Chap 18
Dari dalam apartemen terdengar suara orang mengobrol. Tawa mereka semakin jelas begitu pintu terbuka. Alvaro melingkarkan tangannya di pinggangku, menyatukan irama langkah kami mendekati ruang tengah. Azka berjalan paling belakang sambil membawa tas milikku.
Dua orang perempuan bangkit dengan anggun berdiri dari sofa panjang. Perhatianku bergantian memerhatikan keduanya. Wajah Lily masih kuingat sementara dan perempuan di sampingnya tidak asing. Ia yang bernama Amanda, adik kekasih Alvaro dulu. Senyuman tulus, sambutan bersahabat dan pelukan hangat dari keduanya suasana canggung memudar. Aku dan Lily sudah saling mengenal walau tidak terlalu dekat tetapi akan berbeda dengan Amanda. Ia menjadi bagian dalam kehidupan Alvaro jauh sebelum aku menggenal lelaki itu.
Amanda memperlakukanku seakan baru saja bertemu teman lama. Tidak sedikit tanda ketidaksukaan atau terang-terangan menilai dari ujung rambut hingga kaki. Penampilan kami terutama malam ini jika dibandingkan seperti dua sisi yang berbeda. Baik Lily maupun Amanda tampak seperti siap pergi ke pesta. Keduanya memakai gaun dan riasan yang cocok untuk acara makan malam. Penampilanku sendiri tidak terlalu memalukan tapi memang terlihat cocok dipakai di dalam rumah.
Alvaro memberitahu keduanya kalau rencana pergi keluar dibatalkan. Lily tidak keberatan mendengar keputusan mendadak itu sementara Amanda menerima cukup baik. Mereka terlalu antusias menanyaiku macam-macam hingga tak memedulikan dua lelaki di antara kami.
Pandanganku mengedar ke sekeliling. Ada sesuatu yang kurang di tempat ini.
"Nenek mana?" tanyaku begitu menyadari tidak menemukan keberadaan perempuan paruh baya itu.
"Nenek pulang ke Jakarta tadi siang. Katanya ada urusan mendadak. Aku masih menunggu kabar kapan Nenek akan kembali." Tanpa sengaja aku mendapati ekspresi Amanda berubah muram mendengar jawaban Alvaro. Lily mengusap bahunya seolah memberi penghiburan. "Sekarang kamu simpan dulu barang-barangmu. Jangan terlalu lama. Kita akan segera makan bersama."
Aku meraih tas, beranjak ke kamar sebelum melanjutkan pertemuan dengan sahabat baru. Sudut mata merasa lelaki itu masih mengawasi sejak meninggalkan ruang tengah hingga melewati pintu yang membatasi bangunan utama dengan area kamarku.
Perasaan bercampur aduk selama berada di kamar. Ketegangan tidak bisa dihindari hanya karena berpikir adik mantan pacar ada di ruangan yang sama dengan Alvaro. Keberadaan Lily sebetulnya membuatku sedikit tenang tetapi tidak menghilangkan kecanggungan setiap kali Amanda bersikap baik.
Setelah memerhatikan pakaian milikku, keputusan tidak mengganti pakaian semakin bulat. Hanya sedikit usaha merapikan rambut dan memoles sedikit lip tint agar terlihat lebih hidup. Keenganan menahan gerakan setiap akan keluar kamar namun berhasil kutepis. Kenyataan di luar sana belum tentu semenakutkan pikiran buruk.
Irama jantung berdegub sepanjang menyusuri koridor menuju ruang makan. Disusul nyeri perut karena terlalu tegang. Awalnya aku mengira mereka ada di sana mengingat akan makan malam bersama. Anehnya ruangan itu justru sepi. Begitu pula dengan suasana di ruang tengah.
Lily tiba-tiba muncul dari ruang tamu. Senyumannya merekah, menatap geli padaku yang kebingungan. "Yang lain ada di atas. Mereka sedang menunggu kita."
"Di atas?"
"Rooftop. Idenya Alvaro. Kebetulan cuaca juga sedang bagus. Yah, mudah-mudahan tidak turun hujan."
"Mejanya bagaimana?"
"Semua sudah disiapkan. Ada satpam yang ikut bantu. Alvaro punya peralatan khusus untuk acara makan-makan di rooftop. Kami pernah melakukannya beberapa kali. Dan lagi ia memesan banyak makanan jadi sekalian bagi-bagi sama satpam."
"Apa ada yang bisa kubantu?"
Lily mendekat dan memosisikan tubuhnya di sampingku. Lengannya menarik bahuku ke arahnya. Bola matanya berbinar saat tersenyum. "Yang perlu kamu lakukan hanya santai. Sekarang kamu bagian dari hidup Alvaro yang artinya bagian dari kami, sahabat-sahabat Alvaro. Jadi tidak perlu sungkan atau tegang termasuk soal Amanda. Ia datang bukan untuk menilai penampilan atau latar belakang. Ia hanya penasaran karena perlakuan Alvaro berbeda dibanding saat bersama perempuan lain."
Kakiku bergerak perlahan, menjajari langkah Lily keluar dari apartemen. "Karena aku berbeda tipe dengan mantan pacar Alvaro?"
"Mungkin tapi cinta tidak bisa diukur hanya dari warna kulit atau penampilan luar seseorang. Amanda cuma penasaran kaanapa Alvaro membiarkan hubungan kalian di bawah radar. Biasanya ia selalu jadi pihak yang dominan."
"Alvaro melakukannya karena permintaanku."
"Bisa jadi benar. Dengar, Freya, Alvaro berbeda dengan teman-teman kampusmu. Kemungkinan ia ingin menjauhkanmu dari rumor mengingat reputasinya tentang perempuan tidak bagus. Belakangan ini Alvaro memang mencoba memperbaiki image-nya. Menghindari godaan-godaan yang bisa membuatmu salah paham."
"Apakah usahanya berhasil?" Rasa penasaran menggelitik saat menaiki anak tangga menuju rooftop.
"Sebagian berhasil, sebagian lagi justru lebih tertantang. Sebaik-baiknya Alvaro pada perempuan, ia paling tidak suka didesak. Agresif di ranjang masih oke tapi..." Lily berhenti lalu menatapku. Mulutnya terkatup cepat dan tersenyum lirih. "Maaf Frey, aku pikir kamu sudah menerima sosok Alvaro sebelum kalian berhubungan."
Tentu saja Alvaro bukan perjaka polos. Kenyataan itu terpampang jelas di berbagai media digital. Jarak dengan keluarga ayahnya dan tinggal terpisah dari neneknya membuat Alvaro hidup tanpa pengawasan keluarga. Ia laki-laki dewasa yang tentunya memiliki hasrat. Aku bisa menerimanya karena memupus masa lalu sangat tidak mungkin walau mengungkit persoalan semacam itu mengundang cemburu.
"Kamu yakin masih mau bersama Alvaro, Frey? Tidak baik jika suatu saat kamu mengungkit gaya hidupnya saat kalian bertengkar."
"Aku pasti sudah kabur kalau belum bisa menerima semuanya."
"Serius?" Lily belum beranjak dari tempatnya. "Jangan salah paham. Bukannya aku tidak mendukung kalian tapi sebagai perempuan, rasanya menyebalkan mendengar masa lalu pasangan kita diungkit. Dan mungkin kamu akan mendengar hal semacam itu dari orang lain."
"Perasaan sukaku kira-kira sebanyak delapan puluh persen. Sisanya tergantung takdir."
"Bagus. Jangan biarkan Alvaro merasa menang lebih awal. Aku rasa kamu mampu membuat lelaki menyebalkan itu bertekuk lutut. Andai kalian pada akhirnya memilih tak bersama tidak ada yang berubah dengan persahabatan kita. Oke."
"Oke."
Di rooftop suasana tampak berbeda. Lahan kosong yang jarang digunakan berubah layaknya restoran. Aneka makanan terhidang di meja panjang yang dilapisi kain berwarna emas. Empat kursi lipat kayu berada kedua sisi meja. Beberapa lampu dinding menyorot tepat ke arah meja. Di bawah sana terhampar pemandangan indah. Kelap kelip cahaya lampu berwarna warni di tengah kegelapan.
Salah satu satpam mengangguk saat melewati kami. Ia membawa satu plastik besar berisi makanan.
"Gimana menurut kamu?" Amanda berdiri di samping meja. Ia piawai menata makanan dan peralatan makan lebih menarik. "Karena idenya dadakan dan peralatan seadanya kuharap kamu maklum tidak sebagus restoran sungguhan."
"Bagus kok. Aku belum pernah makan di rooftop kayak gini."
"Kalau begitu ayo kita makan."
Tidak jauh dari tempat kami kami, Alvaro masih sibuk mengobrol bersama Azka. Keduanya bersandar pada tembok pembatas sambil mengamati keadaan sekitar. Ia akhirnya mengalihkan perhatiannya setelah Lily menyuruhku duduk. Di bawah sinar bulan sosok Alvaro ikut bersinar. Caranya berjalan, tersenyum hingga saat merapikan rambut ke belakang bagiku sama menariknya ketika melihatnya bicara di mimbar kampus. Sorot serius sekaligus tajam membuat perempuan manapun tersipu.
Kekaguman bagian dari delapan puluh persen yang kurasakan padanya meski tentu saja angka bukan tolak ukur perasaan. Dalam hubungan seumur jagung rasanya wajar kalau masih merasa ada keraguan. Kekhawatiran tidak akan berjalan seperti harapanpun kadang terbersit. Perhatian yang kurasakan mungkin bersifat sementara. Butuh waktu untuk saling mengenal pribadi masing-masing sebelum yakin ini pilihan terbaik.
Alvaro mengecup puncak kepalaku lalu menyeret kursi di sampingku. Ketiga temannya selain Amanda tidak memperhatikan kami. Azka mengamati aneka makanan yang terhidang sementara Lily asyik mengambil foto.
Pipiku merona mendapati Amanda mengamatiku dan Alvaro saksama. Senyuman tulus ketika matanya menyipit sebagai tanda persetujuannya atas hubungan kami. Kecanggungan yang sempat terasa sedikit demi sedikit menghilang. Diriku menilai Amanda terlalu cepat, mengira kemunculannya hanya untuk membuktikan di depan Alvaro bahwa aku tidak layak menggantikan posisi kakaknya.
Sosok yang kulihat pada Amanda sama bersahabatnya dengan Lily. Akan sangat menyenangkan jika keberuntungan ini bertahan lama.
Tawa canda mewarnai santap malam. Aku sendiri tidak terlalu memperhatikan hidangan makanan. Sejak awal ketegangan terlanjur mengisi perut. Mengamati interaksi keempat orang di samping lebih menarik meski sebagian besar obrolan seputar kehidupan mereka.
Sesekali Alvaro menjelaskan pertemanan mereka, kapan mereka mulai berteman dan siapa saja temannya selain ketiga orang di depan kami. Ia juga bercerita tentang perusahaan yang dikelolanya. Satu topik yang terlewat hanya tentang keluarga. Ketiga temannyapun seperti satu suara hingga aku memilih mengikuti arus daripada harus diomeli.
"Sekarang kita bahas yang lain saja. Kasihan Freya kalau cuma jadi pendengar kalau hanya tentang kita," ujar Amanda. Perempuan itu cukup bersemangat. "Boleh,kan, Kak?"
Alvaro yang dari tadi melingkarkan lengannya di bahuku mengerutkan kening. "Boleh saja. Syaratnya jangan memberinya pertanyaan aneh. Aku tidak ingin hari ini berakhir buruk."
Tawa geli Lily menyela pembicaraan. "Ya ampun, Al. Tenang saja. Tidak ada yang berani menyakiti Freya. Lagipula apa maksudmu dengan pertanyaan aneh."
"Santai saja, Kak. Aku sudah berjanji tidak akan menanyakan apapun yang membuatnya tersinggung, kan." Amanda menambahkan saat jemarinya membentuk hurup V.
"Aku tidak akan menarik perkataanku. Jangan memaksa atau mendesaknya." Alvaro menunjukan sikap tak ingin dibantah.
Semakin lama perlakuan Alvaro membuatku risih. Caranya melindungi bisa menjadi boomerang. Meski tidak menyangkal berada di antara dua perempuan cantik itu menimbulkan rasa tak percaya diri bukan berarti aku akan langsung menyerah tanpa perlawanan. Diriku anak kecil yang selalu mencari perlindungan di bawah ketiak orang tua setiap menghadapi masalah.
Alvaro tidak memedulikan reaksiku yang memelototinya. Ia justru semakin merapat padaku hingga sulit bergerak. Kewaspadaannya terlalu berlebihan.
Amanda menggeleng pelan. Diamatinya diriku yang kesal karena sikap acuh tak acuh Alvaro lalu mulai bertanya. Pertanyaan yang ditanyakannya tidak aneh, sangat biasa, lebih banyak mengenai keluarga dibanding percintaan. Ia sangat tertarik membahas bagaimana kehidupanku dulu sebelum bersama Alvaro.
"Oh jadi kamu tinggal sendiri setelah keluargamu pindah? Tidak ada saudara lain, sepupu misalnya?" tanya Amanda.
"Iya. Pekerjaan ibuku dipindah tugaskan. Aku tidak ikut karena terbentur kuliah. Saudara lain kebetulan tinggal di luar kota. Kami jarang bertemu kecuali saat momen tertentu atau libur panjang."
"Ada rencana pindah menyusul keluargamu atau tetap tinggal di sini setelah lulus?" Lily ikut penasaran.
"Belum tahu. Belum ada bayangan. Sebenarnya lebih enak tinggal dekat dengan keluarga tapi untuk sekarang situasinya belum memungkinkan. Apalagi aku masih berat meninggalkan rumah yang kutempati."
Amanda terdiam sesaat tanpa mengalihkan pandangan. Sorotnya meredup sedih. "Maaf soal ayahmu. Kalian pasti sangat dekat sampai kamu berpikir seperti itu."
"Sebenarnya hubungan kami sama seperti keluarga lain. Kadang bertengkar juga sampai mogok bicara beberapa hari. Tapi memang terlalu banyak kenangan di rumah itu yang mengingatkan pada ayahku. Bukannya tidak bisa menerima takdir, aku kepergiannya terlalu cepat. Apalagi kami jarang bertemu karena ayahku sering tugas ke luar kota. Sebelum kecelakaan aku setengah memaksanya menyelesaikan pekerjaannya dan cepat pulang."
Tanpa sadar suaraku melemah. Butuh kekuatan untuk bersikap tenang setiap mengingat kepergian Ayah. "Andai tahu akan begini, mungkin aku akan mengatakan sesuatu yang lebih baik."
Alvaro mengusap rambutku. Dikecupnya kepalaku penuh sayang. "Kalau kamu menangis, aku akan menyuruh mereka minta maaf padamu."
"Siapa yang menangis. Aku baik-baik saja," gerutuku.
"Tenang saja, Frey. Kami sudah biasa menghadapi sifat Alvaro. Sikapnya memang seenaknya sejak mulai sukses. Penampilannya bolehlah diadu sama model majalah tapi kalau sudah mengomel, menyebalkannya melebihi perempuan yang sedang PMS. Kelebihannya cuma satu, tidak pelit," sela Lily sambil tertawa kecil. "Nah, lihat aku sudah memujimu. Aku teman yang baik, kan, Al."
Kami semua tertawa kecuali Alvaro.
Senyuman tidak berhenti melukis di antara kami. Aku larut dalam obrolan santai. Amanda tidak lagi banyak bertanya, kalaupun ada hanya pertanyaan tentang kuliah.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, memaksa kami menyudahi jamuan makan.
Satpam yang tadi membantu menyiapkan peralatan kembali datang. Ia tidak datang sendiri. Seorang perempuan paruh baya ikut bersamanya. Ia memperkenalkan diri sebagai istri satpam tadi. Dengan sigap satpam itu merapikan meja dan kursi ke dalam gudang yang letaknya tidak jauh dari pintu tempat kami masuk sementara istrinya merapikan meja. Aku ikut membantu merapikan alat makan bersama Amanda dan Lily. Satpam dan istrinya meminta kami pergi lebih dulu. Mereka akan membersihkan peralatan yang kotor dan menaruhnya di tempat khusus di samping gudang. Alvaro memberi amplop pada satpam tadi sebagai tanda terima kasih atas bantuan keduanya.
"Alvaro bukan laki-laki sempurna. Hidupnya sempat berantakan. Ia juga bukan laki-laki polos. Tapi aku harap kamu bisa memberinya kesempatan belajar mencintai lagi." Amanda berbisik padaku saat kami menuruni tangga.
Aku melirik ke arah Alvaro dan dua temannya di belakang kami. Ketiganya sedang mengobrol. "Aku sudah lihat foto-foto mesranya. Ia tidak kelihatan terpaksa malah senang didampingi perempuan cantik."
"Orang lain mengatakan itu cinta. Kami, teman-temannya menyebutnya nafsu." Usapan lembut Amanda di punggung cukup menenangkan. "Sebelumnya aku mengira Alvaro menuruti permintaanmu menyembunyikan status kalian karena hubungan kalian tidak serius. Tapi aku juga bingung karena di saat bersamaan ia menolak tawaran kencan. Sampai akhirnya aku sadar, ia melakukannya karena ingin menjagamu dari rumor buruk."
"Amanda," tanyaku ragu.
"Ya."
"Ini tentang perempuan yang pernah Alvaro cintai, kakakmu. Apakah kedatanganmu karena itu?"
Amanda tersenyum sambil menggeleng. "Rasa penasaranku bukan karena kakakku. Sejak kepergian kakakku, aku selalu berharap Alvaro bisa melanjutkan hidup. Keberadaan kakakku hanya kenangan. Nama tanpa raga. Alvaro butuh kasih sayang dari seseorang yang masih hidup. Mungkin tidak semua mantan pacarnya hanya ingin balasan materi atau status tapi tak satupun dari mereka benar-benar berhasil membuat Alvaro peduli."
"Alvaro peduli sama semua orang."
"Denganmu tarafnya lebih tinggi. Menurutmu kenapa ia menjalin hubungan denganmu, asistennya sendiri padahal ia paling anti memacari karyawannya apalagi sekretaris atau asisten."
Aku terdiam, memikirkan kemungkinan Amanda tidak mengetahui penyebab kami menjalin kasih. "Bagaimana kalau alasannya karena terpaksa atau sesuatu hal mengharuskannya menjalin hubungan meski tidak diinginkan."
"Alvaro terbuka bernegosiasi tentang apapun kecuali yang berhubungan dengan perempuan. Keluarganya lebih dari sekali mencoba menjodohkan dan hasilnya nol. Bahkan bujukan neneknya sekalipun tidak berpengaruh. Ia tidak bisa dipaksa kalau tidak ada rasa."
Jawaban Amanda membuatku terkejut sekaligus bingung. Hubunganku dan Alvaro bermula dari permintaan Nenek Euis. "Benarkah?"
"Aku mendengarnya bukan dari Alvaro langsung. Ia tidak terlalu suka membahas keluarganya atau urusan pribadi. Azka yang memberitahuku. Sebagai orang kepercayaan Alvaro, ia mengetahui banyak setiap permasalahan lelaki itu."
"Apa Azka juga cerita tentang aku?"
"Sedikit." Amanda menghela napas pendek. "Ia lebih banyak tutup mulut."
Rangkulan dari belakang mengejutkan kami. Kemunculan lelaki bertubuh tinggi memisahkan kami. Ia tersenyum lalu mencium singkat kepalaku saat aku menatap bingung. "Pembicaraan kalian sepertinya serius sekali. Apa yang sedang kalian bicarakan?"
Amanda mengerucutkan bibirnya sambil berusaha melepas lengan Alvaro dari bahunya. "Tentu saja siapa lagi kalau bukan Kakak. Aku mengingatkan Freya supaya sabar menghadapi Kakak."
"Benar begitu, Frey?"
"Amanda memintaku untuk memercayaimu. Ia bilang Mas sebenarnya baik."
"Kamu percaya padaku?"
"Terpaksa." Aku berniat menggodanya. Tindakan yang sebelumnya tidak berani kulakukan saat berada di teman-teman Alvaro. "Soalnya taruhannya masa depanku."
Kedua alis Alvaro terangkat. Perhatiannya kini sepenuhnya tertuju padaku. Ia melupakan keberadaan teman-temannya bahkan Amanda memandanginya heran. Penyebabnya karena lelaki itu tanpa malu memelukku dari belakang. Setengah mati aku berusaha melepas pelukannya meski justru semakin mengerat. Alvaro memang tidak tahu malu.
Godaan dan candaan dilontarkan ketiga orang di belakang kami. Alvaro meneruskan ketidakpeduliannya seakan hanya ada kami di tempat ini. Ia sengaja memamerkan kepemilikan atas diriku. Gerutuanku dianggap angin lalu. Di kepalanya hanya ada cium, cium dan cium walau sebatas kepala dan pipi. Aku sampai risih tapi kesulitan menjaga jarak.
Ketiga teman Alvaro pamit setelah kami tiba di apartemen. Azka ingin beristirahat di kamar lain yang Alvaro sewa sementara Lily dan Amanda memiliki acara lain. Tinggalah kami berdua di apartemen. Beberapa lama tinggal di sini membuatku terbiasa dengan kesendirian. Tidak pernah ada masalah walau kadang merasa kesepian.
Semua berubah sejak menyadari perasaan pada Alvaro. Kedatangannya merupakan hadiah penantian yang waktunya tidak bisa diduga. Dan setelah Nenek Euis tinggal bersamaku, apartemen ini semakin hangat dan nyaman. Walau gerak-gerik dibatasi oleh aturan, kerinduan pada keluarga sedikit terobati.
Alvaro mengajak bicara sambil menonton film di ruang tengah. Ajakannya tidak kutolak karena belum mengantuk.
"Nenek kapan pulang ke sini?"
"Belum bisa pastikan. Nenek menyuruhku tidak perlu menunggunya. Jika urusannya selesai ia baru ke Bandung lagi. Kenapa?"
Aku menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Mas sendiri ke Jakarta Minggu malam atau Senin pagi?"
"Tergantung situasi. Sejauh ini rencananya tetap Senin pagi kecuali ada masalah."
"Oh."
Jemari Alvaro memainkan ujung rambutku. "Kenapa wajahmu muram begitu? Kedatangan Amanda membuatmu tidak nyaman?"
"Amanda sama baiknya dengan Lily. Pertanyaan-pertanyaannya tidak menyinggungku. Awalnya aku memang ragu karena Mas dan kakaknya pernah pacaran. Tapi sikapnya cukup ramah padahal kami baru kenal."
"Aku senang mendengarnya." Ia memerhatikanku yang mengabaikan pandangannya. Aku menatap layar kaca tanpa semangat. "Lalu kenapa kamu masih murung? Capek? Mau istirahat?"
Dengan sedikit sisa keberanian wajah berpaling pada Alvaro. Bola mata gelap di hadapan balas menatap. Garis tegas wajah yang membingkai raut maskulin di sampingku membuatku mendadak kehilangan kata-kata. Godaan menggelitik rasa malu ketika keinginan berada dalam rengkuhan kedua lengan kokoh menguat.
"Mas sendiri sudah ngantuk?"
"Tidak. Aku akan tetap terjaga selama kamu menemaniku."
Aku tersipu. Kalimat sederhana yang Alvaro ucapkan terdengar indah di telinga. "Aku cuma merasa apartemen ini lebih sepi tanpa Mas dan Nenek tidak ada."
Alvaro meraih pinggangku dengan lembut, membawa tubuhku ke pangkuannya. Kedua tanganku bertumpu di dadanya sembari menyandarkan kepala di bahu lelaki itu. Aroma parfum masih tercium. Wangi kayu-kayuan yang menenangkan.
"Bukannya kamu lebih suka kalau aku sibuk di Jakarta?"
"Itu dulu," ucapku tidak mengelak. "Sekarang ceritanya berbeda," lanjutku malu-malu.
"Kalau begitu kita manfaatkan momen ini. Saat Nenek kembali, ia pasti melemparku keluar jika melihatku berjam-jam memelukmu." Nenek Euis sebenarnya menoleransi kemesraan kami tetapi tetap saja ada batasan. Ia selalu mengomel akan menyeret penghulu ke sini kalau Alvaro berani melanggar aturan.
"Oh ya, kenapa Nenek tidak memberitahuku kalau akan pergi? Acaranya mendadak ya."
Helaan napas terdengar. Suara Alvaro tak bersemangat saat menjawab. "Katanya begitu. Aku tidak bertanya lebih banyak karena ia pergi sambil mengomel." Mata terpejam, menikmati sentuhan jemari di rambut. "Aku tidak akan mengatakan janji-janji manis yang belum tentu bisa kulakukan, Frey. Sekalipun jarak bukan hambatan, waktu dan urusan pekerjaan bisa jadi penyebab batalnya kita bertemu. Kenyataannya aku memang tidak mungkin bisa selalu menemanimu seperti halnya kalau kita tinggal di kota yang sama. Tapi aku akan selalu mengusahakan menemuimu selagi memungkinkan. Dan aku harap kamu tidak melupakan tanggung jawabmu hanya karena hubungan kita. Keluargamu pasti kecewa kalau kuliahmu berantakan karena laki-laki."
"Tenang saja. Aku bisa memisahkan urusah pribadi dan kuliah."
Kecupan kali ini mendarat di puncak kepalaku. "Pacarku memang pintar. Sejauh ini tidak ada dosen yang mengeluh tentangmu."
"Mas tahu darimana?"
"Kamu lupa perusahaanku punya kerja sama dengan kampusmu. Mencari informasi tentangmu semudah menjentikan jari." Pelukannya semakin erat. "Sekarang biarkan aku membayar waktu yang kulewatkan. Pertama-tama, lemaskan tubuhmu."
"Untuk a..." Alvaro bergerak cepat setelah melepas pelukannya. Pinggangku diputarnya hingga tubuhku membelakanginya.
"Kedua, bantu angkat rambutmu ke atas." Perintahnya bagai hipnotis. Tangan reflek menggulung rambut.
Debar jantung menghentak. Bulu roma berdiri merasakan hembusan napas di belakang leher. Gemelitik geli mengalir ke sekeluruh tubuh, menimbulkan sensasi aneh.
Mataku terpejam, berusaha menyingkirkan imajinasi liar dari kepala. Suasana yang berubah hening membuat perut semakin mulas. Aku tidak bisa menebak apa yang Alvaro lakukan selanjutnya.
Tubuhku tersentak merasakan sesuatu melingkari leher. Jemari meraba benda itu, sebuah kalung dan cincin emas yang menjadi bandulnya. Mataku melebar, mengamati cincin dengan ukiran inisial huruf di bagian dalam. F+A.
"Ini hukumanmu. Kamu harus memakainya sebagai pengingat keberadaanku. Jika kamu merasa sudah siap, pakai cincin itu di jarimu." Kata Alvaro sebelum keterkejutanku hilang. "Aku memiliki cincing yang sama yang baru akan kupakai saat kamu siap mengumumkan hubungan kita." Ia mengakhiri ucapannya sambil mengecup leher.
Aku kembali menatap cincin itu lekat-lekat. Pantulan kilau berlian kecil di tengah-tengah lingkaran emas tampak sangat indah.
Gelombang perasaan bercampur aduk. Rasanya hubungan kami terlalu singkat hingga aku layak menerima benda seindah itu.
"Suka tidak?" Suara berat Alvaro menyapu telinga. Ia sengaja menumpukan wajahnya di bahuku. Kedua tangannya melingkari pinggangku, menahan setiap gerakan hingga kami saling menempel seperti diberi lem super kuat.
Kepalaku mengangguk. "Tentu saja. Semoga penyakit lupaku tidak kambuh dan menghilangkannya."
"Cincin itu hanya simbol. Jangan terbebani kalau hilang. Jika tadir berpihak pada kita, aku akan menggantinya sesuai keinginanmu. Lebih bagus, lebih indah, lebih mahal tapi tidak lebih berharga dari dirimu."
"Bagaimana kalau aku menjual atau menggadaikannya?"
"Kalau kamu kesulitan tentang uang, bicaralah padaku bukan berpikir untuk menjual atau menggadainya kecuali kalau kita tidak ada ikatan. Ingat ya, bukan berarti aku berniat melepasmu. Benda itu sepenuhnya milikmu. Terserah mau kamu apakan."
Wajah sedikit kujauhkan darinya lalu memberi ciuman di pipi sebagai balasan terima kasih. Alvaro memiringkan kepalanya. Tatapannya menunjukan ketidakpuasan. Raut kesal di sampingku sangat menggemaskan. Aku tahu apa yang ia inginkan dan berhenti menggodanya, mengumpulkan seluruh keberanian sebelum akhirnya menciumnya tepat di bibir.
Alvaro tersenyum sesaat lalu membalas ciumanku. Seluruh indera semakin sensitif. Tubuh bereaksi hanya oleh sentuhan tangan. Gelora yang tak biasa membuat mabuk kepayang. Ciuman Alvaro menyeretku semakin dalam ketidakberdayaan.
Akal sehatku tiba-tiba tumpul. Yang tersisa hanya hasrat berada di sisinya. Berharap bisa menghentikan waktu.
Irama jantung semakin kencang saat tanpa sengaja mataku terbuka di sela ciuman kami. Dalam jarak sangat dekat aku melihat bola mata gelap sedang menatapku. Entah sejak kapan ia melakukannya.
Tatapan lembut dan ciuman panas lebih istimewa dibanding makan malam kami. Dan setiap kali aku melepas ciuman untuk bernapas, ia akan mengulanginya kembali.
"Malam ini aku ingin kamu bersikap lebih santai. Lupakan siapa diriku. Berhenti menilai seberapa pantas latar belakangmu. Lihatlah aku seperti lelaki biasa. Aku ingin mendengar keluh kesahmu. Bermanjalah. Aku milikmu."
Pipi memanas oleh sikap Alvaro. Selama ini keraguan kadang menahan setiap pikiran. "Kalau egois boleh?"
"Bukan boleh atau tidak tapi bagaimana cara kita satu suara menyikapi keegoisanmu."
"Jadi boleh?" pintaku setengah merajuk.
Sorot Alvaro berbinar lembut. "Boleh, Sayang."
Tubuh berbalik hingga menghadapnya saat pelukan Alvaro melemah. Kedua tanganku melingkar di pinggangnya. Kepalaku terangkat hingga menyentuh dagunya. "Senin nanti Mas ada kerjaan penting atau rapat pagi-pagi?"
"Semua pekerjaanku penting, Freya." Alvaro mencubit gemas pipiku. "Tapi sejauh ini tidak ada yang mengharuskanku pulang lebih awal."
"Kalau begitu Mas pulangnya Senin pagi saja ya?"
Lelaki itu mengangguk sembari tersenyum. "Ada lagi?"
"Besok selain acara makan sama yang lain, aku mau menghabiskan waktu sama Mas di sini." Alis Alvaro terangkat sebelah. Senyuman jahil sekaligus mesum seperti serigala kelaparan. "Maksudku kita bisa melakukan banyak hal seperti nonton, ngobrol atau main game."
"Dan ciuman." Ia mengerling. "Yang banyak."
Alvaro mengaduh pelan saat pinggangnya kucubit. Aku tahu ia berpura-pura, selain karena aku tidak menggunakan tenaga, dibagian pinggangnya lebih banyak otot daripada lemak. Kami berdua tertawa dan menghabiskan sisa malam mengobrol.
******
Hidup penuh warna warni. Tawa bisa berganti tangis dalam hitungan detik. Kegelisahan bisa tersapu kegembiraan dengan cara tak terpikirkan. Kejutan akan selalu ada tanpa menunggu kesiapan setiap manusia.
Pertemuan terakhir bersama Alvaro dan ketiga teman-temannya salah satu dari kejutan itu terutama sosok Amanda. Sikap perempuan itu secantik parasnya. Senyumannya teduh setiap kali menatapku. Kekhawatiran yang menimbulkan pikiran buruk hanya menjadi dugaan. Amanda sama ramahnya dengan Lily. Akupun menerima balasan persahabatan yang ditawarkan.
Waktupun kembali ke kehidupan seperti biasa. Hari demi hari kujalani jauh dari Alvaro. Kegiatan di kampus menyibukan pikiran dari prasangka buruk. Ditemani Nenek Euis, aku merasa ruang kosong karena harus tinggal sendiri perlahan terisi perasan nyaman seperti dikelilingi keluarga.
Dan tambahan kesibukan menjadi guru privat tetangga Mia pun dimulai. Tawaran yang semula ragu kuterima akhirnya jadi pengisi setelah selesai kuliah. Jadwal pertemuan kami dua minggu sekali tapi sebisa mungkin aku mengiriminya sejumlah tugas untuk diselesaikan. Muridku pun boleh menghubungiku baik lewat telepon atau video jika ada yang ingin ditanyakan mengenai pelajaran di malam hari kecuali weekend.
Di minggu ketiga, di Jumat sore seusai mata kuliah terakhir, panggilan masuk menghentikan langkah saat menuju tempat parkir. Hari ini rencananya aku akan beristirahat di kamar setelah melewatkan hampir satu minggu bergumul dengan perkuliahan dan mengajar les privat.
Jantung berdetak tidak karuan melihat nama yang muncul di layar. Pengirimnya bukan Alvaro karena lelaki itu tidak bisa pulang karena pekerjaan. Seseorang selain Alvaro yang bisa membuat simpul di perutku tegang seperti ini adalah ibuku. Selama aku masih menyembunyikan banyak hal sejak tinggal sendiri, aku rasa sulit sepenuhnya merasa tenang. Tapi untuk jujur pun butuh pemikiran matang termasuk menghadapi segala risiko.
"Halo, Frey. Kamu masih di kampus?" Suara Mama mengalun lembut.
"Halo, Ma. Ini baru mau pulang. Mama di mana?" tanyaku curiga Mama ada di Bandung.
"Mama lagi di rumah Bandung. Nenekmu juga ikut. Katanya kangen. Sudah lama kalian tidak ketemu. "
Aku terdiam sesaat. Dugaanku benar.
"Oh ya sudah, nanti kita ketemu di rumah. Mama mau titip sesuatu?"
"Tidak usah. Mama sudah masak makanan kesukaanmu. Hati-hati di jalan ya, Sayang."
"Iya, Mah." Suaraku melemah karena mendadak pusing. Tanpa mengulur waktu, setelah menutup panggilan dari Mama, aku segera menelepon Nenek Euis, memberitahunya kalau dua hari ke depan aku tidak menginap di apartemen. Nenek Euis memahami situasiku. Ia mengatakan agar aku tidak mengkhawatirkannya. Beruntung Nenek Euis membawa asisten pribadinya jadi di saat seperti ini aku bisa tenang.
Lembayung di sore hari memayungi perjalanan pulang ke rumah. Hembusan angin menerpa wajah di tengah hiruk pikuk kemacetan. Mata melirik ke sisi jalan. Lalu lalang pejalan kaki sama ramainya dengan mereka di balik kendaraan.
Perasaan bercampur aduk. Satu sisi kerinduan bertemu keluarga menambah semangat di sisa lelah. Di sisi lain kecemasan bahwa Mama mulai mencuriga terus menerus menerus datang.
Menjelang magrib aku tiba di rumah. Seorang perempuan paruh baya berdiri di teras saat motor memasuki halaman. Sosok tegas yang mengingatkan pada Nenek Euis tersenyum lebar. Penampilan Nenek tidak banyak berubah. Ia selalu memakai kebaya dan kain batik. Rambutnya disanggul dan tertata rapih.
Nenek memberi pelukan setelah aku mencium punggung tangannya. Sejak kecil aku selalu merasa segan pada Nenek. Meskipun bukan tipe pemarah, tatapan tajamnya seolah mampu melucuti kebohongan.
"Mama mana, Nek?"
"Mama kamu sedang keluar dulu." Nenek menarik tanganku menuju ruang makan. "Kamu makan dulu ya."
Di meja makan terhidang makanan rumahan. Masakan sederhana buatan Mama yang sering kurindukan. Aroma lezat menggoda perut yang belum terisi. Nenek memintaku duduk salah satu kursi. Tas kuletakan di bawah kursi dan membiarkan Nenek mengambilkan makanan untukku.
Nenek mengambil tempat di seberang meja. Ia tidak ikut makan karena masih kenyang. Kami mengobrol banyak di sela makan. Nenek sangat ingin tahu kegiatan keseharianku. Jawabanku selalu singkat dan sejelas mungkin karena khawatir kebohongan terbongkar.
"Sudah kenyang, Frey? Mau tambah lagi? Mama kamu sengaja masak banyak sekalian buat stok makanan buat kamu."
"Tidak usah, Nek. Freya sudah kenyang."
"Sebelum kamu istirahat, Nenek mau bicara serius sama kamu sebentar."
"Tentang apa, Nek?"
"Begini Freya, apa yang akan kamu bukan sesuatu yang menyenangkan. Nenek dan Mama kamu lusa sudah harus pulang. Alasan mama kamu hari ini datang ada kaitannya dengan kamu. Mamamu berniat menjual rumah ini."
"Mau di jual? Memangnya Mama mau beli rumah baru?"
Nenek mengawali pembicaraan dengan helaan napas panjang. Kerutan di keningnya semakin terlihat saat gelisah. Ia ragu setiap membuka mulut. Sikapnya yang tarik ulur membuatku semakin penasaran dan mendesaknya sampai memohon-mohon.
Selama ini rumah tangga orang tuaku tidak semanis yang ditampilkan. Beberapa tahun sebelum Ayah meninggal keduanya sering bertengkar tanpa sepengetahuanku. Aku nyaris jarang melihat keduanya melontarkan nada tinggi. Di sela kesibukan pekerjaan, kami sering mengunjungi tempat-tempat wisata. Kami menghabiskan waktu bersama layaknya keluarga harmonis. Meski kondisi adikku berbeda dari anak pada umumnya, tidak sekalipun orang tuaku saling menyalahkan. Pada saat itu aku benar-benar bahagia.
Kanyataan yang Nenek katakan berikutnya membuatku tersedak. Ayah rupanya berbisnis dengan temannya tanpa memberitahu Mama. Tahun pertama semua berjalan lancar tapi di tahun berikutnya Ayah mulai bersikap aneh dan ketahuan menggelapkan sebagian hasil keuntungan ke rekening pribadi. Sejak itu Ayah semakin sering keluar kota saat weekend atau libur.
Suatu hari Mama mengetahui uang simpanan Ayah dipakai untuk membeli rumah di luar kota. Karena merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses jual beli Mama semakin mendesak Ayah. Setelah perdebatan panjang Ayah mengatakan kalau ia menjalin hubungan dengan mantan pacarnya. Rumah itu dihadiahkan untuk mantan pacarnya itu. Keduanya bertemu setiap kali Ayah beralasan ada tugas keluar kota.
Kejujuran Ayah merupakan permulaan penderitaan Mama. Bukan hanya harus menghadapi perselingkuhan suaminya tetapi bersandiwara di depan anak-anaknya. Ia memilih bertahan. Sebutan anak kesayangan Ayah membuatku menjadikan Ayah sebagai tolak ukur laki-laki baik. Ayah cinta pertamaku.
Mama tidak sampai hati merusak bayangan itu. Khawatir putri pertamanya terluka oleh keegoisan seseorang yang seharusnya menjadi pelindung. Keduanya sepakat tetap bersama hingga aku lulus kuliah atau setidaknya sampai diriku cukup dewasa. Tahun demi tahun yang dilalui keduanya bagai api dalam sekam. Dari luar tampak bahagia sementara hati kecil menahan luka. Mama rela melakukannya demi melihatku tersenyum sementara Ayah terlalu mabuk oleh asmara perempuan lain.
Sepeninggal Ayah situasi semakin kacau. Beberapa orang yang pernah meminjamkan uang pada Ayah datang meminta penyelesaian. Jumlahnya cukup besar jika digabung. Belum lagi penggantian penggelapan pekerjaan dengan teman Ayah yang belum sempat lunasi.
Penghasilan dari pekerjaan Mama tidak cukup menutupi semua. Nenek bahkan suka rela membantu sebagian pengeluaran tapi tetap saja selama hutang-hutang itu belum selesai, Mama belum bisa bernapas lega. Di sisi lain Mama mengkhawatirkan masa depanku dan adikku.
Pikiranku mendadak kalut. Keterkejutan lebih mendominasi dibanding amarah. Lidah terasa kelu. Jauh di sana, hatiku dipenuhi kekecewaan.
Aku kebingungan menyikapi kabar buruk ini. Ayah yang seharusnya memberi jawaban tidak mungkin bisa melakukannya. Kemarahanku berujung pada kesia-siaan. Dan melampiaskannya pada Mama karena menyembunyikan masalah sebesar ini pun hanya akan memperburuk hubungan kami.
"Nenek harap kamu bisa mengerti Frey. Mamamu sebenarnya melarang Nenek membicarakan masalah ini denganmu. Mamamu tidak ingin kuliahmu terganggu. Sebagai orang tua, Nenek hanya kasihan pada mamamu. Ia bekerja keras demi kebahagiaanmu dan adikmu tapi semua tidak cukup."
"Soal rumah, Freya tidak keberatan kalau harus menjualnya. Jika ada yang bisa Freya bantu untuk meringankan beban Mama, Freya akan usahakan. Satu lagi, Nek. Jangan beritahu Mama kalau Freya sudah tahu cerita tentang Ayah. Freya tidak mau Nenek dan Mama bertengkar." Perlahan kuseret kursi lalu meraih tas. "Freya pergi keliling sebentar ya, Nek."
"Sebaiknya kamu istirahat di rumah saja. Sudah malam." Nenek ikut bangkit mengikutiku. "Maafkan Nenek, Freya. Seharusnya Nenek bisa menahan diri."
"Freya cuma butuh waktu, Nek. Tidak lama kok. Nenek tenang saja."
Rumah yang semula menghadirkan ketenangan kini tak lagi nyaman. Perasaan memanas oleh cambukan emosi tertahan. Aku tidak bisa meluapkan kemarahan pada orang yang tidak bersalah. Satu-satunya yang bisa meredakan kemarahanku adalah bertemu dengan Ayah dan menanyakan kenapa ia tega mengkhianati kami. Tapi itu semua mustahil. Ayah membawa semua pembelaannya ke dalam tanah.
Nenek semakin cemas. Ia memhon agar aku tetap tinggal. Permintaannya kuabaikan dan tetap pergi meninggalkan rumah yang sekarang terlihat menyedihkan.
Malam beranjak semakin larut ketika motor melewati jalan, menjauh dari rumah. Hampir satu jam aku berkeliling tanpa tujuan. Akal sehat meminta kembali ke rumah mengingat cuaca mulai tak bersahabat. Mama pasti menunggu. Aku bisa membayangkan kekhawatirannya jika ia tahu cerita kelam keluarga kami bukan lagi rahasia.
Tapi rupanya itu belum cukup membuatku memutar arah. Berada di rumah bukan jaminan ketenangan. Diriku membutuhkan waktu untuk melepas segala hal yang menyesakan dada.
Sepuluh menit kemudian membawaku ke sebuah kafe di pusat kota. Tempat itu cukup ramai, hampir tidak ada meja kosong. Jumat malam semenyenangkan malam minggu bagi anak muda. Aku menempati meja dekat jendela yang baru saja ditinggalkan sepasang kekasih.
Hati kecil menertawakan pilihanku. Di antara banyak tempat, aku malah menempatkan diri di tengah keramaian. Sebagian besar orang-orang di tempat ini larut dalam tawa. Mereka jelas bukan sedang mencari ketenangan.
Penampilan mereka mengikuti perkembangan mode terbaru, anggun dan wangi sementara jaket yang kupakai masih bau keringat.
Meski merasa salah tempat, aku tetap bertahan sambil menikmati segelas minuman cokelat dingin. Minuman itu terasa manis sekaligus pahit seperti hidupku.
Aku mengembuskan napas, menatap keceriaan di sekeliling, berharap kebahagiaan mereka menular. Ada alasan kenapa tempat seramai ini paling cocok dibanding taman yang sepi. Di sini kewarasanku tetap terjaga. Semenyakitkan apapun masalah, aku akan berpikir dua kali menjadi perhatian karena menangis meraung-raung. Pemikiran dipaksa mempertahankan ketenangan sampai perasaan kebas.
"Freya."
Suara yang sangat kukenal membuyarkan lamunan. Genta berdiri di hadapanku. Ia masih memakai pakaian yang sama saat kuliah tadi. Lelaki ini sering muncul di momen tak terduga. Ia melirik kursi kosong di seberang mejaku. "
"Kamu mau duduk?" tawarku melihatnya tak juga berajak.
"Tentu saja kalau kamu izinkan." Dengan gerakan cepat Genta menarik kursi dan duduk. "Sama siapa ke sini?"
"Sendiri. Iseng saja."
"Kebetulan aku baru datang sama teman-teman." Alasan yang biasa kudengar mengingat ia memang gemar berkumpul bersama teman-temannya. Kafe atau club malam adalah tempat bermain favoritnya.
Genta menatap penuh selidik. "Kamu sedang ada masalah?"
"Apa kalau aku sendirian artinya sedang ada masalah?"
"Bukan begitu." Ia meletakan kedua lengannya di meja. Tubuhnya dicondongkan tanpa melepas pandangan. Dulu mungkin aku akan senang dengan perhatiannya. "Biasanya kamu ditemani Mia."
"Mia ada urusan jadi aku pergi sendiri." Aku menoleh ke sekumpulan anak muda. Jarak kami terhalang tiga meja. Mereka teman Genta dari kampus lain. Genta pernah mengenalkan kami saat masih pacaran. "Kamu tidak mau gabung sama teman-temanmu?"
"Nanti saja. Pesanan kami belum datang." Genta tidak memedulikan caraku menunjukan ketidaknyaman atas keberadaannya. "Kebetulan ada yang ingin kubicarakan."
"Apa?" ucapku tidak mau berbasa-basi. Kepalaku rasanya mau pecah. Pertama rahasia orang tuaku dan sekarang gangguan Genta. Seharusnya memang aku mencari tempat lain.
"Aku sudah tahu semuanya, Frey."
Gelas yang sudah kosong kuletakan ke meja setelah membasahi tenggorokan yang kering. "Soal apa?"
"Alvaro dan kamu." Kedua lenganku mengepal kuat di bawah meja. Aku sudah memikirkan kemungkinan ini tapi tetap saja terlalu cepat. "Beberapa temanku pernah melihat kalian berada di tempat yang sama. Kalian kelihatan seperti sepasang kekasih daripada teman biasa. Sebenarnya mereka tidak terlalu yakinsampai akukarena hanya melihat dari jauh sampai aku melihat sendiri Alvaro datang ke rumahmu."
Kami berdua terdiam sejenak. Penyangkalan terbaikpun akan kalah jika Genta sempat mengambil foto atau vidio aku dan Alvaro.
"Tenang saja. Aku tidak akan menyebarkannya. Seperti kataku dulu kamu memiliki kebebasan menjalin hubungan dengan siapapun."
"Kenapa kamu tiba-tiba bermurah hati seperti ini. Apa sebenarnya yang mau kamu katakan?"
"Beri aku kesempatan terakhir, Frey."
"Kesempatan apalagi, Genta? Di luar hubunganku dengan siapapun, bersama kembali denganmu sangat sulit. Terlalu banyak perbedaan. Orang tuamu, cara berpikir bahkan sifat kita."
"Aku tidak mengharapnya sekarang. Aku sedang mencoba berubah menjadi lebih baik." Keseriusan Genta membuatku ingin memaki.
"Kamu belum mengenal baik Alvaro, Frey. Pengalamannya menaklukan hati perempuan bisa dilihat dari deretan mantan pacarnya. Aku bukan merendahkanmu, kamu cantik tapi berbeda dengan tipe perempuan yang selama ini ia pacari. Bisa saja ia memang tertarik dengan kepolosanmu. Aku hanya khawatir Alvaro menganggapmu selingan saat bosan. Kesalahan terbesarku adalah memanfaatkan kepercayaanmu dulu. Lalu bagaimana dengan kalian yang berhubungan jarak jauh. Apakah kamu yakin Alvaro tidak akan melakukan kesalahan yang sama seperti aku?"
"Cukup, Genta. Kamu sudah keterlaluan. Berhenti mempertanyakan masalah pribadiku."
"Oke. Sebelum pergi, aku cuma mau bilang andai nanti kamu berubah pikiran dan kekhawatiranku pada Alvaro terjadi, aku akan melalukan apapun keinginanmu demi membayar kesalahanku dulu. Dan jangan khawatir soal hubungan kalian, akan kupastikan berita tentangmu tidak tersebar. Malam, Frey."
Dunia rasanya jungkir balik. Kemarahan, kekesalan dan kejutan menutup pikiran positif. Di tengah rasa pusing yang menyakitkan, aku mencoba menghubungi Alvaro. Lima menit berlalu dan semua panggilanku dialihkan. Masih belum menyerah kali ini aku menekan nomor Azka.
Lelaki itu mengangkat pada deringan pertama. Rupanya Azka tidak bersama Alvaro. Ia memberitahu kalau Alvaro sedang berada di pesta pernikahan teman mereka. Azka berhalangan datang karena sedang sakit.
"Mungkin Alvaro masih di sana, Frey. Setelah pesta utama lanjut ke acara after party."
"After party?"
"Pesta yang lebih privat. Biasanya yang diundang khusus teman-teman atau kerabat dekat. Seperti pesta di club malam sendiri."
"Oh."
"Jangan berpikir macam-macam, Frey. Baterainya mungkin habis jadi panggilanmu tidak terangkat."
"Oke," balasku singkat dan mengakhiri percakapan.
Kepala yang semakin berat membuatku segera meninggalkan kafe. Sengaja kuabaikan pandangan Genta. Reaksiku harus tetap tenang. Ia tidak boleh mengira ucapannya memengaruhiku.
Hujan tiba-tiba turun begitu kaki beranjak ke halaman kafe. Mata memanas oleh himpitan emosi. Kedua tangan mengepal di sisi tubuh. Masalah datang dalam waktu bersamaan. Semua membuatku ingin menangis, meneriakan kata kasar atau melempar barang sampai puas. Pada kenyataannya aku menyeret kaki ke tempat ramai, berharap keramaian akan tetap menjaga kewarasanku. Menjaga dari kemungkinan melakukan hal bodoh.
Sebelum menerobos guyuran hujan, hati kecil berbisik lirih.
Jangan nangis, Freya. Ketakutanmu hanya karena lelah. Tidak ada yang berubah. Sepulang dari sini bicara dengan Mama. Tahan segala emosi meskipun kamu ingin mengamuk. Ini kesalahan Ayah bukan kamu atau Mama. Lupakan soal Genta. Pada akhirnya hubunganmu dan Alvaro akan terbongkar. Jika harus ketahuan pacaran, mungkin memang sudah waktunya. Dan tentang Alvaro, tetaplah berpikir positif,tidak ada salah dengan datang ke pernikahan teman, baterainya mungkin memang habis seperti kata Azka... tapi Ayah dan Genta yang dekat saja bisa kalah melawan godaan, apakah Alvaro yang tinggal di kota berbeda kesetiaannya bisa dipercaya?
Ya, Tuhan, kenapa harus seberat ini, kenapa harus sesakit ini.
Di tengah derasnya hujan aku berlari sambil mendekap tas. Tubuh basah kuyup dan mengigil kedinginan sementara air mata kini tak lagi terbendung.
Di tengah derasnya hujan aku berlari sambil mendekap tas. Tubuh basah kuyup dan mengigil kedinginan sementara air mata tak lagi terbendung, bercampur satu dengan air hujan.
tbc
Semoga update kali ini bisa mengobati jadwal update yg super lelet ya 😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro