Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chap #21

Remasan jemari Alvaro menyadarkan keterkejutan. Kepala mendongkak dan menemukan alis lelaki itu terangkat diiringi senyum menawan. Aku membalas senyumannya mengabaikan gelisah yang muncul tiba-tiba. Pertemuan tak terduga dengan Genta terlanjur menganggu hari yang cerah.

Dulu sering kali diriku tidak sepaham ketika bersama teman-teman Genta terutama teman perempuannya. Mereka menunjukan wajah sebenarnya saat aku sendirian. Sebutan atau sindiran tak enak didengar terlontar tanpa memikirkan perasaanku. Kalimat bernada penghinaan kuanggap angin lalu. Berpura-pura saat itu jalan paling aman dan membalas setiap ketidaksukaan hanya dalam hati. Masa bodoh dibilang pengecut. Aku tidak ingin menambah masalah saat mengerti sifat Genta semakin lama semakin melelahkan. Mungkin mereka berpikir bisa membuat mentalku terpuruk. Tidak kupungkiri kalau sikap menyebalkan mereka memang terganggu tetapi tetap saja dunia tidak lantas kiamat. Bahkan nilai-nilaiku justru semakin bagus sejak putus dengan Genta.

Rumor buruk tentangku biasanya dihembuskan orang-orang di sekitar Genta. Soal matrealistis dan asas manfaat paling sering terdengar. Sangat mudah mengetahui siapa dibalik semua, mengingat sebelumnya reputasiku terbilang bersih. Kehidupanku biasa saja layaknya mahasiswa yang sibuk dengan jadwal kuliah dan tumpukan tugas. Kabar tentangku tidak jauh dari pencapaian akademik, mahasiswa kutu buku dan hal biasa lainnya. Walau pernah disukai beberapa senior tapi tidak pernah sampai timbul berita miring. Hanya setelah pacaran dengan Genta kenyamananku terusik. Rumor itu akhirnya hilang sendiri mengingat kenyataannya sejak awal kuliah hingga detik ini gaya hidup atau kepribadianku tidak berubah.

Tujuanku tetap fokus pada masa depan. Keuangan yang tidak stabil memaksa mata terbuka lebar akan realita.

Sementara itu citra positif Genta berhasil mengaburkan keburukan hingga ia terlihat bak pangeran sempurna di mata penggemarnya. Meski begitu tidak sedikit yang mulai menyadari sisi lain dari Genta, bahwa lelaki itu bersembunyi dibalik topeng demi menarik simpati. Hanya saja mereka memilih diam dan tidak ingin membiarkan nama mereka terseret mengingat pengaruh keluarga Genta.

Sikap pasifku membuat Mia cukup salut sekaligus jengkel terlebih di awal putus banyak sekali gangguan dari teman-teman Genta. Perhatian mereka teralihkan dariku saat bermasalah dengan beberapa senior. Kabar yang beredar teman-teman Genta ketahuan mengomel dan menjelek-jelekan senior yang jadi asisten dosen waktu praktikum.

Apakah mereka berubah? Tidak sepenuhnya. Lebih tepatnya lebih hati-hati agar tidak ketahuan.

Pada akhirnya ketidakpedulian berbuah manis. Suara sumbang menghilang tanpa perlu melewati drama panjang. Meski keberadaan teman-teman Genta di sekitar kampus seperti duri dalam daging, kehidupanku berjalan normal.

"Genta sama teman-temannya ada di sini. Aku harus gimana?"

"Kamu takut?" Suara Alvaro begitu tenang, terlalu tenang malah.

Kepalaku menggeleng. Takut? Satu-satunya yang kutakutkan keberadaan mereka menghancurkan hari yang cerah. "Aku cuma kaget. Aneh saja lihat Gentadi sini. Biasanya Genta selalu menolak keras sewaktu dulu aku minta ditemani ke tempat ini."

"Mungkin sekarang ia punya alasan khusus."

"Mungkin." Bahuku terangkat sambil melirik Nenek Euis yang sedang bicara dengan penjual kain dan mengabaikan jarak kami yang lumayan jauh. "Mereka kemari."

"Masih ada waktu kalau kamu ingin menunda. Aku tidak keberatan menunggu sedikit lebih lama. Kita bisa cari alasan yang masuk akal."

Aku tahu yang Alvaro maksud dengan kata menunda. "Biarkan saja. Cepat atau lambat mereka akan tahu. Sudah waktunya berhenti berlari. Mereka bisa bergosip sesukanya. Tidak ada yang bisa kulakukan soal itu. Yang jelas aku juga berhak menikmati pilihan hidup."

Dalam hitungan menit Genta dan teman-temannya mendekat begitu kami selesai bicara. Mereka menyapa kami. Raut-raut terkejut, penasaran bercampur sinis begitu mudah dikenali terutama saat pandangan itu ditujukan padaku. Sorot meremehkan tidak lagi menciutkan perasaan. Untuk kesekian kali aku menolak mengalah di bawah bayang-bayang mereka.

Mereka memang lebih cantik. Keluarga mereka lebih kaya. Tapi aku cukup yakin kemampuan akademikku tidak kalah istimewa. Aku hanya perlu lebih berusaha keras dan berdoa supaya suatu hari kelak bisa sukses meski jalan yang kutempuh sekarang terseok-seok.

Keberadaan Alvaro memberi kekuatan. Posisi kami tidak saling menggenggam tangan mengumbar kemesraan. Kami hanya berdiri berdampingan. Satu yang kusadari senyuman Alvaro terkesan lebih dalam dari yang terlihat. Tatapannya mencermati setiap gerakan layaknya predator.

"Wah. Bapak bakal sering-sering ke kampus dong," canda salah satu dari mereka yang diikuti tawa yang lain kecuali Genta begitu mengetahui status hubungan kami.

"Tapi kita beneran kaget lho. Soalnya Bapak tidak pernah kelihatan bareng sama Freya," ucap teman perempuan Genta yang tidak terlalu kukenal. Ia sengaja menekan panggilan Bapak sedemikian rupa untuk menggambarkan perbedaan umur.

Semua pertanyaan ditanggapi baik oleh Alvaro. Ia sama sekali tidak menunjukan reaksi berlebihan. Godaan dibalut sindiran halus pun tak membuatnya tersinggung. Ia jelas mengabaikan bagian terburuk seolah sedang menghadapi sekelompok anak ingusan.

"Kalian sudah lama pacaran,Frey?" Perempuan tadi melirik padaku meski nadanya terdengar meremehkan.

"Belum satu tahun."

"Kalau anak-anak yang lain tahu pasti heboh," ucapnya lagi.

"Kayaknya biasa saja. Yang pacaran di kampus bukan cuma satu dua pasang. Di fakultas lain malah ada yang pacaran sama artis atau model." Balasanku tetap tenang.

"Tapi kan Pak Alvaro bukan anak kampus. Lagian Pak Alvaro kan banyak yang suka."

Oh, mulai deh. Di mata mereka jelas akulah yang beruntung mendapatkan Alvaro bukan sebaliknya.

"Ide bagus," sela Alvaro. "Biar yang mendekati Freya mundur teratur."

Mereka mendadak terdiam. Beberapa melirik Genta yang membuang muka.

Nenek Euis tiba-tiba muncul di dekat kami. Kehadirannya menjadi penyelamat. Kelegaan memudar menyadari Nenek Euis ikut bergabung dalam obrolan. Nenek Euis mengatakan bahwa aku dan Alvaro sangat serius tanpa mengetahui situasi sebenarnya sewaktu salah satu dari mereka bertanya tentang kedekatan kami. Pernyataan itu mengakhiri pertemuan dengan senyuman lebar di wajahku.

Aku mendesah lega dan merangkul lengan Nenek Euis. Alvaro yang berjalan di sampingku sesekali mengusap rambut. Sementara itu aku melihat tatapan tidak suka teman-teman Alvaro yang memperhatikan dari kejauhan. Genta lebih banyak diam meski aku yakin hatinya berontak membaca ketidakpedulianku.

Mungkin gossip tentang hubunganku dan Alvaro akan tetap berhembus. Suka tidak suka kemungkinan itu terbuka lebar jika mengingat kebiasaan buruk teman-teman perempuan Genta. Sulit berpikir positif tentang mereka. Tapi sekarang semua tidak terlalu menganggu. Aku pernah berada di masa-masa sulit setelah putus dari Genta. Tudingan miring, fitnah dari kanan kiri sampai tatapan sinis kutelan bulat-bulat. Jika dulu aku bisa melewatinya dengan kemenangan mengingat rumor itu tidak berpengaruh pada nilai maupun pertemanan, esok atau kapanpun hasilnya akan tetap sama selama berpegang teguh pada kunci cuek.

"Senyum terus. Ada yang menarik?" Alvaro bersiap menjalankan mobil setelah menurunkan Nenek Euis di apartemen. Perempuan paruh baya itu memilih beristirahat daripada menerima tawaran kami berjalan-jalan seusai membeli kain. "

Pandanganku menatap lurus kaca depan. "Perasaanku sedikit lebih tenang sekarang."

Alvaro terdiam sesaat. Kedua tangannya mencengkram stir tetapi mobil belum bergerak sedikitpun. "Jika ketenanganmu terusik, kamu bisa menghubungiku. Jika panggilanmu tak terjawab, itu artinya aku sedang kerja dan akan meneleponmu setelah pekerjaan selesai."

"Mas tidak perlu seserius itu. Aku tahu hubungan kita ke depannya akan lebih berwarna. Mungkin bakal lebih sulit tapi sekarang aku ingin menikmati kebebasan. Bebas pergi sama Mas tanpa mengkhawatirkan banyak hal. Aku ingin seperti pasangan normal lainnya."

"Bukan soal serius atau tidak. Ini menyangkut kamu, bagian terpenting sekarang." Mobil mulai bergerak meninggalkan pelataran apartemen. "Nah hari ini kita akan bersenang-senang. Kita akan pergi ke tempat yang kamu inginkan, makan makanan yang kamu mau atau membeli sesuatu yang membuat perasaanmu semakin senang."

"Bisa jalan-jalan sama Mas saja aku sudah senang. Mas juga harus senang. Tidak lucu kalau Mas merasa sebaliknya."

"Kalau boleh memilih, aku lebih suka memelukmu seharian."

Tubuhku reflek condong ke arah Alvaro. Kepala bersandar di bahunya. Tangan melingkari lengan kokoh lelaki itu dan merapatkan rangkulan. "Begini sudah cukup?"

"Menggemaskan sekali pacarku. Beri aku ciuman baru aku tidak protes."

Setengah malu-malu kepala mendongkak dan mendaratkan ciuman singkat di pipi Alvaro. Ia melirik singkat. Matanya menyipit seolah tak puas walau akhirnya tertawa.

Belum pernah langkah kaki terasa ringan sejak memulai hubungan bersama Alvaro. Semua hal yang awalnya abu-abu berubah menjadi warna warni. Kebahagiaan tidak bisa kututupi.

Waktu berlalu begitu cepat. Kami menghabiskan hari bersama-sama. Alvaro memberikanku keleluasaan memilih kegiatan, makanan atau apapun yang kusukai. Bukan berarti aku seenaknya memanfaatkan kebaikannya. Aku masih cukup tahu diri, menjaga batasan dan bersikap sewajarnya. Kami pun tidak mengumbar kemesraan berlebih. Terkadang Alvaro merangkul bahuku, melingkarkan lengannya di pinggangku atau mengenggam tangan untuk membuktikan kepemilikannya. Ia hanya sering kudapati menatap lekat tanpa suara. Kaki seolah tak berpijak karena perhatiannya.

Malam harinya melihatku belum mengantuk, Aku mengajak Alvaro ke atap. Lelaki itu sempat melarang mengingat hujan baru saja belum lama berhenti. Tapi aku sangat bersikeras hingga ia akhirnya mengalah.

Berbalut jaket tebal yang jadi syarat kalau ke atap melekat erat tubuhku.  Alvaro berjalan sambil sesekali memerhatikan ocehan tidak jelasku yang terlalu senang. Sesekali ia menarik genggaman tangannya agar posisi kami merapat. Ia sendiri hanya memakai sweater tipis dan mengabaikan keluhanku tentang pilihan pakaiannya.

"Jangan terlalu lama, Frey. Dingin sekali di sini. Pemandangannya memang indah tapi tidak bagus untuk tubuhmu." Alvaro berdiri menghadapku, mengabaikan cahaya-cahaya menakjubkan di bawa sana.

"Sebentar saja. Aku ingin menikmati momen ini selagi ingat." Mataku menatap dada bidang yang dibungkus sweater biru. "Lagian Mas sendiri malah pakai sweater tipis."

"Aku tinggal memelukmu seperti ini kalau butuh kehangatan." Alvaro bergerak cepat, memeluk dari  belakang dan melingkarkan lengannya di perutku.

Seketika darah berdesir. Rasa malu sekaligus bahagia bercampur, menciptakan kepak mengelikan di bagian perut.

"Bagaimana perasaanmu? Lega atau menyesal karena hubungan kita diketahui orang lain?"

"Agak khawatir sih tapi bukan karena menyesal. Aku malah bersyukur Genta melihat kenyataan."

Kusandarkan tubuh lebih rileks di dada Alvaro. Tersenyum saat merasaka kecupan di rambut dan sengaja menumpukan dagunya di kepalaku."Apa yang kamu khawatirkan?"

"Mm... gimana ya. Khawatir saja kalau ternyata aku tidak sekuat yang pikiranku gaungkan."

"Kamu perempuan yang sangat kuat. Kamu hanya perlu meyakininya melebihi keraguan."

Suasana di antara kami berubah hening. Hanya hembusan angin dan  samar suara keramaian terdengar sesekali.

"Menurut Mas begitu?"

"Tentu."

"Mas sendiri benar-benar yakin kalau berita kita tersebar?"

"Aku tidak pernah peduli hubungan sebelumnya jadi bahan pembicaraan publik. Denganmu aku harus lebih berhati-hati agar hubungan kita tidak menyusahkanmu."

Kepalaku mendongkak. Menatap bola matanya yang hitam legam. "Hubungan ini tentang kita. Bukan hanya kepentinganku yang diperhatikan."

"Namaku sudah tidak asing dengan gosip. Bagiku berita di luar sana hanya angin lalu. Bukan berarti aku tidak pernah beraksi. Aku manusia biasa, pernah lepas kendali terutama kalau sampai menganggu pekerjaan. Jadi jelas kamu dapat perhatian lebih."

"Mas yakin?" ulangku pelan.

Pelukan Alvaro menguat. Kedua tanganku yang memegang lengannya bisa merasakan ototnya mengeras. "Aku milikmu meskipun dunia tak merestui."

*****

Keberadaan Alvaro mewarnai hari yang membosankan. Sejak kedatangan lelaki itu Nenek Euis lebih cerewet dari biasanya. Wajahnya berseri-seri setiap kali bercerita. Kebahagiaannya tidak ditutupi. Dibanding diriku, ia jelas sangat merindukan cucunya. Kondisi serupa dirasakan Alvaro. Ia selalu tertawa mendengar lelucon Nenek Euis yang sama sekali tidak lucu. Ia akan diam begitu menyadari hanya butuh jadi pendengar.

Pagi tadi kami pergi seharian. Kali ini Nenek Euis meminta diantar ke berbagai tempat wisata di daerah Lembang. Aku dan Alvaro menurut, tidak ada keluhan meski harus terjebak macet.

Menjelang sore kami baru kembali ke apartemen. Alvaro dengan sigap meraih belanjaanku walau kedua tangannya sudah penuh dengan kantong belanjaan Nenek Euis. Ia mengacuhkan kebingunganku pergi lebih dulu bersama Nenek Euis.

Begitu tiba di kamar, aku segera meletakan belanjaan di tempat tidur sebelum akhirnya bersihkan diri. Tubuh yang lelah setelah menghabiskan waktu di luar terasa lebih segar. Barang belanjaan kurapikan setelah memakai pakaian tidur. Sebagian besar yang kubeli makanan dan pernak pernik.

Berbaring di tempat tidur terasa sangat nyaman setelah seharian berkeliling tempat wisata. Kaki terasa pegal namun semua setimpal dengan kebahagiaan yang kurasakan. Genta dulu memang protektif tapi disaat bersamaan bisa tak acuh jika berada di antara teman-temannya. Bahkan sekalipun tahu aku kesulitan berbaur saat membahas topik mengenai kegiatan atau barang mewah, ia sama sekali tidak membantu membuat situasi lebih nyaman. Entah karena Alvaro lebih berpengalaman soal perempuan atau karena perasaanku yang sedang mabuk kepayang, aku merasa lebih diperhatikan.

Alvaro tidak hanya peduli pada Neneknya, ia selalu memastikan aku berada di dekatnya. Matanya mengawasi setiap kemana kakiku melangkah. Beberapa kali kami terpisah karena perhatianku teralih sementara ia dan Nenek Euis pergi ke arah berlawanan. Dan setiap kali itu pula ia segera mencariku, mengomeli lewat tatapan tajam. Kekesalannya memudar begitu aku tersenyum menggoda.

Tubuh tiba-tiba merinding. Kebahagiaan yang terasa seperti mimpi kadang terlalu bagus untuk jadi kenyataan. Bukan berarti Alvaro sangat suci, dosa masa lalunya bukan sekadar rumor tapi apa kali ini ia benar-benar berubah?

Kepalaku menggeleng, menepis kekhawatiran yang menjengkelkan. Ada baiknya diriku belajar mengurangi berpikir negatif lebih keras. Masa depan itu misteri. Baik dan buruknya seseorang detik ini belum tentu bertahan selamanya. Disamping itu akupun bukan orang yang bersih dari dosa.

Kupejamkan mata dan menikmati keheningan. Detak jam samar mengingatkan setiap detik waktu yang terlewati . Perlahan suara-suara dalam kepala mulai tenang bersamaan dengan serangan kantuk. Berulang kali kucoba melawan karena tidak berniat tidur cepat. Akhirnya kesadaran menyerah oleh dorongan lelah, memberi ruang beristirahat selama beberapa menit hingga akhirnya tertidur pulas, lebih pulas dibanding sebelumnya.

Langit sudah gelap begitu terjaga. Tidurku sangat pulas hingga tanpa sadar jam sudah menunjuk pukul setengah tujuh. Kepala masih terasa pening karena memaksakan diri bangun. Hal yang mengganggu tidurku adalah panggilan masuk yang ternyata salah sambung. Rasanya menyebalkan karena untuk kembali memejamkan mata sepertinya tidak mungkin.

Perlahan aku bangkit, mengabaikan godaan untuk tetap di kamar dan bersantai menonton drama korea sampai puas. Tidak ada pemberitahuan, panggilan masuk atau pesan di ponsel selain dari Mama. Ia menanyakan keadaanku seperti biasa. Panggilannya yang tak terjawab membuatnya khawatir. Aku mengerutkan kening sambil membaca setiap kalimat pesan Mama.

Komunikasi kami memang tidak setiap hari mengingat aku kadang lupa mengabari karena lelah atau sibuk. Selama ini Mama mengerti keadaanku. Ia jarang bersikap terlalu posesif. Tapi kekhawatiran yang tersirat ditulisannya sedikit aneh. Mama tiba-tiba saja ingin tahu detail kegiatanku. Mulai dari jam pulang kampus sampai di tempat siapa aku tidur.

Aku sengaja tidak segera membalas. Aku perlu menenangkan diri, bersikap lebih santai dan mengumpulkan segala pikiran positif sebelum bicara dengan Mama. Entah kenapa perasaan mendadak was-was. Ketidaknyamanan membuat jantung berdetak sangat kacau.

"Frey? Kamu masih bangun." Suara ketukan dan panggilan terdengar dari balik pintu.

Kuletakan ponsel di meja, merapikan rambut dengan jari lalu bergegas membuka pintu. Alvaro berdiri sambil tersenyum. Ia tampak santai berbalut kaus putih dan celana selutut warna khaki. Rambutnya terlihat basah, membuat wajahnya tampak segar.

Telapak tangannya yang dingin mengusap pipiku. "Capek, Sayang?"

Kepalaku menggeleng lalu meraih tangannya. Kedua jemari kami saling menggenggam. "Mas sudah makan malam?"

"Belum. Aku ingin makan bersamamu. Tadi aku sempat kemari tapi sepertinya kamu tidur."

"Kalau begitu Mas pergi duluan ya. Aku mau bersih-bersih dulu."

"Oke. Jangan lama ya." Ia menarikku mendekat, mendaratkan ciuman singkat di kening.

Aku buru-buru ke kamar mandi setelah Alvaro berbalik. Selama membasuh muka dan menggosok gigi pikiran melayang kemana-mana. Di satu sisi sangat senang sementara sisi lain merasa cemas. Hal yang kucemaskan adalah Alvaro, lebih tepatnya hubungan kami.

Status kami tidak lagi perlu disembunyikan. Jika perkiraanku tak salah, aku akan mendengar kabar itu begitu masuk kuliah. Meski Genta pernah mengatakan akan menahan teman-temannya membuat kabar burung tetapi setelah kejadian kemarin, aku pikir ia akan berhenti mengharap kesempatan kedua.

Kepercayaan diri belum begitu kuat tetapi semua telah terjadi dan aku mengambil keputusan secara sadar. Tidak pernah terbayang sebelumnya akan menjalin hubungan dengan seseorang seperti Alvaro. Tapi detik ini, di waktuku sekarang semua memang nyata. Aku hanya perlu mengalihkan perhatian pada masa depan, kuliah, orang-orang yang benar-benar peduli dan keluarga. Saat tiba di kampus nanti kehidupanku akan tetap sama. Mungkin akan lebih menutup telinga dari suara-suara sumbang.

Ada hal lain yang membuatku khawatir. Cepat atau lambat hubunganku akan sampai pada Mama. Aku tidak terlalu yakin Mama akan melihat Alvaro dari sisi positif mengingat masa lalu lelaki itu bertebaran di dunia maya bahkan pernah diberitakan di acara gossip. Mama paling benci lelaki yang gemar gonta-ganti pacar.

Kembali ke kamar ponsel kembali bergetar. Nama Mama muncul di layar. Perut tiba-tiba melilit. Ketakutan tidak bisa disembunyikan.

Setelah menghela napas berulang kali aku mengeser tombol warna hijau.

"Halo, Ma."

"Kamu di mana, Frey?" Suara Mama dingin dan datar.

"Di rumah teman, Ma."

"Teman siapa? Mia?"

"Bukan, Ma. Teman kampus. Ada tugas jadi sekalian tidur di kosan teman."

"Kamu pulang sekarang. Mama mau bicara."

"Pulang ke mana? Mama di mana sekarang?"

"Pulang ke rumah. Mama baru datang tadi siang sama nenekmu."

"Memangnya mau bicara apa, Ma? Kayaknya serius banget. Soal penjualan rumah?"

Ada jeda singkat sebelum suara di seberang terdengar. "Kita akan bicara tentang kehidupan lain yang kamu sembunyikan. Mama kecewa. Apa kamu lupa dengan tanggung jawabmu akan menjaga nama baik keluarga, menjaga harga dirimu sebagai perempuan?"

"Maksud Mama apa sih? Tetangga mana lagi yang nyebarin gosip? Aku masih perawan, Ma. Kita ke rumah sakit kalau Mama tidak percaya."

"Cepat pulang. Mama tunggu sekarang."

Baru saja sambungan terputus sebuah pesan masuk ke ponsel. Mia mengirim sebuah artikel. Foto yang tidak asing menghias sampul berita.  Aku menelan ludah. Fotoku dan Alvaro saat pergi bersama Nenek Euis terpampang. Kami sedang berangkulan layaknya pasangan tanpa foto Nenek Euis tentunya. Membaca judul artikel itu membuatku tersenyum kecut.

Kekasih baru? Petualangan cinta Sang Don Juan belum berakhir.

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro