v. tutoring
"Habis ini lo mau kemana?" tanya Ayla sembari membereskan bukunya yang berserakan di atas meja.
"Ivory Cafe," jawabku singkat. Aku memasukkan buku-bukuku ke dalam ranselku.
"Hmm nggak ngajak-ngajak nih ya, tumben." Ayla memegang dagunya, melakukan sebuah gerakan seakan-akan ia memiliki jenggot. "Jangan bilang lo mau ke situ bareng Daffa ya?"
Aku tertawa kecil. "Dia cuma tutorin gue pelajaran matematika wajib doang kok. Secara dia anak IPA, pasti dia lebih jago soal hal begini. Nilai gue merosot banget nih."
Ayla tersenyum jahil. "Berawal dari tutor-tutoran, entar ujungnya... Siapa tahu?"
"Ya udah doain aja," kataku yang mengundang senggolan di bahu dari gadis berkacamata di sebelahku ini.
"Dasar," katanya sambil tertawa. "Nggak apa-apa deh, entar kalo lo nikah sama dia kan kita sodaraan, Nad. Ya nggak?"
"Mikir lo kejauhan," aku menepuk bahunya kencang sampai ia meringis. "Ya udah ya gue duluan."
"Have fun, girl!"
Setelah melambaikan tanganku pada Ayla, aku berjalan kaki menuju Ivory Cafe. Letaknya tidak terlalu jauh dari sekolah, walaupun lumayan membuat kakiku pegal. Terlebih tadi kami disuruh lari saat pelajaran penjas. Benar-benar melelahkan. Daffa menyuruhku duluan untuk ke sana, karena katanya ia harus menyelesaikan beberapa urusan.
Dalam waktu lima menit, kakiku sudah mendarat di lantai kafe. Pintu kayunya yang berwarna hijau berderit ketika aku membukanya. Suasananya tidak begitu ramai. Musik yang menenangkan mengalun, terdengar di seluruh kafe. Aku memilih tempat duduk yang agak di belakang, karena aku kurang suka keramaian.
Aku memesan segelas milkshake vanilla, minuman favoritku. Aku kurang suka, atau bisa dibilang sangat tidak suka dengan yang namanya kopi. Apalagi kopi hitam yang rasanya sangat pahit. Aku kapok mencoba minuman yang satu itu.
Buku catatan matematikaku kukeluarkan dari ransel hijauku, aku membolak-balik halamannya tanpa ada rasa tertarik. Angka-angka dan simbol-simbol yang tertera di dalamnya benar-benar membuatku pusing. Aku penasaran, bagaimana bisa orang menciptakan matematika yang seruwet itu?
Aku mengambil ponselku yang tergeletak di sebelah kananku. Sudah lebih dari setengah jam aku menunggu di sini dan batang hidungnya tak kunjung terlihat. Milkshake-ku sudah hampir habis dan tak ada tanda-tanda ia akan datang dalam waktu dekat ini.
Aku membuka LINE dan mengetikkan pesan untuknya.
Nada: Daf, lo dimana?
Tak ada jawaban.
-:-:-
"Nad, bangun Nad." Seseorang mengguncang tubuhku perlahan, seketika aku kembali pada kesadaran.
Aku membuka mataku perlahan dan mengerjap-ngerjapkannya. Wajah Daffa adalah hal yang pertama yang kulihat. Wajahnya tampak bersalah. Aku mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya dan melirik ke kiri dan ke kanan.
"Ini jam berapa?" tanyaku.
Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Jam setengah 8."
Aku tersentak. Sudah lebih dari tiga jam aku menunggu di sini dan ia baru datang sekarang. Rasanya aku ingin meledak, tapi saat aku melihatnya, aku tak bisa melakukannya. Aku hanya menarik nafas panjang, mencoba untuk tetap stabil.
"Maafin gue, Nad. Tadi Ghea minta bantuin gue buat nyari baju buat acara ulang tahun dia," katanya sambil menggaruk belakang kepalanya.
Ghea lagi. Sudah kuduga.
Aku menghela nafas dan mencoba untuk tersenyum.
"Kenapa lo nggak ngasih tahu gue?" tanyaku, berusaha agar tidak terdengar menyudutkannya.
"Tadi gue mau ngehubungin lo, tapi HP gue mati total." Kini wajahnya benar-benar terlihat merasa bersalah, membuatku merasa tidak enak. "Gue minta maaf banget ya, Nad."
Aku menggeleng kuat-kuat, tak ingin membuatnya merasa bersalah. "Nggak apa-apa kok, Daf. Santai aja kali." Aku tertawa kecil.
"Umm, lo mau gue anter pulang?"
"Nggak usah, gue bisa pulang sendiri kok."
-:-:-
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro