikut merahasiakannya.

"Hey! Kamu pilih apa! Udah sebulan kamu enggak pernah ngasih tahu aku!" Ghea kepalang penasaran karena dia sudah tahu seluruh teman sekelasnya akan memilih apa. Dia menghela napas panjang saat sadar bahwa dia tidak bisa melanjutkan kuliah dan memilih untuk melamar pekerjaan.

"Nanti juga tahu pas udah pengumuman."

"Ya kalau kamu enggak keterima mana bisa aku liat!" Raina melotot tajam.

"Jangan doain aku enggak keterima ya! Doain yang bener!" Raina menyuruh Ghea mengulangi perkataannya tapi dia males dan memilih untuk memainkan ponselnya. Raina yang hampir mengomel sadar saat ternyata anak itu mencari pekerjaan di sosmed miliknya. Raina memilih untuk diam dan mulai membaca bukunya dengan kepala yang pusing tidak karuan.

Jika Raina berpikir bahwa ia ingin menjauhi Rama, mungkin dia bakal menertawai masa lalunya tepat sebulan yang lalu dia ditolak Rama.

Raina bisa dibilang bodoh amat dan langsung terobos langsung untuk bisa kuliah bersama Rama walaupun sebenarnya dia akan menjalani tahun terakhir.

Sebenarnya daripada dia mencintai, Raina ingin tahu sesuatu kenapa Rama bisa memutuskannya begitu saja. Dia tahu sebenarnya tidak rupawan dan tinggi seperti gadis lain. Tapi apa sebenci itukah dia dengannya yang tidak tahu apapun dan tanpa kejelasan apapun?

Rama seakan menghindar, Raina yang ingin bertemu menanyakan alasan Rama menolaknya hanya bisa menghela napas panjang dan menggeram kesal karena hal itu. Ia mulai melakukan tindakan mencegah untuk menemuinya dengan berbagai puzzle yang tidak bisa ia pecahkan.

Raina sudah bertanya pada Kak Daniel agar bisa membantunya, tapi Kak Daniel malah kena marah Rama membuat Raina tambah kesal dengan lelaki yang ternyata jodohnya itu.

Sebenarnya ada pilihan mudah karena Ayahnya kenal bahkan dekat dengan Ayahnya. Tapi Raina yakin jika ia meminta kepada Ayahnya, dia pasti akan tahu pasal sakitnya yang diderita dengan alasan kecapean itu. Ia tidak mau ada adegan perkelahian nanti, dia tidak boleh gegabah.

Raina harus mencari cara dan jawabannya dia harus belajar dengan rajin saat ini.

"Ghea, kalau ada pilihan untuk mempertahankan hati yang tersakiti atau memutuskan benang merah kamu mending pilih yang mana?" Ghea terdiam sebentar menaruh ponselnya.

"Dia sudah menyakiti kita lalu buat apa kita berharap untuk bersama di reinkarnasi yang akan datang?" Ghea menekankan setiap kata-katanya. "Walaupun susah seperti apa yang dialami Yuna yang memilih untuk pergi ke luar kota, kamu yakin kalau di reinkarnasi berikutnya dia akan bisa lebih baik? Kita tidak tahu apapun yang terjadi, Rain."

Raina terhenyak karena perkataan Ghea seluruhnya benar. Dia masih berharap bahkan ingin satu kuliah dengan alasan ingin mencarinya, padahal itu alasan kesekian dari beberapa pilihan utamanya.

Mungkin jika Ghea tahu ini dia akan di cap sebagai orang bodoh.

Orang yang lebih memilih untuk mati daripada hidup berbahagia di tempat lain.

Raina berharap bahwa dia tidak diterima di kampus pilihannya.

»»——⍟——««



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro