Chap # 7
Pertemuan di luar dugaan dengan Alvaro tidak seburuk bayangan ketika kami duduk bersama. Pertanya an yang dilontarkan lelaki itu lebih banyak membahas jurusan kuliah yang kami tekuni daripada menggulik kehidupan pribadiku kecuali di awal perkenalan. Gaya bicara Alvaro tenang. Suara baritonnya jelas dan enak didengar. Tidak ada kesan menggurui selama obrolan meskipun dengan dia bisa saja sedikit menyombongkan diri mengingat pengalamannya terbilang cukup mumpuni di bidang usaha.
Dari pertemuan itu aku mengetahui kalau dia berencana memperluas usaha pada sektor makanan siap saji. Kerjasama dengan jurusan tempatku menimba ilmu termasuk salah satu proses menuju ke arah sana. Aku tidak lagi asing mengetahui hal semacam itu. Selama ini kampusku memang sering bekerjasama dengan sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang makanan. Beberapa dosen bahkan pernah menjadi nara sumber di layar kaca terkait bahaya atau tidaknya suatu makanan.
Menurut Alvaro kota yang kutinggali memiliki sumber daya alam dan manusia yang saling mendukung. Jarak yang tidak terlalu jauh dari Jakarta menjadi nilai plus lainnya. Dia bahkan membuka kesempatan pada kami bergabung di perusahaannya lulus setelah lulus kelak. Tentu saja syaratnya harus .
Mia menceramahiku keesokan hari saat kami mengerjakan tugas dari Pak Yudi di rumahnya setelah pulang dari kampus. Alvaro tidak sesuai dengan gambaran lelaki bertangan dingin seperti ceritaku. Dia melihat sisi manis Alvaro. Sosok bos yang bertanggung jawab pada pekerjaannya. Alvaro juga tidak pelit berbagi pengalaman ketika dirinya masih berstatus mahasiswa.
"Bukan galak cuma kadang karakternya susah ditebak. Contohnya kayak kemarin malam. Tawaran mengajak Alvaro bergabung sebenarnya cuma buat mengalihkan perhatian gara-gara Ditto hampir nyebut nama Genta. Aku pikir dia pasti nolak toh dia datang sama temannya eh malah bilang iya. Kalian sih enak mau keseleo lidah juga belum tentu ketemu lagi." Kataku agak kesal saat mengingat kejadian semalam. Rahangku kaku sepanjang obrolan.
"Kamu kurang santai. Terlalu banyak berpikir. Takut ini takut itu. Hidup cuma sekali, Frey. Cukup kuliah kita saja yang memusingkan. Kenapa kamu tidak lihat sisi positif. Kamu bisa belajar dari kesuksesan Alvaro atau setidaknya mendekati teman-temannya. Kan lumayan nambah relasi. Siapa tahu mereka bisa memberimu pekerjaan setelah lulus," cecar Mia.
Aku membuka salah satu buku berukuran lumayan tebal dan mencari-cari jawaban yang kubutuhkan. "Masalahnya kamu tahu kan aku bukan tipe yang mudah akrab sama orang baru. Kalau cuma basa basi sih bisa saja tapi nanti malah kelihatan canggung. Lagian diisi kontrak aku tidak boleh dekat-dekat sama teman Alvaro. Mereka juga jarang datang kecuali Azka sama Lily." Kasur yang kududuki bagai dipenuhi duri tajam karena pembicaraan soal Alvaro tidak juga berakhir.
"Dekat kan bukan berarti menggoda. Hal wajar kok kalau seorang asisten kenal atau tahu orang-orang di lingkungan sekitar bos nya." Mia mengambil kertas jawaban dari hadapanku lalu mencatatnya. "Coba deh kamu singkirkan pikiran negatif sama Alvaro. Maksudku cari cara supaya kalian akrab, dalam konteks masih profesional ya," ucapnya sembari terus menyalin.
Punggungku menegak, bersandar pada dinding di sisi tempat tidur. Badan dan otakku rasanya luar biasa capek. "Aku sudah cukup puas dengan cara kerjaku dan Alvaro hingga detik ini. Kami punya batasan masing-masing yang tidak boleh dilanggar. Dia memberi perintah dan aku mengerjakan kewajibanku. Selesai."
Mia mengembuskan napas. Gerakan tangannya terhenti. Senyuman menyungging saat kepalanya terangkat. Matanya menyipit penuh makna. "Masalahnya kamu terlanjur ada rasa sama Alvaro. Pura-pura abai bukan solusi. Itu bisa bikin kamu makin terobsesi."
Tubuhku bergidik mendengar kata terakhir Mia. Terobsesi dengan seseorang merupakan mimpi buruk. Tidak ada bagian menyenangkan dari mengejar tanpa nalar sesuatu yang secara alam sadar sulit dijangkau. Apa bedanya aku dan Genta andai terobsesi pada Alvaro.
Menyukai diam-diam kedengaran lebih aman daripada terang-terangan menunjukan perasaan. Akal sehatku tentunya melarang semua terjadi. Pekerjaan bahkan kuliahku bisa terkena imbas mengingat Alvaro sekarang berhubungan dengan lingkungan di sekitar kampus. Cukup Genta yang menjadi musuh dalam selimut. Tambahan satu musuh apalagi orang berpengaruh seperti Alvaro tidak ubahnya menggali kubur sendiri.
Menyukai Alvaro bukan kejahatan. Berulang kali aku menekankan kalimat itu demi mengusir gundah. Dia manusia biasa. Sejauh ini belum memiliki pasangan tetap. Semua akan tetap aman selama apapun arti suka padanya tertutup topeng kepura-puraan.
"Berikan lembar jawabanku. Tutup jendela sana. Sebentar lagi hujan." Bola mataku berputar menatap langit di luar jendela. "Daripada membahas Alvaro sebaiknya kita selesaikan tugas sebelum malam."
Mia mengembalikan kertas jawabanku lalu turun dengan malas-malasan dari tempat tidur. Kakinya setengah diseret menuju jendela. Kilat petir membiaskan cahaya dalam hitungan detik diikuti gemuruh di langit sebelum daun jendela tertutup.
"Kamu menginap di sini saja. Sebentar lagi kayaknya hujan."
"Tidak bisa. Sudah tugasku tinggal di apartemen selama Alvaro di Jakarta. Bisa gawat kalau ketahuan."
"Iya sih tapi dia sekarang ada kota lain. Kalian terpisah lebih dari seratus kilo. Aku yakin dia sedang sibuk dan kemungkinan besar tidak akan menelepon hanya untuk memeriksa kamu sedang ada di mana."
Perhatianku kembali pada kertas jawaban. Membaca dalam hati soal yang belum terjawab. "Aku tidak mau ambil risiko setelah kehilangkan barang yang harus diantar. Siapa tahu aku dapat bonus lagi bulan depan."
"Bonus?" Mia mengernyit saat menghempas kembali tempat tidur. "Benarkan dugaanku. Kamu terlalu membesar-besarkan ketakutanmu sama Alvaro. Buktinya dia kasih bonus. Padahal barangnya hilang waktu kamu antar. Omong-omong bonusnya besar?"
"Tidak sebesar gajiku sih tapi lumayan daripada tidak ada pemasukan." Aku mendelik kesal. Nama Alvaro terlalu sering disebut. Dada terasa sesak oleh gumpalan rindu. Menyebalkan sekali. "Sekarang diam atau kamu kerjakan sendiri sisa tugas."
"Huh. Tidak asyik."
Semenjak pertemuan terakhir dengan Alvaro, tidak banyak perubahan dalam ritme keseharianku. Kegiatanku berkutat sekitar kampus dan tugas-tugas yang Alvaro perintahkan. Beberapa kali aku diminta mengecek sejumlah pertenakan unggas di daerah pinggiran kota. Semua kulakukan tanpa mengeluh walau tempatnya dan apartemen cukup jauh.
Tiga kali weekend Alvaro hanya mengutus Azka. Perjumpaan kami hanya melalui vidio call itupun lewat sambungan telepon pada Azka. Sabtu ini keadaannya tetap sama. Alvaro mengutus Azka sebagai mewakilkan karena lelaki itu sedang berlibur di Singapura.
Aku ditugaskan menemani Azka melihat beberapa lahan yang rencananya akan dijadikan tempat usaha terbaru perusahaan Alvaro. Beberapa hari sebelumnya aku sudah mencari tahu alamat pasti lahan-lahan itu. Azka tidak begitu hafal jalan hingga sudah tugasku menjadi peta berjalan termasuk menemaninya makan bersama pemilik tanah yang lahannya ingin mereka beli.
Biasanya Azka tidak mengharuskanku tidur di apartemen jika dia datang sendiri. Aku diberi keleluasaan tanpa gangguan di Sabtu malam. Tidak pernah ada perintah mendadak seperti halnya Alvaro. Waktu langka itu kugunakan untuk beristirahat seharian.
Keesokan harinya aku kembali menemaninya hingga siang. Dia selalu memberi nasihat agar tidak memasukan dalam hati setiap kata-kata tajam Alvaro.
Sabtu ini aku menemani Azka melihat-lihat lahan kosong yang kemungkinan besar akan menjadi salah satu tempat usaha Alvaro. Dia berhasil meyakinkan pemilik tanah dengan tawar menawar harga. Letaknya di pinggiran kota, agak jauh dari rumahku dan di sekitarnya berdiri sejumlah pabrik.
Azka sibuk mengambil foto lahan kosong itu sementara aku memerhatikan sekeliling. Tanah itu berupa lapangan rumput tak terawat.
"Foto saya buat apa, Pak?" tanyaku saat menyadari Azka mengambil momen candid diriku.
"Buat bukti kalau kamu sedang bekerja." Dia kembali mengalihkan perhatian pada lahan kosong di depan kami.
"Bukti foto saya juga harus dilaporkan ya?"
"Tidak juga," kata Azka masih sibuk mengambil gambar melalui ponselnya. Rautnya tampak jengkel. Aku memilih diam daripada terkena imbas suasana muram hati lelaki itu.
Dalam perjalanan pulang Azka baru bercerita kalau sebenarnya dia memiliki janji penting minggu ini. Dia sudah mengatakannya pada Alvaro dari seminggu sebelumnya. Rencana itu terpaksa harus batal dua hari sebelum Azka izin. Alvaro mendadak pergi ke Singapura sementara jadwal pertemuan dengan pemilik tanah tidak mungkin diundur lagi. Selain Alvaro, ada peminat lain yang tertarik membeli lahan itu.
Azka memacu mobilnya menuju pusat kota. Sepanjang jalan aku lebih banyak mendengarkan ceritanya. Perasaan bagai mencelus dalam pasir hisap, menghirup setiap hembusan napas begitu mengetahui Alvaro pergi ke Singapura bersama seorang perempuan.
"Oh Pak Alvaro sudah punya pacar lagi," ucapku sambil tetap mempertahankan nada bicara sewajar mungkin.
"Bukan pacar tapi adik pacarnya yang sudah meninggal. Dulu waktu kuliah Pak Alvaro punya pacar, hampir menikah tapi seminggu sebelum acara mobil yang ditumpangi tunangannya jatuh ke jurang. Hari ini, hari ulang tahun tunangannya. Setiap tahun biasanya Pak Alvaro merayakan bersama keluarga pacarnya."
Aku kembali diam. Teringat foto seorang perempuan yang di laptop Alvaro.
"Di antara perempuan yang pernah dekat, Pak Alvaro cuma serius sama tunangannya yang sudah meninggal. Kamu tidak perlu heran kalau usia hubungan dengan mantan-mantan pacarnya paling lama hanya tiga bulan."
"Kenapa, Pak? Apa mereka tidak suka dengan barang yang Pak Alvaro minta saya kirim pada mereka?"
Azka tertawa pelan. Dia melirikku sekilas sebelum menatap jalan. "Barang yang Alvaro berikan artinya hubungan mereka sudah selesai. Mereka sudah tahu kebiasaan Alvaro mengirim bukti tanda terima kasih lewat asistennya."
"Pantas mereka marah-marah sewaktu saya datang," keluhku.
"Sejak awal mereka sudah tahu kalau Pak Alvaro menghindari komitmen seumur hidup. Tidak ada cinta, cemburu apalagi sampai posesif, hanya ada hubungan saling membutuhkan. Meski begitu Alvaro sangat royal, memenuhi kebutuhan materi hingga membuka peluang karier mereka. Jika salah satu dari ketiga hal tadi dilanggar maka itu artinya waktunya berpisah . Pak Alvaro menghindari perempuan-perempuan yang menginginkan keseriusan."
"Kenapa, Pak? Sepengetahuan saya perempuan yang dekat Pak Alvaro bukan hanya menarik secara fisik. Mereka juga terlihat pintar dan berkelas." Akal sehat memintaku menutup mulut tetapi tubuh bereaksi sebaliknya. Rasa penasaran tentang kehidupan Alvaro sulit dibendung.
"Mereka lihat Pak Alvaro dari sisi keuntungan. Seseorang yang memiliki banyak relasi di dunia usaha hingga entertainment. Dan mereka mendapatkan apa yang diinginkan secara cuma-cuma hanya dengan menyenangkan lelaki itu."
"Tidak ada satupun dari mereka yang benar-benar disukai Pak Alvaro? Maksud saya, sebagai sesama perempuan saja saya kagum pada perempuan-perempuan itu."
"Sampai detik ini belum ada." Azka mengarahkan mobil menuju salah satu restoran di jalan Dago. "Karena mereka awalnya tertarik pada uang dan status, sulit berpikir positif bahwa rasa yang mungkin tumbuh adalah ketulusan bukan tamak."
"Tapi kan Pak Alvaro juga melihat mereka hanya dari daya tarik fisik?"
"Perjanjian dari awal memang hanya sebatas ketertarikan fisik. Semua terjadi tanpa paksaan malah yang duluan mendekati biasanya dari si perempuan. Begitu semua selesai seharusnya tidak perlu ada sakit hati. Toh mereka tidak kehilangan apapun selain atm berjalan dan pacar yang tampan."
"Apa Bapak tidak terlalu sadis menyerupakan Pak Alvaro dengan ATM?"
"Biar saja. Orangnya tidak ada di sini." Azka mematikan mesin mobil begitu kami tiba di parkiran. "Kenyataannya memang begitu dan sekarang kita akan bersenang-senang sepuasnya dengan uangnya." Dia mengambil sebuah kartu berlogo sebuah nama bank dari saku celana.
"Kalau Pak Alvaro nanti marah gimana Pak?"
"Tenang. Biaya makan dan akomodasi kita selama ini ditanggung sama Pak Alvaro. Dia tidak akan mempermasalahkan selama penggunaannya masih masuk akal dan tentunya tugas kita berjalan lancar."
Aku menurut dan tidak berniat menggali kehidupan pribadi Alvaro lebih jauh dalam sisa hari bersama Azka. Informasi yang baru kudapatkan tetap mengejutkan walau sudah menduga ketika diomeli mantan pacar Alvaro saat mengantar barang. Alvaro tidak akan merelakan kebebasannya demi seorang perempuan.
*****
Kegiatan kuliah dan deretan tugas mengalihkan berbagai pemikiran di kepala. Tidak kubiarkan sedikitpun melamunkan Alvaro. Membereskan rumah, membaca atau menghabiskan maraton menonton drama akan kulakukan andai kelebatan bayangan lelaki itu tiba-tiba mengusik.
Sekembalinya Azka ke Jakarta membuatku menimbang ulang tentang rasa untuk Alvaro. Menyukai dia tidak akan melukai selama bisa menjaga jarak, mampu membedakan mana mimpi dan kenyataan.
Terus terang menyukai Alvaro lebih dari mengagumi semakin menakutkan. Aku memang bukan tipenya. Dia tidak akan mempertimbangkan kemungkinan kami bersama layaknya pasangan kekasih. Aku pun tak berani berharap itu terjadi. Tapi bagaimana jika aku tiba-tiba kehilangan kendali, bertindak konyol dan mengungkapkan perasaan padanya di saat yang tidak tepat?
Pekerjaanku taruhannya. Alvaro akan bertindak tegas menyingkirkan asisten tak kompeten sepertiku. Tidak bekerja lagi untuknya seharusnya tidak berpengaruh besar andai cicilan hutangku padanya lunas. Uang darimana jika dia meminta pelunasan sisa hutang saat memberhentikanku?
Kuhela napas panjang sepanjang menyusuri koridor kampus. Pikiran buruk tidak mau menjauh padahal masih baru kemungkinan. Sejauh ini hubunganku dan Alvaro baik-baik saja. Status kami tetap pekerja dan atasannya bukan musuh. Entah kenapa aku membesar-besarkan masalah yang tidak ada.
Kedua tangan mendekap erat buku sambil mengayunkan langkah menuju lobi kampus. Mia tidak masuk karena sakit. Dua sahabat dekat lelakiku pergi ke kantin begitu kelas berakhir. Aku menolak ajakan mereka dan teman-teman lain karena malas berhadapan dengan Genta.
Perpustakaan satu-satunya perlindungan ternyaman di kampus. Biasanya Genta sangat menghidari tempat ini kecuali terpaksa. Dia lebih nyaman berada di sekitar orang-orang yang memuji daripada menghabiskan waktu memberi asupan otak dengan hal berguna. Tapi kadang otakku juga tidak bekerja baik kalau menyangkut Alvaro.
Keberadaan Alvaro berbeda dibanding saat menyukai Kak Adri sekalipun. Keinginan bertemu dengannya jauh lebih menyiksa. Di satu sisi aku lega terbebas dari tekanan saat mengetahui dia tidak ke Bandung sementara perasaan muram membayangkan dia sedang bersama perempuan lain. Secara teori seharusnya mudah menghapus Alvaro dari kepala.
Dia sulit dijangkau. Terlalu berbahaya untuk dimiliki. Kemungkinan dia menyukaikupun hampir mendekati satu persen. Secara logika semua alasan itu mempermudah menghentikan segala bentuk rasa tapi pada prakteknya aku tidak bisa berhenti merindukannya.
Langkah terhenti ketika mendengar namaku dipanggil. Salah seorang teman sekelas memintaku mendekat. Dia berada di depan papan pengumuman bersama mahasiswa lain yang berkerumun seperti semut.
"Frey, kamu sudah tahu mulai semester depan beasiswa dari kampus berakhir. Beasiswa dari PT. Hanan Cipta Mandiri yang menggantikannya. Penerima beasiswa sebelumnya harus ikut seleksi lagi. Katanya peminatnya banyak banget soalnya peluang ditarik menjadi karyawan perusahaan itu setelah lulus lumayan besar kalau bisa tembus jadi penerima beasiswa."
Aku tidak mendengarkan sisa ucapan temanku. Kabar bahwa tahun depan tidak lagi menerima beasiswa terlanjur menguasai sebagian besar pemikiran. Tubuh rasanya lemas. Mood hancur menyisakan kekhawatiran.
Aku bisa saja mengabari Mama. Dia tidak akan membiarkan putrinya putus kuliah karena masalah biaya tapi aku enggan merepotkannya. Menelepon hanya untuk berkeluh kesah karena beasiswaku dihentikan. Selama ini Mama tertutup soal keuangan keluarga kami dan tidak bercerita apakah Ayah memiliki hutang atau tunggakan yang belum selesai. Aku hanya diminta fokus kuliah tanpa perlu mengkhawatirkan kebutuhan Mama maupun adikku.
Temanku menepuk bahu. Dagunya terangkat ke samping kami sebelum pamit. Bola mataku berputar ke arah yang ditunjuknya.
Genta. Wajah tampannya memamerkan senyuman maut. Senyuman yang dibanggakannya karena berhasil membuatnya memiliki banyak penggemar. Kuperhatikan penampilannya. Logo brand mewah berukuran tercetak jelas di kausnya. Dia selalu memakai pakaian yang sedang trend. Menjadikannya salah satu mahasiswa yang melek fashion tapi sayang otaknya tidak di upgrade.
"Bagaimana kabarmu, Frey?" Kedua tangannya bersidekap. Dia memasang sikap sok cool saat menyadari sedang diamati diam-diam sekelompok mahasiswi. Genta memang terlalu sadar diri bahwa dirinya menarik.
"Baik." Kaki mundur selangkah, memberi jarak karena terganggu aroma parfumnya.
"Sudah ada rencana semester depan?"
Aku tahu kemana arah pembicaraan kami. "Setiap masalah memiliki jalan keluar. Otak digunakan untuk berpikir."
"Kepintaran tidak berarti selaku beruntungan. Kamu masih saja keras kepala."
"Selama tidak merugikanmu, aku tidak melihat itu masalah."
"Kamu bukan siapa-siapa, putri kerajaan, artis apalagi anak orang kaya. Sesekali sadar diri dengan statusmu. Aku tahu pentingnya beasiswa bagimu. Jadi jangan sok berlagak tidak butuh bantuan."
Kedua tanganku meremas kuat sisi buku di pelukan. Genta selalu menyerang kekuranganku setiap kalah beragumen. Dia tahu keuangan keluargaku tidak begitu baik sepeninggal Ayah. Dan aku benci direndahkan seolah sudah seharusnya diriku bergantung pada Genta.
"Aku akan cari bantuan di tempat lain. Terima kasih perhatiannya." Aku bergegas meninggalkannya, berdoa agar Genta tidak mengejar. Harapanku terkabul. Lelaki itu sibuk mengobrol dengan sekelompok mahasiswi tadi.
Kepala mendadak berat. Semangat menguap. Memikirkan apapun berujung kebuntuan. Semua yang kulakukan jadi serba salah. Perut tidak lagi terasa lapar.
Ditto memercayai alasanku urung mengikuti kuliah berikutnya karena tidak enak badan. Menurutnya wajahku memang terlihat agak pucat. Dia mengira aku hanya kelelahan dan butuh istirahat. Sengaja pembicaraan dengan Genta tidak kuceritakan demi menghindari keributan.
Aku mengamini sarannya. Tidur mungkin sedikit membantu mengurai kerumitan dalam kepala. Setidaknya aku bisa memulihkan emosi yang terkuras karena ucapan Genta.
Sepanjang jalan aku menahan tangis. Ketakutan terlanjur memerangkap akal sehat. Bagaimana jika aku gagal dalam seleksi? Bagaimana jika nilaiku tersisih oleh peserta lain yang lebih unggul?
Getaran dalam tas yang tidak berhenti memaksaku menepi. Hembusan angin menerpa wajah saat membuka helm. Jalan yang kupilih sengaja agak memutar tetapi lebih sepi demi menghindari kemacetan jam makan siang dan bisingnya suara klakson.
Jemariku bergetar melihat nama Mama di layar. Sontak kerinduan kelembutan jemari di pipiku menghangatkan hati. Senyuman yang biasanya menyambut kelelahanku di penghujung hari.
"Halo, Ma?" Sapaku berdiri di samping motor. Menatap pepohonan besar di sisi jalan.
"Halo, Frey. Bagaimana kabarmu? Kamu sehat?"
"Sehat. Mama sendiri gimana?"
"Mama dan adikmu sehat. Kamu masih di kampus?"
"Iya, Ma," ucapku sambil mengigit bibir. Sempat terlintas menceritakan kesulitan yang kuhadapi tetapi sesuatu dalam diri menahannya.
"Nilai-nilai kamu gimana?"
"Maksud Mama apa nih? Tumben tanya nilai. Ujiannya saja belum."
Mama terdiam sesaat seolah berat mengatakan sesuatu. Kondisi keuangan Mama tidak terlalu bagus untuk setahun ke depan. Ayah ternyata meminjam uang diam-diam dalam jumlah besar pada salah satu keluarga besarnya dengan jaminan rumah yang kami tinggali. Awalnya mereka tidak memberitahu dan berniat mengikhlaskan tetapi karena sedang butuh uang mereka akhirnya memberitahu Mama. Jika Mama tidak bisa melunasi, jalan satu-satunya adalah menjual rumah kami.
"Mama berencana menggunakan uang yang Mama sisihkan untuk kuliahmu tahun depan untuk menyicil hutang ayahmu agar rumah kita tidak terjual. Mama tidak punya banyak pilihan sekarang. Nenekmu terlalu banyak menolong kita."
"Bukannya Mama bilang uang itu dipakai buat biaya sekolah dan terapi Evan?"
"Sebenarnya Mama punya simpanan dana cadangan untuk kuliahmu. Jaga-jaga kalau beasiswamu tidak berjalan lancar. Bukannya Mama meragukan kepintaranmu hanya saja kita tidak pernah tahu masa depan."
"Mama pakai saja uangnya. Freya akan berusaha supaya tidak tersingkir dari penerima beasiswa."
"Mama yakin kamu bisa. Kalau misalnya terjadi sesuatu jangan segan kabari Mama. Kita akan cari solusinya bersama. Mama cuma minta kamu bisa menjaga kehormatan diri sendiri. Jangan sampai berbuat yang... "
"Aku mengerti, Ma. Lagian aku tidak dekat sama lelaki manapun. Mama tenang saja."
"Mama percaya padamu. Nanti Mama telepon lagi ya, Sayang."
Kuhela napas begitu sambungan terputus. Tubuh meluruh lalu terduduk di trotoar. Ejekan Genta bergema di telinga. Aku bisa membayangkan tawa puasnya saat ini.
Penerima beasiswa belum diumumkan. Kesempatan meraih salah satu tempat masih terbuka. Tidak ada yang berubah. Aku hanya harus mempertahankan nilai terbaik, berjuang lebih keras seperti biasanya hingga mata tak lagi bisa membaca setiap tulisan karena lelah. Hidup di dunia ini butuh pengorbanan atau tersingkir. Yang kubutuhkan tetap berpikir positif namun hal itu mendadak sangat sulit.
Siluet sosok Ayah tercipta saat gelombang panas membuat mata perih. Dia tersenyum seakan mengatakan semua akan baik-baik saja.
Dengan gontai kuseret tubuh sebelum kembali menyalakan mesin dan melanjutkan perjalanan menuju apartemen.
Topeng kupastikan terpasang saat menyapa penjaga keamanan apartemen. Berbasa basi sebentar sambil terus tersenyum sebelum pamit. Keheningan sepanjang koridor dan lift memperparah kesedihan. Langkah semakin cepat seakan dikejar ketidakberuntungan. Jemari tidak berhenti bergetar saat tiba di depan pintu.
Air mata pecah tanpa suara begitu kesunyian tempat yang kutinggali menyambut. Kekalutan membungkus ketidakpercayaan diri. Dulu ada Ayah yang bisa diajak berdiskusi setiap kali membutuhkan ada masalah berat. Sikapnya yang selalu menjaga selalu membuatku nyaman dan aman. Kini aku harus memecahkannya seorang diri.
"Kamu sedang apa?"
Suara seorang lelaki menghentak kesadaran. Kepalaku mendongkak mencari sumber suara. Lelaki itu berdiri tidak jauh dari tempatku berdiri.
Punggung tangan menyeka sisa air mata di pipi demi menghilangkan bukti kesedihan. Ketegangan merambat hingga tubuh mendadak kaku khawatir adegan tadi dilihatnya.
Alvaro tampak gagah seperti biasa. Dia hanya memakai kemeja putih dan celana kain abu-abu. Satu kancing bagian atas tidak terkait. Ujung kemeja yang dipilin hingga siku memamerkan otot lengan dan bulu halus. Rambutnya agak sedikit berantakan tapi semakin menambah aura maskulin. Dia menatap datar, tampak malas-malasan tapi jantungku malah berdebar kencang seenaknya.
"Ti.. tidak sedang apa-apa, Pak. Cuma lagi istirahat sebentar," kataku setelah berhasil mengandalikan diri.
"Istirahatnya sambil berdiri? Kamu berencana ikut sirkus? Ikut saya." Alvaro berbalik. Kesan tak acuhnya tak urung membuatku mengira baru melakukan kesalahan.
Aku mengikutinya menuju ruang tengah. Tidak ada pilihan selain mengikuti arus. Otak terlalu lelah mencari alasan menghindar. Rencana beristirahatpun harus kucoret. Selagi Alvaro masih terjaga, dia bisa memberiku perintah kapan saja.
"Minum dulu baru kamu duduk di ruang tengah."
Kepalaku mengangguk, berbalik menuju dapur dan menyegarkan tenggorokan dengan segelas air dingin. Alvaro lebih dulu duduk di sofa ruang tengah. Dia tidak menyalakan televisi atau memainkan ponsel. Dia hanya diam sambil bersidekap.
Setelah sedikit merasa tenang akupun menyusulnya. "Maaf, Pak. Saya tidak tahu kalau Bapak datang hari ini. Pak Azka tidak memberitahu sebelumnya."
"Pagi tadi saya ada keperluan sama pemilik tanah yang kalian temui kemarin," balasnya dingin. Lirikan mata lelaki itu menyiutkan nyaliku karena berani menatapnya. "Kamu ada masalah?"
"Tidak, Pak," ucapku cepat. Alvaro tidak mudah dibohongi. Dia pasti meragukan jawabanku. Situasi yang kuhadapi sangat sulit tetapi berterus terang bukan pilihan terlebih aku sudah menolak tawaran menjadi pendamping Genta saat seminar.
Alvaro bertanya lagi, kali ini mengenai sudut pandangku yang berkaitan salah satu mata kuliah tentang perhitungan penyimpanan bahan baku makanan. Beruntung otakku bisa diajak bekerja sama. Aku menjelaskan sesuai ilmu yang kudapat walau ragu bisa memuasakannya. Alvaro seharusnya bertanya pada yang lebih ahli.
Lelaki itu bersandar ke belakang sofa. Kedua tangannya masih bersidekap saat matanya terpejam.
"Teruskan, saya tidak tidur," katanya tanpa membuka mata ketika suaraku hilang selama beberapa detik karena bingung dengan reaksinya.
Suaraku kembali keluar. Lebih tenang daripada sebelumnya. Tatapan Alvaro berpengaruh besar mengusik ketenangan. Aku bisa salah tingkah hanya karena merasa diawasi. Tapi sikap diamnya sekarang bagai penghiburan kecil di antara benang kehidupan yang rumit.
Sesekali kepalaku mendongkak, beralih dari lantai lalu ke lelaki itu. Rasanya tetap tidak enak berada dalam posisiku saat ini. Alvaro hanya mendengarkan tanpa reaksi selain posisi tubuhnya yang kadang berubah memastikan dia tidak tidur.
"Cukup." Aku reflek mengigit bibir saat Alvaro membuka mata. Udara di sekitar kami perlahan menghangat. Sejenak aku melupakan realita berbahayanya perasaanku pada Alvaro. "Penjelasanmu lumayan mudah dimengerti."
"Terima kasih, Pak."
"Kamu masih berminat dengan tawaran saya tempo hari tentang beasiswa?"
"Maksud Bapak soal saya harus jadi mendampingi Genta menjadi perwakilan kampus?"
Rautnya berubah menakutkan walau hanya seperkian detik. "Bukan. Ini soal beasiswanya saja. Pak Azka bilang pekerjaanmu bagus selama menemaninya di Bandung. Anggap saja beasiswa tadi bonus kerja kerasmu."
"Saya masih bingung, Pak. Maksud Bapak, saya dapat beasiswa tanpa harus jadi perwakilan kampus di seminar nanti?"
"Benar."
"Serius, Pak?"
"Saya kelihatan sedang bercanda?"
Kepalaku menggeleng. Beban seketika terangkat dari pundak. Kegelapan berangsur memudar berganti langit biru. Harapan kembali terbangun.
"Tidak, Pak."
"Jadi apa jawabanmu?"
"Mau, Pak," jawabku girang.
Alis Alvaro terangkat sempurna. Dia tersenyum simpul. Aku sudah masa bodoh bakal diejek. "Pak Azka yang akan mengurus permohonan beasiswamu. Kamu siapkan saja data yang nanti dia minta. Manfaatkan kesempatan sebaik mungkin. Keberhasilan adalah buah dari kerja keras orang-orang yang mau terus belajar. Jangan biarkan omongan negatif merusak semangatmu. Kesuksesan tidak selalu bergantung pada status sosial."
"Terima kasih banyak, Pak. Saya akan berusaha keras tidak mengecewakan Bapak."
"Hm." Alvaro menelengkan kepalanya. Romannya semakin serius. "Kamu punya perasaan sama Pak Azka? Kelihatannya kalian akrab sekali. Pak Azka mengirim foto-foto kalian beberapa minggu terakhir."
Kecemasan berlebih karena menghancurkan lambungan rasa senang. Aku teringat salah satu aturan tidak boleh mendekati temannya. Otot perutku menegang memikirkan hal itu. "Bapak salah paham. Kedekatan kami sebatas karyawan dan atasan. Pak Azka bilang kalau saya cemberut pas di foto nanti dikira terpaksa kerja waktu weekend."
"Benar tidak ada? Sedikitpun?" selidiknya tak percaya.
"Serius seratus persen, Pak. Pak Azka memang baik tapi bukan tipe saya."
"Memangnya kamu suka lelaki yang bagaimana?"
"Tidak punya kritera fisik khusus, Pak. Yang penting baik, setia dan serius."
Alvaro terdiam. Sorotnya tetap tajam namun tak terbaca senang atau tidak mendengar jawabanku. "Kamu sudah boleh ke kamar. Istirahatlah. Nanti sore temani saya makan di luar." Lelaki itu mengambil sesuatu dari sisi sofa. "Tunggu dulu. Ambilah. Ada sedikit oleh-oleh."
"Terima kasih banyak, Pak." Kuambil plastik berukuran lumayan besar dari tangannya. "Bapak di sini sampai kapan?"
"Lusa, sampai urusan selesai. Kamu tinggal di sini saja supaya gampang kalau saya kasih tugas."
Pembicaraan kami terhenti oleh suara bel. Aku menaruh plastik di sofa tempatku duduk lalu pamit untuk membuka pintu. Alvaro hanya mengangguk. Tubuh tingginya sempat menyita perhatian saat dia bangkit.
Seorang perempuan paruh baya di temani penjaga keamanan berdiri saat pintu terbuka. Perempuan itu memakai kebaya berwarna merah dan bawahan kain warna cokelat. Rambutnya tersanggul rapih. Bahasa tubuhnya anggun dan elegan bak bangsawan.
Dia memperhatikanku dari ujung kaki hingga rambut. Matanya menyipit seakan tidak suka melihat orang di hadapannya. Penjaga keamanan pamit pada kami berdua setelah memperkenalkan perempuan itu sebagai nenek Alvaro.
"Cucu saya di mana?" Perempuan itu melewatiku tanpa basa-basi.
"Pak Alvaro tadi ada di ruang tengah, Bu."
"Kamu siapanya Alvaro?" Nada penuh curiga membuatku tegang.
"Saya asisten pribadi Pak Alvaro selama Bapak di Bandung, Bu." Aku mengikuti perempuan itu dengan hati berdebar. Tangan terasa sedingin es karena tegang.
"Asisten pribadi merangkap pacar?" tuduh perempuan paruh baya itu.
Alvaro terkejut melihat kemunculan perempuan paruh baya yang mengaku sebagai neneknya. Dia tidak menghindar sewaktu dihadiahi cubitan. Lelaki itu bergeming bak patung super kokoh.
"Dasar anak nakal. Kalau Azka tidak kelepasan bicara, Nenek tidak akan pernah tahu kamu punya apartemen di Bandung. Kenapa kamu menyembunyikan dari Nenek? Supaya hubunganmu dan gadis ini tidak ketahuan?"
"Bukan... "
Delikan Alvaro memotong ucapanku. Mulutku terpaksa terkatup. "Kita duduk dulu ya, Nek." Alvaro merangkul neneknya. "Frey, ambilkan air putih untuk Nenek."
Bulu roma berdiri. Firasat buruk berkelebat. Aku tidak bisa tenang. Jemari bahkan terus bergetar saat menaruh cangkir di meja.
"Freya duduk. Ini Nenek Euis." Aku tidak bisa meninggalkan ruangan ini begitu saja. Perintah Alvaro tidak mungkin dibantah. "Nek, ini Freya, asisten pribadiku selama tinggal di Bandung. Dia yang menjaga apartemen ini selama aku di Jakarta."
"Hanya asisten pribadi? Nenek baru dengar kamu memperbolehkan asisten perempuan berada di dekatmu. Sekretarismu saja laki-laki."
"Dua asistenku sebelumnya memang laki-laki dan mereka kuberhentikan karena melanggar aturan jadi aku pikir kenapa tidak coba mempekerjakan asisten perempuan."
Nenek Euis mengamatiku yang gugup. Mata mengingatkannya pada sorot Alvaro saat kami bertemu pertama kali. Dingin. "Gadis ini tinggal di sini?"
"Hanya selama aku di Jakarta. Dia pulang ke rumahnya kalau aku ke Bandung."
"Kalian tidak pernah berduaan sepanjang malam di apartemen ini? Satu kalipun?"
"Hanya urusan kerja, Nek. Aku punya kehidupan pribadi di luar sana."
Nenek Euis tidak begitu saja memercayai jawaban cucunya. Dia mengalihkan perhatian padaku. Bertanya banyak hal dari umur, keluarga hingga pendidikan. Sikapnya sedikit melunak sewaktu aku memberitahu ayahku sudah meninggal.
"Kamu suka sama cucuku, Freya?"
Aku hampir tersedak mendengar pertanyaan Nenek Euis. "Pak Alvaro orangnya baik, Bu. Siapapun pasti suka sama Pak Alvaro."
"Saya tidak tanya pendapat orang lain tapi kamu."
Alvaro menatapku. Tangan semakin dingin. Pertanyaan Nenek Euis semacam jebakan tersembunyi. "Suka sebagai karyawan, Bu."
Perempuan itu menghela napas panjang. Tangannya memijat kening. "Nenek masih tidak percaya kamu memperkerjakan gadis ini meski alasannya profesional. Apa Azka yang menyarankanmu?"
"Semua murni keputusanku. Tidak ada ikut campur orang lain. Selama ini Freya melakukan pekerjaannya dengan baik. Hubungan kami bersifat professional."
"Termasuk mengantar hadiah pada pacar-pacarmu?"
"Kurang lebih tapi sekarang aku tidak punya pacar. Ada projek baru yang ingin kurintis di kota ini. Sebagian besar perhatianku tercurah ke sana."
"Dulu kamu pernah berkata serupa dan tiga hari setelahnya menggandengan perempuan. Kenapa kamu tidak menikah saja supaya Nenek tidak khawatir dengan gaya hidupmu. Nenek capek mendengar kamu gonta-ganti pacar seperti baju. Minggu ini artis. Bulan depan model majalah. Sampai kapan kamu mau bermain-main. Usiamu lebih dari cukup untuk membina keluarga. Pekerjaan sudah mapan. Apalagi yang kamu cari?"
"Aku belum menemukan calon yang tepat. Menikah butuh pemikiran matang supaya tidak gagal di tengah jalan karena cinta bisa datang dan pergi."
Nenek Euis memutar bola matanya padaku. "Bagaimana dengan Freya? Nenek lihat dia gadis yang baik. Kamu tadi bilang cinta bisa datang dan pergi artinya perasaanmu bisa terbangun seiring kebersamaan kalian."
"Freya masih kuliah, Nek. Dia terlalu muda."
"Lalu kamu mau cari yang terlalu tua? Kamu terlalu pemilih. Nenek belum tentu berumur panjang dan bisa menyaksikan pernikahanmu kelak."
"Jangan begitu, Nek. Aku selalu mendoakan yang terbaik untuk Nenek termasuk kesehatan dan umur panjang."
"Nenek mulai sakit-sakitan, Alva. Kamu mau menambah pikiran Nenek? Begini saja kalau kamu merasa Freya lebih tua, minggu depan Nenek kenalkan gadis yang usianya tidak jauh darimu. Ada teman Nenek yang cucunya juga belum menikah. Anaknya cantik, pintar dan sudah cukup dewasa. Alasannya belum menikah sama kayak kamu, ingin fokus kerja dulu. Sepertinya kalian cocok."
"Jangan mulai lagi, Nek. Siapapun tidak akan bisa memaksaku kalaupun Nenek bersikeras, itu akan jadi pernikahan neraka untuk perempuan itu." Alvaro menoleh padaku."Kembali ke kamarmu, Freya. Istirahatlah."
"Baik. Saya permisi dulu, Pak, Bu."
Nenek Euis ikut bangkit. Pandangannya berpaling dariku ke Alvaro. "Kapan kamu kembali ke Jakarta, Alva?"
"Lusa. Ada urusan penting yang harus kuselesaikan."
"Gadis itu juga tinggal di sini?"
"Khusus malam ini saja. Aku memintanya tinggal agar lebih mudah jika perlu sesuatu."
"Alasan. Kalau begitu Nenek pulang denganmu lusa. Supir nanti Nenek suruh kembali ke Jakarta duluan."
"Sebaiknya Nenek pulang. Di sini membosankan. Tidak ada apa-apa."
"Apartemenmu memang dingin. Kurang sentuhan perempuan." Nenek Euis mengedarkan pandangannya. Kepalanya menggeleng kesal. "Kamu mengusir Nenek?"
"Bukan begitu. Aku ke sini karena ada urusan kerja bukan liburan. Mungkin pulangnya malam."
"Tentu saja kamu ke sini buat kerja. Nenek tahu kamu baru saja habis liburan sama keluarga mantan tunanganmu. Kamu kerja saja biar Freya yang temani Nenek."
"Besok dia harus kuliah."
"Sejak kapan kamu mengutamakan kepentingan asistenmu dibanding Nenek? Azka saja kamu marahi habis-habisan waktu dia tidak bisa mengantar Nenek karena ada keperluan keluarga. Begitu juga karyawan perempuan. Kamu hampir memecatnya hanya karena dia mendahulukan urusan pentingnya saat kamu menyuruhnya menemani sewaktu Nenek datang mendadak ke kantor. Kenapa sama gadis ini sikapmu berbeda?"
Perdebatan di ruangan ini membuatku ingin menyingkir. Nenek Euis sama keras kepalanya dengan cucunya. Reaksi Alvaro semakin mengesalkan. Lelaki itu juga tidak banyak membantu mencairkan suasana. Dia justru duduk tenang seolah kekesalan neneknya hanya angin lalu. Ekspresinya datar.
"Ibu salah paham. Hubungan saya dan Pak Alvaro tidak seperti yang Ibu bayangkan. Lagipula Pak Alvaro mempekerjakan saya karena saya bukan tipe perempuan yang disukainya," ucapku pelan.
Perut seakan dihantam gelombang hebat mengetahui Alvaro memerhatikanku. Aku berpura-pura mengabaikannya meski sudut mataku mencuri pandang. Garis rahang lelaki itu menegang. Aku bingung dan serba salah karena dia malah diam. Seharusnya dia mendukung pernyataanku agar neneknya percaya.
"Jangan panggil Ibu, Nenek saja. Jam berapa kuliahmu selesai?"
Aku mencoba menarik garis bibir terlihat natural walau merasa sedang terjebak dalam permainan Alvaro. "Sekitar jam tiga, Nek."
"Kalau begitu setelah kuliah kamu temani Nenek jalan-jalan. Nenek mau belanja dan beli oleh-oleh."
"Biar aku yang temani, Nek. Nanti kuusahakan pulang sebelum jam dua."
Alis Nenek Euis terangkat. "Tidak usah. Kamu kerja saja. Nenek sekalian pengin kenal lebih dekat sama Freya. Nenek tidak akan memarahinya. Nenek justru ingin menjodohkannya sama sepupu kamu kalau kamu tidak mau."
Alvaro tiba-tiba bangkit. Reaksinya mengejutkanku. "Nenek!"
"Kenapa marah? Kamu sendiri yang bilang tidak mau. Sudah kamu pikirkan saja pekerjaan dan perempuan-perempuan yang mendekati cuma demi uang. Nenek lihat Freya anak baik. Jangan kamu rusak kepolosannya."
"Besok Freya akan menemani Nenek jalan-jalan. Mobil dan supirnya akan kusiapkan. Tapi jangan mencampuri urusan pribadi Freya. Dia asistenku."
"Gaya bicaramu seolah Freya milikmu saja," gerutu Nenek Eius. Dia menghindari kontak mata dengan cucunya. Kilat menyala di bola mata Alvaro rupanya tidak hanya menciutkan nyaliku. "Nenek mau istirahat. Di mana kamar Nenek?"
"Mari saya antar, Nek." Perasaan berangsur lega karena pembicaraan ini berakhir damai.
Alvaro berjalan mengikuti kami. Sikapnya kembali tenang setelah Nenek Eius berada di kamar tamu. Dia mendengarkan semua keluhan neneknya yang tidak terlalu puas dengan penataan kamar. Aku memilih berdiri di amban pintu sambil menunggu momen yang pas untuk pamit.
Tubuh mendadak kaku begitu melihat Alvaro berbalik ke arahku. Roman wajahnya kembali tidak nyaman dilihat. Agak menakutkan saat matanya menajam. Hati kecilku bertanya-tanya apakah ada kesalahan yang telah kulakukan.
"Kamu masih mau bekerja untuk saya, Freya?" tanya Alvaro. Jarak kami sangat dekat hingga aku bisa merasakan hembusan napasnya. Parahnya aku harus mendongkak supaya tidak dianggap kurang sopan karena memandang ke arah lain. Nenek Eius sedang membuka tas tangan di depan nakas. Posisi membelakangi kami.
"Ma... masih, Pak," jawabku terbata-bata.
"Kalau begitu pahami posisimu sebagai asisten." Aku menelan ludah saat kepalanya semakin turun. Alvaro tersenyum licik seolah menikmati kegugupanku. "Abaikan permintaan siapapun termasuk nenek saya selain atas izin saya. Mengerti?"
Kepalaku mengangguk. Dorongan untuk menjauh semakin kuat tetapi tubuhku tidak bereaksi. Wajah terasa memanas. Aku ngeri membayangkan Alvaro menyaksikan pipiku merona semerah tomat."Sa... saya sudah boleh kembali ke kamar, Pak?"
Sentakan listrik menghentak seluruh indera menyadari jemari Alvaro meraih pergelangan tanganku. Imajinasi berhaburan hingga sulit berkonsentrasi. Debaran jantung berdegub semakin kencang. Alvaro belum pernah seprovokatif seperti ini. Senyuman di wajah tampan itu campuran godaan sekaligus mengancam. "Pergilah tapi ingat baik-baik kata-kata saya tadi. Kamu asisten saya."
Bulu roma berdiri. Entah kenapa kata terakhir Alvaro seakan memiliki makna lain. Makna yang menyiratkan bahwa aku miliknya. Benarkah?
Tbc
Hallo, selamat malam. Maaf ya baru bisa update sekarang. Minggu kemarin saya lagi kurang fit jadi istirahat dulu. Jadi updatetan hari ini dipanjangin sedikit ya. Semoga suka hehehe
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro