Chap 20
Mia mendengarkan ceritaku dengan antusias. Keceriaan, tawa atau sifat usilnya tertutup tatapan penuh belas kasih. Aku tidak mengharap respon seperti ini namun tetap membiarkan karena reaksi semacam itu normal terjadi saat seseorang mengetahui kabar tak menyenangkan. Mia menatapku layaknya korban yang perlu diselamatkan hanya saja sekarang aku merasa sedikit lebih kuat, lebih bisa menerima kenyataan. Semua sudah menjadi takdir hidup. Tidak ada kekuatan yang bisa mengubahnya.
Aku sengaja mengajaknya bicara di kafe dekat kampus seusai kuliah selesai. Kantin sering jadi salah satu tempat untuk mengobrol santai di kampus kecuali hari ini. Topik yang akan kubahas terlalu pribadi dan demi menghindari orang-orang senang bergosip. Alasan peting lainnya untuk berjaga-jaga kalau Genta tiba-tiba muncul. Genta memang tidak memiliki kaitan dengan ayahku tapi bertemu dengannya saat ini bisa memperburuk suasana hati.
"Aku tidak tahu harus bilang apa, Frey. Ceritamu di luar dugaan. Situasinya rumit sekali. Aku hanya berharap kamu dan ibumu bisa melewati masa sulit. Ibumu berhak bahagia. Ia layak mendapatkannya setelah bertahun-tahun menderita sendirian." Mia memaksakan senyuman yang tampak canggung. Ia mengaduk-aduk minuman dingin di gelas tanpa berniat meminuman. "Pengkhianatan. Rasanya belum percaya lelaki sebaik ayahmu bisa melakukan perbuatan itu. Aku kagum pada ibumu. Pasti tidak mudah menyembunyikan luka dan bersikap seolah perasaannya baik-baik saja."
Pandanganku beralih keluar jendela. Langit mulai gelap seiring berlalunya waktu. Lampu-lampu mulai menyala. Pemandangan yang menenangkan tapi tidak bagiku. "Aku juga berpikir begitu. Rasa sakitku tidak sebanding dengan pengorbanan ibuku. Dulu aku melihat ayah layaknya seorang kepala keluarga sempurna, ayah yang perhatian dan bertanggung jawab. Tidak sekalipun terpikir hal sebaliknya sedang terjadi. Yah, ada akhirnya, apapun alasannya, ayahku memiliki perempuan lain. Kasih sayangnya terbagi dan itu mengangguku."
"Bagaimana perasaanmu sekarang?"
"Masih sakit hati. Susah sekali buat lupa. Yang bisa kulakukan sekarang belajar ikhlas. Mau marah juga percuma. Ayahku sudah meninggal. Ia membawa rahasia kelamnya ke peristirahatan terakhirnya. Di sisi lain aku tidak bisa mendesak ibuku bercerita lebih jauh. Aku khawatir keingintahuan malah membuka luka lama."
Mia mengusap tanganku. Ia mengulum senyum meski masih menatap dengan sorot kasihan. "Sabar ya. Aku berdoa keluargamu diberi ketabahan. Seiring waktu kuharap kesedihan akan berganti bahagia. Omong-omong siapa saja yang tahu soal ini?"
"Baru kamu dan... " Aku menghela napas panjang. "Alvaro."
"Lalu bagaimana reaksinya? Aku pikir aku yang pertama tahu."Kening Mia berkerut. Bibirnya mengerucut. Ia tidak senang mendapati bukan dirinya yang pertama tahu.
"Situasinya memaksaku mengatakannya. Alvaro mendesak terus. Ia ingin tahu penyebab aku memilih kehujanan padahal ada kesempatan berteduh. Emosiku saat itu juga tidak stabil dan semua keluar begitu saja. Reaksinya sepertimu barusan. Ia memberi semangat, hal-hal semacam itu."
"Baguskan. Itu artinya ia perhatian. Kamu tidak suka?"
"Bukan begitu. Aku lebih merasa lega daripada senang. Cerita perselingkuhan ayahku adalah berita buruk. Ditambah setelah terbongkar, rasa khawatir, takut dan ragu susah hilang. Kalau ayahku yang selama ini bersikap seperti suami idaman bisa berbagi hati, apalagi Alvaro yang punya banyak penggemar. Aku tidak yakin sekuat ibuku. Harus kuakui perasaan pada Alvaro berbeda saat bersama lelaki lain. Didekatnya membuatku tenang dan takut secara bersamaan. Tidak jarang akal sehat dan logikaku mendadak tumpul. Menurutmu itu aneh?"
Mia menggeleng lalu menghabiskan minumannya. "Yang kamu rasakan wajar kok, Frey. Luka dan ketakutan bisa berpengaruh sama jalan hidup. Walau begitu lepas dari stigma yang Alvaro yang kesannya pantas disebut bajingan, belum tentu pribadi sebenarnya seperti yang digambarkan artikel gosip. Beri Alvaro kesempatan membuktikan penilaianmu keliru dan cobalah lebih santai. Tidak perlu berpikir terlalu jauh. Ada alasan kenapa Alvaro bertahan. Mungkin kamu memiliki semua yang Alvaro inginkan meski kamu merasa ada yang lebih pantas. Dan kalaupun percintaanmu tidak berjalan lancar, jangan takut sendirian, aku akan menemanimu menangis dan kita akan bersenang-senang sampai kamu lupa pernah patah hati."
"Tentu saja kamu kan belum punya pacar," candaku.
"Halah pacar itu urusan kecil. Aku bisa saja pacaran kalau mau tapi sekarang aku lebih suka berteman. Sementara menunggu pangeran datang, aku bebas bersama siapa saja, tanpa harus laporan atau dimarahi kecuali ayahku tentunya." Mia menutup mulutnya dengan cepat. "Sorry, Frey, aku tidak..."
"Tidak perlu minta maaf. Ayahmu memang baik walau kamu bilang ia tidak terlalu bisa mengekspresikan perasaan. Jika keadaan sekelilingku kacau, setidaknya hubungan orang tuamu jadi bukti bahwa di luar sana masih ada suami setia."
"Oh ya gimana sama Genta?" Mia berusaha mengalihkan pembicaraan. "Masih suka ganggu?"
"Genta sudah tahu soal Alvaro. Ia tahu hubungan kami lebih dari sekadar orang asing."
Mia terbatuk. Bola matanya membesar. Rautnya berubah serius. Dicondongkan tubuhnya ke arahku. Di wajahnya tergambar rasa penasaran yang sangat besar. Aku tersenyum dan menceritakan pembicaraan dengan Genta tempo hari.
"Bahaya," gumam Mia. "Rasanya aneh Genta tiba-tiba merelakanmu. Memang sih posisi Alvaro di atas dirinya tapi dengan sifatnya selama ini, aku ragu ia menyerah begitu saja. Genta mungkin sengaja menahan diri demi mengambil kesempatan saat hubunganmu dan Alvaro bermasalah."
"Alvaro bilang aku tidak perlu khawatir. Ia akan mengajak Genta bicara."
"Serius? Kapan?"
"Bulan depan, mungkin. Entahlah. Aku malah memikiran efeknya jika hubunganku diketahui orang. Bukan lagi soal gossip yang mungkin akan menyeret namaku di kampus tapi bagaimana reaksi ibuku kalau kabar itu terdengar ke telinganya. Kamu tahu sendiri, ibuku bukan tipe yang memandang seseorang hanya dari tampilan luar atau status sosial tapi kita sedang bicara tentang Alvaro. Gosip tentang Alvaro bertebaran di mana-mana. Apalagi kalau tahu aku tinggal di apartemennya." Tubuhku bergidik membayangkan kemungkinan itu.
"Berhentilah membahas hal-hal yang belum pasti." Mia kembali menyandarkan tubuhnya ke belakang. Ia memijit keningnya. "Tidak perlu dipikirkan sekarang. Jalani saja pelan-pelan sambil menyusun rencana. Ketakutanmu belum tentu jadi kenyataan."
"Kenapa jadi kamu yang pusing?" Aku terkekeh melihat kebingungan di raut Mia. Perasaan mulai membaik. Berbicara dengan Mia meski tidak menemukan jalan keluar mampu mengurangi beban di pundak. "Terima kasih sudah mau mendengarkan ceritaku. Sorry kalau topiknya malah membuatmu depresi."
"No. Kita kan berteman sudah lama. Teman yang baik pasti pengertian dan aku termasuk salah satunya. Kebetulan perutku lapar tapi sayangnya uangku tinggal untuk beli bensin. Aku pikir kamu juga teman yang pengertian."
"Sana pesan saja. Tagihannya akan aku ingatkan bulan depan."
Mia mengerucut kesal. Kami berdua lalu tertawa.
******
Hari berlalu seperti biasa. Hari-hari normal yang melelahkan. Kegiatan di kampus, menjaga sekaligus mengurus keperluan Nenek Euis sampai rutinitas terbaru dan dirahasiakan dari Alvaro apalagi kalau bukan menjagi guru privat, semua berjalan tanpa hambatan.
Kesibukan mengalihkan masalah-masalah yang belakangan memenuhi isi kepala. Meski cara itu kadang berhasil, bukan berarti aku sepenuhnya melupakan pengkhiatan Ayah.
Sebagian hati kecil merasa semua tidak benar, tak lebih dari mimpi buruk di siang bolong. Perhatian, kasih sayang hingga kedekatanku dengan Ayah membuat celah untuk meragukan kenyataan. Selama ini Ayah bersikap layaknya kepala keluarga yang baik di hadapanku, mungkin karena itu sebagian diri ingin percaya bahwa ini hanya salah paham semata.
Sebagian lagi mengingatkan agar bisa menerima bagian terburuk. Mau tidak mau, suka tidak suka, rumah tangga orang tuaku memang berantakan. Menunggu waktu untuk hancur.
Ibu tidak menampik. Andai masih hidup, Ayah mungkin sedang menunggu momen yang tepat mengatakan kejujuran bahwa keutuhan keluarga kami harus berakhir. Jika Nenek tidak memberitahuku, aku yakin dengan sifat Mama, ia akan memilih menyimpan rapat kenyataan pahit suaminya.
Ketika perasaan sakit sekaligus kerinduan tak tertahankan, aku akan menangis tanpa suara dalam kamar setelah memastikan Nenek Euis dan asistennya, Ibu Nayara beristirahat. Setiap hari aku berdoa, berharap masa sulit segera berlalu.
"Pulang telat, Frey?" Sambutan tak terduga begitu pintu apartemen terbuka menyapaku. Seorang lelaki tinggi berwajah manis tersenyum menghalangi jalan masuk. "Alvaro tidak ikut. Ia tidak tahu kalau aku mampir ke sini," lanjutnya seolah bisa membaca raut kebingunganku.
Sekilas kulirik jam tangan. Rupanya waktu sudah menunjukan pukul delapan malam. Tumben Azka datang tanpa Alvaro. Aku sempat senang karena berpikir Alvaro datang tiba-tiba. "Iya. Biasa ada tugas kelompok jadi pulangnya agak malam."
Azka mengangguk pelan lalu bergerak ke samping. Aku segera memasuki apartemen tapi tidak segera meninggakannya. Rasa ingin tahu lebih besar dari lelah. "Ada urusan pekerjaan?"
Ia menggeleng dan mengajakku duduk di sofa ruang tamu. "Tidak. Aku sengaja minta cuti hari ini. Ada urusan di luar pekerjaan. Aku sengaja mampir sebentar sebelum pulang ke Jakarta."
Kepalaku manggut-manggut mendengar jawaban Azka tidak memuaskan. Kuletakan tas di sisi sofa sebelum menghempas benda empuk itu. Badan ternyata luar biasa pegal setelah seharian berada di luar.
Pandangan beralih pada Azka yang mengambil tempat di seberang. Sejenak kuperhatikan penampilannya. Hari makin larut tetapi Azka masih tampak rapih. Tubuh tingginya berbalut polo shirt putih dan jeans biru tua. Ia terlihat lebih muda dari usia sebenarnya.
"Tidak capek bolak balik Jakarta Bandung?"
"Capek tapi tanggung. Istirahatnya nanti saja kalau sudah sampai di rumah."
Aku kembali manggut-manggut. Azka sudah terbiasa menemani Alvaro setiap ke Bandung dan jarang tampak lelah. Senyuman selalu terpasang seolah tak ada beban. Selalu siap. "Apa kedatanganmu karena ada yang ingin dibicarakan denganku?" tebakku sekenanya.
"Benar. Tenang saja bukan sesuatu yang berat kok," sahutnya sambil menyandarkan punggung. Rautnya semakin santai dan sepertinya ia menahan lelah sedari tadi. "Aku sengaja mencuri-curi waktu menemuimu. Kita perlu bicara soal Alvaro. Sebelum bicara ke inti persoalan, Nenek Euis bilang kamu sekarang mengajar privat?"
"Akan kupastikan mulutku terkunci rapat. Aku sudah berjanji di depan Nenek Euis," lanjut Azka mengartikan keterkejutanku.
Tanganku mengusap rambut ke belakang, mengendalikan gelisah oleh rasa tak nyaman. Bahasa tubuh Azka jauh dari kesan mengintimidasi tetapi lelaki itu jelas sedang menunggu jawaban. Tentu saja kejujuran bukan sebaliknya.
"Aku ingin membantu, apalagi yang memintaku teman baikku, Mia. Kebetulan orang tua anak yang kuajari bisa menerima caraku mengajar. Waktu belajar setelah kuliah setiap hari biasa atau online kalau aku sibuk. Rencananya jadi guru privat sampai anak itu ujian masuk universitas."
"Alvaro sudah tahu?"
Kepalaku menggeleng. Andai mudah, aku tak akan menyembunyikan pekerjaan sampinganku. "Aku khawatir Alvaro tidak akan menyukai ide itu sekalipun kepentingan Nenek Euis tetap jadi prioritas utama selain kuliah. Aku juga tidak mau ia mengira gajiku tidak cukup walau sebenarnya aku merasa tugasku sebagai karyawannya tidak sebanding dengan uang pemberiannya, maksudku gajiku terlalu besar untuk tugas menjaga aparteman dan Nenek Euis. Aku setuju menjadi guru privat anak itu karena ingat adikku."
"Anak yang kamu ajar laki-laki?"
"Benar. Masih SMA. Tahun ini tahun terakhirnya di SMA."
"Aku bisa mengerti tetapi Alvaro mungkin punya pendapat lain. Sebaiknya kamu berhati-hati. Alvaro bisa saja kesal karena anak didikmu laki-laki."
"Yang benar saja," gerutuku tak percaya. Membayangkan Alvaro cemburu pada anak muda belasan tahun sangat menggelikan. "Muridku masih sangat muda dalam segala hal. Pengalaman hidupnya bahkan belum seujung kuku Alvaro. Lagipula aku tidak tertarik dengan lelaki lebih muda."
"Apakah sejak awal Alvaro tipemu?"
Pertanyaan Azka kembali membuatku diam. Pertemuan pertama dengan Alvaro sangat menegangkan. Tidak ada percikan atau reaksi alami sewajarnya saat jatuh cinta.
Jauh sebelum bertemu, bagiku Alvaro sosok di luar jangkauan. Ketertarikan karena kagum bukan suka apalagi cinta. Seiring waktu peraturannya semakin menegaskan ketidakmungkinan memiliki lelaki itu.
"Perasaan datang karena terbiasa." Kalimat itu menggambarkan situasi perjalanan cerita kami.
"Terbiasa?" Satu kata itu seolah menyindir meskipun mimik Azka memperlihatkan keramahan.
"Aku janji tidak akan macam-macam. Kumohon jangan bilang Alvaro dulu. Aku akan jujur saat waktunya tepat."
"Jangan khawatir. Aku suka drama. Mulutku akan tetap terkunci tapi sebaiknya kamu memberitahunya sebelum muncul kesalahpahaman."
Nenek Euis datang menyela obrolan kami. Ia memintaku makan malam lebih dulu sebelum beristirahat. Azka tidak luput dari perhatiannya. Lelaki itu mengangguk pasrah saat ditawari cemilan sambil menemaniku makan malam. Kami melanjutkan pembicaraan dengan topik berbeda mengingat Nenek Euis ikut bergabung.
Malam semakin larut dan tiba saatnya Azka pamit. Pembicaraan yang dijanjikannya tertunda karena Nenek tidak membiarkan kami berdua. Aku sendiri tidak tega jika harus meminta izin dan memotong ceritanya. Azka bersikap sama. Dengan saksama ia mendengarkan Nenek Euis menceritakan hal yang sama lebih dari sekali. Ekspresinya tidak menunjukan rasa bosan. Cara duduknya tenang seolah sedang mendengarkan bahasan menarik.
Aku berinisiatif mengantarnya hingga loby. Pembicaraan kami belum sepenuhnya selesai. Alasannya menemuiku masih mengusik apalagi menyangkut Alvaro.
Sepanjang jalan yang sengaja dilambat-lambatkan Azka menceritakan kehidupan Alvaro. Dalam pekerjaan, hubungan pertemanan hingga urusan keluarga, Azka masih melihat sosok yang sama dalam diri Alvaro. Seorang pekerja keras, bertanggung jawab dan supel walau tidak bisa dipungkiri ada juga yang tidak menyukainya. Perubahan mencolok diperlihatkan Alvaro semenjak kemunculanku.
"Situasi keluarga dan perusahaan sangat rumit saat Alvaro pulang ke Indonesia. Satu-satunya yang bisa membujuknya agar bertahan hanya Nenek Euis. Saudara tirinya meninggalkan banyak masalah sebelum ia bergabung di perusahaan. Diawal mengambil alih kepemimpinan banyak pihak bahkan dirinya sendiri meragukan kemampuannya. Memimpin perusahaan yang hampir bangkrut butuh ekstra kerja keras. Banyak pengorbanan. Ditambah masalah dengan keluarga ayahnya sama sekali tidak membuatnya lebih bersemangat. Andai tidak memedulikan karyawan yang menggantungkan hidup di perusahaan, mungkin yang tersisa dari perusahaan kami hanya reputasi buruk. Butuh proses bertahun-tahun untuk menstabilkan situasi. Selama itu entah berapa kali posisi perusahaan hampir rugi. Pengalaman membuatnya lebih tegas menyangkut pekerjaan. Setiap project memerlukan waktu tidak sebentar hingga Alvaro menyetujui. Jadi semua orang bingung saat Alvaro tiba-tiba memutuskan membangun pabrik di Bandung dan memilih menunda rencana membangun pabrik di daerah lain yang sebelumnya sudah melewati rapat-rapat panjang. Semua tim yang terlibat kaget karena Alvaro sangat jarang merubah keputusan tanpa melibatkan mereka."
Aku tidak bisa menyembunyikan kebingungan. "Bukannya wajar? Alvaro mungkin sudah memikirkannya masak-masak, menimbang baik dan buruk, bukan asal memutuskan."
"Selama ini aku percaya pada insting Alvaro. Sudah pasti ia menimbang keuntungan maupun rugi. Aku optimis rencana kami akan berhasil. Target pasar di kota ini terbilang bagus. Tapi jelas ada pendorong lain yang membuatnya berputar haluan."
"Haluan? Maksudnya aku?"
Azka tersenyum lalu mengajakku keluar dari lift. "Sebagai sahabat, aku ingin melihat Alvaro bahagia, siapapun pasangannya, tak peduli status sosial atau semacamnya selama bisa ia tak lagi kesepian."
"Kesepian? Yang benar saja. Alvaro tidak pernah kekurangan penggemar terutama perempuan. Bukti-buktinya bertebaran di internet."
"Yang terlihat di permukaan belum tentu menunjukan keadaan sebenarnya. Artikel-artikel itu kebanyakan menggambarkan dari satu sudut pandang. Mungkin gossip tentang Alvaro lebih menarik daripada perannya dalam perusahaan."
"Katakan apa maksud arah pembicaraan ini."
"Sebuah hubungan melibatkan banyak perasaan. Ada sedang, ada sedih. Kecemburuan bisa membuat sakit hati. Setinggi apapun kamu menilai Alvaro, jangan pernah lupa ia hanya manusia biasa. Gaya hidup, gossip atau statusnya jadi bahan pemberitaan menarik bagi orang-orang yang tak menyukainya. Situasi semacam itu akan kamu hadapi. Begitu juga dengan Alvaro, kedepannya mungkin ada orang-orang menganggapmu tak layak bersamanya. Kehidupan kalian mungkin berbeda tapi kalian masih memandang langit yang sama. Aku berharap kamu memercayainya sebagaimana Alvaro beradaptasi dengan perubahan dalam hidupnya. Di mata Alvaro kamu istimewa dibanding perempuan-perempuan yang menurutmu lebih cocok mendampinginya. Tapi kadang seseorang terlalu terbawa perasaan. Jadi berkomunikasilah terus dengannya. Ceritalah setiap kali kamu merasa kalian berdua perlu bicara. Ia senang mendengar suaramu."
"Mm... karena kamu membahas itu, jujur saja, kadang aku merasa takut pada Alvaro. Bukan berarti ia kasar atau galak, lebih ke kekuasaan yang dimilikinya sekarang, aku..."
"Aku mengerti. Kamu bukan orang pertama yang mengatakan hal serupa. Katakanlah kalian akhirnya berpisah dan kamu pihak yang bersalah, aku jamin ia tidak akan melancarkan aksi balas dendam. Mungkin sakit hati tapi melakukan sesuatu yang ekstrem? Alvaro bukan pendendam hanya karena putus cinta."
"Kamu yakin?"
"Rasa takutmu lebih besar dari perasaan sayang?"
"Alvaro berbeda dari semua lelaki yang pernah kukenal. Saat terlalu sadar dengan apa yang dimilikinya muncul rasa khawatir. Bukan berarti aku pura-pura menyukainya. Yah, mungkin aku perlu waktu membiasakan diri."
"Kebanyakan perempuan yang pernah dekat dengannya justru memanfaatkan kekuasaan Alvaro. Mungkin itu yang Alvaro lihat darimu." Azka menghela napas. "Lambat laun kalian akan semakin mengenal. Saat itu kamu akan berpikir ketakutanmu berlebihan. Nikmati hari seperti biasa. Jangan berpikir negatif kecuali kalau kamu setengah hati menjalaninya."
Ekspresi Azka berubah serius. "Alvaro pernah bicara tentang bertemu Genta. Waktunya belum pasti. Ia belum memberiku perintah. Sepertinya ia sedang menimbang demi kebaikanmu. Jadi kamu tenang saja. Pertemuan itu tidak akan jadi arena gulat.
Memikirkan Alvaro bertemu Genta menambah daftar stres. Sebagai pasangan aku bisa memaklumi tindakannya. Perbuatan Genta menganggu harga dirinya. Semua kesalahanku yang lebih memilih menghindari konflik.
Aku harap Genta bisa menerima statusku yang baru. Sudah terlambat baginya jika berpikir hubungan kami bisa dibangun kembali sementara lingkungan di sekitarnya menentangnya.
Sepeninggal Azka aku mencerna pembicaraan kami hingga terlelap. Jika dipikir lebih dalam, keraguan muncul karena aku menganggap rendah diri sendiri. Menilai keserasian mutlak pada status sosial. Perbedaan gaya hidup menambah daftar kekhawatiran. Kegagalan saat bersama Genta yang berasal dari keluarga terhormat seolah menjadi catatan bahwa hidup bukan dongeng. Dan kenyataan pahit perselingkuhan Ayah memperburuk semua.
Harapanku tidak banyak. Hidup tenang sekalipun diwarnai tantangan sudah sangat bersyukur. Seharusnya aku menolak usulan Nenek Euis tentang perjodohan.
Ah, tidak, secara sadar aku membiarkan perasaan berkembang lebih dari seharusnya. Permintaan Nenek Euis agar kami bersama sesuatu yang hati kecil inginkan. Aku mencintai Alvaro. Lelaki itu istimewa dan khawatir terlalu bergantung padanya akan berbalik menghancurkanku.
*****
Dua minggu selang kedatangan mendadak Azka semua berjalan normal, sangat biasa. Demi menghindari konflik, aku membiasakan diri menghindari Genta seperti dulu. Semakin jarang bertemu atau bicara, semakin baik.
Dalam dua minggu itu Alvaro memberi kabar melalui panggilan video atau suara. Sebenarnya jarak kedua kota bisa ditempuh beberapa jam perjalanan, apa boleh buat rencana tidak lebih dari harapan manusia, takdir Tuhan belum tentu sejalan.
Seperti biasa pekerjaan Alvaro menjadi salah satu penyebab pertemuan kami tertunda. Meski sedikit kecewa, aku membuka mata selebar mungkin, melihat dari sisi lelaki itu. Tugas Alvaro tidak bisa dikatakan mudah. Ada kepentingan banyak pihak di dalamnya. Rasanya kurang tepat memintanya menjadikanku prioritas maha penting sementara status kami masih pacaran.
Jarang merajuk bukan berarti aku tidak pernah emosi sama sekali. Terlebih melihat keluarga atau pasangan lain yang bisa dengan mudahnya bertemu.
Sayangnya semua kerinduan harus tertahan mengingat baik keluarga maupun pacar berada di luar kota. Aku masih bersyukur karena kehadiran Nenek Euis mengisi celah kosong.
Beruntung Alvaro mengganti hilangnya waktu kebersamaan kami dengan cara lain. Ia lebih perhatian dibanding awal hubungan.
Hari ini sama seperti minggu lalu, pertemuan kami tertunda masalah pekerjaan. Dari beberapa hari lalu Alvaro memberitahu kemungkinan tidak bisa datang. Untuk melepas perasaan sedih dan kecewa aku menghibur diri pergi ke atap setelah makan malam.
Kedua tangan menekuk di atas pembatas dinding, menikmati langit malam tanpa awan. Bulan bersinar terang di bawah kelap kelip cahaya lampu di bawah sana. Kendaraan yang memenuhi ruas jalan terlihat bak mainan anak-anak. Pemandangan menakjubkan seperti dalam dunia peri sejenak melupakan kelelahan sepanjang hari.
Mata terpejam merasakan lembutnya hembusan semilir angin menyibak rambut. Rasanya damai dan nyaman.
Ketenangan terhenti begitu ponsel dibalik saku celana berdering tanpa henti. Jemari meraih benda itu tanpa mengalihkan pandangan. Nomor telepon dari seseorang yang sudah kuduga menghias layar. Senyumanku merekah bersamaan debaran kencang di dada. Kerinduam meletup-letup tak terkendali.
Pada deringan kedua panggilan kami tersambung. Emosi membuncah, tertahan oleh desakan tetap tenang.
"Malam, Frey."
"Malam. Mas lagi di mana?" Kuatur nada suara sewajarnya.
"Di rumah. Ini baru pulang. Kamu sedang apa di atap? Nenek Euis memberitahu kamu pergi ke sana sebelum meneleponmu."
"Oh. Cari angin. Pemandangan dari atap bagus."
"Sayang sekali. Seharusnya kita menikmatinya bersama."
"He em. Ternyata lumayan seram juga kalau terlalu lama lihat ke bawah."
"Kalau aku di sana akan kupastikan kamu tidak perlu merasa takut. Jangan terlalu lama di atap. Perkiraan cuaca di sana malam ini akan hujan.'
Suara desahan lirih lepas dari bibirku. "Tenang saja. Aku masih sayang nyawa. Lagipula di sini banyak CCTV. Keamanannya ketat." Aku mencoba menghibur diri saat mendengar suara tidak cukup menghapus rindu.
"Sifat keras kepalamu sama sekali tidak bagus untuk jantungku."
"Setengah jam lagi," ucapku tetap pada pendirian. Kala Alvaro tidak bisa memenuhi janjinya, terkadang sifat kekanakan muncul. Ia harus tahu perintahnya tidak memiliki pengaruh sebesar saat kami bersama.
"Oke. Setengah jam lalu istirahat." Suara Alvaro melunak seolah mengetahui perubahan perasaanku. "Besok pagi aku akan menelepon lagi. Ingat, tidak lebih dari setengah jam."
Panggilan kami terhenti begitu Alvaro memutus sambungan lebih dulu. Benda mungil itu kembali kuselipkan di saku celana. Aku mengabaikan waktu yang terus berjalan. Kaki bergerak gelisah demi mengurangi pegal karena berdiri cukup lama.
Hembusan angin semakin dingin diikuti gemuruh dan kilat yang memecah kesunyian gelapnya malam. Cuaca memang tidak bisa di prediksi padahal beberapa menit yang lalu tidak ada tanda akan hujan.
Ponsel kembali berdering kali ini nama Mia yang muncul. Ia mengajakku pergi, menghabiskan malam minggumembosankan bersama kedua teman kami lainnya, Ditto dan Bian.
Kami sudah sangat jarang berkumpul lengkap tanpa salah satu absen. Kesibukan di kampus dan urusan pribadi selalu jadi penyebab rencana pertemuan kami gagal.
Mulanya aku ragu karena malas memberitahu Alvaro. Lagipula tadi sempat mengiakan permintaan lelaki itu kembali ke kamar dalam waktu setengah jam. Di tengah kebingungan Mia terus membujuk, berjanji bahwa kami semua akan kembali ke rumah masing-masing sebelum hari berganti.
Meminta izin pada Nenek Euis rupanya tidak terlalu sulit. Ia mengangguk setuju setelah dijelaskan siapa yang akan pergi bersamaku. Aku hanya diminta berhati-hati dan pulang sebelum tengah malam.
"Ng... masalahnya apa aku harus bilang sama Mas Alvaro, Nek? Kalau aku menelepon kami mungkin bertengkar. Gawat juga kalau Alvaro tiba-tiba menelepon."
"Apa kamu lihat Alvaro di sini?"
Kepalaku menggeleng. "Mas Alvaro kan masih di Jakarta," balasku bingung.
"Nah kamu sudah tahu itu. Alvaro tidak akan tahu kamu pergi selama kamu mengabaikan panggilan teleponnya. Paling ia kira kamu sudah tidur."
"Benar juga. Nenek pintar deh."
Nenek Euis menepuk bahuku pelan. "Tapi jangan sering-sering ya. Anak itu kadang tidak bisa diprediksi. Instingnya kuat kalau merasa ada yang salah. Mudah-mudahan itu cuma kekhawatiran Nenek. Yang penting kamu tidak pulang lewat tengah malam. Bersenang-senang boleh tapi selalu waspada. Kita tidak pernah tahu niat jahat seseorang sekalipun penampilannya seperti pahlawan."
"Iya, Nek. Paling lambat jam 11 sudah pulang. Ada dua teman laki-laki juga yang jagain. Mas Alvaro tahu siapa saja mereka jadi Nenek tidak usah khawatir aku akan macam-macam."
"Baik kalau begitu. Nenek percaya sama kamu."
"Terima kasih, Nek. Aku siap-siap dulu ya."
Malam yang semula berakhir membosankan berganti keceriaan. Ditto menjemput ditemani Mia dan Bian. Wajah-wajah lelah setelah hampir seminggu berkutat mengurus banyak hal menyangkut kuliah kini tampak penuh tawa. Hujan tidak membuat suasana menjadi muram. Sebaliknya kami asyik mengobrol di sebuah kafe di pinggiran kota yang tidak terlalu ramai namun nyaman.
Semua orang bergembira. Untuk sejenak aku berhasil melupakan masalah yang belakangan ini menganggu. Hanya ada keseruan dalam obrolan santai ditemani santapan lezat dan alunan musik lembut.
Ditto mengalihkan pandangan padaku setelah meletakan cappucino panas miliknya di meja. Aku membalas pandangannya sambil terus menyuap potong demi potong red velvet di piring kecil. Ekspresinya membuatku bingung.
"Frey, kamu tahu selentingan yang beredar belum lama ini di kampus."
Mia berdecak kesal. Ia tidak meletakan kembali potongan roti isi ke piring. "Dengar ya, Dit. Hari ini kita sudah sepakat tidak membicarakan masalah siapapun. Tujuan kita bersenang-senang bukan nambah pikiran."
"Benar, Dit. Lagian baru selentingan bukan kabar pasti. Kasihan kalau Freya pulang dari sini malah tambah stres." Ditto dan Bian sudah mengetahui hubunganku dan Alvaro plus kerumitannya.
"Tidak apa-apa, Dit. Bilang saja. Aku terlanjur penasaran."
"Kamu juga sih. Rasa ingin tahu bisa membunuhmu," celetuk Mia padaku.
"Jadi gimana?" kata Ditto ragu.
Kepalaku mengangguk pelan. "Teruskan saja, Dit."
Ditto diam sebentar lalu menyilangkan kedua lengan di dadanya. Wajahnya berubah serius. Belum lama ini Ditto tidak sengaja mendengar obrolan Genta dan teman-temannya. Mantan pacarku itu terdengar senang sekaligus jengkel bersamaan. Perusahaan keluarganya baru saja mendapat suntikan dana.
Perusahaan yang dikelola ayahnya sedang bermasalah. Kerjasama dengan pihak lain sangat membantu tapi di sisi lain ia terganggu setelah mengetahui perusahaan mana yang menjadi investor baru.
"Kalian tahu perusahaan mana yang bekerja sama dengan perusahaan keluarga Genta?"
"Orang yang Genta benci sekarang cuma satu. Pasti perusahaan Alvaro, kan?" tebak Mia percaya diri.
Alvaro memang pernah mengatakan akan bertemu Genta. Kedatangan Azka tempo hari memperjelas kemungkinan itu. Pertemuan keduanya akan menegaskan garis batas yang harus dihormati khususnya untuk Genta. Alvaro meyakinkanku tidak ada yang perlu ditakutkan.
Saat bersama terutama setelah kami resmi menjadi pasangan, kami jarang membahas detail pekerjaan Alvaro. Aku hanya tahu sedikit, kerja sama dengan kampusku dan rencana membangun pabrik di kota ini.
"Aku belum bisa memastikan. Alvaro tidak pernah membicarakannya," gumamku. "Kamu lihat sendiri gimana reaksi Genta?"
"Tidak sih. Aku cuma nebak dari nada suaranya. Kemungkinan besar ia jengkel karena investor di perusahaan keluarganya ternyata saingannya."
Mia mengerutkan keningnya. Tangannya menopang dagu. "Omong-omong Genta bahas masalah perusahaan keluarganya tidak?"
"Orang seperti Genta tidak akan membicarakan secara detail sesuatu yang bisa membuat image-nya jelek," sela Bian yang dari tadi lebih banyak mendengarkan. "Latar belakang keluarga salah satu alasan ia populer. Kalaupun ada rumor langsung diredam oleh kesan positif yang ia bangun. Karena image itu sebagian besar orang menilai berita miring hanya fitnah atau kerjaan orang iri."
"Selama kamu dekat dengan Genta, apa kamu pernah dengar kemungkinan masalah yang Ditto bilang?" Mia menatapku.
"Pendapatku sama seperti Bian. Genta pintar membangun image positif. Kesan yang diperlihatkannya hanya yang baik-baik. Ia selalu membanggakan keluarganya. Ia juga bilang ibunya sangat mementingkan pendidikan makanya ia dilarang kerja sebelum lulus. Masalah yang kutahu dan kualami hanya ketidaksukaan ibunya padaku. Aku tidak cukup setara secara status sosial."
"Hikmah dari penolakan ibunya Genta membawamu pada Alvaro. Lelaki yang secara pendidikan dan latar belakang keluarga bagus bahkan lebih baik. Kamu harus bersyukur bisa lepas dari Genta. Jika diteruskan aku tidak yakin ia bisa membelamu di depan ibunya." Mia bersungut-sungut.
"Namanya orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Mungkin dari kacamata mereka, aku tidak termasuk dalam kategori itu. Mereka punya hak dan pendapat sebagai orang tua. Aku tidak bisa menyalahkan pilihan mereka."
"Tapi mereka lupa atau memang tidak tahu karena terlalu sibuk di luar rumah bahwa anak mereka juga tidak lebih hebat darimu. Genta hanya pintar memanfaatkan orang-orang yang dianggap menguntungkannya. Tanpa bantuan mereka, nilainya-nilainya pasti hancur lebur."
"Soal nyontek ia jago. Setiap presentasi juga teman satu kelompoknya yang lebih aktif," tambah Ditto. "Dan sifat royalnya berhasil meredam mulut-mulut pedas pengikutnya."
"Sudahlah jangan dibahas lagi. Kita cukup tahu dan abaikan. Freya sudah move on dari laki-laki narsis itu. Bahas yang lain saja mumpung masih ada waktu." Bian mengingatkan kami.
Pertemuan berlanjut membicarakan topik di luar kampus. Film, buku atau apapun hingga tidak terasa sudah tiba waktu pulang. Ditto sempat berkeliling kota sebelum akhirnya mengantarku ke apartemen.
Sepanjang perjalanan pulang aku memikirkan alasan Alvaro menjalin kerja sama dengan perusaan keluarga Genta. Di luar hubungan pribadi, bisnis tetap bisnis. Alvaro mungkin melihat keuntungan dalam kerja sama itu.
Aku bernapas lega saat lift bergerak naik. Jam tangan menunjuk pukul sebelas malam lewat lima menit. Waktu yang kujanjikan pada Nenek Euis sedikit melenceng tapi belum sampai tengah malam jadi seharusnya masih aman. Perempuan paruh baya itu mungkin sudah tertidur. Ia tidak akan tahu aku pulang agak telat.
Suasana sepi seperti biasa menyambut kedatanganku. Aku bergerak pelan meski sebenarnya Nenek Euis dan Ibu Nayara tidak akan mendengar suara langkahku.
Baru saja menginjak ruang tengah mata tiba-tiba menangkap seseorang tengah duduk di sofa. Pandangan kami terkunci dalam suasana sunyi. Langkahku mendadak terhenti, membeku seperti es.
"Baru pulang, Frey?" Nada dingin Alvaro tak bersahabat. Benci sekali rasanya mendapat kejutan di waktu yang salah.
"Ya. Baru jalan bareng Mia, Ditto sama Bian. Tadi sudah izin sama Nenek." Terangku cepat, membawa nama Nenek sebagai penangkal kemarahan.
Dagu Alvaro terangkat ke sofa di sebelahnya. "Duduk. Kita bicara sebentar sebelum kamu istirahat."
Sikap formal lelaki itu membuatku tak nyaman. Perlahan aku berjalan ke sofa yang ditunjuk. Tas kutaruh di samping lalu memaksakan diri menatap Alvaro. Lelaki itu terlihat tampan dan gagah. Nyaris tak ada gurat kelelahan. Kaus hitam polos dan jeans biru tua membungkus tubuh atletis. Rambutnya agak berantakan, menambah besar aura maskulin.
Salah satu tangannya menopang dagu sambil sesekali mengusap bagian wajahnya yang ditumbuhi janggut itu. Tatapannya fokus, memastikan buruannya tidak kabur.
"Rileks. Aku bukan polisi atau hakim."
Kepalaku menunduk,menatap lantai saat menyerah dipandangi begitu intens. "Lalu apa yang akan kita bicarakan dengan santai? Semacam kenapa gajah kakinya empat atau kenapa hiu tidak bisa hidup di darat?"
"Alasan kenapa kamu pulang larut."
"Pembicaraan ini jauh dari santai. Lebih mirip introgasi."
"Kalau kamu merasa tidak salah, tegakan tubuh dan pandang mataku. Lantai itu tidak akan bisa menolong meski kamu pandangi ribuan jam."
Aku mengigit bagian dalam pipi sebelum akhirnya mendongkak. Ekspresi Alvaro masih sama dan mendadak kekesalanku muncul. Alih-alih mengikuti permintaannya, kusandarkan punggung dan bersikap tak acuh.
"Tidak ada yang marah atau dimarahi. Kita akan bicara layaknya dua orang dewasa. Aku melewati ratusan kilo bukan untuk bertengkar. Walau seseorang yang ingin kuberi kejutan ternyata pergi tanpa sepengetahuanku."
"Nenek sudah memberi izin. Ia tahu dengan siapa aku pergi," ralatku terpaksa menoleh pada Alvaro. "Kesalahanku hanya telat sedikit dari waktu yang dijanjikan. Pakaianku masih sopan dan tidak melakukan hal aneh, selingkuh apalagi berbahaya. Aku sudah terbiasa menjaga diri sendiri."
"Pindah kemari, Frey, supaya aku bisa melihatmu lebih jelas."
"Mungkin Mas perlu pakai kacamata baca."
"Siapa yang mengajarimu memberontak?"
"Insting, mungkin."
"Menarik. Aku tidak keberatan menghukum pemberontak sepertimu di tempat tidur."
Pipiku memanas mendengar ucapan Alvaro. Berbeda denganku yang terpancing, lelaki itu sama sekali tidak memasang raut mesum atau genit. Benar-benar datar. "Sebaiknya Mas cepat menikah daripada otaknya kotor."
"Gimana mau nikah, ketahuan pacaran saja masih maju mundur."
Mulut sontak terkatup. Senjata makan tuan. "Semua ada alasannya dan pernah kita bahas."
Alvaro tertawa pelan. "Cukup basa basinya. Kalau kamu tidak mau kemari biar aku yang ke sana."
"Mas sudah gila? Kursinya tidak cukup untuk kita berdua!" protesku.
"Dengan senang hati aku bisa memangkumu.
Dengan gusar dan kesal aku terpaksa bangkit lalu duduk di samping Alvaro. Ia tidak mengatakan apa-apa namun sorot matanya tampak puas. Dalam satu gerakan cepat ia berbalik menghadapku, memberi tatapan setajam elang. Aku masih menolak membalas tatapannya sambil terus bertanya dalam hati kenapa mendadak bersikap sulit seperti ini.
"Pertanyaanku sangat mudah, Frey. Kamu bisa memberi alasan paling logis dan jujur. Sejak awal tidak sekalipun aku membatasi kegiatan atau mencampuri pertemananmu. Aku pun tidak menuntut harus selalu meminta izin. Apa yang kulakukan karena peduli. Bagaimanapun mungkin aku tidak khawatir kalau pacarku masih di luar malam-malam."
"Maaf. Seharusnya aku memberitahu Mas supaya tidak ada salah paham."
"It's oke." Alvaro mengusap rambutku lembut. "Seharusnya aku juga memberitahu kedatanganku jadi kita bisa pergi bersama."
"Aku senang Mas datang."
Alvaro menarik tubuhku merapat padanya. Sesekali kecupan mendarat di puncak kepalaku. Aku bersandar di dadanya, merasakan hangat sekaligus otot di balik kaus. Aroma maskulin membuatku semakin nyaman dalam dekapan.
"Nenek... "
"Nenek sudah tidur. Tadi ia memberi peringatan keras agar jangan memarahimu." Penjelasan Alvaro sedikit menenangkan kekhawatiran kalau Nenek Euis tiba-tiba muncul. "Acara kumpul-kumpulnya menyenangkan?"
"He em. Kami sudah lama tidak berkumpul. Belakangan malah lebih sering bareng Mia. Bian sama Ditto punya kesibukan sendiri. Pekerjaan Mas sudah beres?"
Tubuhku bergidik merasakan jemari Alvaro mengusap punggung. Detak jantung saling berkejaran. Kesunyian menambah ketegangan yang entah dari mana asalnya. Otak mendadak tumpul sementara perasaan dimabuk oleh kerinduan dan rasa sayang.
Tanpa sadar kedua lengan melingkari pinggang Alvaro. Sempat terdengar samar suara tawa kecil lelaki itu. Ia mempererat rengkuhannya sambil menyandarkan wajahnya di kepalaku.
"Kalau aku ada di sini artinya bagian yang penting sudah selesai. Aku tidak sabar ingin menemuimu."
Dengan malu-malu aku mengangkat kepala, menatapnya yang sedang tersenyum. "Benar?"
Alvaro melepas rengkuhannya. Kedua tangannya yang besar menangkup wajahku. Perlahan ia menunduk hingga hidung kami bersentuhan. Tatapannya menghipnotis, memberi isyarat agar menurutinya. "Beberapa minggu ini Azka mengataiku gila karena bekerja seperti tidak ada hari esok. Karyawan lain juga kena imbasnya. Aku mungkin memang sudah gila karena merindukanmu."
Belum sempat memahami ucapannya, Alvaro meraih bibirku. Aku masih mematung saat dihujani kecupan-kecupan singkat. Semua kekhawatiran memudar seiring semakin intens ciuman Alvaro. Gejolak perasaan selama kami terpisah berhamburan. Aku tidak bisa mengendalikan gelora saat kami bersentuhan.
Lenganku mengalung di lehernya, menariknya agar semakin dekat. Akal sehat tidak lagi berfungsi semestinya. Tubuh terbakar hasrat dan sulit berpikir jernih. Desakan menginginkan Alvaro membuatku kewalahan.
Alvaro tiba-tiba bangkit tanpa melepas ciuman kami, mengangkat tubuhku semudah membawa kapas dalam pangkuannya. Jiwaku seolah melekat kuat, membalas setiap ciuman dengan ciuman yang lebih dalam. Sifat liar yang sebelumnya tidak pernah kutahu memilikinya keluar dari tempat persembunyian. Tubuh mendekap erat Alvaro saat ia membawaku ke kamarnya.
Ia menurunkanku begitu pintu tertutup. Aku bersandar pada pintu itu sementara Alvaro tidak memberi ruang di antara kami. Napasnya memburu, membelai leher yang diciuminya. Aku menahan geli dan berusaha keras tidak bersuara.
"Sebaiknya kita berhenti sebelum aku lepas kendali."
"Ya. Benar." Kugigit bibir bawah, menyadari setengah tak rela kemesraan kami harus disudahi. Perasaan menuntut yang entah kenapa menjadi menganggu.
"Tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu."
Alvaro berbalik menuju lemari pakaian. Aku mencoba memusatkan perhatian selain pada lelaki yang sedang membuka baju. Usaha itu gagal. Pandangan terkunci, memerhatikan setiap gerakan sosok bertubuh tinggi. Mulut kering mendapati pemandangan menakjubkan. Otot-otot tubuhnya luar biasa menggoda.
"Satu, dua,tiga..." ucapku menatap bagian perut Alvaro.
"Kamu sedang menghitung apa?" Alvaro rupanya menyadari sedang diperhatikan. Apakah suaraku terlalu keras sampai terdengar olehnya?
Ia berjalan mendekat, bertelanjang dada sambil mengenggam kaus.
"Oh itu tadi ada cicak." Aku tidak berani menatapnya langsung.
"Benarkah," godanya.
"Pakai baju dulu sebelum bicara."
Alvaro mendadak meringis seperti menahan nyeri. Sontak kepalaku terangkat. "Ada yang sakit?"
"Tidak tahu kenapa bahuku agak sakit. Kamu bisa bantuku pakai baju?"
"Jangan bercanda. Tadi bahu Mas baik-baik saja."
"Ayolah, Sayang. Siapa lagi yang bisa kuminta bantuan sekarang."
"Mas duduk di sana." Tanganku menunjuk kursi kerja. "Biar aku gampang masukinnya."
"Masukin apa?"
"Bajunya," seruku kesal sekaligus malu digoda terus menerus.
Argh. Menyebalkan.
Alvaro manggut-manggut tanpa rasa bersalah dan berjalan menuju kursi. Ia memberiku baju yang dibawanya lalu duduk manis. Rautnya campuran kucing penurut dan nakal. Aku mencoba mengabaikan gelitik aneh ketika memakaikan Alvaro pakaian. Tapi tangan malah gemetaran sampai Alvaro menahan tawanya.
Aku pernah melihat Genta dalam keadaan serupa saat kami berenang bersama teman-temannya. Ia memiliki tubuh yang bagus. Teman-teman lelakinya bersungut-gungut karena iri sementara para perempuan terpesona. Sebagai perempuan normal aku memberi ia nilai fisiknya cukup menarik, ideal dan sehat tetapi tidak sampai membuatku kikuk.
Tanganku menggenggam dua ujung sisi kaus setelah berhasil melewati bahu Alvaro. Tanpa aba-aba lelaki itu bangkit sehingga pandanganku mau tak mau tepat menatap bagian dadanya yang masih telanjang.
"Feel free to touch, baby," ucapnya setengah meledek.
Merasa tertantang oleh sindiran Alvaro, kedua tanganku melepas ujung kaus dan meraba perlahan dada bidang lelaki itu. Begitu menyadari bertindak nekat pipi makin memanas. Sialnya tangan tidak juga berhenti bergerak.
Aku mengira Alvaro menertawakanku dalam hati karena mendadak diam. Otot perut yang keras dan kokoh menggoda untuk disentuh hingga Alvaro menghentikan gerakan tanganku saat berada tepat di bawah pusarnya.
"Cukup sampai di sini bantuanmu, Sayang. Belum waktunya dilanjutkan meski aku tidak keberatan kalau kamu menginginkan lanjutannya."
Aku menelan ludah. Tangan kembali berada di sisi tubuh. "Aku rasa Mas bisa pakai celana sendiri bukan atau butuh bantuan lagi?"
"Hebat. Pacarku semakin berani. Siapa yang mengajarimu?"
"Pacarku."
Alvaro terkekeh lalu mencium keningku. "Kamu tidak sadar betapa seksinya kamu sekarang. Jangan melakukannya di depan lelaki lain. Ingat itu." Ia segera berbalik kembali menuju lemari pakaian, meraih celana piama panjang lalu beranjak menuju kamar mandi.
Mataku terpejam, menggeleng saat mengingat keberanian di luar kebiasaan.
Kami melanjutkan obrolan setelah Alvaro selesai berganti pakaian. Kali ini sedikit serius karena aku teringat pembicaraan Ditto. Tempat mengobrol berpindah ke meja makan demi menghindari godaan mematikan.
"Mas sudah ketemu sama Genta?"
"Belum."
"Aku dengar Mas kerjasama dengan perusahaan keluarga Genta. Apa itu benar?"
"Benar."
"Alasannya tidak bersifat pribadi, kan?" Kutatap lekat bola mata gelap pemiliknya yang bersikap tenang. "Tidak ada maksud mencampuri urusan pekerjaan tapi kalau aku jadi alasannya, aku harus tahu."
"Belum lama ini aku bertemu perwakilan perusahaan keluarga Genta. Awalnya hanya pembicaraan biasa sampai mereka menawarkan kerjasama. Kami sudah beberapa kali melakukan pertemuan. Aku melihat ada keuntungan dan mereka menyambutnya."
"Murni bisnis?"
"Bisnis dan kamu." Alvaro bersidekap. "Aku tidak masalah harus bicara empat mata dengan Genta tapi ada cara lain yang lebih efektif melindungimu dari kemungkinan terburuk. Cara yang lebih tidak sukainya. Status Genta masih calon pewaris bukan pemegang keputusan. Selama ia bergantung pada pemberian orang tuanya, akan sangat konyol jika ia berani menentang apalagi perusahaan keluarganya sedang bermasalah. Sebodoh-bodohnya Genta, aku pikir ia akan menahan diri dan sudah seharusnya berhenti berharap. Menganggumu sama artinya dengan menempatkan posisi perusahaan keluarganya dalam bahaya. Aku tidak mengharap untung besar jika melihat masalah di perusahaan itu, sekalipun tipis jika bisa menghindarimu dari gangguan, apapun layak dipertaruhkan."
"Seharusnya Mas tidak mencampuradukan bisnis dan urusan pribadi. Bagaimana kalau kerjasama itu malah merugikan perusahaan?"
"Tidak perlu khawatir. Perusahaan tidak akan terpengaruh sekalipun kerjasama gagal. Dan jangan lupa pacarmu ini kaya raya, Sayang."
Aku tertawa pelan mendengar kesombongan Alvaro. "Mas yakin langkah tadi bisa membuat Genta menyerah?"
"Ia punya dua pilihan menerima keputusan keluarganya atau melepas kemewahan."
"Masalah perusahaan Genta besar ya?"
"Kurang lebih. Perencanaan keuangan mereka tidak bagus dan harus berbenah jika masih ingin bertahan. Situasinya semakin rumit karena tambahan masalah internal keluarga. Sulit mencari suntikan dana saat perusahaan dalam keadaan morat marit. Sekecil apapun tawaranku, mereka menyambutnya agar roda perusahaan tetap berjalan."
"Apa Mas akan tetap bekerjasama andai tidak ada kepentinganku di dalamnya?"
"Tidak. Azka menyelidiki sejumlah rumor tentang kebijakan perusahaan itu yang merugikan karyawannya. Sebagian besar benar dan valid. Aku tidak akan buang-buang waktu."
"Kenyataannya sekarang kamu malah menolong mereka."
"Anggap saja aku membantu karyawan perusahaan itu. Semoga saja mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih tepat seandainya semua tidak berjalan lancar."
Tanpa sadar aku menguap, mata mulai tidak bisa diajak kerjasama.
"Kita akan lanjutkan bicara besok."
"Mas besok ada acara?"
"Tidak. Kenapa? Mau jalan-jalan?"
Kepalaku mengangguk.
"Aku pulang ke Jakarta Senin malam. Tiga hari ke depan semua waktuku milikmu tapi kamu tidak keberatankan kalau Nenek meminjamku sebentar?"
Senyumanku semakin lebar seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan. "Tentu saja."
"Kamu senang?"
Aku kembali mengangguk dan tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagia.
Alvaro melirik jam tangannya lalu bangkit. "Sekarang kamu istirahat dulu. Sudah terlalu malam. Aku perlu mendinginkan kepala."
Kudorong kursi dan berdiri. "Istirahat deh. Pasti capek kerja ya?"
"Bukan itu. Gara-gara kamu."
"Loh aku salah apalagi?"
"Sudahlah. Tidak perlu diperpanjang. Cepat tidur."
Bola mataku berputar ke sekeliling. "Tasku di mana ya?"
"Di sofa."
"Oh iya, lupa." Aku bergegas meninggalkan ruang makan sambil mencebik.
"Masih muda sudah pelupa." Suara Alvaro terdengar dari belakang.
"Untung tidak lupa punya pacar ya," balasku meledeknya lalu berjalan secepat mungkin ke kamar.
******
Kedatangan tiba-tiba Alvaro awalnya memang sempat menyulitkan. Aku tidak menduga akan melihatnya sedang menunggu. Raut wajah saat menatap dari ujung kaki sampai kepala tampak sedang menilai. Kekhawatiran berlalu seiring mencairnya suasana.
Alvaro tidak menanyaiku macam-macam, mungkin karena Nenek Euis sudah lebih dulu mengingatkannya agar tidak memarahiki. Dan ciuman, ya ampun bagaimana bisa aku bersikap provokatif. Otak menyuruhku berhenti tetapi tanganku sibuk menggerayangi.
Aku menutup wajah dengan bantal. Jika dipikir dalam keadaan normal rasanya sangat memalukan.Tapi Alvaro memiliki aura yang sulit ditolak. Hanya ditatap sudah membuatku malu setengah mati. Dan saat menyentuh dadanya perasaan tambah kacau balau. Semua tumpah ruah sampai tidak berani menatapnya. Otot perut yang biasa kulihat di film atau komik, kini bisa kurasakan sendiri.Tangan mencubit pipi agar berhenti membayangkan yang aneh-aneh lalu memejamkan mata.
Jam menunjuk pukul tiga pagi saat terbangun karena tenggorokan kering. Biasanya aku membawa botol minum untuk berjaga-jaga kalau haus di tengah malam karena malas keluar. Sialnya hari ini aku lupa mengisi botol itu dan terpaksa harus ke dapur.
Kadang aku suka merinding sendiri kalau keluar di pagi buta seperti sekarang. Mungkin akibat suka menonton film horror jadi terbawa imajinasi menakutkan.
Aku segera turun dari tempat tidur lalu meraih jaket mengingat cuaca sangat dingin di pagi buta. Suasana begitu sunyi di area luar kamar. Jaket semakin kurapatkan saat merasakan dinginnya angin.
Pintu penghubung dengan bangunan utama kubuka perlahan. Suara keras dikeheningan malam bisa membuat penghuni lain terbangun. Sebelum Nenek Euis tinggal di apartemen, selain ruang tamu, lampu-lampu ruangan lain dibiarkan menyala. Sekarang lampu yang menyala hanya bagian koridor, sisanya gelap walau terbantu cahaya dari luar jendela.
Kayaknya ada suara, gumamku dalam hati. Rasa takut hampir membuatku berbalik kembali ke kamar sampai mendengar lebih jelas asal suara yang ternyata dari kamar Alvaro.
Kuusap dada sambil menarik napas lega. Bukan hantu.
Kaki melangkah lambat menyusuri koridor dan berusaha tidak tertarik menoleh ke arah tuang tengah yang gelap. Suara-suara itu semakin dekat, lebih mirip orang berdebat. Diliputi oleh penasaran aku terus berjalan mendekati sumber suara.
Dugaanku benar. Alvaro sedang bicara dengan Nenek Euis. Pembicaraan mereka terdengar lewat pintu kamar yang tidak tertutup rapat. Niat pergi ke dapur urung mendengar namaku disebut. Keingintahuan seperti kotak Pandora, bisa membunuh tapi menggoda untuk dibuka.
Perlahan tubuh merapat ke dinding, memberi jarak agar tak terlalu dekat dengan ujung pintu kamar. Adrenalin memacu dorongan rasa ingin tahu bercampur khawatir ketahuan.
"Freya anak baik. Ia berbeda dengan mantan pacar-pacarmu. Ia jarang sekali ingin tahu tentang kehidupanmu jika Nenek tidak memulai duluan. Ia bahkan tidak rewel setiap kamu tidak jadi pulang. Anak itu terbilang mandiri tanpa bergantung padamu," desah Nenek Euis. "Seharusnya kamu pelan-pelan terbuka padanya. Nenek khawatir kalau kalian berpisah, bukan Freya yang depresi tapi kamu. Penglihatan Nenek mungkin sudah tidak bagus tapi Nenek bisa melihat perbedaan setiap kali kamu melihat Freya. Sejak awal Nenek sudah curiga kamu menyukainya."
"Apa sebenarnya yang ingin Nenek katakan? Jika tidak penting sebaiknya Nenek kembali ke kamar dan istirahat."
"Kamu mencintai Freya?"
"Nenek melihatnya bagaimana?"
"Ayolah, Alvaro serius sedikit. Nenek sangat mengenalmu. Belum pernah ada cerita kamu mengiakan permintaan Nenek soal pasangan. Selalu dan selalu kamu tolak. Kenapa Freya bisa berbeda?"
"Aku memang mencintai Freya. Nah sekarang sebaiknya Nenek tidur."
"Nenek begini karena menyayangimu. Kamu satu-satunya cucu Nenek. Nenek hanya ingin melihatmu bahagia sebelum tutup usia. Jangan sampai kesalahpahaman karena keraguanmu menghancurkanmu di kemudian hari."
"Freya tidak akan kemana-mana. Ia milikku, Nek dan akan tetap begitu." Suara Alvaro meninggi dan bergetar. Aku semakin penasaran dengan apa yang keduanya bicarakan. "Nenek tidak perlu khawatir. Belum waktunya. Emosi Freya belum stabil. Masih ada masalah-masalah di antara kami yang harus diselesaikan."
"Baiklah kalau menurutmu itu yang terbaik. Tapi sebaiknya jangan terlalu sering mengajak adik mantan pacarmu menemui Freya. Nenek tidak terlalu suka padanya."
"Dia baik, Nek, begitupun kakaknya. Cobalah melihat dari sudut pandang mereka."
"Terserah kamu. Pokoknya Nenek tidak suka. Kalau kamu mau mengundang dia ke sini, bilang dari jauh hari, jangan mendadak supaya Nenek tidak perlu melihat wajahnya seperti waktu itu. Sekarang tidurlah."
Secepat kilat aku berbalik, berjalan secepat mungkin menyusuri koridor. Berpura-pura baru memasuki bangunan utama di depan pintu penghubung. Ekspresi sewajar mungkin meski irama jantung tidak beraturan.
Nenek yang baru saja menutup pintu kamar Alvaro menoleh ke arahku. "Belum tidur, Frey?"
"Haus. Nenek sendiri sedang apa?" tanyaku berbasa basi.
"Tadi ada perlu sama Alvaro. Kebetulan ia belum tidur. Sudah sana cepat minum dan cepat kembali ke kamarmu. Jangan terlalu lama di luar."
"Iya, Nek." Sosok Nenek Euis perlahan menjauh. Langkahnya pelan dengan punggung agak bungkuk. Sekilas kuperhatikan sorotnya muram. Ia tersenyum seperti orang yang sedang bersedih. Pertanyaan demi pertanyaan muncul di kepala.
Kenapa Nenek tidak menyukai Amanda? Apa Nenek juga tidak menyukai kakaknya? Dan kesalahpahaman apa yang Nenek maksud?
Keesokan pagi semua kembali normal. Nenek Euis cerewet seperti biasa. Suaranya terdengar nyaring saat aku muncul untuk sarapan. Jam makan pagi yang amat sangat telat. Gara-gara memikirkan kejadian semalam, aku baru bisa tidur menjelang lima pagi. Andai telepon dari Mama tidak membangunkanku, mungkin aku akan melewatkan sarapan dan diomeli sepanjang hari.
Alvaro masih berada di meja makan beserta laptopnya. Pemandangan yang tidak biasa mengingat kebiasaannya menghabiskan waktu di ruang kerja. Ia menyeret kursi di sampingnya sebelum aku memilih kursi lain.
Nenek Euis pergi ke kamarnya diikuti Ibu Nayara setelah puas mengomeliku. Ia bukan marah karena aku bangun siang tapi mengomentari kebiasaan begadangku.
"Semalam tidak bisa tidur?" goda Alvaro saat melirik.
Aku mengulum senyum, menenangkan degub jantung yang semakin kencang. Perhatian kualihkan ke meja makan. Nasi goreng buatan Nenek berada diantara wadah berisi roti, selai dan cereal. Perutku lapar sekali, mungkin nasi goreng tidak akan cukup, pikirku sambil meraih piring berisi nasi goreng dan sendok.
Laptop di hadapan lelaki itu masih menyala. Tulisan dan angka tampak di layar. "Mas sedang kerja?" tanyaku mengabaikan senyuman menggoda Alvaro.
"Lagi cek email masuk. Proses pembangunan pabrik di sini akan segera dimulai. Aku harus memastikan setiap detail. Tenang saja, acara kita tetap jalan. Aku hanya memeriksa hasil pekerjaan timku. Beberapa bukan ke depan akan lebih sibuk dan mungkin sering bolak balik Bandung Jakarta."
Sesuatu tiba-tiba melintas di kepala. Aku terus mengunyah sambil berpikir untuk membicarakannya pada Alvaro atau tidak. Suasana hati lelaki itu sedang bagus. Ia tidak berhenti tersenyum saat pandangan kami bertemu.
"Mm... aku ingin mengakui sesuatu. Maksudku ingin memberitahu Mas."
"Oke." Alvaro mengubah posisinya hingga menghadapku. Sebelah lengannya menopang dagu sementara jemarinya yang bebas mengusap pipiku. "Apa itu?"
"Sebelumnya Mas harus janji akan mendengarnya dengan kepala dingin alias tidak marah."
Reaksi Alvaro biasa saja. Senyumannya masih terpasang. Ekpresinya tenang hingga saat menyadari tatapannya menajam.
"Begini." Aku berdeham, tersenyum dan berusaha mengendalikan rasa gugup. Menghadapi Alvaro dalam situasi seperti ini mengingatkanku saat menghadap dosen yang terkenal paling galak. "Belum lama ini aku punya kegiatan lain di luar kampus. Mia minta tolong agar aku mau jadi guru privat tetangganya. Orang tua anak itu sudah kehabisan cara karena tidak ada yang betah lama mengajar. Aku hanya mencoba membantu. Anak itu mengingatkanku pada adikku."
Alvaro mengusap janggutnya dengan kening berkerut. "Jelaskan tentang anak yang kamu ajari."
"Namanya Radja. Umurnya sekitar delapan belas. Rencananya aku akan mengajar anak itu sampai ujian masuk perguruan tinggi kalau semua lancar. Waktu mengajarnya sepulang dari kampus atau saat jadwal kosong. Weekend libur kecuali memang ada sesuatu yang mendesak, itu juga lewat vidio call atau chat."
"Aku tidak melihat kesamaan siapa itu tadi, Radja dan adikmu selain keduanya laki-laki."
"Umur keduanya memang beda. Maksudku Radja anak yang sulit diatur. Ia anak tunggal dan orang tuanya khawatir nilai-nilainya memburuk atau parahnya tidak lulus. Kebetulan aku punya pengalaman mengajar jadi setidaknya mencoba membantu. Aku harap jika Evan mengalami kondisi yang sama kelak, ada yang juga mau membantunya. Selama mengajar, orang tuanya juga ikut mengawasi. Aku mengajari anak itu di ruang makan jadi tidak mungkin melakukan hal aneh."
"Kamu punya foto bocah itu?"
Kuraih ponsel yang sempat kutaruh di meja. "Tidak ada sih. Kalau salah anak itu pakai fotonya sendiri di profil Whatsapp."
Alvaro meraih benda dari tanganku lalu manggut-manggut. "Ganteng juga. Tinggi. Berantakan. Tipe anak badung yang punya banyak penggemar."
"Menurut Mas begitu. Kayaknya cocok jadi model atau artis. Tingginya lebih dariku. Anaknya sebenarnya baik, bisa diarahkan asal kita tidak terlalu memberi banyak tekanan. Namanya remaja memang kadang suka semaunya, cari perhatian dan pemberontak."
"Aku juga bersedia diarahkan dan nurut kalau gurunya cantik sepertimu." Senyuman nakal itu kembali muncul.
"Oh ya. Tidak heran Mas pasti banyak pengalaman soal diarahkan. Pacar-pacarnya cantik sih."
Raut Alvaro berubah gelap. Aku baru saja menyalakan tanda bahaya. "Jangan memperburuk suasana."
"Suasana hati siapa yang buruk? Dari tadi aku santai kok," jawabku enteng dan melanjutkan makan.
Alvaro tiba-tiba bangkit, meraih laptop lalu beranjak pergi. Lelaki itu marah karena ucapanku. Anehnya aku justru biasa saja, tidak ketakutan atau sedih. "Mau kemana, Mas?"
"Kamar," balasnya singkat.
Selang beberapa menit orang yang jadi sumber perdebatan menelepon. Radja setengah memaksa ingin vidio call dengan alasan penting. Alasanku sedang sarapan tidak digubrisnya. Remaja satu ini memang suka seenaknya. Pantas saja orang tuanya khawatir putra satu-satunya terjebak pergaulan tidak sehat.
Sesosok wajah tampan, muda dan ceria memenuhi layar ponsel. Dari latar belakang Radja terlihat sedang berada di tempat semacam kios atau warung. Samar terdengar suara orang mengobrol dan tertawa.
"Hallo, Kak."
"Hallo. Kamu bolos lagi?"
"Kakak asal tuduh. Tadi pulangnya dipercepat. Ada rapat guru."
"Terus apa yang penting? Ganggu orang lagi makan."
"Makan sama apa, Kak? Kalau enak bagi dong. Lapar nih, " seru Radja mengabaikan jawabanku.
"Iish. Makanya cepat pulang bukannya nongkrong tidak jelas."
"Kan belum waktunya pulang ke rumah. Kakak sendiri yang bilang kita harus taat aturan. Aturannya pulang paling telat sebelum jam enam malam."
"Terserah anak bandel. Sekarang..."
"Eh, Kak. Siapa tuh di belakang Kakak? Om nya Kakak ya? Kok serem amat."
Aku baru menyadari Alvaro sudah berdiri di belakangku. Daripada merasa takut, aku berusaha keras agar tidak tertawa. "Hush. Ini pacar Kakak." Tanpa sadar sebelah tangan yang bebas menarik lengan Alvaro hingga lelaki itu kembali duduk di kursinya. "Cocok, tidak?" Kudekatkan wajah hampir menempel pada Alvaro.
Radja mengerutkan keningnya, lebih tepatnya mengamati Alvaro. "Kalau aku bilang tidak cocok nanti Kakak pasti disuruh berhenti ngajar. Eh tapi kayaknya pernah lihat, kayak artis atau pelawak siapa ya gitu..."
"Sudah tidak perlu dibahas. Kalau tidak ada yang penting Kakak tutup nih."
"Eh iya deh, Kak, sudah dulu ada Godzila mau nangih utang." Suara teriakan perempuan memaki terdengar mendekat di belakang Radja. Anak itu terlihat bersiap pergi. "Buat pacarnya Kak Freya, jagain Kak Freya. Dinikahin jangan dimesumin. Dah dulu ya, Kak. Bye."
Tingkah Radja membuatku menggeleng. Kuletakan kembali ponsel di meja. "Ada yang ketinggalan, Mas?"
"Tidak."Perhatian Alvaro sangat intens. "Muridmu bocah nakal."
"Memang makanya tidak ada yang betah jadi gurunya."
"Aku tidak marah,Frey. Bagaimana denganmu?" Alvaro mengalihkan pembicaraan.
"Kenapa aku harus marah? Tadi aku cuma membalas candaan bukan ngajak perang. Dengan dan bagaimana Mas dulu itu adalah perjalanan hidup yang tidak bisa diulang. Seburuk-buruknya atau sehebat-hebatnya sama saja. Yang lalu sudah berlalu. Selama Mas yang sekarang kukenal tidak selingkuh, kasar atau melakukan hal buruk bagiku itu sudah bagus untuk permulaan."
"Apa yang membuatmu berubah? Sejak kemarin kamu terlihat berbeda."
"Setelah pembicaraan kita kemarin, aku banyak berpikir. Mas melakukan banyak hal untukku. Terutama cara Mas menyelesaikan masalah tentang Genta. Alih-alih memakai uang untuk pekerjaan yang lebih menguntungkan, Mas malah memberi dana pada perusahaan bermasalah, hanya untuk memberi tekanan pada Genta agar tidak mengangguku. Sementara selama ini laki-laki yang katanya suka atau mencoba mendekati, memilih mundur daripada bermasalah dengan Genta. Jadi aku tidak ingin bersembunyi lagi."
"Semenakutkan itukah Genta di kampusmu?"
"Bukan menakutkan seperti preman atau penjahat. Genta cukup manipulatif, pintar bicara dan memanfaatkan image baik. Sebagian besar orang percaya pada kesan positif yang selalu ditebar. Belum lagi keluarganya kaya bahkan pamannya salah satu dosen. Genta selalu mengintimidasi laki-laki yang coba mendekatiku lewat orang lain. Ia termasuk royal apalagi demi memuluskan rencananya. Dan kalau muncul rumor negatif, Genta berhasil meredamnya dengan berperilaku baik. Genta tahu aku butuh beasiswa. Jika ia tahu aku dekat dengan seseorang, ia selalu mengancam posisiku sebagai penerima beasiswa bisa diganti dan aku percaya ia bisa melakukannya."
"Jadi kamu tidak punya pacar setelah putus dengan Genta?"
"Selain Mas tidak ada lagi. Aku hanya ingin tenang menjalani sisa kuliah. Rencananya setelah lulus, aku ingin cari pekerjaan di kota lain dan mulai hidup baru tanpa dibayangi gangguan Genta. Kami sudah lama putus karena ia ketahuan selingkuh. Yah, tanpa selingkuhpun hubungan kami cukup sulit. Terlalu banyak perbedaan, sifat, kelas sosial... "
Alvaro terdiam. Ia tidak lagi memandangiku tapi aku tahu ia mendengarkan.
"Ibumu tahu?"
"Aku tidak banyak cerita padanya. Ibuku hanya tahu kami putus karena tidak cocok dan menganggap itu wajar terjadi. Sebagai single parent ia sendiri memiliki masalah. Aku tidak ingin menambah bebannya. Selama bisa kutangani sendiri, ya tidak perlu cerita. Kalau tidak kuat paling bicara sama Mia. Waktu tawaran jadi asisten datang, aku pikir bisa menabung dan tidak perlu khawatir biaya kuliah kalau kehilangan beasiswa. Aku bahkan bisa membeli buku dan keperluan kuliah tanpa bergantung pada uang saku."
"Teruskan."
"Sejak awal Mas bukan tipeku. Berandai-andaipun aku tidak berani. Mas berada di dunia yang hampir tak nyata bagiku. Mungkin karena terbiasa, sedikit demi sedikit pertahanan goyah. Aku berusaha keras menjaga perasaan. Membenci Mas lebih baik tapi yang terjadi malah sebaliknya. Ketika kita akhirnya menjadi pasangan karena permintaan Nenek, kupikir tidak akan berjalan lama. Hubungan kita akan berakhir sebelum tengat waktu dan kesadaranku akan kembali. Pada akhirnya status kita tetap menjadi karyawan biasa dan atasan."
Aku menghelan napas. Rasanya mendadak sedih. Dada terasa sesak oleh luapan emosi. Aku tidak ingin menangis tetapi mata semakin panas. "Seiring waktu bukannya menjauh, kita malah semakin dekat. Setiap hari aku mulai kewalahan menjaga perasaan. Aku mencintai Mas semakin dalam. Kadang itu menakutkan. Meski sedikit demi sedikit hubungan kita lebih layak disebut pacaran daripada hubungan palsu. Semua masih terasa mimpi yang akan hilang bahkan terlupa begitu terbagun."
Kelegaan dan getir muncul bersamaan. "Aku mengatakan ini bukan minta dikasihani. Sekarang aku lebih yakin pada diri sendiri. Hubungan kita layak diberi kesempatan. Kedepannya memang masih abu-abu tapi sudah cukup berkhayal. Mas sudah mencoba berjuang jadi aku akan melakukan hal yang sama."
Jemari Alvaro mengusap sudut mataku yang berair. "Komitmen. Aku menghindari kata itu dalam setiap hubungan. Kebebasan terlalu berharga dibanding perempuan cantik manapun. Aku tidak peduli jika karena itu harus sendirian sampai mati. Keluarga bukanlah untukku. Dengan apa yang kumiliki, apapun bisa kunikmati tanpa perlu ikatan. Semua tergambar jelas sampai mengenalmu. Aku bukan orang baik, Sayang, kamu mungkin akan membenci duniaku dulu dan entah kapan semua mulai berbalik. Memiliki ikatan denganmu jauh lebih berharga dari kebebasan yang dulu kucintai. Aku terlanjur jatuh semakin dalam. Kamu tidak sedang bermimpi. Aku nyata. Cinta kita nyata."
"Aku takut..."
"Jangan menangis karena seorang bajingan sepertiku." Alvaro kembali mengusap mata dan mencium keningku. "Kita akan menjalani bersama. Kamu berani, kuat dan cantik. Jangan biarkan rasa takutmu menghalangi kebahagiaan. Kamu bukan satu-satunya yang takut kehilangan."
"Aku tidak sempurna..."
"Bagiku semua bagian yang ada pada dirimu sempurna. Jika ada yang salah itu adalah aku, lelaki penuh dosa. Kamu segalanya bagiku, Sayang, segalanya. Jangan lupakan itu."
Nenek Euis keluar dari kamarnya dan mulai mengomeli Alvaro. Ia mengira aku bersedih karena dimarahi cucunya. Alvaro menelan bulat-bulat omelan neneknya tanpa bantahan. Remasan jemarinya pada tanganku memberi isyarat agar aku tidak perlu membelanya.
Setelah puas mengomel kami pergi menemani Nenek belanja. Suasana cukup ramai oleh pengunjung yang sebagian besar perempuan. Alvaro kali ini lebih sabar menemani kesana kemari. Kesempatan itu digunakan Nenek Euis sebaik mungkin. Setiap kali menemukan kain kebaya yang menarik perhatian,ia akan mengoceh, meminta pendapat apakah warna dan coraknya cocok digunakan untuk pesta pernikahan.
Alvaro tersenyum, reaksi yang seharusnya membuatnya menghindar. Biasanya ia akan melipir ke tempat lain dengan alasan dibuat-buat.
Aku sendiri menikmati pemandangan nenek dan cucu itu dari belakang. Sesekali Alvaro melirik seolah memastikan aku mengikutinya tanpa melepas genggamannya.
Tidak jauh dari tempatku berdiri seseorang menatap tajam. Ia bersama beberapa orang pasangan. Tudung jaket yang dipakainya menyamarkan wajah itu. Tapi entah kenapa aku tahu orang itu ketika melihat wajah-wajah di dekatnya. Genta dan teman-temannya. Mereka juga melihat ke arahku dengan ekspresi kaget sekaligus bingung menyadari siapa sosok yang bersamaku.
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro