Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chap 24

Kesunyian menyelimuti setiap ruang. Suara-suara menguap menyisakan keheningan. Bukan karena masa pemulihan atau larut dalam hening. Penyebabnya tidak lain rasa penasaran. Setelah mencuri dengar pembicaraan tadi sore, berbagai pertanyaan memusingkan muncul dan menuntut jawaban.

Kuregangkan kedua tangan, memijat leher sambil memerhatikan sekeliling. Kehangatan sore hari diwarnai canda tawa tidak lagi kutemukan. Nenek Euis dan Ibu Nayara berada di kamar mereka sementara keberadaan Alvaro dan Azka entah di mana. Tinggalah diriku seorang diri, duduk di ruang makan ditemani secangkir teh manis yang mulai dingin.

Pertengkaran mereka menyisakan banyak tanda tanya. Nama asing seorang perempuan terdengar jelas. Ia bagian dari masa lalu Alvaro. Pacar atau bukan, kemungkinan besar keduanya memiliki sejarah bersama. Seraut bayangan membentuk seraut wajah cantik nan anggun seperti tipe kesukaan Alvaro. Pernyataan Nenek Euis yang menegaskan ia lebih menyukai Naima dibanding Laura tentunya bukti dirinya cukup istimewa.

Selama ini aku mengira Laura satu-satunya perempuan spesial dalam hidup Alvaro sebelum kami bertemu. Jejak perasaan lelaki itu terlihat dari deretan mantan kekasih. Kesamaan fisik adalah bukti paling paling nyata. Bahkan perhatiannya pada keluarga Laura tetap terjalin baik meskipun kepergian perempuan itu bertahun lamanya.

Ada kalanya aku merasa aneh mencemburii seseorang yang raganya tak lagi menginjak dunia fana. Logika menjadi tameng ketika perasaan semacam itu muncul. Usahaku terkadang berhasil tetapi tidak jarang susana hati justru  memburuk. Itulah salah satu penyebab diriku enggan menggorek masa lalu Alvaro terlalu dalam. Aku harus siap sakit hati.

Dengan pengalamannya bertualang cinta tentunya Alvaro sangat mengerti. Kami jarang melibatkan nama Laura dalam obrolan kecuali diriku yang memulai. Ia lebih sering mengalihkan perhatianku daripada meneruskan pembicaraan. Andai Alvaro seorang bajingan sekaligus iblis dalam satu paket yang terang-terangan membawa kenangan masa lalunya dalam hubungan kami tanpa memikirkan perasaan, sudah pasti diriku memilih  mundur daripada menimbun kekecewaan.

Suara pintu apartemen terbuka menahanku meraih cangkir.  Dalam hitungan detik Alvaro dan Azka memasuki ruang tengah. Obrolan keduanya terhenti begitu menyadari keberadaanku seolah mereka membicarakan rahasia. Azka melirik Alvaro, mengatakan sesuatu lalu menganggukan kepala dan berbalik pergi meninggalkan aparteman.

"Bagaimana keadaanmu, Frey?" Alvaro berjalan menghampiri.

"Lumayan. Sudah lebih baik." Kepalaku mendongkak, memerhatikan lelaki itu menarik kursi di samping. "Mas sama Azka dari mana?"

"Tadi ada urusan di luar sebentar. Oh ya, Nenek masih di kamar?" Pandangan lelaki itu mengedar ke sekeliling ruangan.

"Sepertinya. Aku sendirian dari tadi." Senyumanku berubah datar. Kami harus bicara selagi otak bisa diajak kerjasama. "Mm... setelah makan malam nanti aku mau bicara sebentar, bisa?"

Pertanyaanku menarik perhatian Alvaro. Kedua alisnya terangkat. Posisi tubuhnya berbalik menghadapku.  Sebelah lengannya menumpu pada tepi meja. "Kenapa harus menunggu sampai makan malam? Tidak ada orang selain kita berdua."

"Pembicaraan kita bisa menunggu. Kalau Mas tadi pergi, kurasa Mas masih butuh istirahat."

"Aku sudah cukup istirahat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Nah sekarang apa yang ingin kamu tanyakan?"

Aku diam sejenak. Menimbang kemungkinan terburuk membicarakan Naima. Kami belum berada di situasi stabil untuk membahas topik berat. Percikan kecil bisa membakar kedamaian.  Mulut terlanjur berucap dan ekspresi Alvaro semakin penasaran.

"Siapa Naima?" Kalimat itu kukatakan cepat dan sejelas mungkin.

Keterkejutan tergurat di wajah Alvaro meskipun tidak menggoyahkan ketenangannya. Sikapnya tetap rileks. Kedua alisnya bertaut, menatap mimik wajahku. "Darimana kamu dengar nama itu?" balasan lelaki itu nyaris tanpa emosi.

Sisa rasa manis teh berganti pahit di lidah. Telapak tangan mendadak dingin. Aku sadar ada harga yang harus dibayar akibat penasaran. Entah menguntungkan atau sebaliknya. "Aku tidak sengaja dengar pembicaraan kalian. Jujur saja aku ingin mendengar kebenaran. Masa lalu tetap masa lalu tetapi jika itu penting, aku ingin  tahu dari mulut Mas sendiri."

"Naima mantan pacarku sebelum Laura. Kami berpisah karena tidak lagi sejalan. Terlalu banyak perbedaan. Dibanding Laura, Naima memang lebih dekat dengan Nenek. Nenek menyukai penampilan dan pembawaannya. Menurutnya Naima kalem dan cocok pendampingiku."

"Lalu Laura?"

"Laura lebih..." Alvaro memutar bola mata. Bibirnya mengulas senyum seolah sedang mengingat kenangan menyenangkan. "Bebas. Sedikit eksentrik dalam mengekspresikan diri termasuk dalam penampilan. Ia akan memakai apapun yang sekiranya nyaman sekalipun jeans lusuh penuh sobekan. Ia memiliki beberapa tindikan dan tattoo. Benda-benda itu sesuai untuknya, setidaknya menurutku. Ia istimewa bagaimanapun penampilan luarnya."

"Dan Nenek tidak menyukainya, kan?"

"Sejak awal bahkan setelah Laura mengubah penampilan lebih rapihpun tidak mengubah keadaan. Kesan pertama bagi Nenek penting sekali. Seseorang memberinya foto-foto kami berdua sebelum aku sempat mengenalkan keduanya secara langsung. Nenek mengira Laura yang mengenalkanku pada kebebasan."

"Seseorang? Siapa?"

Senyuman getir Alvaro menjawab pertanyaanku. Meski enggan ia akhirnya menceritakan masa lalunya. Naima, perempuan yang berhasil memikatnya semenjak menginjakan kaki di negeri orang. Kelembutan Naima mengingatkannya pada sang ibu. Awalnya semua berjalan sangat manis. Bibit permasalahan bermula karena kecemburuan Naima pada Laura.

Laura adalah salah satu teman dekat yang ia percaya. Keduanya saling mengenal sebelum Naima masuk dalam hidup Alvaro. Meski begitu pada waktu itu perasaan lelaki itu murni persahabatan. Pembuktian dan penjelasan apapun tidak meredakan kesalahpahaman.

Demi cinta Alvaro bahkan sempat menjauhi Laura tetapi pertengkaran tetap mewarnai setiap pertemuan. Naima terlalu mengatur, terlalu posesif dan hubungan mereka semakin tak sehat.

Akhirnya keduanya berpisah. Alvaro mengambil keputusan demi kewarasan. Alvaro sempat larut dalam kesedihan. Meski kecewa pada Naima, perasaan tidak langsung hilang. Perselisihan dengan ayahnya memperburuk psikis.

Laura menemani kekosongan dan kehampaan tanpa syarat. Penyelamat yang terabaikan. Seiring waktu Alvaro belajar membuka hati, membuka kesempatan mencintai perempuan yang selama ini dianggapnya adik sendiri.

Gangguan Naima tidak berhenti terlebih begitu mengetahui posisinya tergantikan hingga kabar kecelakaan membuat Alvaro patah hati. Dua kendaraan ditemukan terjatuh di jurang. Posisi keduanya berdekatan. Pemilik dua kendaraan itu tidak lain Amanda dan Naima. Menurut laporan saksi dan jejak di tempat kejadian, posisi kendaraan Naima mengejar Laura.

Keduanya saling memacu kecepatan hingga Naima berhasil menyerempet kendaraan Laura. Nahasnya saat kejadian posisi keduanya berada di tikungan. Baik Naima maupun Laura tidak mampu mengendalikan kendaraan. Pembatas jalan tidak mampu menahan kekuatan dua kendaraan itu hingga akhirnya jatuh ke jurang.

"Maaf. Aku tidak tahu orang bisa senekat itu."

Kedua tangan Alvaro mengusap wajahnya. Penyesalan membayang di bola matanya. "Semua kesalahanku. Seharusnya aku bersikap tegas pada Naima dan lebih menjaga Laura. Aku terlalu meremehkan keadaan. Berpikir waktu akan membuat semua kembali normal."

"Kalau ceritanya seperti itu, kenapa Nenek sebegitu bencinya sama Laura. Bukannya kesalahan Naima tidak kalah besar?"

"Hati Nenek terlalu keras. Terlalu keras kepala. Sampai sekarang ia tidak percaya Naima melakukan tindakan sejauh itu. Laura dianggap sebagai biang keladi."

"Dan Mas masih terus mencari sosok Laura di antara perempuan-perempuan di dunia ini ya." Gumamku pelan.

"Mungkin. Tanpa kusadari aku berhubungan dengan orang-orang yang serupa secara fisik. Mencari-cari kesamaan dalam diri mereka. Tapi semirip apapun mereka, hanya ada satu Laura yang istimewa."

"Apakah keberadaanku pengalihan sesaat saat Mas merasa belum menemukan pribadi yang sesuai? Penyegar diantara rutinitas membosankan?"

Alvaro mendekat. Kedua telapak tangannya membingkai wajahku, menariknya hingga pandangan kami saling bertemu. Perasaanku masih muram hingga tak sanggup mengulas senyum. Logika tertutup cemburu. Aku sulit mengelak dan terjebak dalam kesedihan.

"Tidak, Sayang. Kamu bukan pengganti siapapun. Mencintaimu bukanlah rencanaku. Berpikir dipenghujung umur akan mati sendirian. Semua mengalir begitu saja. Bahkan keraguan dan keegoisan tidak mampu menahan perasaanku padamu."

"Benar?"

"Tentu saja. Denganmu rasanya semuanya seperti seharusnya. Kamu segalanya. Penyemangatku."

Bibirku merengut, membuang wajah lalu bersidekap. Alvaro tersenyum. Ia merapatkan kursi hingga tak berjarak dan merangkul bahuku. "Aku senang kamu cemburu tapi jangan terlalu sering. Melihatmu sedih melukaiku bahkan jika aku penyebabnya."

Kusikut pinggangnya. "Cemburu darimana? Aku hanya mencari informasi."

"Informasi apalagi yang ingin kamu tahu? Hobi? Ukuran bajuku? Film favorit? Kebiasaanku saat tidur atau..."

"Stop. Mas narsis sekali."

Alvaro merengkuh bahuku. Tenaganya sangat kuat menjaga rangkulan agar tidak lepas saat menciumi kening dan puncak kepalaku mengingat aku mencoba menjauh. Ia mengucapkan kalimat-kalimat tanya tentang kesehatanku dengan suara lembut dan dalam. Tindakannya mengalirkan rasa sayang dan membawaku dalam pelukannya.

Kegelisahan perlahan surut. Untuk sekarang benang kusut sedikit demi sedikit terurai. Siapa Naima dan posisinya dalam kehidupan Alvaro tidak lagi abu-abu. Sebenarnya aku ingin mendengar cerita dari sisi Nenek Euis. Ketidaksukaannya tidak hanya ditujukan pada Laura. Keluarga perempuan itupun ikut terseret. Sayang sekali situasinya cukup sulit mengingat kemarahannya mudah terpancing setiap nama Laura disebut.

"Mas yakin tidak mau tidur?" Kepalaku kembali mendongkak.

"Kalau kamu mau temani, aku tidak akan menolak."

"Boleh."

"Kamu serius?" Matanya berbinar senang.

Aku mengangguk lalu bangkit. "Ayo." Sebelah tanganku menahan pundaknya yang bersiap berdiri. "Tapi aku temani istirahatnya di kamar masing-masing ya."

Bola mata Alvaro berputar kesal. Kedua tangan kokoh menarik paksa pinggangku, memaksa tubuhku duduk di pangkuannya. Posisi kami saling berhadapan dengan menyisakan sedikit jarak. Rengkuhannya begitu kuat hingga bergerak sulit bergerak. Tanpa aba-aba diciumnya pipiku gemas. Bibir tidak luput dari tindakan nekatnya.

Aku sontak memelototinya yang berbalas senyuman lebar, seolah aksinya tadi sangat normal mengingat Nenek Euis bisa muncul kapanpun. "Mas lepas. Bahaya kalau Nenek sampai lihat. Kita bisa diomeli habis-habisan."

"Ini karena aku senang kamu menyikapi cerita masa laluku tanpa drama. Cara berpikirmu dewasa. Berbanding terbalik dengan wajahmu yang imut."

"Jangan senang dulu. Sebenarnya aku kesal. Otak yang memaksa mendahulukan akal daripada perasaan. Lain cerita kalau ada perempuan lain terlibat dalam hubungan kita. Mas bisa habis!"

"Tidak ada yang lain. Aku milikmu."

"Manusia bisa berubah dalam hitungan detik."

"Jika menuruti ketakutan maka yang kamu dapatkan hanya keraguan." Jemari Alvaro menyisir rambutku. Menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. "Kita akan berjalan bersama, belajar menerima perbedaan dan menikmati setiap momen. Berpikirlah positif karena menduga-duga hal buruk tentangku semudah membalik telapak tangan."

Kedua tanganku terangkat, menekan masing-masing teluntuk di sisi kepala lalu memejamkan mata. "Positif," ucapku berulang kali.

Gelak tawa Alvaro terdengar. Mataku terbuka dan menutup mulutnya. Dipeluknya tubuhku sangat erat. Tenagaku kalah kuat. Ia bergeming sekalipun pinggangnya kucubiti.

"Ayo lepas. Nanti Nenek lihat." Kesadaran akan keberadaan Nenek Euis menyeruak.

"Biarkan. Nenek pasti bersikap pura-pura tak peduli. Setelah perdebatan tadi, melihat kebersamaan kita akan melegakannya," ucapnya meyakinkan.

Pada akhirnya suara perutku membuyarkan suasana. Wajahku memerah karena malu dan bersembunyi di sudut leher Alvaro. Alih-alih meledek ia memintaku kembali ke kamar dan bersiap-siap makan malam. Ia baru saja memikirkan rencana mengajak Nenek Euis makan di luar untuk memperbaiki suasana hati perempuan itu.

"Kenapa, Sayang?" Alvaro kebingungan melihatku tidak beranjak dari sisinya setelah kami menjauh dari ruang makan.

"Gendong sampai kamar ya. Boleh?"

"Yakin? Tadi bilang takut."

"Sebentar saja. Dua menit."

"Jangankan dua menit. Dua jam pun aku siap."

Aku memamerkan senyuman paling manis. Alvaro menarik tubuhku dengan mudah sementara kedua lengan melingkari lehernya. Kami berjalan meninggalkan ruangan tanpa suara.

******

P

erasaan Nenek Euis masih terluka sekalipun Alvaro mencurahkan banyak perhatian. Suasana menjadi tak nyaman. Bahasan kedatangan Amanda terus didegungkan sepanjang waktu. Alvaro tidak menyerah. Ia melakukan berbagai cara demi mengembalikan senyuman nenek tersayang.

Kesehatanku semakin membaik berkat kecerewetan Alvaro soal pola makan dan jadwal minum obat. Ia sengaja membiarkan diriku tinggal di apartemen untuk beristirahat sementara semua orang pergi ke luar. Ia khawatir aku kembali sakit jika memaksa mengantar Nenek Euis seharian. Permintaanya bukan masalah. Tanpa keberadaanku nenek dan cucu itu bisa lebih dekat.

Alvaro melakukan semua yang ia bisa meski berbalas sikap dingin. Ia akan melucu kalau perlu walau sama sekali tak lucu. Menawari berbagai makanan hingga barang yang akhirnya ditolak. Hingga akhirnya terbersit ide menginap di pemandian air panas.

Tempatnya jauh dari pusat kota. Berasa di dataran tinggi dengan udara dingin nan sejuk. Kuharap usaha Alvaro kali ini berhasil. Sejujurnya berada di tengah orang-orang berselisih paham sangat tidak nyaman.

Pencetus ide itu, Azka diminta mengurus segala sesuatu. Bantuanku tak berarti. Semua penginapan penuh kalaupun ada hanya tersisa satu kamar. Entah bagaimana cara Azka menyelesaikan tugasnya karena ia berhasil mengerjakan tugasnya. Aku hampir putus asa sebelum ia memberitahu mendapatkan penginapan sesuai keinginan Alvaro.

Kami menempati vila satu lantai dengan empat kamar. Setiap ruangan cukup luas untuk ditinggali keluarga besar. Pemandangan area wisata dan kolam air panas di bawah vila terlihat dari teras. Di bagian belakang bersebelahan dengan taman kecil terdapat kolam air panas. Jarak antar vila tidak terlalu dekat.

Perasaanku seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah untuk pertama kali. Sudah cukup lama tidak merasakan menginap saat liburan sepeninggal Ayah. Baik aku maupun Mama disibukan kegiatan masing-masing.

Kami menghabiskan liburan biasanya dengan pergi ke mall atau ke tempat wisata di sekitar kota tanpa perlu menginap. Selebihnya kami lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.

"Ada yang salah di wajahku?"

Kaki terangkat, merapat ke dada di kursi teras. Secangkir teh manis hangat tergenggam tangan. Udara dingin pagi hari enggan tersingkir hangatnya mentari. Dalam balutan kaus, jaket dan jeans biru tua kesayangan tubuh terasa nyaman.

Alvaro bersandar pada pilar. Sesekali dihisapnya rokok di jemari. Sosok tampan bertubuh jangkung berbalut kaus dan sweater hitam polos dengan jeans pudar memeluk erat kaki. Rambut berantakan tertiup angin. Keindahan memanjakan mata selain pemandangan alam di sekitar kami.

Nenek dan Ibu Kanaya pergi pagi sekali ditemani Azka. Ia bersikeras ingin melihat sekitar. Keinginannya tak bisa ditunda. Kepergian mereka menyisakan kami berdua. Usai menyantap sepotong roti, aku sengaja mencari kehangatan di teras sambil menikmati suasana. Alvaro lebih dulu berada di luar. Kedatanganku seperti biasa disambut senyuman. Tak lupa kecupan singkat di kening sebelum akhirnya aku meringkuk di kursi bersama secangkir teh hangat.

"Rencana kita berjalan lancar. Nenek tidak lagi marah." Ada kepuasaan dari nada bicaranya.

"Semua berkat Azka. Ia memberi ide sekaligus berhasil mendapatkan vila ini di menit-menit terakhir. Ia benar-benar gigih dan teliti."

"Kemampuannya tak diragukan. Ia akan menerima bonus tambahan saat pulang nanti. Sepertinya kita harus sering berlibur. Aku senang melihatmu selalu tersenyum."

"Alasan kita berada di sini demi Nenek. Aku hanya pemeran pendukung yang menikmati kesempatan gratis." Bola mata berputar pada jam tangan. "Nenek belum pulang ya?"

"Tenang saja. Ada Azka yang menjaga mereka. Biarkan mereka menikmati suasana sebelum pulang. Lagipula ini kesempatan bagus. Kita punya kesempatan berdua lebih lama."

"Tapi aku juga mau melihat area wisata di bawah. Sore atau malam nanti berendam air panas." gerutuku menebak cara lelaki itu menatap. "Buat apa jauh-jauh datang ke sini kalau cuma diam di Villa."

"Tunggu agak siangan baru kita jalan-jalan. Berendamlah sepuasmu di kolam belakang. Kamu bawa baju renang?"

Satu-satunya pakaian renang tersimpan di rumah dan terakhir kupakai saat SMA. Ukurannya terlalu kecil dengan beratku sekarang. Berenang bukan kegiatan favoritku. Entah berapa kali aku menjadikan haid sebagai alasan agar dibebaskan dari kegiatan olah raga itu. "Aku bawa celana pendek sama tanktop. Baju renang lamaku tidak bisa lagi dipakai."

"Mau beli baju renang baru? Di bawah sana ada toko yang jual peralatan renang."

Kepala menggeleng."Celana pendek sama tanktop sangat aman dilihat Nenek, kan?"

Alvaro bergerak mendekat. Dimatikannya sisa rokok pada asbak di meja teras. Tubuhnya kembali tegap lalu mengulurkan tangan. "Ayo masuk. Setelah sarapan kita jalan-jalan ke bawah."

"Loh Mas bilang tadi mau tunggu agak siang baru kita pergi."

"Aku berubah pikiran. Sebaiknya kita pergi sebelum monster dalam diriku menahan kita, mengurungmu dalam pelukanku seharian." Tangannya masih terulur. Sorotnya semakin tak sabar.

Kuletakan cangkir di meja. Getaran mengalir di sekujur tubuh saat menyambut jemari hangat di bawah tatapan Alvaro. "Sekarang di mana monster itu?"

"Masih terkunci rapat. Tadi kamu mengusiknya."

"Masa? Celana pendek dan tanktop tidak bisa dibandingkan bikini atau tanpa satu helai benangpun."

Setengah diseret kakiku berjalan memasuki villa. Genggaman erat menahan setiap berusaha menjauh. "Kamu pakai baju astronot sekalipun bisa membuat nafsuku meledak apalagi celana pendek. Sekarang sarapan dulu. Jangan sampai maag kamu kambuh lagi."

"Berlebihan sekali," sindirku.

"Terimalah kenyataan."

"Kenapa senyum-senyum begitu?"

Aku meneleng. Memamerkan senyuman manis. "Senangnya bisa liburan sebelum kembali kuliah."

"Lain kali kita liburan lagi. Ajak keluargamu juga."

"Adikku agak rewel apalagi kalau lagi tantrum. Ia lebih sulit dikendalikan daripada anak seumurnya. Kami sudah terbiasa dengan kerepotan saat pergi bersamanya. Kadang jalan ke mall satu atau dua jam pun butuh tenaga ektra menjaganya. Memangnya Mas tidak keberatan?"

"Kenapa harus keberatan. Kamu dan keluargamu satu paket tak terpisahkan. Menerimamu artinya menerima keluargamu jadi bagian hidupku. Kita bisa menyewa orang untuk menjaga adikmu nanti. Selagi ada solusinya, tidak perlu meributkan hal yang belum terjadi."

"Jangan terlalu baik. Aku bisa kesulitan kalau kita berpisah." Sembari mencibir aku mencandainya.

"Bagus. Semakin kamu sulit move on, semakin mudah aku mengejarmu." Langkah Alvaro tiba-tiba terhenti. "Kakimu sakit?"

Pandangan turun ke bawah. Kedua kakiku tampak normal. "Tidak."

"Pegal?"

"Tidak. Kenapa sih?"

"Mau gendong sampai ruang makan? Gratis loh."

Genggaman kami terurai. Kedua tanganku merentang. Menunggu untuk dipeluk. Alvaro meraih tubuhku seakan beratku seringan kapas dalam pangkuannya. Hari ini aku ingin menikmati kebersamaan sebelum menghabiskan waktu berjalan-jalan. Mulai Senin rutinitas akan kembali seperti biasa. Alvaro berkutat dengan pekerjaan sementara aku menyibukan diri di kampus.

Kerinduan sebatas panggilan telepon atau vidio. Terkadang pertemuan terpaksa ditunda karena alasan-alasan penting. Momen seperti sekarang ingin kurasakan lebih lama. Merasakan betapa nyaman berada di sampingnya.

Baru berjalan dua langkah tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu. Kedatangan Nenek Euis dan yang lain mengubah senyuman Alvaro menjadi rengutan. Posisi kami tidak berubah. Ia masih menahan tubuhku. Kucubiti pipinya agar mau menurunkanku. Situasi kami mudah disalah pahami. Alvaro menyerah begitu mendengar panggilan Nenek Euis. Diturunkannya tubuhku sambil menggerutu.

Dari ketiga orang yang baru saja datang hanya Azka yang memahami perasaan Alvaro. Ia bicara sangat pelan saat melewati kami. Alvaro mendelik sebal tetapi segera berubah tenang. Sebagian plastik belanjaan berisi makanan hasil berjalan –jalan neneknya ia bawa ke ruang makan.

Seperti janji Alvaro sebelumnya, kami berjalan-jalan di sekitar pemandian air panas. Azka memilih istirahat di kamarnya daripada mengekor bos-nya.

Di bagian bawah vila terdapat tempat wisata yang berbatasan dengan hutan lindung. Kolam renang dan pemandian air panas berada sisi lain area wisata. Meskipun hari belum siang, pengunjung sudah cukup ramai. Area

Aroma belerang samar tercium sepanjang kami berjalan. Uap bercampur udara dingin. Di beberapa titik sejumlah kios makanan menawarkan dagangan sekaligus tempat beristirahat.

Kami memilih berjalan semakin jauh di dalam tempat wisata. Salah satu primadona tempat ini adalah air terjun. Letaknya agak jauh. Berada di bagian paling dalam dan mengaharuskan kami berjalan cukup lama. Perasaan senang mengalihkan kaki yang mulai pegal.

Keberadaan Alvaro di sampingku mengundang perhatian. Lirikan terang-terangan maupun sekadar curi pandang mengikuti setiap langkah. Dengan tubuh tinggi, tampan dan berpenampilan menarik, wajar baginya menjadi pusat perhatian.

Alvaro mengabaikan sekeliling. Cenderung tak acuh. Ia asyik mengobrol sambil memerhatikan keindahan alam.

Setiap melangkah aku dipaksa merapat padanya. Rangkulan di pinggangku seolah memberi tanda kepemilikan. Diriku sendiri terlalu bahagia hingga tak merasa tindakannya mengganggu. Entah berapa banyak foto yang berhasil diabadikan termasuk foto kami berdua. Alvaro melakukan hal serupa cukup tetapi ia lebih banyak diam-diam mengambil fotoku.

Puas berjalan-jalan dan menikmati keindahan, kami bergegas kembali ke vila. Hari sudah siang setibanya di sana. Alvaro memintaku istirahat sebentar karena kami akan makan siang di luar vila atas permintaan Nenek Euis. Perempuan itu sepertinya bosan berdiam diri tanpa kegiatan. Daripada mengeluh aku bersyukur Nenek Euis cukup sehat menikmati liburan ini.

Meskipun kekesalan Nenek Euis mulai reda, ia belum sepenuhnya melupakan kejadian tempo hari. Alvaro menelan semua omelan ketika tiba-tiba Nenek Euis teringat Amanda. Dengan sabar dan lembut ia mencoba menenangkan. Ucapan kalimat sayang mengalir tulus demi menyenangkan perasaan neneknya. Tidak sekalipun Alvaro lepas kendali saat diberondong tuduhan dirinya lebih mementingkan keluarga Amanda. Semua berlangsung sepanjang perjalanan bahkan setelah kami kembali ke vila.

Aku berusaha netral. Posisi sebagai orang luar yang tidak mengetahui apa-apa lebih aman menjadi pendengar. Alvaro memperingatkan lewat lirikan, isyarat agar berhati-hati saat berucap. Hingga akhir perjalanan aku hanya bicara seperlunya daripada terseret masalah.

Kami tiba di vila sebelum jam menunjuk angka tujuh malam. Nenek Euis beristirahat karena kelelahan. Azka yang membantu membawakan kantong-kantong belanjaan hasil dari seharian berjalan-jalan pergi keluar vila setelah pamit. Alvaro berada di kamarnya. Ia sempat bilang akan tidur sampai waktu makan malam.

Menyadari suasana sepi aku berniat berendam di kolam belakang. Tanpa buang waktu, dengan berjalan cepat aku ke kamar, mengganti pakaian dengan celana pendek hitam, sport bra plus tanktop senada dibalik handuk kimono.

Keinginan berendam dalam air panas terlalu besar dibanding rasa takut berada di kolam sendirian. Antara kolam dan taman dibatasi pintu dorong. Bayangan betapa menyenangkan merendam sambil menatap langit berbintang membuatku yang penakut lebih berani.

Penerangan dibagian vila belakang ternyata cukup terang. Langkah kupercepat demi segara berada di sana. Sayang sekali jika melewatkan kesempatan menyegarkan diri sebelum kembali otak sibuk mengafal rumus-rumus.

Kubuka pintu dorong yang membatasi kolam air panas dan taman. Penerangan dari lampu meski temaram sama sekali tidak terkesan seram. Aku ingat sebagian review tentang vila ini. Rata-rata pengunjung memberi kesan baik. Tidak ada catatan berbau mistis.

Handuk kimono kulipat dan menaruhnya di tepi kolam. Tanktop sengaja kulepas, berpikir hanya akan beredam sebentar dan situasi aman mengingat semua orang beristirahat di kamar masing-masing. Aku bisa berbuat sesuka hati tanpa terganggu.

Kaki lebih dulu masuk dalam kolam, merasakan panasnya suhu air hingga mulai beradaptasi. Ukuran kolam cukup luas. Setidaknya bisa menampung enam orang tanpa perlu saling sikut. Rambut kugelung asal selama tidak menyentuh air. Udara dingin menerpa kulit, menggodaku secepatnya menghangatkan diri.

"Kubantu mengikat rambutmu." Suara Alvaro terdengar tepat di belakang. Kemunculannya mengagetkan. Entah karena fokus mengurus rambut atau abai pada sekitar, aku tidak mendengar ada langkah mendekat. Bagaimana cara lelaki itu menyelinap tanpa sepengetahuanku?

Ia terpaksa kubiarkan mengikat rambutku agar bisa segera masuk dalam kolam. Seharusnya ia berada di kamar. Aku mendengar jelas Alvaro mengatakan ingin tidur sebentar. Menemani Nenek Euis berbelanja membutuhkan tenaga dan kesabaran. Perempuan itu sering lupa waktu saat memasuki toko demi toko. Sebagai cucu yang baik, membahagiakan nenek tentunya harus dilakukan dengan senang hati.

Darah berdesir merasakan sensasi sentuhan tangan dingin Alvaro yang bergerak perlahan di belakang leher. Tindakan biasa tetapi membuat irama jantung berpacu kencang. Gemelitik dalam perut memilin kuat.

"Nah, sudah selesai." Tubuh bergidik geli mendengar bisikan Alvaro di telinga. Menyebalkan. Aku yakin lelaki itu sengaja melakukannya.

Kuberanikan diri menoleh sementara kedua lengan bersidekap menutup dada. Rasanya malu sekali. Ini pertama kali aku berpakaian sangat minim walau konteksnya untuk berendam. Celana pendekku hampir menunjukan keseluruhan kaki.

Keindahan ciptaan Tuhan membuatku tercekat. Tanpa sadar mulut menganga mendapati Alvaro hanya memakai celana kain di atas lutut. Bagian atas tubuhnya menggoda mata seperti hidangan makanan lezat. Tatapanku menelusuri setiap jengkal tubuhnya. Bahu bidang, lengan kokoh hingga perut rata berotot tercetak jelas tanpa sehelai benang. Mengingatkanku pada pahatan patung legenda dewa Yunani.

Perlahan aku turun dalam kolam sebelum melupakan malu dan memeluknya. Berendam hingga batas leher. Tubuh mulai beradaptasi dengan suhu air. Punggung bersandar di dinding lalu duduk pada undakan yang mengelilingi setiap sisi kolam.

Di tepi kolam Alvaro menggerakan otot-otot lengan dan leher. Ia fokus pada dirinya sendiri. Keberadaanku tidak menganggu ketenangannya. Reaksinya cukup wajar justru aneh jika ia bersikap canggung. Pakaianku tidak seberapa sexy dibanding bikini mantan pacarnya. Kuhela napas panjang, mendadak kesal karena berpikir tentang itu.

Alvaro turun ke kolam. Ia berjalan melewatiku, menjauh, melintasi kolam ke arah berlawanan dari tempatku berada. Perkiraan bahwa dirinya akan duduk di sampingku meleset. Alvaro berada di sisi lain. Posisi kami saling berhadapan. Aku sempat kecewa sebelum mengalihkan pandangan ke langit.

Mata terpejam. Mencoba fokus menikmati hangatnya suhu air. Merasakan otot-otot lelah mengendur. Sesekali riak air memecah keheningan. Sejenak melupakan kesadaran bahwa ada orang lain di tempat ini.

Dorongan membuka mata begitu kuat. Menyadari seseorang sedang mengamati. Tatapan Alvaro memilin perut. Mendebarkan dada. Kulit meremang seakan tersambar aliran listrik dari lelaki itu.

Mata sulit teralihkan. Memaku pada satu titik. Alvaro mengusap rambut dan wajah. Gerakan singkat namun menghasilkan daya pikat berkali lipat. Kini kedua lengannya bertumpu pada sisi kolam. Pameran luar biasa mengingat lelaki itu sangat menggoda. Meski tidak mengatakan sepatah kata, Alvaro menyebar umpan untuk menarik perhatianku. Umpannya berhasil karena sensasi asing menginginkan sentuhannya. Butuh kekuatan extra agar tidak berdiri dan menghambur padanya.

Tanpa sadar sorotku membalas penuh damba. Alvaro bergeming. Seolah menguji kesabaranku. Ia tetap berada di tempatnya tanpa mengalihkan perhatian. Semakin lama, semakin besar keinginan menghampirinya.

Suara Nenek Euis dari kejauhan mengembalikan akal sehat. Kelegaan menyeruak, mengembalikan tenaga setelah berjuang mengandalikan diri. Ekspresi Alvaro berubah datar. Senyuman menggodanya hilang.

Lima menit berselang Nenek Euis muncul bersama Ibu Nayara dan Azka. Ibu Nayara membawa nampan berisi minuman dan makanan ringan. Nenek Euis berjalan mendekati cucunya sementara Ibu Nayara menaruh nampan di meja kecil tidak jauh dari kolam. Azka beranjak ke taman dan duduk santai di kursi besi lalu mengeluarkan ponsel.

Alvaro naik ke tepi kolam. Tetesan air di punggunnya berkilauan tertimpa cahaya. "Mau beredam, Nek?"

"Nenek rendam kaki saja," balas Nenek Euis. Rok panjangnya terangkat hingga lutut. Alvaro dengan sigap membantu Nenek Euis duduk, memastikannya tak terjatuh di sisi kolam sebelum turun kembali.

Suasana menjadi ramai. Nenek Euis kembali bercerita. Kadang ia menceritakan sesuatu yang sudah kudengar. Aku fokus mendengarkan sebagai bentuk kesopanan sambil mempertahankan bagian bahu ke bawah tetap di bawah air. Sekalipun Nenek Euis memberi restu bukan berarti ia tak akan protes melihat pakaianku cukup minim meski memang sesuai dengan situasi.

Alvaro sedari tidak berhenti memerhatikan. Senyuman nakal menghias wajah yang basah. Jantung serasa akan meledak ketika tanpa malu dirinya menjilat bibir. Kugigit bibir keras berusaha sekuat tenaga memusatkan pandangan pada Nenek Euis. Perempuan itu tak menyadari tingkah laku cucunya menebar umpan. Umpan yang akan menarikku dalam masalah.

"Kenapa kamu bersembunyi di dalam air, Frey?"

"Tidak apa-apa, Nek," sahutku cepat. Alvaro mengedip genit.

"Kalau soal pakaian jangan takut. Alvaro sudah bilang kamu pakai celana pendek dan tanktop. Nenek tidak akan marah soal baju renangmu. Namanya juga di kolam renang. Bakalan repot kalau kamu berendam pakai daster atau dress panjang."

"Mm iya, Nek. Baju renangnya kekecilan jadi pakai celana pendek sama sport bra saja."

"Nenek paham. Tidak perlu takut begitu. Nenek lebih khawatir sama pacarmu." Nenek Euis menjewer Alvaro. Hebatnya lelaki itu bergeming. "Jaga matamu anak nakal. Kasihan anak gadis orang sampai takut keluar dari air. Sampai kapan kamu mau memolotinya?"

"Nenek salah paham. Freya adalah ciptaan Tuhan dan aku hanya mengaguminya. Salahnya di mana?"

"Bersihkan otakmu sekalian berendam. Nenek heran. Kamu tuh ya, kayak belum pernah lihat perempuan saja."

"Yang ini beda, Nek."

"Karena itu berhenti memandanginya dengan tatapan mesum." Nenek Euis menggeleng. "Nenek bawa minuman sama kue. Kalau kalian haus minum dulu. Terlalu lama berendam juga tidak bagus. Kamu tidak mau berendam, Azka? "

"Terima kasih, Nek. Nanti saja." Azka berucap dari tempat duduknya di taman. Lirikan singkat Alvaro dibalas anggukan kecil.

Nenek Euis melanjutkan obrolan. Topik beralih pada masalah keluarga. Bukan jenis topik menyenangkan bagi Alvaro. Di antara keingintahuan, aku berharap tidak terjadi drama lanjutan. Alvaro sempat mengalihkan tetapi Nenek Euis cukup keras kepala.

"Alvaro tidak bisakah kamu berikan bagian mereka supaya berhenti ikut campur urusan perusahaan? Peranmu diperusahaan membuat ayahmu senang. Begitu situasi perusahaan pulih, mendadak kesehatannya membaik dan mulai banyak mengatur. Nenek masih sering mendengar keluhan-keluhan tentang ayahmu."

"Semua ada aturan, Nek. Kita tidak bisa sembarang mengambil keputusan. Memberhentikan seseorang dengan jabatan tinggi harus melewati rapat dewan apalagi kita bicara tentang Ayah. Ia masih punya pengaruh walau tidak seperti dulu. "

"Kalau begini terus mereka akan terus merecokimu. Bukan hanya pekerjaan tetapi masa depanmu. Ada baiknya kamu mulai berpikir membangun perusahaan baru. Berikan perusahaan sekarang pada ayahmu yang serakah. Kita lihat apa ia atau anaknya bisa bekerja sebaik dirimu. Nenek ikhlas walau perusahaan itu dibagun dengan kerja keras almarhum kakekmu selama itu bisa menjauhkanmu dari lingkaran beracun. Dengan pengalaman dan koneksi, Nenek yakin kamu bisa berhasil di manapun kamu berada."

"Nenek harus percaya padaku. Aku bukan boneka Ayah. Ayah tidak bisa ikut campur dalam kehidupanku seperti di kantor. Lagipula aku belum berencana melepaskan perusaan pada Ayah. Seperti Nenek tadi bilang, ada jernih payah Kakek atas perusaaan itu. Ada uang Ibu di sana. Sejauh ini kendali perusahaan berjalan baik. Sebagian besar karyawan patuh pada aturan dan sadar siapa pemimpin mereka. Selebihnya para penjilat kekuasaan bermuka dua. Menedang mereka tinggal menunggu waktu."

"Maksudmu mereka juga bermanis-manis pada ayahmu?"

"Ayah menggantikan memimpin perusahaan setelah Kakek meninggal dalam waktu lama. Nenek tahu sendiri bagaimana royal Ayah mengambil hati para penjilatnya sampai dimanfaatkan habis-habisanpun tidak sadar. Mereka mencoba melakukan hal yang sama padaku. Sayangnya tidak dan mereka masih menempel pada inang yang lama. Mereka lebih banyak bicara hal tak berguna daripada menggunakan otak demi perusahaan."

"Seharusnya kamu memecat parasit mereka."

"Ayah pasti menolak. Biarkan saja mereka sementara tidur nyaman. Ada waktu yang tepat membalikan keadaan. Kita tidak perlu terburu-buru. Lagipula sampai sekarang apa yang mereka dapatkan sesuai kinerja. Jangan berharap kenaikan gaji dan bonus jika tidak punya kontribusi."

Nenek mengalihkan perhatiannya padaku. Aku yang sedari tadi menjadi pendengar berusaha tenang. "Maaf kamu mendengar masalah keluarga kami ya, Frey. Bilang pada Nenek kalau sewaktu-waktu keluarga Ayah Alvaro menganggumu. Beredarnya kabar hubungan kalian berdua pasti sudah sampai ke telinga mereka. Bukan tak mungkin mereka penasaran padamu." Decak kesal terdengar dari bibir perempuan itu. "Dengar, Alvaro, apapun yang terjadi, kamu harus menjaga Freya dari mereka. Itu tanggung jawabmu. Nenek tidak akan pernah rela cerita ibumu terulang lagi."

Kemarahan di wajah Nenek Euis menyala-nyala. Gurat kesedihan sesaat membayangi raut berkeriput. Kepalan tangan di pangkuannya menguatkan emosi tertahan. Tiba-tiba aku teringat Nenek. Sebagai seorang ibu, betapa menyakitkan mengetahui putri tersayang disakiti oleh seseorang yang berikrar di depan Tuhan untuk selalu menjaga.

"Aku sengaja berlibur ke tempat ini agar Nenek senang. Kisah ibu tidak akan terulang. Tidak akan kubiarkan Ayah atau siapapun menyakiti Freya. Kalau Nenek cemas, Freya juga pasti terpengaruh."

"Nenek belum bisa tenang. Nenekmu ini sudah tua dan banyak penyakit. Nenek hanya ingin melihatmu bahagia sebelum Nenek pergi. Dulu ibumu terlalu banyak menderita karena kebodohannya. Dan Nenek terlalu menyayanginya sampai tak kuasa menolak permintaan ibumu agar memaafkan setiap kesalahan ayahmu." Getaran suara Nenek Euis terdengar sampai ke telingaku. Kesedihan begitu nyata membungkus sosok tegas.

"Sudahlah, Nek. Kita sudah sering membahas ini. Aku bukan Ibu. Manipulasi atau doktrin Ayah tidak berlaku. Yang terpenting sekarang Nenek harus sehat. Tetap berpikir positif dan menemani perjalanan hidupku."

"Berjanjilah pada Nenek kalau kamu tidak akan mengikuti jejak ayahmu."

"Aku janji, Nek. Dalam tubuhnya mengalir darahnya tetapi bukan berarti kami sama."

"Baiklah. Nenek capek, mau istirahat. Kalian jangan lama-lama nanti masuk angin. Besok lagi berendamnya kalau belum puas. Sebentar lagi kita makan malam."

Nenek Euis beranjak meninggalkan kami ditemani Ibu Nayara. Azka yang sedari tadi menyibukan diri di taman mengikuti keduanya. Alvaro sempat melirik padanya dan disambut anggukan lelaki manis itu.

"Apa sebaiknya kita cek keadaan Nenek?"

"Biarkan Nenek istirahat. Lagipula ada Bu Nayara yang menemaninya. Kita pasti diberitahu kalau ada masalah."

"Mas baik-baik saja?"

"Kamu sendiri bagaimana? Situasi keluargaku tidak senormal keluarga lain." Pandangan Alvaro menatap langit-langit. Senyumannya getir saat memejamkan mata.

"Keluargaku juga bermasalah. Ayahku selingkuh. Aku sendiri bukan malaikat. Jika dinilai dari bibit, bebet dan bobot, nilaiku jauh dari sempurna. Aku tidak mengharuskan punya pasangan dari keluarga utuh. Dengan kekurangan yang pastinya banyak kumiliki, aku menerima semua ketidaksempurnaan pasangan. Selama masih menghargai, setia, tidak melakukan kekerasan fisik atau verbal, apapun apapun masalahnya bisa dibicarakan dan dicari solusi terbaik meski menyakitkan."

Senyum Alvaro merekah. Matanya terbuka. Ia bergerak dari tempatnya. Dalam sekejap kami saling berhadapan. Kedua tangan reflek menumpu pada bahu Alvaro saat gerakan kuat menarik pinggang merapat ke tubuhnya.

"Jawabanmu selalu tak terduga padahal aku sudah menyiapkan diri menghadapi keegananmu. Itu wajar mengingat setiap orang biasanya menghindari masalah. Sungguh Tuhan bermurah hati mempertemukan kita tapi maaf, kamu akan selalu jadi milikku."

Tubuhku mengigil karena sapuan suaranya di leher. Otak tak lagi kuasa mempertahankan nalar. "Bukannya normalnya orang akan memberi masukan positif apalagi lawan bicara pacar sendiri? Jangan berekspektasi terlalu tinggi. Pencapaianku belum ada apa-apanya dibanding perempuan di sekitar, Mas."ucapku mencoba tidak berpikir yang aneh mengingat suasana semakin memanas.

Kecupan singkat mendarat di keningku. Darah berdesir mengalir ke seluruh tubuh. Simpul-simpil dalam perut semakin menguat.

Tatapan Alvaro mengunci perhatianku pada hal lain. "Kalau begitu ayo kita saling mengembangkan diri. Gali potensi dan minatmu. Ikuti seminar, kursus atau kegiatan bermanfaat supaya menambah ilmu di luar kampus. Perluas pergaulan. Perbanyak koneksi. Gunakan waktu sebaik mungkin sebelum lulus kuliah. Tetap percaya pada kemampuan diri sendiri walau gagal berulang kali. Ingatlah keluargamu sebagai penyemangat. Kala ingin menyerah, berbaliklah, aku ada dibelakangmu dan menopangmu sampai kamu mampu kembali berdiri di atas kaki sendiri. Dan bila saatnya tiba, kita berdua akan sama-sama hebat dengan pencapaian masing-masing."

"Bicara itu mudah. Prakteknya susah."

"Kamu tidak berjalan sendirian. Aku akan membantumu. Bungkam orang-orang yang meragukan kemampuanmu. Percayalah, kamu pasti bisa selagi mau berusaha."

Kupeluk erat Alvaro. Mulai lelah menahan diri. Seharusnya aku yang memberinya semangat bukan sebaliknya. Kusandarkan kepala di bahunya sambil mengigit bibir bawah. "Bagaimana kalau semua tidak sesuai rencana. Kadang ekspektasi berbeda dari bayangan."

Alvaro menarik tubuhku hingga duduk di tepi kolam sementara ia tetap berdiri. "Dalam setiap kegagalan selalu ada pilihan, mau terpuruk atau bangkit. Obat tidak selalu manis begitu juga kehidupan. Sebenarnya aku ingin kamu duduk tenang menikmati semua yang kuberikan tetapi akan lebih adil memberimu ruang kembang selama tidak melupakan hubungan kita."

"Sepertinya sebelum aku macam-macam, Mas pasti sudah lebih dulu maju satu langkah bukan?"

"Aku hanya menjaga apa yang jadi milikku." Nada posesif terasa dalam setiap kata.

Jemariku mengusap rambutnya yang basah. Sesekali memberanikan diri mencium pipinya. Ah, nalar lenyap sudah. "Apa ini mimpi?"

"Menurutmu ini mimpi?" Dikecupnya pipiku hingga aku tergelak geli. "Sebenarnya aku sudah menebak tetapi ini lebih menakjubkan dari bayangan. Tubuhmu indah. Super sexy."

Bibir mengerucut. "Oh. Masa?"

"Lihat dirimu sendiri, Manis. Dada besar dan kencang. Bokong bulat sempurna. Wajah cantik seperti dewi. Penampilanmu memesona. Sifatmu menyenangkan. Apalagi yang harus kukeluhkan?"

Kucubit pipinya lumayan keras. "Hentikan. Azka pasti muntah kalau dengar."

"Tidak akan. Azka pasti setuju. Ia kuminta berjaga di ruangan lain dan akan memberi kode kalau ada petugas galak."

Suasana sepanas suhu kolam. Kami saling menatap, tersenyum dan berakhir dengan ciuman. Ciuman kecil berubah dalam dan liar. Alvaro kembali menarik pinggangku turun ke dalam kolam hingga sebatas leher. Di antara uap kami berdua terus bercumbu. Melupakan batasan terlarang. Diriku terhipnotis oleh nikmatnya godaan. Sentuhan demi sentuhan membuat hasrat semakin menggelora.

Ciuman Alvaro semakin tak sabaran tetapi dirinya masih mampu menjaga tangannya tetap di pinggangku sementara tangannya yang lain menumpu pada dinding, memastikan kami tidak kehilangan keseimbangan. Balasan ciumanku tidak kalah agresif. Kepala kosong. Hanya ada hasrat yang menuntut terpuaskan. Kedua tangan merakul kepalanya, memastikan posisinya tak berubah.

Wajah memerah oleh gelombang gairah bercampur uap panas. Geraman pelan terdengar di sela ciuman. Sebelah tanganku terjun bebas, menuruni leher lelaki itu dalam gerakan lambat, menyentuh otot dada lalu berlama-lama di perut yang rata. Kata malu tidak lagi berarti. Semua tertutup kabut gairah.

"Cukup sampai di sini, Sayang," desis Alvaro menahan tanganku di perutnya. "Kendaliku bisa hancur jika tanganmu turun. Pada waktunya nanti akan lebih menyenangkan daripada ini."

Kepala mendadak pusing. Hasrat teredam berganti rasa malu. Kesadaran kembali membagunkan akal sehat nalar.

"Tidak apa-apa. Setiap orang bisa terbawa suasana. Kamu tetap yang terbaik." Alvaro mengusap pipiku seolah bisa membaca pikiran. "Kita sudahi berendamnya. Ayo naik."

Alvaro naik lebih dulu lalu membantuku menaiki tepian kolam. Tubuh mulai mengigil. Kedua tangan meraih kimono dan terburu-buru memakainya. Begitu juga dengan tanktop yang tergenggam erat dipelukan. Kami belum beranjak. Lelaki itu menahan langkahku. Dikeringkannya rambutku dengan handuk yang ia bawa. Sesekali aku bersin terkena sapuan angin dingin.

"Nah, sudah selesai. Sekarang pergi ke kamarmu dan mandi. Jangan lupa pakai jaket. Aku akan minta Ibu Kanaya menyiapkan teh manis hangat untukmu. Hari ini kita makan malam di vila. Ada makanan yang kamu mau?"

"Makan yang ada saja." Gigiku gemeletuk menahan dingin.

"Kamu pergi duluan. Aku tutup pintu dulu."

Alvaro berjalan menuju pintu dorong pembatas sementara aku melangkah menjauhi kolam. Dorongan berbalik menghentikan kakiku. "Mas."

"Ya?" Alvaro menoleh padaku.

Senyumanku menyungging lebar. "I love you."

"Love you too, Sayang. Sana cepat mandi nanti masuk angin."

Liburan tanpa rencana mengukir banyak kenangan menyenangkan. Tujuan Alvaro tercapai. Nenek Euis pulang dengan perasaan puas dan senang. Ia tidak berhenti bercerita sepanjang jalan. Sejumlah makanan dan souvenir menumpuk di bagasi.

Hubunganku dan Alvaro semakin membaik meski tidak banyak berubah. Di satu sisi perkembangan ini membuatku senang. Di sisi lain kekhawatiran selalu muncul. Nilai perasaanku padanya melebihi yang kupikirkan. Setiap detik aku menginginkannya. Berada di dekatnya menimbulkan candu. Kerinduan sulit dibendung. Meskipun begitu aku masih bisa fokus pada kegiatan lain.

Aku tetap bersikap biasa di depan Nenek Euis. Semua masih berada pada batas normal. Keadaan berbeda saat kami hanya berdua. Meski dalam waktu singkat aku merasa lebih penuntut dan manja, terkadang berlebihan.

Alvaro tidak mengeluh sekalipun sikapku menguji kesabaran. Kerewelanku tak membuatnya jijik. Ia menunjukan kemarahan dalam beberapa tipe. Tatapan tajam layaknya siap berperang plus kata-kata sinis terucap saat cemburu. Tapi ia akan mendadak diam, bersikap dingin dan tak acuh jika luar biasa marah. Aku tidak sengaja situasi seperti itu saat menemaninya mengawasi perkembangan pembangunan pabrik. Beberapa orang karyawan yang ikut dari Jakarta pucat pasi menghadapi kemarahan Alvaro. Aku yang memerhatikan dari kejauhan hanya bisa berempati.

Azka melarangku mendekatinya. Sebagai penangung jawab terbesar di perusahaan, Alvaro memiliki cara tersendiri mengatasi setiap masalah. Setiap karyawan dari level jabatan paling tinggi sampai bawa sudah terbiasa dengan ketegasan Alvaro. Ada timbal balik termasuk setiap kali melakukan pelanggaran atau kesalahan. Penjelasan Azka memang masuk akal tetapi menghadapi Alvaro dalam keadaan marah level seribu tetap saja menyeramkan.

Pesan Azka menempel dalam ingatan. Kesabaran Alvaro padamu melebihi batas kesabarannya pada diri sendiri. Satu hal yang kadang membuatnya lepas kendali adalah keluarga. Kamu tahu sendiri hubungan mereka sangat rumit. Alvaro mengingat ayahnya sebagai penghancur kebahagiaan ibunya. Jadi tolong jangan menyembunyikan apapun yang menyangkut ayah dan keluarganya dari Alvaro. Aku tidak ingin ia memarahimu seperti pada mereka.

Kehidupan berjalan seperti biasa. Persoalan Genta bukan lagi urusanku. Gosip tentang keluarganya tidak lagi menarik. Masa lalu sebaiknya terkubur. Kenangan baik maupun buruk biarlah menjadi pengalaman.

Hal yang hingga detik ini membuatku penasaran adalah alasan dibalik ketidaksukaan Nenek Euis, bukan hanya pada Laura tetapi keluarganya. Aneh kalau menjadikan penampilan sebagai satu-satunya penyebab. Terlebih Alvaro mengatakan bahwa Laura rela mengubah penampilannya demi mendapat respon positif.

Meski belum terlalu lama mengenal ,Nenek Euis yang kukenal tak sepicik itu menilai seseorang hanya dari satu sisi. Setiap kali kami pergi dan bertemu dengan perempuan berpakaian minim sekalipun, ia berkomentar layaknya ibu pada anaknya, itupun hanya sebentar dan tanpa koar-koar. Selebihnya ia melupakan apa yang dilihatnya.

Penampilanku sehari-hari kadang asal-asalan. Tidak mengikuti mode terbaru. Lebih sering memakai kaus oblong dan jeans kumal jika terburu-buru. Menggelung rambut asal-asalan saat ke kampus sudah jadi kebiasaan. Bahkan Nenek Euis biasa saja saat aku pulang dengan rambut biru karena keisengan Mia. Tidak ada komentar aneh atau perintah agar lebih memerhatikan penampilan.

"Weekend masih lama ya," keluh Mia. Ia bersandar sembari menatap langit-langit ruang kelas. Teman-teman kami mengobrol sambil menunggu dosen datang. Sekelompok teman lelaki asyik bergerombol di depan pintu masuk.

"Baru juga Selasa sudah nanya kapan weekend. Memangnya kalau kamu mau apa?" tanyaku menatap layar ponsel, melihat-lihat media sosial.

"Ya bersenang-senang suka-suka hati dong. Tidur sepuasnya. Nonton sepuasnya. Jalan-jalan sepuasnya. Semua serba sepuasnya." Mia mengerucutkan bibirnya. "Eh. Ada gossip baru lagi soal Genta. Mau tahu tidak?"

"Skip. Ganti topik. Aku bosan dengar bahasan vidio itu terus."

"Mm masih ada sangkut pautnya sih. Pokoknya dengarkan saja. Kabarnya ayahnya Genta sudah ketemu dan sedang ditanyai hubungannya sama vidio itu. Lalu ada lagi, masih rumor, katanya perusahaan keluarga Genta terancam bangkrut."

"Mau bangkrut atau tidak bukan urusan kita."

"Terus hubunganmu sama Alvaro gimana?"

"Biasa saja."

"Huh. Tidak asyik."

Sebuah pesan masuk muncul dilayar tepat sebelum dosen memasuki ruang kelas.

"Hai, Frey. Maaf ganggu. Ini aku Amanda. Sekarang aku lagi di Bandung. Bisa kita ketemu sebentar? Ada yang ingin kubicarakan. Hubungi aku kalau kamu bisa ya. Thanks."

Pesan Amanda menganggu konsentrasi hingga kelas berakhir. Apa yang ingin dibicarakan? Kami tidak mengenal dekat. Tidak pernah terlibat konflik atau pertengkaran. Bertemupun bisa dihitung jari. Ini pertama kali ia mengajak bertemu tanpa Alvaro.

Mungkin ia ingin membicarakan sesuatu tentang Alvaro, pikirku berpikir positif.

Amanda baru kuhubungi setelah pulang kuliah. Niat mengabaikan tak sejalan dengan desakan rasa penasaran. Beberapa lama aku menimbang baik dan buruk pertemuan nanti. Amanda kembali mengirim pesan tepat sebelum menaiki motor. Ia membujuk agar bisa bertemu sore ini di restoran di pusat kota. Tawarannya kusanggupi mengingat Alvaro memperlakukan Amanda layaknya adik sendiri. Seharusnya pertemuan nanti tak lebih dari obrolan santai. Mungkin.

Aku terlambat lima menit dari waktu pertemuan karena macet. Amanda lebih dulu tiba. Ia duduk sendiri di salah satu meja yang bersebelahan dengan jendela kaca berukuran besar. Restoran pilihannya terkenal enak dan mahal. Furnitur dari kayu berlapis kulit, hiasan lampu kristal, nuansa cokelat dan hitam hampir mendominiasi interior. Atmosfer begitu nyaman memanjakan pengunjung. Alunan musik mengalun lembut mengiringi langkah dipandu seorang pelayan.

Sore itu Amanda memakai dress kuning cerah berrenda di sekitar bahu. Rambutnya tergerai lurus. Polesan wajahnya tidak berlebihan tetapi justru menonjolkan kecantikan alami. Secara keseluruhan ia menawan. Laura mungkin memiliki daya tarik serupa.

"Sore." Pandangan Amanda beralih dari jendela. Keterkejutannya berganti senyuman.

"Ah. Sore, Frey. Maaf ya ganggu waktu kamu. Ayo duduk."

Kuseret kursi di hadapannya. Bersikap setenang mungkin menghalau kecanggungan. Bagaimanapun hubungan kami sebatas saling kenal. Lebih mirip orang asing dibanding teman. Satu-satunya yang mengaitkan kami adalah Alvaro.

"Oh ya. Kamu mau makan apa? Kebetulan aku belum pesan. Pilih saja yang kamu suka."

"Terima kasih. Aku baru saja makan," jawabku berbohong.

"Jangan begitu. Kamu datang saja aku sudah berterima kasih. Jadi biarkan aku mentraktirmu sebagai balasan."

Desakan Amanda meluluhkan gengsi. Percuma terus menolak mengingat perutku mulai meraung minta terisi.

Alis bertaut melihat daftar menu. Bukan karena nama beraneka macam menu yang sulit dibaca tetapi rata-rata harga setiap menu. Meski Alvaro pernah mengajak makan di restoran mahal tetap saja dompet meringis membayangkan ratusan ribu melayang untuk sekali makan.

Aku memesan pasta dan lemon tea dingin meski Amanda menawari menu lain. Kami belum cukup saling mengenal. Menurutku kurang tepat memanfaatkan tawarannya sekalipun ia tidak keberatan. Amanda sendiri memesan steak dan minuman soda.

"Sebenarnya aku tidak enak mengatakan ini." Ia menghela napas panjang. Jemarinya saling bertaut di atas meja. "Sebelumnya jangan salah paham. Ada seseorang yang sangat ingin menemuimu. Ia minta tolong bahkan memohon bisa bertemu kamu. Kuharap kamu merahasiakan ini dari Alvaro. Niatku hanya ingin memperbaiki hubungan supaya kelanjutan hubunganmu dan Alvaro berjalan lancar. "

Perasaan mendadak tak karuan. Alarm bahaya bergaung dalam kepala, meminta cepat pergi. "Tunggu dulu. Siapa yang kamu maksud?"

"Ibu sambung Alvaro." Amanda melirik ke jendela. "Ia sudah sampai."

Kekhawatiran terbukti. Tubuh mendadak kaku. Sebuah kejutan yang tak kuharapkan. "Kamu tidak menyebut ibu tiri Alvaro akan ikut pertemuan kita. Seharusnya kamu mengatakannya dari awal."

"Caraku memang salah tapi percayalah niatku baik. Mereka sudah tahu hubungan kalian. Bagaimanapun Alvaro masih punya orang tua dan wajar saja kalau ingin tahu perempuan seperti apa yang akan jadi bagian dari keluarga mereka. Alvaro tidak bisa selamanya menyembunyikanmu."

"Masalahnya bukan itu. Alvaro bisa salah paham. Aku tidak ingin menyembunyikan apapun darinya apalagi ini menyangkut keluarganya."

"Alvaro tidak akan tahu kalau kamu tidak memberitahunya."

"Bagaimana kalau ia tahu tanpa kuberitahu? Pembelaan apa yang akan kamu siapkan?"

"Ia datang. Tolonglah Frey. Kali ini saja. Demi kebaikanmu, agar nasibmu tidak seperti kakakku." Suara Amanda memelan sebelum bangkit dan menyapa seseorang di belakangku.

Sial. Jalan keluarku tertutup. Begitulah kira-kira situasi sekarang. Pilihan yang tersisa hanya menghadapi situasi.

Teriakan memaki Amanda bersahutan memenuhi kepala. Seharusnya ia memikirkan perasaan Alvaro. Memikirkan posisiku. Sekalipun berniat baik, idenya terlalu berisiko. Alvaro tidak akan membiarkan aku menemui keluarganya seorang diri.

Perut mendadak mual membayangkan kekecewaan lelaki itu. Ketegangan mengalir deras.  Semua terpaksa kuhadapi sekalipun pertemuan ini tidak memberi kesan baik di mata ibu tiri Alvaro.


tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro