Chap # 3
Keheningan menyelimuti sepanjang jalan. Tubuhku kaku dan sedingin es balok. Sentakan demi sentakan dalam perut memperparah usaha tetap duduk tenang. Lantunan doa dalam hati tidak berhenti terucap. Berharap kendaraan yang kutumpangi segera sampai tujuan dan tidak melakukan kesalahan memalukan seperti mengeluarkan suara dan aroma tak sedap.
Tidak pernah terbersit situasi akan secanggung ini bersama Alvaro. Seharusnya ia meneruskan rencana pergi ke mana atau dengan siapa seperti perkataannya semula. Dengan begitu diriku bisa menemui Genta untuk memintanya berhenti menganggu. Andai Alvaro mendadak tidak bersikap seakan ingin tahu di mana tempatku tinggal, sebelum jam menunjuk angka sembilan, aku sudah bergelung dalam kehangatan selimut.
Tapi takdir berkata lain. Di sinilah aku berada sekarang. Berdua dalam ruangan sempit dan canggung. Setidaknya pihakku yang merasakannya. Alvaro sendiri sangat tenang bahkan mendekati tak acuh. Harus kuakui daya pikat lelaki ini sulit diabaikan, terlalu kentara terutama saat mencuri pandang ketika ia sedang menyetir. Garis wajahnya serius dari samping. Jemari yang kokoh mencengkram kemudi sementara punggungnya bersandar santai di kursi.
Jika harus menilai secara fisik, Alvaro mendekati sempurna, setidaknya dari sudut pandangku. Sebagai perempuan biasa terkadang diriku tergoda memperhatikannya. Hanya saja semua tidak lebih dari kegaguman semata. Ia terlalu menonjol, mudah menjadi pusat perhatian. Aku lebih menyukai seseorang yang sekiranya tidak membuatku cemas dengan kehidupan di luar hubungan kami.
Tanpa sadar kuhela napas. Penilaianku mungkin terlalu objektif. Kekaguman hanya berdasar keterkaitan hubungan kerja di antara kami. Terlebih diriku hanya mengetahui pengusaha lain melalui media dan rata-rata mereka sudah paruh baya. Satu yang pasti kemungkinan Alvaro menyukai perempuan sepertiku sangat tipis. Kesalahpahaman menyangkut hati atau terlalu terbawa perasaan hanya karena diperlakukan baik harus kutendang jauh. Patah hati adalah jawaban perandaian bila diriku berani melanggar batas.
"Kamu bosan?"
Suara merdu Alvaro mengambalikan kesadaran. Senyumku menyungging saat menoleh. "Tidak, Pak. Sebentar lagi sampai. Di depan setelah mini market, belok kiri. Rumah saya kira-kira lima ratus meter dari belokan."
"Oh yang dekat yang jual kue pisang ya."
Keningku berkerut. Tebakan Alvaro benar. "Bapak tahu?"
"Dulu pernah beberapa kali lewat daerah ini," sahutnya datar. Mulutku kembali mengatup. Menahan keingintahuan dirasa tepat.
Bulu roma sontak berdiri begitu menyadari sesuatu. Terlalu fokus pada Alvaro membuatku melupakan Genta. Akan sangat berbahaya jika dia masih berada di depan rumah. Kekhawatiran semakin mencekik. Genta selalu emosional jika melihat lelaki lain selain orang yang dikenalnya mendekatiku.
Setelah berpisahpun ketidaknyaman itu terus bercokol dalam kepala. Mia sempat mengatakan bahwa Genta berpengaruh buruk untukkku. Toxic, berbahaya dan harus enyah. Aturan setengah pengancamannya kadang berhasil membuatku tak nyaman walau secara fisik Genta berada di tempat lain.
"Ada masalah, Freya? Kamu khawatir ada yang melihat kita?" Teguran Alvaro nyaris terdengar biasa tetapi entah kenapa aku bisa merasakan kekesalannya. Dia bertanya keberadaannya merupakan kesalahan besar.
"Bukan begitu, Pak." Akhirnya suaraku bisa keluar setelah susah payah menenangkan diri. Rasanya sangat kesal. Segala sesuatu tentang Genta membuatku takut.
"Kalau begitu jelaskan kenapa wajahmu pucat sekali."
Kenapa Alvaro memperumit keadaan? Kenapa dia tidak diam saja dan menunggu tanpa banyak bertanya seperti biasa?
"Mm mungkin karena telat makan, Pak." Lidah mulai pandai berbohong dan aku tidak bangga karenanya.
Mobil berhenti di samping pagar rumah. Kelegaan perlahan meluruh ketika tidak menemukan sumber kegelisahan. Baik kendaraan maupun sosok Genta tak terlihat sepanjang mata memandang.
"Kalau begitu ambil barang yang kamu butuhkan. Kita pergi makan sebelum kembali ke apartemen."
"Saya bisa pulang sendiri, Pak. Bukannya Bapak ada acara?"
"Sudah saya katakan jangan mengurusi urusan saya bila tidak diperintah." Meski kesal aku menuruti permintaannya. Tanpa membuang waktu bergegas menuju rumah. Diriku mengambil buku catatan secara asal karena sebagian besar jurnal sudah berada di apartemen.
Selang sepuluh menit, aku sudah kembali ke mobil. Kami melanjutkan perjalanan menuju arah apartemen. Sebelum pulang Alvaro mengajak makan di sebuah restoran seafood. Letaknya tidak terlalu jauh dari apartemen. Aneka makanan yang dihidangkan sebenarnya mengugah selera tetapi perasaan waswas menganggu memaksaku menghabiskan makanan dengan cepat. Aku masih ingat kalau restoran ini salah satu favorit Genta. Selain itu lelaki di hadapanku mengambil porsi makanan hanya sedikit sementara makanan yang dipesan lebih dari dua macam.
"Saya tidak suka melihat masakanan tersisa banyak." Kalimat itu seolah perintah untukku menghabiskan semua makanan sementara cara makan Alvaro seperti perempuan yang sedang diet.
"Maaf, Pak. Saya tidak mungkin menghabiskan makanan-makanan ini sendirian." Kutatap piring bersisi kepiting saus padang dan Ikan bakar yang belum tersentuh. Telat makan membuatku nafsu makanku hilang.
Alvaro terdiam, meletakan ponselnya di meja lalu memanggil pelayan. Dia meminta makanan yang belum dimakan untuk dibungkus. Setelah membayar dan melanjutkan perjalanan, Alvaro memintaku menghabiskan semua makanan yang dibawa. Menurutnya aku terlalu kurus dan butuh energi agar tidak gampang sakit. Ia tidak ingin rencananya kacau karena aku sakit saat diberi tugas.
Aku berdecak dalam hati. Baru saja gembira karena mengira memiliki Bos yang perhatian sama anak buahnya. Ternyata perlakuan Alvaro semata-mata agar keinginannya tidak terganggu karena diriku sakit.
Hari pun berlalu dan menyisakan setumpuk masalah yang harus kuhadapi di kampus. Beruntung Alvaro belum memberikan tugas selain mengurus rumah atau mengambil pakaian di laundry. Meski begitu bukan berarti bisa berleha-leha. Sekalinya memberi tugas, waktunya kadang selalu berdekatan dengan jadwal kuliah.
"Kamu bikin ulah lagi sama Genta?" Mia menjajari langkahku keluar dari kelas terakhir. Konsentrasi terpecah selama di kelas. Penjelasan dosen keluar masuk kuping beruntung sudah semua sudah dicatat.
Penyebabnya tidak lain adalah Genta. Tanpa angin dia mendatangiku saat makan siang di kelas. Pembicaraan kami seputar penolakanku malam itu. Spekulasinya tentang siapa yang dekat dengan diriku membuatku muak. Orang-orang pada akhirnya memang mengetahui kami sudah berpisah tetapi menganggap perhatian Genta padaku sangat manis. Mereka tidak tahu rasanya menjadi diriku.
"Dia selalu berulah saat tidak berhasil mendapatkan keinginannya. Aku heran kenapa masih saja ada yang memujanya dan menyebutku perempuan bodoh. Mereka boleh mendapatkannya kalau mau. Demi Tuhan, aku ikhlas," gerutuku sambil mengusap leher.
Mia merangkul bahuku, menyusuri koridor yang mulai sepi ditinggalkan para mahasiswa. Dua tahun lebih kampus menjadi rumah ke dua. Bangunan fakultasku cukup besar. Ada taman yang biasa digunakan mahasiswa untuk berkumpul. Deretan kios makanan di kantin menyajikan aneka makanan dan cukup murah. Semuanya memberi kesan nyaman kecuali Genta.
"Sabar saja. Tunggu sampai ada mahasiswi baru. Siapa tahu posisimu tergantikan."
"Aku berharap Genta mendapat pasangan yang setipe dengannya. Supaya tidak ada lagi perempuan yang jadi korban obsesinya. Siapapun ingin dicintai tapi kalau sudah terlalu posesif, itu bukan pertanda baik."
"Dan kamu beruntung berhasil melepaskan diri dari jeratannya." Mia melirik padaku setelah kami keluar dari lobi. "Bagaimana dengan bos mu? Odit bilang orangnya ganteng. Aku juga sudah lihat di internet. Gimana rasanya bekerja sama orang seperti dia?"
"Biasa saja namanya juga kerja. Lagian ganteng atau tidak bukan kriteria penting. Selama orangnya baik dan gaji lancar, aku sudah bersyukur. Lagian aku sadar diri tidak termasuk tipe perempuan yang dia sukai."
"Jangan bilang kamu belum move on dari Kak Adri." Kupelototi Mia. Di antara sahabat dekat, hanya dia yang kupercaya jadi tempat mencurahkan isi hati. "Aku bukan penganut tipe tertentu. Yang jelas orang itu bisa membuatku nyaman, terlindungi dan sayang sama keluarga. Lelaki seperti Ayah."
"Kalau cuma itu aku kira ada banyak di luar sana."
"Ya dan mungkin aku akan berakhir dengan salah satu dari mereka."
Mia menghentikan langkahnya saat kami memasuki parkiran motor. Pandangannya memperhatikan sekeliling. Matanya mencari-cari sesuatu. "Kupikir Genta bakal nunggu kamu sampai sore."
"Sepertinya dia percaya omonganku. Aku sudah bilang padanya tidak sedang dekat sama siapapun. Dia bisa cek sendiri kalau mau. Genta sempat membahas soal beasiswa. Aku harus cepat lulus supaya bisa lepas dari gangguannya."
Mia meraih helm yang digantung di motornya. Kendaraan kami kebetulan bersebelahan. "Dia sudah gila. Obsesinya padamu tidak masuk akal. Berhati-hatilah. Sebaiknya simpan nomor polisi kalau perlu. Kamu tidak tahu kapan butuh bantuan."
"Genta memang menyebalkan tapi aku tidak berpikir dia mampu melakukan tindak kriminal."
"Dunia ini keras, Frey. Hati manusia bisa berubah-ubah. Selalu waspada tidak ada salahnya. Sudahlah, kita cepat pulang."
Kuraih helm lalu menyalakan mesin motor. Mia melambaikan tangan saat lebih dulu meninggalkan parkiran. Hidup memang berliku. Ada kalanya manusia berada di puncak dunia dan siapa yang tahu kapan berdiri di ujung kegelapan. Bergelung dengan pikiran negatif akan menutup pintu kebahagiaan. Selama melangkah di jalan yang benar, meski mengandalkan sebuah lilin sebagai satu-satunya sumber cahaya, itu lebih baik daripada berdiam diri memeluk ketakutan.
Niatku dipertanyakan saat seseorang tiba-tiba bergerak ke tengah jalan tepat sebelum motorku keluar gerbang kampus. Ia berjalan cepat dan memberi isyarat agar aku mematikan mesin. Dengan terpaksa karena tidak ingin membuat keributan, motor kutepikan dekat pos satpam.
"Ada apa lagi? Ini sudah sore. Aku capek, mau pulang," kataku sebelum Genta membuka mulut. Posisiku tetap duduk di jok motor.
"Belakangan ini kulitmu kurang terawat. Tanganmu juga belang karena tidak pakai sarung tangan kalau naik motor. Seharusnya kamu bisa lebih bersih." Kritikan Genta memang sesuai kenyataan. Kadang aku mengabaikan merawat diri kalau terlalu lelah, bahkan tidur tanpa membersihkan badan lebih dulu. Tapi kepeduliannya membuat perasaanku memburuk. Tindakanku tidak pernah cukup bagus di matanya.
"Terus apa hubungannya denganmu? Hidupku bukan urusanmu. Jangan mengatur apa yang harus kulakukan. Pedulikan saja perempuan yang sedang dekat denganmu."
"Kamu cemburu?"
Bola mataku berputar sambil menggeleng. Cengkraman tanganku di stang motor menguat, menahan diri untuk tidak memukul wajah yang selalu dibanggakan Genta. Dibanding diriku kulitnya memang lebih bersih, licin tanpa noda. Rambutnya selalu rapih, klimis seakan baru saja keramas dengan minyak. Wewangian yang dipakainya menusuk hidung. Dan ia terlalu sadar diri, berpikir semua orang menilai penampilannya di atas rata-rata hingga menganggap penilaiannya patut didengar.
"Untuk apa cemburu? Aku tidak peduli kamu pacaran sama siapa."
Genta menatap kesal. Ia selalu merasa diriku seharusnya tersanjung karena disukai olehnya. Aku membalas tatapan Genta. Dari topi hingga sepatu yang dipakai lelaki itu dari brand ternama dan mahal. Ia tidak akan pernah mau memakai barang berharga di bawah lima ratus ribu sekalipun modelnya bagus.
"Habis kuliah besok kita nonton ya? Ada film bagus nih."
"Coba kutebak, film action atau superhero? Aku tahu kamu paling anti nonton film horror," dengusku kesal. Setiap kali menonton film dengannya kami selalu berdebat. Genre film kami bertolak belakang. Aku mencoba mengalah tetapi Genta enggan melakukan hal serupa hingga terpaksa menonton sendiri-sendiri jika jam tayangnya sama.
"Minggu ini tidak ada film horror."
"Kalau misalnya ada gimana?" Kepalaku menggeleng. Akhir pembicaraan sudah bisa ditebak. "Sudahlah, Ta. Kamu ajak siapa kek. Aku pengin istirahat. Capek banyak tugas," dalihku mencari alasan paling masuk akal.
Pandangan Genta menelisik kejujuranku. "Bukannya karena ada laki-laki lain?"
"Sampai detik ini tidak ada. Tidak ada." Kalimat itu kukatakan lambat-lambat supaya Genta bisa membaca emosiku. Sikapnya sangat menjengkelkan bahkan ketampanannya tidak membantu menumbuhkan rasa cinta.
Ia akhirnya membiarkan diriku meninggalkan kampus. Ekspresi kepuasan yang ditunjukannya membuatku ingin menjauh. Sebagian teman yang memujanya mengganggapku bodoh karena melepas lelaki seperti Genta. Mereka tidak tahu kalau hingga detik ini aku belum sepenuhnya 'bebas'.
Pukul enam malam aku tiba di apartemen. Sengaja diriku berputar mengelilingi daerah sekitar apartemen untuk mengobati perasaan yang terlanjur memburuk.
Rencana dalam hati tersusun rapih. Setelah memastikan setiap ruangan bersih, diriku berniat kembali ke rumah. Azka mengatakan kalau Alvaro tidak akan ke Bandung minggu ini. Untuk sementara diriku akan terbebas dari perintah. Aku berniat mengajak Mia pergi Sabtu besok meski harus menghindari tempat-tempat yang biasa dikunjungi Genta lalu menghabiskan waktu mengobrol hingga malam.
Siulan terhenti ketika membuka pintu apartemen. Perasaan mendadak tidak enak. Firasat menjadi kenyataan. Dua lelaki kutemukan sedang bersantai di ruang tengah. Keberadaan keduanya memaksa diri bersikap sesopan mungkin dan berharap siulan tadi tidak terdengar.
"Sore, Frey. Baru pulang kuliah?" Azka menoleh lalu tersenyum. Ia mengenakan pakaian kasual. Kaus dan jeans. Begitu juga lelaki di sebelahnya, Alvaro.
"Iya, Pak," jawabku kaku. "Maaf, saya pulang agak malam. Saya pikir Pak Alvaro tidak ke Bandung minggu ini."
"Apa kedatangan saya menganggu acara kamu?" Ucapan Alvaro terkesan menuduh.
Kepala reflek menggeleng. Aku tidak berani mengacaukan mood Alvaro. Setelah mengantarku ke rumah tempo hari, aku merasa harus lebih berhati-hati padanya.
"Tidak, Pak. Maksud saya, Pak Azka sebelumnya bilang kalau Bapak tidak akan datang. Jadi saya tidak siap-siap dulu."
Alvaro tiba-tiba bangkit. Kedua alisnya yang menyatu membuatku mengira baru membangunkan harimau tidur. "Memangnya apa yang mau kamu siapkan? Apa kamu membuat kekacauan di apartemen ini?"
"Bu... Bukan begitu, Pak. Saya tidak melakukan hal aneh-aneh. Serius, Pak... " Di tengah kepanikan pikiranku mendadak kosong.
Azka tergelak seolah melihat sesuatu yang lucu sementara Alvaro meneruskan langkahnya ke dapur. Situasi jauh dari harapan. Keinginan melepas lelah tanpa gangguan terkikis kenyataan.
Tapi keberuntungan belum sepenuhnya pergi. Keberadaan Azka sedikit menenangkan. Itu artinya diriku memiliki seorang yang akan berpihak seandainya melakukan kesalahan.
"Simpan dulu barang-barangmu lalu kembali ke sini. Kita pergi makan. Kami sengaja menunggumu." Senyuman Azka tampak tulus. Memberi hawa segar di tengah himpitan ketegangan.
"Kita tidak jadi pergi." Suara Alvaro memaksa kepala menoleh padanya. Ia berhenti tidak jauh. Sekitar lima langkah dari tempatku berdiri. "Pesan saja makanan ke sini."
Mulutku mengering, bukan karena menginginkan air mineral dingin digenggamannya melainkan sedikit takut melihat ekspresi lelaki itu. Nyali menciut, pasrah bila ternyata Alvaro menganggapku telah melakukan kesalahan.
Detik demi detik berlalu tanpa suara hingga dehaman Azka mengembalikan kesadaran. Alvaro telah berlalu. Ia duduk kembali bersama sahabatnya.
"Sampai kapan kamu mau berdiri? Cepat taruh barangmu dan pesankan makanan," tegur Alvaro.
"Baik, Pak. Sebentar." Setengah berlari kaki bergerak menuju pintu belakang. Salah satu tali sepatu lepas saat melangkah. Aku baru menyadarinya tepat sebelum terjatuh karena menginjak tali itu. Lutut yang terbentur sakitnya tidak seberapa, malunya yang luar biasa.
Dalam keadaan genting atau stres, sifat ceroboh selalu muncul. Aku belajar mengendalikan ketenangan tapi pembicaraan dengan Genta berhasil mengikis kesabaran. Kemunculan Alvaro memperkeruh suasana hati.
"Ceroboh." Suara Alvaro terdengar samar. Setengah meringis sambil mengusap lutut aku berusaha bangkit lalu meneruskan langkah ke kamar.
Sisa malam kuhabiskan menemani Azka dan Alvaro hingga keduanya pergi sekitar pukul delapan malam. Aku bisa bernapas lega dan beristirahat. Azka memintaku tidak menunggu keduanya. Kemungkinan mereka baru pulang lewat tengah malam.
"Selamat bersenang-senang, Pak. Hati-hati di jalan."
"Hm," balas singkat Alvaro. Ia berjalan lebih dulu, diikuti Azka yang tersenyum padaku sebelum pintu tertutup.
Keesokan hari aku pergi ke kampus seperti biasa. Apartemen kupastikan dalam keadaan bersih sebelum pamit. Alvaro tidak berkata apa-apa. Sikapnya agak mencemaskan. Ia bisa saja memberi perintah di waktu liburku.
Mia mengajak pergi malam nanti untuk merayakan ulang tahun Bian . Aku tidak segera memutuskan mengingat Mia bersikeras memakai salah satu gaun malam miliknya. Keberadaan Alvaro menjadi salah satu alasan keraguan. Bagaimana kalau ia menyuruh membeli atau mengambilkan sesuatu di saat kami berkumpul?
Desakan Odit dan Bian mengubur keresahan. Keduanya berjanji akan membantu bila Alvaro memberi tugas di sela acara.
Aku jarang pergi malam hari saat tinggal dengan keluarga. Sebagian besar waktu habis menemani Evan.
Mia tampak puas berhasil membujukku memakai salah satu pakaiannya setelah beberapa kali diriku menolak gaun miliknya karena terlalu minim. Blouse warna cream dengan aksen renda melekat di tubuh. Ukurannya sedikit kecil hingga membentuk lekuk di bagian dada. Sementara rok di atas lutut dan sepatu flat melengkapi penampilanku. Mia menyerah dengan penolakanku sewaktu menyodorkan koleksi high heels miliknya.
Penampilan Mia cukup modis. Gaun hitam tampak kontras dengan kulitnya yang putih. Biasanya caranya berpakaian menyesuaikan tempat dan berani agak seksi bila ada teman yang menemani. Pakaian sehari-harinya pun terbilang sopan dan biasa saja.
Sebenarnya aku memiliki beberapa pakaian yang menurutku masih layak dipakai ke acara malam tapi Mia bersikeras modelnya sudah ketinggalan.
Kami berkumpul di sebuah restoran. Niat semula hanya menghabiskan waktu menggobrol sambil makan. Odit memuji penampilanku yang dianggapnya berbeda dari hari biasa sementara Bian sengaja menakut-nakuti kalau Genta pasti mengamuk melihatku berpakaian seksi bersama lelaki lain.
"Mau ke lantai atas, tidak? Santai sebentar."
Keningku berkerut mendengar tawaran Bian. Di atas restoran terdapat kelab malam cukup populer saat ini.
"Aku pulang duluan pakai taksi. Kalian lanjutkan acaranya bertiga."
"Ayolah, sebentar saja, Frey. Aku cuma pengin lihat DJ yang tampil. Biaya masuknya aku yang traktir." Bian belum menyerah membujuk. Keputusan Mia dan Odit bergantung pada pilihanku.
Aku menyetujui permintaan Bian karena hari ini ulang tahunnya. Ia juga meyakinkan akan menjagaku dan Mia sampai kembali ke rumah. Bian tidak jarang berulah dibanding Odit.
Selang beberapa menit setelah meninggalkan restoran kami memasuki kelab malam. Hingar bingar musik menyambut layaknya tempat hiburan malam. Aroma rokok dan alkohol bercampur di tengah kumpulan manusia.
Penerangan yang temaram membuatku fokus mengikuti Bian menuju meja yang belum lama ditinggal penjung sebelumnya. Ketiga temanku tampak menikmati suasana dan aku tidak ingin menganggu kenyamanan mereka dengan rengekan. Selama mereka mampu mengendalikan diri aku berniat tinggal hingga Bian memberi isyarat untuk pulang.
Rasa penasaran terusik saat kembali ke meja setelah pergi ke toilet. Sekelompok perempuan muda yang kulewati tampak meminum sesuatu. Mereka bilang rasanya enak, mirip cokelat dan kadar alkoholnya tidak tinggi.
"Serius kamu mau minum?" Bian tidak menyetujui ide itu. Ia masih menoleransi rokok tetapi alkohol berbeda cerita. Menurutnya bersenang-senang tidak harus minum minuman beralkohol. "Meski kadar alkoholnya rendah tetap bisa memabukan kalau minumnya banyak."
"Cuma satu gelas. Tidak akan sampai mabuk lalu kita pulang. Lagipula bos ku sepertinya tidak akan memberi tugas." Kuperhatikam jam tangan yang hampir menunjuk angka dua belas.
"Gara-gara Genta? Kamu tahu, minum-minum saat ada masalah akan menambah masalah baru." Mia mendesah pelan.
"Yah, sedikit. Ayolah, cuma sekali ini saja."
"Oke. Hari ini saja atau aku tidak akan mengajakmu keluar malam lagi. Ibumu bisa marah kalau tahu kamu mabuk."
"Ish. Berhentilah mendramatisir," gerutuku. Kedua tangan bersidekap menunjukan aksi protes. Ketiga temanku cukup perhatian dan menjagaku setelah ayahku meninggal.
Bian menyerah dan memesan minuman untukku. Minuman yang kupilih ternyata rasanya cukup enak. Mia menghentikanku setelah menghabiskan gelas ke empat tepat ketika kepala mulai pusing. Ia juga memarahi Bian yang dianggap lemah mendengarku meminta lebih dari satu gelas.
"Aku cuma pusing, bukan mabuk." Aku membela diri saat diseret pulang.
"Ya, ya. Kata orang yang belum pernah minum," ucap Mia setelah memastikan diriku duduk di kursi belakang mobil Odit sementara Mia diantar Bian. "Sebaiknya kamu menginap saja di rumahku. Besok baru pulang." Ia belum beranjak di samping pintu yang terbuka.
"Tidak. Aku pulang ke rumah saja. Siapa tahu besok Alvaro mendadak minta sesuatu. Besok kamu ada perlu pagi-pagi sekali, kan."
Mia menatap yang sudah duduk di bangku kemudi. "Dit, antar Freya. Hati-hati bawa mobil."
"Iya, beres. Tenang saja."
Mobil yang kutumpangi perlahan menjauhi kelab malam. Odit sesekali bertanya apakah perutku mual. Ia mungkin khawatir aku mendadak muntah di mobil milik ayahnya. Aku lebih banyak memejamkan mata, mencoba menenangkan rasa pusing.
Deringan handphone memaksa mata terbuka. Senyumku mengerucut begitu melihat nama di layar. Odit memperhatikan dari spion dalam.
"Malam, Pak Azka." Sekuat tenaga aku mempertahankan nada suara senormal mungkin.
"Malam, Frey. Kamu tahu tempat makan yang jual bubur sampai pagi?"
"Tahu, Pak. Ada kios bubur lumayan terkenal. Sepengetahuan saya, dagang buburnya sampai pagi."
"Sekarang kamu di rumah atau di luar?"
"Saya lagi di jalan mau pulang ke rumah, Pak. Tadi baru dari acara ulang tahun teman. Bapak mau dibelikan bubur?" tebakku.
"Benar. Bisa kamu tolong belikan?"
Kedua alis Odit menyatu seakan mengetahui pembicaraanku di telepon. "Bisa. Bapak kirim detail apa saja yang mau dipesan, supaya tidak salah." Jemari mengusap kening. Aku terpaksa harus menunda jam tidur.
Tidak berapa lama pesan masuk muncul setelah sambungan terputus. Azka memintaku membelikan delapan bungkus bubur yang berbeda-beda pesanannya. Odit memutar arah menuju kios bubur. Ia menemaniku karena tidak tega membiarkanku menyelesaikan tugas sendirian. Terutama dengan pakaian yang bisa mengundang tatapan genit kaum adam. Kios bubur yang akan kami datangi tidak pernah sepi apalagi di malam minggu.
Odit memarkirkan mobilnya agak jauh dari kiosk arena tempat parkir penuh oleh kendaraan lain. Ia bersikeras menemaniku saat kuminta menunggu di mobil. Jaket miliknya disampirkan di bahuku untuk mengurangi kesan seksi walau aku sama sekali tidak merasa seperti yang Odit tuduhkan.
Sejumlah kursi yang disediakan tampak penuh bahkan hingga ke pinggiran kios. Sebagian besar pengunjung didominasi anak muda. Odit merangkul bahuku ketika pandangan mata memperhatikan kami. Aku sendiri sibuk mengenyahkan rasa pusing.
Sekitar setengah jam menunggu, pesananku akhirnya selesai. Aku baru menyadari pandangan orang-orang sekembalinya ke mobil. Dua orang lelaki seusia kami sempat mendekat dan mengajak kenalan ketika Odit memintaku duduk di kursi kosong saat ia memesankan bubur. Permintaan keduanya kubalas tak acuh, membalas sekadarnya.
"Pada dasarnya kamu cantik, Frey. Dipoles dikit sama Mia makin kelihatan auranya. Cuma mungkin kamu terlalu cuek dan sering menilai kurang diri sendiri. Wajar saja kalau Genta belum rela kehilangan kamu." Perkataan Ditto kuabaikan. Penilaiannya sebagai sahabat terkadang berdasar rasa kasihan.
Mobil Ditto berhenti di pelataran parkir apartemen. Aku memintanya menunggu. Jumlah pesanan bubur yang diminta membuatku menebak ada lebih dari dua orang di apartemen Alvaro. Mereka mungkin sedang bersenang-senang. Keberadaan diriku hanya sebatas pengantar makanan bukan tamu undangan.
Tawaran penjaga keamanan untuk mengantarku pun kutolak halus. Kedua tangan masih sanggup menahan beban plastik berisi bubur. Yang perlu kulakukan hanya menyelesaikan tugas lalu pulang ke rumah.
Meski begitu berada kesunyian kadang memunculkan imajinasi menakutkan, terutama saat berada di lift sendirian atau kala menyurusuri koridor. Sekalipun film horror merupakan salah satu genre yang kusukai, sejak tinggal di apartemen diriku menghindari tontonan semacam itu bila tidak ingin jadi dihantui mimpi buruk. Tapi sifat keras kepala mencegahku meminta tolong ditemani.
Kuhela napas panjang begitu sampai di depan pintu. Senyum dipastikan menyungging sebelum menekan bel. Kepala yang berat berhasil diabaikan untuk sesaat.
Seorang perempuan berambut hitam panjang membuka pintu. Tubuhnya lebih tinggi dariku yang hanya sekitar seratus enam puluh centimeter. Ia berbeda dengan perempuan yang berada di sekitar Alvaro. Kulitnya putih, halus dan tampak terawat. Matanya menyipit, memperhatikanku dari kepala hingga kaki.
"Saya Freya. Asisten Pak Alvaro. Tadi Pak Azka minta dibelikan makanan." Aku memperkenalkan diri pada perempuan cantik di hadapanku. Lekuk tubuhnya tercetak jelas dalam balutan gaun hitam polos.
"Oh. Kamu asisten baru ya. Bos mu bilang asisten barunya tidak menarik. Penglihatannya mungkin bermasalah. Kamu cantik sekali. Ayo masuk." Ia tersenyum, menambah kadar kecantikannya. "Nama saya Lily. Saya teman Alvaro."
Kepalaku menggeleng. "Maaf tapi saya tidak bisa masuk. Kalau boleh saya titipkan makanannya sama Anda."
Lily tertawa geli. Ia menarikku hingga melewati pintu. "Jangan memanggilku Anda. Panggil nama saja. Tidak apa-apa kok."
"Tapi sepertinya tidak sopan. Nanti Pak Alvaro marah."
"Karena saya sahabat bos kamu? Jangan khawatir. Bos kamu tidak akan marah hanya karena soal panggilan. Kecuali kamu bersikap kurang ajar."
Seorang lelaki yang kukenal muncul. Matanya menatap tak percaya padaku. "Kamu, Freya?" goda Azka. Reaksinya membuatku salah tingkah.
"Pak Azka. Pesanan buburnya sudah saya belikan," kataku tanpa membalas godaannya.
Azka meraih plastik dari tanganku. "Mau langsung pulang atau tidur di sini?"
"Pulang, Pak kalau memang tidak ada tugas lagi. Kebetulan saya diantar teman."
"Kenapa pulang? Biasanya Alvaro selalu memperkenalkan asistennya sama teman-teman dekatnya. Lagian ini sudah larut malam. Sebaiknya tidur di sini saja."
"Terima kasih tapi..." Aku menelen ludah, mengamati sesaat pakaianku lalu mendongkak menatap Lily. "Saya tidak bisa bergabung tanpa izin dari Pak Alvaro. Pakaian saya juga..." Kalimatku terhenti begitu menyadari kemunculan seorang lelaki.
Sial!
Alvaro mendekati kami. Azka dan Lily berdiri di depanku seolah sedang membentengiku dari luapan amukan banteng. Aku terharu melihat reaksi keduanya terutama keramahan Lily. Padahal ini pertemuan pertama kami.
Lily menepuk bahuku, mengucapkan terima kasih karena sudah membelikan makanan di larut malam. Azka memintaku berhati-hati dalam perjalanan pulang. Keduanya meninggalkan kami setelah diminta pergi oleh Alvaro. Tinggalan diriku sendiri, mematung dalam situasi canggung. Kekhawatiran berkelebat mengingat pakaian yang kukenakan termasuk terlarang dalam isi kontrak.
"Kamu dari mana?"
"Teman saya ada yang ulang tahun, Pak. Dan karena sekarang termasuk hari libur, jadi saya pikir tidak apa-apa memakai pakaian seperti ini. Tugas Bapak juga sudah saya selesaikan."
Alvaro terdiam. Balasanku mungkin sedikit lancang. Dalam keadaan terdesak dan dipengaruhi alkohol, serbuan kata-kata seolah sulit disaring.
"Dari mana?"
Kusebut nama restoran dan kelab malam yang kusinggahi bersama ketiga teman.
"Kamu mabuk?" Kali ini nadanya mulai meninggi. Kepalaku agak pusing tetapi telinga tidak salah menangkap intonasi suara.
"Tidak, Pak. Saya sepenuhnya masih sadar." Aku berusaha terlihat percaya diri.
"Minum berapa sloki?"
"Satu, Pak."
"Freya." Bulu romaku merinding mendengar Alvaro menyebut namaku. Seakan diriku tengah menunggu antrean masuk dalam neraka.
"Benar, Pak. Satu sloki. Saya cuma ingin tahu seperti apa rasanya. Kadar alkoholnya juga rendah."
"Freya," ulang Alvaro. Kali ini nadanya lebih dalam namun tetap terdengar menakutkan.
Kebohongan tidak membuahkan hasil. Tindakanku hanya menggali kuburan sendiri. "Kalau tidak salah empat atau lima, Pak. Maaf, Pak."
Keheningan kembali menguasai situasi. Aku memberanikan diri menatap bola mata Alvaro. Kepala semakin pusing sementara tubuh mulai lelah. "Apa saya sudah boleh pulang?"
Ia berdecak pelan. "Ka..."
"Sampai jam berapa kamu mau menahan Freya, Al. Sebaiknya ia istirahat di sini, Al. Besok baru kembali ke rumahnya. Ini sudah lewat tengah malam. Kasihan sepertinya ia capek." Lily tiba-tiba memasuki ruangan.
"Jangan ikut campur. Karyawanku bukan urusanmu."
"Kalau mau menyuruhnya pulang kenapa tidak dari tadi? Teman-teman yang lain penasaran karena kamu belum kembali."
"Kalau memang tidak ada tugas lagi saya pamit, Pak. Teman saya sudah menunggu," selaku mengambil kesempatan emas untuk melarikan diri.
"Teman kamu laki-laki?"
Kepalaku mengangguk ragu. Bicara dengan Alvaro selalu menimbulkan keresahan karena khawatir salah memberi jawaban. "Iya, Pak. Teman kampus."
Lily mendekati kami. Tangannya menepuk bahuku. Sekilas ia mendelik pada Alvaro. "Sebaiknya kamu cepat pulang dan hati-hati. Senang bertemu denganmu."
Aku tersenyum, bersiap meninggalkan ruangan tetapi dikejutkan ketika Alvaro mengikuti dari belakang. Ia berdalih ingin memastikan diriku bertemu temanku bagian dari tanggung jawabnya sebagai atasan. Tapi bukan keselamatanku alasannya, lebih tepatnya ia tidak ingin terseret masalah andai terjadi sesuatu padaku setelah pertemuan kami.
Deraan lelah memaksa kaki berjalan cepat menuju lift. Alvaro hampir tidak kupedulikan. Keberadaannya kuanggap hanya kabut yang akan menghilang dalam hitungan detik. Begitu tersadar Alvaro sudah berada di lift. Ia berdiri tepat di sampingku sementara kepala kusandarkan ke sisi lift.
Pantulan di pintu lift memperlihatkan Alvaro sedang menatapku. Seharusnya tindakannya kuabaikan dan mengalihkan ke arah lain. Yang terjadi justru sebaliknya. Aku membalas tatapan Alvaro. Pandangan kami terkunci selama lift menuruni lantai demi lantai. Keberanian konyol dan terlarang dilakukan sekalipun dalam keadaan mabuk.
"Teman yang mengantarmu, apa ia pacarmu?"
"Bukan, Pak. Saya tidak pacaran sama teman dan tidak berniat punya pacar sampai lulus. Setidaknya sampai ia punya pacar," keluhku pelan dengan kepala tetap bersandar pada sisi lift.
"Ia siapa? Mantan pacarmu?"
"Bukannya area pribadi tidak termasuk dalam isi kontrak kerja, Pak." Arah pembicaraan mulai menjurus topik mengesalkan.
"Kamu akan jadi mata dan tangan saya selama saya berada di Jakarta atau luar kota. Karenanya saya harus mempercayaimu, tidak ada salahnya membicarakan ranah pribadi karyawan selama kedua belah pihak setuju."
Bukan setuju, tepatnya terpaksa setuju. Kelancaran gajiku tergantung keputusannya, dengusku dalam hati.
"Perpisahan kami tidak baik. Mantan saya belum rela kami berpisah." Ingatan tentang Genta membuatku mual.
"Kamu tidak memberinya kesempatan kedua?"
"Tidak semua layak diberi kesempatan terutama orang-orang yang mencari pembenaran atas kesalahan mereka. Membangun kembali puing-puing kepercayaan butuh lebih dari sekadar kata maaf."
"Mantan pacarmu selingkuh?"
"Benar." Bayangan Genta tengah berciuman dengan adik satu tingkat di bawahku berputar dalam kepala. "Perempuan lain mungkin bisa melupakan kejadian semacam itu tapi saya tidak termasuk dalam golongan mereka. Sejak awal hubungan kami memang bermasalah. Jadi saya pikir berpisah adalah jalan terbaik daripada memaksakan ketidaknyamanan. Lagipula kami masih muda. Tidak ada salahnya mencari yang terbaik meski saya juga tidak sempurna untuknya."
Pintu lift terbuka di lobi. Pembicaraan kami pun terputus. Kepala berdenyut hebat karena topik tentang Genta. Orang bilang batasan benci dan cinta itu tipis. Perasaan bisa berubah seratus delapan puluh derajat tanpa mengenal waktu. Tapi rasa untuk Genta sulit tumbuh meski sudah berusaha belajar mati-matian mencintainya. Bukan masalah jika diriku tidak merasakan getar atau reaksi kimia saat bersentuhan dengannya. Tidak semua cinta terjadi pada pandangan pertama. Ada banyak pasangan yang baru menyadari arti seseorang dalam hitungan bulan. Dan usaha itu tidak berhasil untuk Genta. Aku kesulitan merasa nyaman berada di dekatnya.
Tubuhku tiba-tiba limbung. "Kamu tidak apa-apa?" Alvaro meraih pinggangku.
"Agak pusing, Pak."
"Bertahanlah. Saya antar sampai mobil temanmu."
Sosok Odit terlihat dari kejauhan. Ia sedang mengobrol dengan penjaga keamanan di meja untuk menerima tamu. "Tidak perlu, Pak, Terima kasih bantuannya. Teman saya sudah menunggu."
Alvaro mengikuti arah pandanganku. Ia meneruskan langkah tanpa melepas lengannya di pinggangku. Dalam kondisi normal bisa dipastikan aku akan kebingungan dan risih. Situasi sekarang berbeda. Lelah dan pusing yang tidak juga hilang mengabaikan semua ekspresi malu-malu. Aku sempat merasakan getaran aneh saat jemari kami tidak sengaja bersentuhan tapi kupikir itu hanya sisa efek alkohol.
Odit memperkenalkan diri sebagai temanku dan adik salah satu karyawannya begitu kami menghampirinya. Sambutan Alvaro cukup ramah. Ia tidak sungkan mengulurkan tangan lebih dulu melihat keraguan Odit. Ia meminta temanku mengambil mobil sementara aku menunggu di teras depan apartemen.
"Dengar Freya. Saya tidak akan mencampuri urusan pribadimu. Tetapi ini akan jadi masalah bila sampai pekerjaanmu terganggu." Alvaro memerhatikan mobil Odit yang meningalkan area parkiran.
"Saya mengerti, Pak. Hanya teman-teman dekat yang tahu saya tinggal di sini saat hari biasa dan bekerja untuk Anda. Saya pastikan mereka tidak akan menyebarkan informasi terutama pada mantan pacar saya."
Ia menepuk lembut punggungku. "Jika terjadi sesuatu hubungi Pak Azka. Sementara itu kerjakan tugasmu dengan baik. Fokus pada kuliahmu."
"Terima kasih, Pak." Senyum mengulas demi menghargai perhatian Alvaro. Lelaki itu mungkin tidak selalu menyebalkan. "Sebaiknya Bapak kembali. Mobil teman saya sudah hampir dekat."
Alvaro bergeming. Sikapnya membuatku bertanya-tanya apakah ia salah memakan sesuatu. Kepala mendadak semakin terasa berat. Tanganku reflek meraih jemari lelaki di sampingku. Sengatan kembali menjalar dan efek sampingnya cukup menakutkan. Aku tidak berani menatapnya ketika berniat melepas pegangan tanganku. Hubungan kami harus professional. Rasa kagum tidak boleh dibiarkan melanggar batas.
Menyukai pribadi Alvaro bisa dimaklumi. Lelaki ini memiliki nilai hidup di atas rata-rata yang diimpikan sebagian perempuan. Tapi membiarkan kesalahpahaman menanggapi kebaikannya akan berakhir menyakitkan. Lebih baik tidak memulai daripada menyesal di kemudian hari.
"Masih pusing?" Jemari Alvaro menahan lenganku agar tubuhku tetap berdiri. Sentuhannya membakar kulit. Memanaskan wajahku.
Kepalaku menunduk, menatap sepatu. "Sedikit."
"Lain kali jangan coba-coba minum minuman beralkohol lagi. Tubuhmu bisa sakit karena tidak terbiasa."
"Baik, Pak."
Mobil Odit berhenti di hadapan kami. Ia sempat turun untuk membantuku masuk ke mobil tetapi Alvaro memberi isyarat agar ia kembali ke bangku kemudi. Setengah berhuyung aku berhasil duduk di bangku belakang. Alvaro menatapku sekilas sebelum meminta Odit mengantarku pulang dan berhati-hati mengingat belakangan ini banyak geng motor berkeliaran.
"Istirahatlah." Sentuhan singkat tangannya di kepalaku sebelum pintu mobil ditutup sangat mengejutkan. Tindakannya tidak istimewa. Tidak ada unsur romantis. Lebih mirip reaksi ayah pada anaknya yang akan pergi menginap di rumah teman. Meski begitu jantung berdebar kencang, cepat hingga aku merasa kewalahan menenangkan diri.
Odit mengamati dari spion dalam. "Kamu baik-baik saja, Frey? Demam? Pipimu merah sekali."
"Aku baik-baik saja, Dit. Terima kasih tadi sudah menunggu lama."
"Santai saja. Aku tidak akan meninggalkanmu dengan kondisi seperti ini. Alvaro kelihatannya baik. Kakakku selalu bilang kalau ia lumayan tegas kalau di kantor. Kupikir orangnya kasar dan galak tapi memang penampilan luar belum tentu cerminan sifat yang sebenarnya. Semoga kamu kuat bekerja untuknya. Kalau butuh ditemani karena ditugasi seperti mala mini, jangan sungkan mengabariku. Kamu sampai ambil pekerjaan ini karena kebodohanku."
"Ah sudahlah. Takdir yang membawaku bekerja untuk Alvaro. Ia memang tegas tapi bukan pemarah. Selama aku mengerjakan permintaannya dengan benar, kurasa tidak akan masalah. Dit, aku tidur sebentar ya. Badan pegal dari tadi berdiri terus. Kalau sudah sampai rumah, bangunkan ya."
"Oke."
Bibir bawah kugigit kuat. Perlahan memejamkan mata lalu bersandar ke belakang. Besok pagi, setelah efek alkohol menghilang, saat kesadaran dan tubuh pulih, semua yang terjadi malam ini hanya sebuah ilusi.
Benar. Semua hanya ilusi. Hanya tipuan hati semata dan bukan diriku yang sedang menipu hati.
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro