Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chap # 6

Sepeninggal Alvaro perasaan semakin tak tenang. Sekalipun mata mulai mengisyaratkan kelelahan, keinginan menunda beristirahat mengalahkan rasa kantuk. Bosan mengurung diri di kamar aku memilih bersantai di balkon. Menikmati langit malam. Resleting kutarik hingga ujung lalu menyusupkan tangan ke balik saku di sisi bawah jaket. Hujan sudah lama berhenti menyisakan  cuaca dingin.

Anganku melayang saat memerhatikan bulan yang tertutup awan kelabu. Potongan demi potongan kejadian yang terlewati menempel bagai pita film. Dulu aku pernah bermimpi bekerja paruh waktu sambil kuliah. Fokus menyelesaikan kuliah sekaligus mengumpulkan pundi-pundi tabungan. Setiap hari belajar juga bersenang-senang. Dunia terasa menyenangkan saat itu semanis  gula-gula kapas yang dibelikan Ayah sepulang kerja saat kecil.

Aku lupa bahwa manusia berjalan di roda kehidupan yang rapuh. Setiap detik kejutan menyapa dalam bentuk kebahagiaan maupun kesedihan. Hanya kematian yang pasti selain itu termasuk materi dan usia mempunyai batasan waktu.

Dunia serasa runtuh ketika Ayah meninggal padahal kami masih membahas cita-citaku di masa depan di malam sebelum kecelakaan merenggut jiwanya. Hati pernah terkhianati oleh  perselingkuhan Genta karena ia sudah  bersumpah setia sehari sebelum aksinya  dipergoki. Kepercayaan diri mampu mempertahankan beasiswa goyah karena pikiran negatif yang meragukan kemampuan mengatasi masalah setelah bertahun-tahun lalu berpuas diri meraih nilai-nilai terbaik bahkan saat masih berseragam putih abu.

Aku tidak menyangkal pernah marah pada Tuhan. Ada banyak pertanyaan yang mempertanyakan rentetan pilu dalam waktu dekat. Kenapa harus aku? Kenapa bukan mereka yang menjahatiku?

Pada akhirnya berbagai gejolak ketidakpuasan terkunci  dalam hati. Tidak ada ruang untuk mengeluh. Mama membutuhkan dukungan. Sebagai anak tertua sudah tugasku  menguatkan ketegarannya sebagai ibu tunggal. Aku tidak ingin keluh kesahku hanya menambah daftar khawatirnya. Meski butuh proses, memakan waktu tidak sebentar, perlahan diriku mulai ikhlas atas semua yang terjadi.

Hanya saja terkadang sebagai manusia biasa kaki goyah oleh ketakutan. Kepergian Ayah memaksaku harus berani keluar dari zona nyaman. Perlindungan Mama kualihkan pada adikku satu-satunya. Setiap hari ketika bangun pagi, kata semangat menjadi kata pertama yang terucap.

Aku menghela napas berat sembari meregangkan kedua lengan yang kaku. Otot terasa pegal setiap bergerak. Aku berencana memanggil tukang pijat langganan saat pulang ke rumah nanti. Kuap lolos dari bibir. Aku segera memasuki kamar, menghempas peraduan dan membiarkan bunga mimpi mengambil alih kesadaran.

Keesokan pagi Alvaro tidak kutemukan di manapun. Semua ruangan sudah kurapihkan sejak pagi buta. Aku berniat menyelesaikan tugas sebelum Alvaro bangun. Hingga jam menunjuk pukul tujuh lelaki itu tidak kembali ke apartemen. Kemungkinan besar dia menginap di luar.

Pasti begitu, pikirku dalam hati.

Satu persatu bayangan Alvaro dan perempuan berkulit eksotis berparas manis tengah bercumbu di tempat tidur kusingkirkan dari kepala. Menguatkan tekad bahwa kehidupan pribadi lelaki itu bukan urusanku setelan pembicaan kami semalam.

Aku lelah menebak-nebak perubahan hatinya. Di saat bersiap menerima kemarahan, sambutannya justru datar. Sebaliknya ketika memberitahu sesuatu yang terdengar wajar, ekspresinya menggelap seolah penjelasanku layak dihadiahi kemarahan. Selain itu aku sendiri merasa jadi manusia super bodoh ketika mempertanyakan perasaan berulang kali tanpa hasil. Apakah benar suka, cinta atau gabungan keduanya tetapi hanya cerminan kekaguman semata?

Ponsel berdering di meja makan, tempatku berada saat memikirkan keberadaannya sambil mengisi perut.  Tangan meraih gelas berisi air, meneguknya sampai habis karena tersedak begitu nama Alvaro muncul di layar. Dengan enggan kugeser tombol hijau hingga terdengar sambungan terhubung.

"Halo, Freya. Kamu masih di apartemen?"

"Halo, Pak. Masih, Pak. Saya baru berangkat jam setengah delapan." Sapaku pelan namun tetap jelas. Sengaja kusebut waktu keberangkatan agar dia mengerti diriku juga memiliki kegiatan.

Alvaro memintaku membawakan pakaian ganti ke hotel yang berada di pusat kota. Jaraknya tidak bisa dikatakan dekat dengan apartemen apalagi kampus. Tempatnya berada di pinggir jalan besar. Tidak jauh dari perempatan jalan yang terkenal karena kemacetannya apalagi di pagi dan jam sibuk.

Hati kecil meragukan kemampuan berkendara. Aku sering ngeri saat harus memaksa motor menyelip di antara ruang sempit. Sempat terpikir mengirim pakaian menggunakan jasa ojek online, lebih efisien, lebih cepat tapi dia Alvaro ingin aku mengantarnya sendiri sampai di pintu kamar. Titik tanpa koma.

Kepala berdenyut.  Pilihan satu-satunya yang tersedia hanya mengiakan. 

"Jangan lupa celana dan kaus dalam.  Selain  jas, celana panjang, dasi, kemeja dan yang lain pilih warna putih."

"Pakaian dalam, Pak?"

"Memangnya kamu berpikir saya selalu membalik celana dalam demi berhemat?"

Aku hampir terkikik. Bayangan Alvaro sedang membalik celana dalam sangat mengelikan. "Tidak, Pak. Baik nanti saya  bawakan."

Secepat kilat kumasukan ponsel dalam tas begitu sambungan terputus. Tujuan utama adalah kamar Alvaro. Waktu sangat sempit dan berlama-lama memilih bukan tindakan pintar. Satu persatu pakaian ganti lelaki itu kumasukan dalam plastik dan menaruhnya di paper bag. Pilihan warna kusesuaikan sesuai penampilan Alvaro yang sering kulihat. Aku bahkan hanya punya waktu kurang dari satu menit saat memerhatikan tumpukan celana dalam lelaki itu.

Motor kupacu membelah jalanan kota Bandung. Kerutan di kening tidak menghilang karena memikirkan rute paling cepat menuju hotel. Sepanjang jalan yang terlihat hanya  atrean kendaraan. Kesibukan orang-orang menyambut hari. Suara klakson, asap kendaraan hingga orang-orang yang menyebrang seenaknya membuatku ingin memaki karena menambah tegang. 

Tidak banyak jalan alternatif yang bisa dilalui. Hotel tempat Alvaro menginap dikelilingi pusat perbelanjaan dan berbagai jenis toko. Hampir tidak ada perumahan yang memiliki jalan yang bisa  mempersingkat rute. 

Dengan sedikit keberuntungan, setelah beberapa kali menyelip atrean mobil, hampir menabrak kendaraan lain bahkan sempat  diomeli pengendara lain, aku berhasil sampai di hotel dalam waktu setengah jam lebih sedikit. Kaki sempat gemetar saat menginjak lobi. Selain lelah karena berkendara, degub jantung semakin tak keruan menunggu pemandangan yang mungkin  kutemukan dalam hitungan menit ke depan.

Sekuat tenaga kualihkan pikiran dengan mencoba membayangkan momen menggembirakan namun gagal. Keingintahuan apa yang dilakukan atasanku terlanjur mengusik. Bukan jenis godaan yang menyenangkan, mirip mimpi buruk di siang bolong.

Mataku terpejam, mengumpulkan ketenangan sepanjang berada di lift. Kebetulan sekali benda yang membawaku ke lantai di mana Alvaro berada sedang kosong. Aku bisa memuaskan diri menjernihkan pikiran tanpa perhatian orang-orang.

Bunyi lift memecah keheningan. Lift terbuka. Tali paper bag kuremas kuat sebelum melangkah. Kepala menoleh ke sekeliling, mengamati sekaligus mencari  nomor sekaligus petunjuk letak kamar Alvaro di sepanjang koridor berkarpet merah.

Sebuah pintu bertuliskan deretan angka yang Alvaro sebut di pembicaraan kami kini berada di depan mata. Aku menelan ludah, membayangkan kekacauan seperti apa di dalam sana. Gantungan pintu bertuliskan dont disturb dalam hurup besar menggantung di kenop menambah keraguan. 

Karena enggan menganggu 'aktivitas' Alvaro, aku mencoba menghubunginya alih-alih mengetuk pintu.

"Halo, Pak. Maaf ganggu. Saya sudah ada di depan kamar."

"Kamu tunggu di situ."

Suara klik mengakhiri percakapan singkat kami. Sambil menunggu pemilik kamar muncul kupastikan punggung tegap sempurna. Senyum tidak lupa menyungging meski tangan  gatal ingin segera melempar paper bag ke lantai.

"Selamat... " Mataku terpaku menatap lelaki yang baru saja membuka pintu. "Pagi, Pak."

Alvaro berdiri di hadapanku. Dadanya yang polos tak terlindungi selembar kain memamerkan otot perut. Pandanganku turun ke bagian bawah dan menemukan lilitan handuk menggantung di pinggang ramping lelaki itu.

Demi alasan kesopanan kepalaku terangkat secepat kilat. Akan sangat berbahaya bila Alvaro sampai menduga asisten pribadinya sedang menilik 'adik kecil' dibalik handuk. Dan belum tentu kata 'kecil' pada area pribadi bagian bawah lelaki itu gambaran ukuran sebenarnya. Tentunya hal semacam ini membutuhkan pembuktian. 

Astaga, apa sih yang kupikirkan. Bisa-bisanya berimajinasi liar. Ini pasti gara-gara Ditto meracuniku dengan pengetahuan mesum yang didapatnya dari internet.

"Ada masalah, Freya?"

"Oh, tidak, Pak. Ini pakaian gantinya, Pak." Kusodorkan paper bag namun tidak digubris.  

"Masuk. Saya masih butuh bantuanmu."

Bahuku menegang. Keraguan sempat menahan kaki  selama beberapa detik. Entah apa yang akan kutemukan di kamar itu. Siapa yang tahu ada seorang perempuan cantik  sedang memakai handuk  atau masih tertidur dengan selimut sedikit tersingkap dan memperlihatkan kakinya yang jenjang. Mengingat gaya hidup lelaki itu yang cenderung bebas, dugaanku sepertinya tidak berlebihan. 

Alvaro berbalik setelah aku mengangguk. Ruangan kamar Alvaro cukup besar dan nyaman. Dominasi warna emas menghias dinding. Lorong kamar terhubung ke ruang menyerupai ruang tamu pribadi. Sebuah pintu geser dari kayu dengan ukiran dedaunan berada tepat di belakang sofa panjang. Tebakanku dibalik pintu itu merupakan tempat Alvaro beristirahat semalam. 

Sejauh ini ruangan ini tampak rapih. Tidak ada tanda-tanda pernah terjadi pergulatan. Sepanjang penglihatan pun belum kutemukan bukti keberadaan seorang perempuan bersama Alvaro. 

"Duduk. Makan saja yang kamu mau." Alvaro  meraih paper bag yang kuletakan di sofa. Sosoknya menghilang dibalik pintu geser. 

Aku duduk di sofa kecil di depan meja. Tas sengaja kualihkan ke pangkuan. Tubuh tetap tegak walau punggung pegal.

Aneka roti bermacam rasa, buah-buahan dan air mineral dingin terhidang di meja. Dalam situasi berbeda  selara makanku akan tergugah tetapi tidak sekarang. Perut terasa kenyang. Ketegangan membuatku enggan memasukan makanan itu ke dalam perut, khawatr perutku tiba-tiba bermasalah. Yang kuinginkan hanya pamit.

Kalau bukan karena teralih pemandangan dada bidang Alvaro, otakku seharusnya berfungsi dengan baik. Aku merasa lebih aman duduk di kelas selama berjam-jam mendengarkan penjelasan panjang tentang proses rancangan pabrik daripada menghabiskan waktu berdua di dekat lelaki itu. Setidaknya ketika berada di kelas, aku cukup yakin kemampuan akademikku bisa diandalkan.

Bersama Alvaro kepalaku seolah kosong seperti kepompong yang baru saja ditinggal penghuninya. Membedakan suka karena hati atau kagum saja hingga detik ini belum terjawab. Dan yang tidak kalah menjengkelkan, label terlarang untuk mendekati Alvaro secara emosi sering dilanggar. Otak dan tubuh seakan saling bersebrangan.

Aku melirik jam tangan dengan tatapan hampa. Mengejar waktu ke kampus sangat mustahil dalam waktu sepuluh menit kecuali punya kemampuan teleportasi. Selama ini aku jarang absen apalagi izin tanpa kabar.

Deringan samar berdegung dari dalam tas. Aku bergerak cepat meraih ponsel sebelum Alvaro muncul. Bahu terasa enteng oleh perasaan lega mengetahui penelepon tidak lain Ditto.

"Halo, Frey. Kamu di mana? Tumben belum kelihatan di kampus."

"Kayaknya aku bolos mata kuliah Pak Yudi, Dit. Ada panggilan tugas mendadak nih. Dipaksa jalan juga pasti tetap telat. Paling nanti ikut kuliah yang jam sepuluh. Oh ya jangan tandatangani absenku. Bisa gawat kalau Pak Yudi tahu aku titip absen."

"Loh memangnya kamu lagi di mana?"

Aku diam sebentar, menimbang perlu jujur atau tidak. Terkadang Ditto mulutnya sulit dijaga. "Nanti kuceritakan di kampus. Sudah dulu ya, Alvaro datang nih."

Suara pintu digeser terdengar bersamaan menutup sambungan dengan Ditto. Ponsel kumasukan diam-diam  kembali dalam tas. Selang beberapa detik Alvaro muncul. Pakaian yang kubawa sudah melekat sempurna. Wajahnya tampak segar. Helaian basah rambutnya tersisir rapih. Tidak ada suara di kamar utama bahkan pintu geser dibiarkan terbuka lebar.

"Saya tidur sendiri semalam." Ucapan Alvaro menyentak keingintahuanku. Dia seolah mampu membaca rasa penasaran di wajahku. "Sudah cukup informasinya?"

Senyumku kaku karena hanya itu gambaran yang mewakili perasaanku. Ikut campur urusan pribadi Alvaro jelas melanggar aturan. Dilihat dari sudut manapun posisiku tidak menguntungkan jika diberhentikan sepihak terutama masih ada tanggungan hutang pengganti tas yang dicuri.

Alvaro mengambil tempat di sofa panjang. Dia melanjutkan sarapan nyaris tanpa menoleh padaku seakan bentuk fisikku menyerupai udara. Sikapnya tidak membantu membuatku lebih rileks. Godaan menyandarkan punggung ke belakang dan menikmati kenyamanan sofa empuk ditepis untuk sekian kali, khawatir reaksiku dianggap kurang sopan.

"Kamu sudah sarapan?" Suara Alvaro memecah kebisuan. Wajahnya berpaling dari meja ke arahku.

Pertanyaannya terbilang biasa namun sentakan di perut tiba-tiba menggelitik saat pandangan kami bertemu. Bulu roma meremang hanya karena diberi tatapan tajam. Sekuat apapun usaha menyingkirkan perasaan terlarang, entah kenapa gelenyar aneh di perut saat mengingat Alvaro selalu muncul. Rasa ini mirip ketika pertama kali menyadari menyukai Kak Adri hanya saja kali ini lebih kuat.

Butuh waktu lumayan lama untuk mengobati luka hati akibat memendam rasa pada Kak Adri. Itupun terbantu karena kami jarang bertemu.

Aku berharap salah mengenali rasa. Berdoa getaran bodoh semacam ini akan berlalu.

"Sudah, tadi sebelum berangkat ke sini, Pak." Kepala tetap terangkat. Alvaro tidak mengalihkan perhatian. Sikapnya santai saat menyandarkan tubuh ke sofa empuk. "Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?"

"Kamu ada acara?"

Pertanyaan macam apa itu. Bukankah aku sudah mengatakan akan berangkat ke kampus sebelum dia memerintakan membawa pakaiannya ke hotel? Apa ingatannya terganggu setelah bersenang-senang semalam?

"Saya ada kuliah pagi, Pak."

"Dosen yang mengajarimu pagi ini, Pak Yudi?"

"Benar, Pak." Mengingat perusahaan Alvaro sedang menjalin kerja sama dengan kampusku, tidak heran kalau dia mengenal dosen-dosenku."

"Hari ini saya ada janji temu dengan dosenmu sekitar setengah jam ke depan."   Alvaro melirik sekilas jam tangan di lengan kokohnya.  "Kemungkinan jadwal kuliahmu dibatalkan atau ganti hari."

Ucapannya terbukti benar. Ditto mengirim pesan, memberitahu bahwa kuliah pagi ditiadakan karena Pak Yudi berhalangan. Sebagai gantinya kami diberi tugas dan dikumpul minggu depan.

Alvaro bersidekap. Dia telah menyelesaikan sarapannya setelah diriku menyusupkan ponsel ke tempatnya semula. Tatapannya sulit kuartikan sebagai pertanda baik atau sebaliknya. Sebulan berlalu tetapi sikapku masih sulit mengakrabkan diri. Menghadapi Azka jauh lebih mudah. Tidak ada kekhawatiran sekalipun melakukan salah bicara atau tak sengaja bertindak konyol. Azka pasti akan memaklumi atau tersenyum.

Sebenarnya Alvaro bukan tipe atasan cerewet. Sikapnya rileks saat bersama teman-temannya. Meski lebih sering memasang raut serius, tawanya sangat lepas, tidak terkesan dipaksakan atau berpura-pura ketika mendengar candaan yang menurutnya lucu.

Sikapnya berbeda ketika berada di antara orang-orang baru. Aku pikir dia bukan sengaja mencitrakan sebagai lelaki dingin agar menarik perhatian. Romantisme bersama perempuan cantik yang menjadi background di layar komputer menggambarkan kehangatan yang mengundang decak iri. 

"Oh ya, Pak. Sabtu besok dan Minggu Bapak ada acara? Kalau memang tenaga saya dibutuhkan saya mau sesuaikan jadwalnya supaya tidak bentrok kalau saya ada rencana pergi ke luar." 

"Saya belum bisa pastikan. Sebaiknya kamu bersiap saja jika saya menelepon."

Jawaban mengambang Alvaro sama sekali jauh dari harapan. Dia seakan melarangku secara halus. Aku tidak bisa mengambil risiko terganggu di tengah menonton bioskop. Pergi ke luar kota pun sama repotnya bila Alvaro mendadak menyuruh datang ke apartemen. Padahal satu hari dalam seminggu merupakan hari kebebasan dari perintahnya. 

"Keberatan?" 

"Tidak, Pak." Mana mungkin aku mengiyakan jawabannya. Alvaro jelas mengisyaratkan keinginannya lebih diprioritaskan dibanding urusanku yang lain. Sebagai pekerjanya dan masih terikat hutang, mana mungkin aku berani membuatnya kesal. 

"Bersiaplah. Saya ketemu sama dosenmu di restoran hotel ini." Informasi Alvaro membangkitkan ketegangan baru. Bagaimana kalau Pak Yudi melihatku bersama lelaki di hotel? Alvaro tentu akan memberinya penjelasan masuk akal tapi aku belum siap pekerjaan ini terungkap. Semakin sedikit saksi yang mengetahui pada siapa aku bekerja, semakin kecil pula kemungkinan Genta mengganggu hidupku. "Kamu pergi duluan saja. Saya mau menelepon dulu."

"Baik. Terima kasih, Pak."  Aku bangkit perlahan, mempertahankan kesopanan alih-alih berjalan cepat keluar dari kamar ini. Alvaro menelepon seseorang sebelum pintu tertutup. Sorotnya melembut diiringi senyuman. Lawan bicaranya mungkin istimewa. 

Kepala mengeleng kuat. Mengutuk kelebatan nyeri di dada oleh pemikiran. Sakit yang tidak patut ada. Fokus utamaku hanya bekerja dan kuliah. Bila memang menginginkan sentuhan kasih sayang lawan jenis, tentunya bukan lelaki seperti Alvaro. Lelaki yang sulit dijangkau. Lelaki yang tidak mungkin menjadi milikku. 

Sepanjang langkah aku sibuk menendang bayangan Alvaro hingga tidak sempat melihat-lihat suasana hotel. Pertemuan Pak Yudi dan Alvaro memecut kekhawatiran setiap memelankan langkah. Jantung berpacu cepat seiring lonjakan adrenalin yang semakin lama menambah intensitas ketegangan. Kedamaian hidupku telah hilang. 

Pukul sembilan aku menginjakan kaki di kampus. Sejak memasuki gerbang  suasana hati belum berubah. Rasanya ada yang mengganjal namun sulit dihilangkan. Aku harus bicara dengan seseorang. Mia mungkin bisa memberi solusi. 

"Mia." sapaku begitu menemukan sosoknya berada di salah satu meja perpustakaan. "Yang lain mana?" Ketiga teman lelaki kami tak terlihat di ruangan ini. 

"Kantin. Nih tugas dari Pak Yudi. Ditto bilang kamu bakal telat ke kampus." Selembar kertas di sodorkan ke arahku. Ada sekitar sepuluh soal tetapi jawabannya bisa sampai satu lembar lembar penuh kertas folio. 

Kursi di samping Mia kuseret. Wajah perempuan itu tertekuk. Tiga buku tebal dengan tema Ekonomi Teknik masih dalam keadaan belum tersentuh. Catatan miliknya terbuka dan beberapa lembar kertas HVS yang dipenuhi coretan angka-angka. "Susah ya?"

Sebelah tangannya mengusap rambut. "Pertanyaan bukan susah tapi untuk apa repot-repot menghitung perencanaan keuangan yang uangnya sama sekali tidak nyata." 

"Anggap saja rumus-rumus itu sebagai modal non materi. Setidaknya kamu sudah punya bayangan darimana harus mulai mengatur keuangan kalau nanti niat punya usaha. Dinikmati dulu saja soalnya mata kuliah rancang bangun pabrik lebih susah." Aku memasukan lembaran tugas dari Mia dalam tas. 

Mia memerhatikanku yang tidak terusik kegelisahannya. "Argh tambah pusing dong. Apa aku salah ambil jurusan ya?"

"Jangan begitu. Kasihan orang tua kamu sudah keluar banyak uang. Nanti kita kerjakan bareng. Aku juga belum terlalu mengerti sih. Di rumah ada catatan dan contoh tugas tahun kemarin yang kupinjam dari senior."

"Untung aku ada kamu, Frey. Ditto sama Bian terlalu santai. Mereka baru ribut di detik-detik terakhir pengumpulan tugas. Ngomong-ngomong kamu ada masalah? Suntuk begitu kelihatannya. Genta ganggu lagi?" 

Aku mengigit bibir, menghela napas panjang dan mulai menceritakan kegelisahan. Mia mendengar penjelasan dengan antusias. Semua kuceritakan termasuk harus mengganti tas yang diambil pencuri. 

"Kamu boleh bangga dapat nilai di atas rata-rata mata tapi kepekaan sama perasaan sendiri nilainya E minus." Senyuman Mia membuatku ngeri. "Karena banyak pertimbangan perasaanmu yang sebenarnya jadi kabur. Logikamu melarang menyimpan rasa sama Alvaro. Berbanding terbalik dengan perasaan yang tumbuh seiring pertemuan kalian. Cinta tidak bisa memilih tapi bisa dikendalikan. Teorinya begitu sih jadi prakteknya balik lagi ke keputusan akhir  masing-masing individu."

"Menurutmu aku memang seserius itu sama Alvaro? Kayaknya kesimpulannya bukan seperti itu."

"Selama ini kamu mengidolakan lelaki kayak almarhum ayahmu. Secara tidak sadar itu sudah jadi pola di kepalamu bahwa lelaki dengan karakter seperti ayahmu adalah pasangan terbaik. Dan saat Alvaro tiba-tiba muncul, kamu berusaha menyangkal segala bentuk ketertarikan yang mulai tumbuh. Wajar kalau kamu suka sama Alvaro apalagi dalam sebulan kalian bertemu beberapa kali. Aku sendiri mengakui daya tarik visualnya."

"Kalau awal mulanya dari fisik, Genta juga tidak kalah menarik tapi perasaanku biasa saja. Hanya sebatas suka. Bukan perasaan meluap-luap yang membingungkan seperti sekarang."

"Nah itu kamu sudah bisa jawab. Bukan berarti hanya karena ganteng kamu lantas  mencintainya, kan? Meskipun Alvaro biasa saja kalau ada rasa tertarik, cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Tapi mengingat bahasan kita Alvaro, aku hanya bisa mendukung apapun pilihanmu. Aku juga tidak mau kamu terluka. Setidaknya sekarang kamu memahami reaksi aneh setiap berdekatan sama dia."

"Ada cara cepat menghilangkannya?"

Mia menggeleng. "Kalau bisa instant tidak ada yang namanya gagal move on. Mungkin kamu butuh pengalihan. Gimana kalau Minggu malam kita jalan-jalan ke daerah Dago. Kemarin sepupuku bilang ada kafe merangkap perpustakaan di daerah sana. Banyak mahasiswa ganteng yang suka nongkrong. Siapa tahu salah satunya cocok asal bukan Genta."

"Minggu malam ya," gumanku sambil memijit kening. Seharusnya tidak ada masalah. Kemungkinan besar lusa  Alvaro  sudah kembali ke Jakarta. 

"Ayolah. Jangan belajar terus biar tidak suntuk." Mia menutup catatan miliknya. "Kamu masih butuh uang tambahan? Kebetulan tetanggaku lagi cari guru privat. Anaknya laki-laki kelas dua belas. Orang tuanya khawatir anaknya tidak lulus UN.  Disuruh ikut bimbingan belajar bolos terus. Sebenarnya anaknya baik sih cuma ya gitu susah belajar. Kalau kamu mau nanti aku tanya lagi berapa gajinya."

"Kamu kan tahu sendiri ritme pekerjaanku tidak jelas. Paling bisanya malam, itupun kalau Alvaro tidak kasih tugas."

"Soal itu gampang, bisa diatur yang penting kamu mau dulu. Soalnya tetanggaku sudah stres, hampir angkat tangan ngebujuk anaknya biar mau belajar. Siapa tahu kalau sama kamu mau nurut." 

"Loh, apa hubungannya sama aku?

"Kamu kan, cantik, sabar lagi kalau lagi ngajarin aku sama Ditto. Bian saja sampai bilang otak kita bebal."

"Aku pikir dulu deh. Tidak enak sama tetanggamu kalau aku kasih harapan palsu."

"Nah, gimana rencana malam minggu kita? Aku nanti ajak Ditto. Bian kayaknya tidak bisa ikut. Dia pergi ke luar kota sama keluarganya malam ini."

"Ya sudah, aku ikut tapi kamu yakin Genta tidak ada di sana? Kamu tahu sendiri dia suka kumpul sama teman-temannya di tempat-tempat bagus."

"Tenang saja. Konsep restorannya mirip perpustakaan bukan yang restoran mewah apalagi kafe gaul. Si Genta mana suka sama tempat kayak gitu. Paling dia pilih clubbing.

*****

Hari Sabtu terlewati dengan tenang. Tidak ada panggilan masuk sejak pagi dari Alvaro. Lelaki itu membuat momen untuk bersantai terganggu. Aku terpaksa sudah rapih dari jam enam pagi padahal waktu libur adalah momen di mana aku bisa berleha-leha sepuasnya. 

Niat pergi makan di luar rumah atau menonton harus tersingkir dari rencana. Sayang rasanya mengeluarkan uang demi sesuatu yang kemungkinan tidak bisa dinikmati sampai selesai. Aku sedikit terhibur setelah mendengar suara Mama, bicara sebentar dengan Evan sekaligus menyapa Kakek dan Nenek lewat sampungan telepon. 

Mama agak curiga karena salah satu tetangga pernah menelepon, memberitahu kalau aku jarang terlihat di rumah kecuali akhir minggu. Aku berusaha meyakinkan Mama bahwa memang lumayan sering menginap di rumah atau tempat kos teman yang dekat dengan kampus. Dia cemas karena kadang aku sulit dihubungi. Sebagai orang tua, Mama memintaku bisa menjaga diri. Aku merasa kasihan karena sebenarnya Mama selalu memikirkanku yang tinggal sendiri.  Setelah dijelaskan pelan-pelan tentang kesibukan di kampus akhirnya Mama bisa mengerti. 

Situasi sementara ini mengharuskan kami tinggal terpisah. Aku tidak mungkin ikut pindah karena sudah terlanjur kuliah. Perkembangan Evan di sana semakin baik. Dia sudah punya banyak teman walau kosakata yang dikuasainya belum terlalu banyak. Keluarga Mama punya sawah, kolam, kebun dan beberapa unggas. Mereka tidak akan kekurangan makanan hingga Mama bisa menabung untuk kebutuhan Evan. Aku pun masih diberi uang bulanan meski jumlahnya tidak banyak. Sejak bekerja uang itu sama sekali belum kugunakan. 

Minggu malam tiba. Seperti hal nya kemarin, sengaja diriku bersiap-siap dari pagi. Semua rencana kubatalkan demi berjaga-jaga mendapat panggilan. Dan hingga malam mulai gelap deringan tidak pernah terdengar. Untuk mengisi waktu aku mengerjakan tugas dari Pak Yudi. Mia rupanya benar. Tugasnya lumayan sulit. Kegiatan itu cukup membantu mengalihkan kekesalan. 

"Sudah siap?" Mia muncul tepat pukul delapan. Dia memakai sweater hijau tosca dan jeans abu-abu. Rambunya di kucir kuda. Polesan wajahnya agak tebal, lengkap dengan pewarna mata senada dengan sweaternya. Pipi dan bibirnya merah merona. "Pakai jaket atau cardigan. Kayaknya mau hujan. Tempatnya lumayan dingin."

Aku memerhatikan pakaianku. Penampilanku terbilang biasa. Kemeja santai bergaris putih hitam , jeans biru tua dan tidak lupa converse kesayangan. Rambut sengaja kuikat karena dari kemarin malas keramas. Tubuhku berbalik menuju kamar, mengambil cardigan hitam dari tumpukan pakaian di lemari sembari memastikan tidak ada yang aneh di wajah saat bercermin sebelum kembali menemui Mia.

Ditto sudah menunggu di balik kemudi. Mia duduk bersama lelaki itu sementara aki mengempas kursi belakang. Ditto mengatakan Kak Adri meminjamkan kendaraannya sewaktu tahu aku akan pergi bersamanya.

Alvaro dan masalah lain terlupakan sejenak. Obrolan sepanjang perjalanan berhasil mengalihkan kerumitan yang kupikirkan selama ini. Ditto sempat mengatakan kalau dia rumor Genta menjadi perwakilan kampus sudah banyak yang tahu. Bahkan lelaki itu katanya mengalihkan posisi penerima beasiswa pada mahasiwa lain.

Mia meminta memotong pembicaraan Genta karena khawatir merusak mood-ku. Aku sendiri sudah pada tahap masa bodoh. Gaya pencitraan Genta tidak lagi kusambut tepuk tangan. Lelaki memang itu tidak butuh beasiswa. Dia memiliki mobil yang harganya lebih mahal dari total uang kuliahku sampai lulus.

Aku meraih cardigan di samping tas. Hujan mulai turun. Cuaca dingin menebus ke dalam mobil padahal AC sudah dimatikan.

Kendaraan yang kutumpangi bergerak menjauhi pusat kota. Keramaian berganti sunyi di antara deretan rumah penduduk. Jalanan menyempit hanya bisa dilalui dua mobil bersisian.

Tempat yang kami tuju letaknya ada di atas bukit. Memang agak jauh dan beberapa ruas jalan kondisinya tidak terlalu bagus.

Sekitar jam sembilan kami akhirnya tiba.   Restoran yang mirip perpustakaan ini buka hingga tengah malam saat weekend. Dari pelataran parkir kami dapat melihat lampu-lampu rumah berkelap kelip seperti rumah peri dalam dongeng. Tapi sayang hujan semakin deras dan artinya yang terlihat hanya kegelapan.

Aku berjalan di belakang Mia dan Ditto mengikuti seorang pelayan yang membawa kami menuju sebuah meja. Dinding berwarna cokelat dihiasi lukisan atau gambar dengan tema buku. Alunan musik klasik lembut terdengar cocok sebagai teman membaca. Sofa yang disediakan tampak nyaman dan empuk. Coraknya beraneka warna-warna hangat.

Di belakang meja kami ada sebuah rak berisi majalah dan novel. Aku lebih tertarik melihat-lihat bacaan daripada mengamati pengunjung restoran. Sejak masuk perhatianku tersita mengagumi pengisi ruangan. Aku tidak terlalu peduli seandainya ada artis di sana.

Ditto duduk di sampingku. Keningnya mengernyit melihat novel yang kubawa. Genre romantis bukanlah kesukaannya. Dia lebih suka komik superhero daripada novel. Mia sibuk membolak-balik menu di depan kami tanpa mengindahkan obrolanku dan Ditto.

Kedua teman lelaki di kampus, aku merasa nyaman di dekat Bian dan Ditto. Kami sudah mengetahui kejelekan masing-masing. Persahabatan kami murni tanpa melibatkan perasaan selain sayang layaknya saudara. Tipe favorit keduanya pun tidak mendekati karakterku maupun Mia.

Itu sebabnya Genta mencoret keduanya dari daftar lelaki yang dicurigainya dekat denganku. Meski kadang menganggap interaksi kami berlebihan.

Mia memanggil pelayan dan menyebut satu persatu pesanan kami. Berhubung cuaca sedang dingin, aku memilih makanan berkuah. Sop buntut dengan kuah pedas dan segelas teh hangat.

Setelah menunggu hampir lima belas menit pesanan kami datang. Aku melirik spageti di hadapan Ditto. Tampilannya menggugah seleraku padahal gambarnya di menu biasa saja. "Minta dong, Dit."

Ditto menyuapiku tanpa ragu. Mia yang menyaksikan memasang raut biasa sambil meneruskan menyuap makanannya. Ditto juga akan melakukan hal serupa andai Mia meminta.

Kami melanjutkan mengobrol sambil makan. Sesekali gelak tawa menyela pembicaraan sewaktu mendekar candaan Ditto. Suasana terasa hangat hingga tanpa sengaja kepalaku berputar ke arah samping saat melemaskan leher.

Pandanganku terkunci pada seseorang, Alvaro. Dia sedang bersama seorang perempuan berambut panjang dan berkulit kecokelatan, tipe kesukaannya. Kami terpisah oleh dua meja tapi aku masih bisa melihat kecantikan perempuan itu. Matanya bulat, hidung mancung dan bibir penuh. Dress hitam yang dipakainya memperlihatkan lekuk tubuh. Pakaiannya menurutku kurang cocok di tempat seperti ini.

"Gawat. Bahaya." Mia kebingungan melihat posisi dudukku miring ke arah Ditto.

"Bahaya apa? Ada Genta? Jangan khawatir, biar aku yang urus." Ditto menepuk punggungku saat aku meraih teh hangat.

"Bukan Genta tapi... "

"Malam, Freya."

Kepalaku reflek berpaling ke samping, hampir tersedak namun berhasil menguasai keterkejutan. Alvaro berdiri di sana. Tersenyum sekaligus memamerkan deretan giginya yang rapih. Pakaiannya masih sama dengan yang kubawa pagi tadi. Hanya saja ujung kemeja sekarang digulung hingga siku. Satu kancing paling atas dibiarkan tidak terkait.

Aku sontak berdiri sementara Mia dan Ditto saling pandang. "Malam, Pak. Maaf saya tidak tahu kalau Bapak di sini juga. Oh ya kenalkan ini Ditto dan Mia. Keduanya teman saya di kampus. Kami satu angkatan dan jurusan."

Ditto dan Mia bangkit bersamaan lalu memperkenalkan diri, menyebut nama saat menjabat tangan Alvaro.

"Kamu pacar Freya?" Alvaro menunjuk Ditto dengan dagunya. Aku tidak tahu kenapa dia melontarkan pertanyaan tak masuk akal. Jangan bilang kalau dia melihatku disuapi Ditto?

"Bukan, Pak. Freya... " Mia terdiam sesaat, menyadari isyarat mataku. "Freya belum punya pacar tapi yang suka banyak," lanjut sahabatku pura-pura tenang.

"Benar, Pak. Freya banyak yang suka tapi kebanyakan mundur kecuali..." Ditto meringis, tidak menyelesaikan ucapannya saat sepatunya kuinjak.

"Bapak mau gabung?" tawarku tanpa berpikir panjang karena serangan panik.

"Tentu. Terima kasih." Darah rasanya turun dari kepala. Ada angin apa sampai Alvaro setuju satu meja dengan teman-temanku. Aku mengira Alvaro akan menolak. Seharusnya dia sedang dalam perjalanan atau bahkan sudah sampai di Jakarta, bukan di sini, di tempatku menikmati sisa hari libur.

"Tapi pacar Bapak bagaimana?" Kulirik meja yang Alvaro tempati. Meja itu sudah kosong.

"Saya sedang tidak punya pacar. Kamu tidak perlu mengkhawatirkannya. Teman saya sudah pulang. Dia bawa mobil sendiri."

"Oh." Ucap Ditto dan Mia bersamaan.

Sial.

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro