vii. are you ready to fall in love again?
Angin sore menghembus helaian rambutku. Angin begitu terasa di atap sekolah. Langit mulai berubah kelabu, seperti perasaanku saat ini. Ayla menatapku dengan iba. Sedari tadi ia berusaha untuk membuatku merasa lebih baik. Tapi rasanya percuma. Walau aku menghargai usahanya, perasaanku tetap tidak berubah. Kelabu seperti langit sore ini.
"Nad, ini bukan akhir dari dunia. Masih banyak kok cowok yang mau sama lo," kata Ayla sambil merangkulku. "Mungkin bukan Daffa orang yang tepat buat lo."
"Iya, La...," gumamku lirih.
"Apa perlu gue cariin cowok?" tawarnya. Menurutku itu agak gila. Tapi ide Ayla memang seringkali gila.
"Nggak perlu, La. Gue baru aja patah hati. Gue nggak siap... Buat jatuh cinta lagi," aku menunduk. Mengingat semua kejadian kemarin membuat keadaan hatiku semakin buruk.
Belum sempat ia berkata apa-apa, tiba-tiba ponselnya berdering. Ia melirik caller id-nya dan mendadak raut wajahnya menjadi sedikit panik. Ia memberi isyarat padaku untuk izin mengangkat telepon. Aku mengangguk mengiyakan.
"Iya, Mi? Iya iya, bentar lagi aku pulang kok, sebentar lagi Mi. Iya, entar aku pulang bareng Keane. Oke. Mwah." Gadis itu memutus sambungan teleponnya.
"Pulang aja, La. Nggak usah nungguin gue," ujarku bersamaan dengan angin yang berhembus semakin kencang.
"Nggak mau, masa lo di sini sendirian?"
"Keane udah nungguin lo," kataku mengingatkan. Keane itu teman dekatnya Ayla, kelakuan mereka itu kayak orang pacaran. Walaupun mereka mengaku kalau tidak ada hubungan apapun di antara mereka. "Kasihan dia, mana mau hujan kan?"
Ayla tampak menimbang-nimbang, wajahnya berubah jadi tampak sedikit bersalah.
"Nggak apa-apa nih, Nad?" aku mengangguk sambil tersenyum tipis. "Gue nggak enak sama lo."
"Kenapa mesti nggak enak? Malah gue nggak enak sama Keane." Aku memutar bola mataku. "Udah cepet pulang sana, Keane udah nungguin."
"Hmm ya udah gue duluan ya," ucap Ayla ragu-ragu, lalu ia melambaikan tangannya. "Jangan lama-lama di sini, udah mau hujan."
Ayla meninggalkanku sendiri, memberikanku ruang untuk berpikir dan berpikir lagi. Di situlah kelemahanku. Aku terlalu banyak memikirkan hal-hal sampai yang terkecil, yang seharusnya aku tak pikirkan sekalipun. Dan memikirkannya membuatku semakin hanyut dalam kesedihan lagi. Aku benar-benar cengeng.
Derap langkah seseorang terdengar di belakangku, tapi aku terlalu malas untuk menoleh. Lebih tepatnya, aku tidak peduli. Orang itu duduk di sebelahku, di saat itulah menyadari kalau itu dia.
Dia, yang beberapa bulan terakhir ini mengisi ruang hatiku. Dia, yang pertama kupikirkan saat bangun di pagi hari dan yang terakhir sebelum tidur. Dia, yang menghiasi mimpi-mimpiku. Dia, yang menghancurkan hatiku.
"Ayla udah cerita semuanya," katanya singkat. Jantungku berhenti berdetak, otakku bekerja keras. Bertanya-tanya apa maksud ucapannya tadi. "Tadi gue papasan sama dia dan... Dia udah cerita semuanya."
"Maksud lo apa sih, Daf?" aku tak berani menengok, menatap matanya yang kini sedang menatapku lekat-lekat. Aku hanya memandang ke arah sepatu hitamku yang sudah butut.
"Gue nggak balikan sama Marsha. Kita temen deket. Putus bukan berarti hubungan gue sama dia mesti buruk kan?" katanya tetap menatap ke arahku. Aku menunduk semakin dalam.
Perasaanku kini campur aduk. Takut, gelisah, dan segala macam perasaan lain yang tak dapat kuuraikan dengan kata-kata. Jantungku berdegup sangat kencang, dan aku takut ia dapat mendengarnya.
"Nada, liat gue," katanya lembut.
Aku tak bergerak, aku terlalu takut. Ia meletakkan jarinya di daguku dan mengangkat wajahku. Kini aku dapat melihat mata hazel-nya yang membuatku bagai hilang di dalamnya.
"Lo siap nggak, untuk jatuh cinta lagi?" ujarnya, membuatku sedikit tersentak.
"M-maksud lo?"
"Gue suka sama lo, Nada," tuturnya.
Aku bahkan tidak yakin ia mengucapkannya, apakah aku bermimpi? Hal seperti ini tak mungkin terjadi kepadaku.
"G-gue," ucapku terbata-bata. Ia menatapku sekali lagi, penuh tanya. Ia menungguku untuk mengatakan sesuatu. "Gue j-juga suka sama lo."
Ia tersenyum menyejukkan. "Jadi?"
"Jadi apa?" tanyaku balik, mau tak mau tersenyum karena aku tak bisa menahannya lagi.
Ia tertawa renyah dan mengacak rambutku. Aku memanyunkan bibirku dan merapikan rambutku dengan jari-jariku.
"Jadi lo nerima gue apa enggak?"
"Ya, menurut lo aja."
"Serius!"
"Hmm, iya deh."
Baru saja ia bergerak untuk memelukku ketika hujan deras turun membasahi kami berdua tanpa tanggung-tanggung. Daffa menarik tanganku dan kami berlari menyusuri hujan sambil tertawa menuju tempat yang teduh.
Aku tidak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya.
-:-:-
a.n
akhirnya selesai! tbh, aku baper banget nulis ini HAHA berharap dunia nyata itu seindah di cerpen :')
wdyt? hope you like it. see you in my next stories! xx
vanilla
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro