Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chap 17

Aku kebingungan, termangu seperti baru saja mengeluarkan pernyataan bodoh. Setelah melempar umpan, mulutku malah terkatup begitu mendengar pertanyaan balik dari Alvaro. Kesalahan? Lelaki itu bertanya jenis kesalahan apa yang kumaksud. Apa aku sanggup menanyakan perasaannya dengan lantang tanpa memperburuk situasi? Nyaliku sontak menciut memikirkannya. Aku benci bertengkar setelah melewati hari yang memelelahkan. Pada akhirnya hanya permintaan pergi ke kamar untuk beristirahat yang terucap.

Dengan sisa tenaga aku mencoba berpikir positif di sela waktu membersihkan diri meski obrolan bersama Genta cukup menganggu. Citra Alvaro digambarkan penuh pesona. Ia piawai memikat lawan bicara. Salah satu kelebihannya hingga bisa mengembalikan kejayaan perusahaan yang hampir bangkrut. Kaum hawa senang berada di dekatnya. Selain wajah, tubuhnya menunjang penampilan. Ia selalu bugar sekalipun harus bolak-balik Jakarta Bandung setiap minggu. Entah berapa banyak yang patah hati karena Alvaro menganggap kedekatan mereka sebatas hubungan casual.

Di antara sekian banyak berita Alvaro tidak pernah membahas kisah asmaranya terlalu dalam, entah karena privasi atau tak cukup istimewa untuk dibagikan. Semua itu pernah membuatku beranggapan buruk, menilainya tak lebih satu di antara sekian banyak lelaki berengsek sebelum mengenalnya hingga mendengar informasi tentang lelaki itu berapa jam lalu.

Apakah Alvaro masih terikat oleh kenangan masa lalu seperti yang Genta katakan? Rasanya sangat menyebalkan karena suka tidak suka berita itu membuatku semakin penasaran. Bukan sekali ini aku dihadapkan pada kenyataan yang tidak sesuai ekspektasi tetapi tetap saja rasanya luar biasa mengejutkan.

Perlahan aku menaruh handuk di senderan kursi seusai mandi. Pandangan mengedar ke sekeliling kamar. Tempat ini selalu menjadi zona paling nyaman dibanding bangunan utama. Jemari mulai merapikan rambut sambil menatap cermin. Gurat lelah tersapu air dingin. Badan lebih segar dalam balutan piama. Aku mengulum senyum sembari membayangkan momen menyenangkan selain yang melibatkan Alvaro. Otakku perlu sejenak rehat dari segala sesuatu tentang lelaki itu.

Lima menit kemudian aku disibukkan membaca sejumlah catatan di meja. Otak melahap tulisan demi tulisan di depanku. Rumus demi rumus yang rumit.

Konsentrasi buyar bersamaan deringan ponsel. Nama Alvaro menghias layar. Dengan malas-malasan aku memggeser tombol berwarna hijau.

"Sudah istirahatnya?" Sambutan tak sabar terdengar dari seberang.

"Ada masalah?"

"Bukannya kita akan bicara?" Aku terdiam sesaat, mengingat-ingat apakah melupakan sesuatu. "Bagus kalau kamu tidak tertarik lagi."

"Aku belum bilang apa-apa." Gerutuan meluncur dari bibirku. Otakku dipenuhi kata-kata bernada kesal.

"Kalau begitu cepat kemari. Nenek sudah menunggumu untuk makan bersama." Panggilan itu terputus sebelum mulutku terbuka. Seperti biasa Alvaro kadang suka seenaknya.

Tanpa menunggu karena tidak ingin membuat yang lain menunggu, aku segera merapikan penampilan lalu bergegas keluar.

Tawa renyah Alvaro terdengar saat menyusuri koridor. Sahutan Nenek Euis menimpali suara berat lelaki itu. Kepalaku membayangkan raut bahagia keduanya layaknya keluarga harmonis. Gambaran itu tidak meleset. Nenek Euis tampak sumringah sementara Alvaro mendengarkan saksama perempuan di hadapannya di meja makan. Gerakanku melambat agar tidak mengusik pembicaraan mereka hingga tiba-tiba saja jantungku seakan berhenti berdetak. Sebuah lirikan yang diiringi senyuman menyambutku. Alvaro menarik kursi di sampingnya. Aku berusaha keras mengusir gugup yang muncul.

Susana makan malam terasa hangat. Nenek Euis bercerita tentang kehidupannya saat muda. Sebenarnya aku sudah sering mendengar cerita-cerita itu tetapi demi kesopanan, aku tetap antusias mendengarnya. Sementara Alvaro tidak banyak bicara. Ia sering terang-terangan menatapku daripada menyantap makanan.

Sikapnya membuatku salah tingkah dan risih. Bisa-bisanya lelaki itu berlama-lama menatapku saat neneknya sedang bicara. Beruntung Nenek Euis tidak mengomel. Ia mungkin sudah hapal sifat Alvaro dan bosan menasehati. Selebihnya pembicaraan kami hanya seputar pertanyaan tentang kegiatanku hari ini.

Kami akhirnya bisa bicara berdua setelah makan malam. Nenek Euis kembali ke kamar untuk beristirahat.

"Kuliahmu gimana?" Alvaro memberi satu kaleng minuman soda saat duduk di sampingku. Pandangannya lurus menatap televisi.

"Aku kan sudah cerita tadi. Semua baik-baik saja."

"Kalau keluargamu?"

"Baik juga. Kami masih komunikasi." Pertanyaan Alvaro cukup mengejutkan. Aku jarang membahas soal keluarga saat kami berdua. "Terima kasih sudah bertanya."

Ia tiba-tiba diam, menyesap soda tanpa menoleh. Cara duduknya yang agak membungkuk terlihat kurang nyaman padahal saat makan tadi ia tampak santai. Aku ikut terdiam sambil mengerutkan kening karena bingung.

"Mm... ada masalah?" tanyaku penasaran.

"Tidak." Ia tersenyum kecil lalu menaruh kaleng cola di meja. "Kamu masih ingin melanjutkan pembicaraan kita?"

"Kalau Mas tidak keberatan."

Alvaro menyandarkan tubuhnya ke belakang. Ia tidak langsung bicara. Selama beberapa detik kami larut dalam kesunyian. Jemariku memainkan kaleng cola seolah ikut terbawa kegelisahannya.

"Perempuan yang kamu lihat bersamaku waktu itu adalah adik pacarku dulu. Ia sudah bertunangan. Aku juga mengenal tunangannya. Ia sudah kuanggap seperti saudara. Kami sudah mengenal cukup lama. Hubungan kami masih tetap baik walau aku tidak lagi bersama kakaknya."

Aku memerhatikan reaksi Alvaro. Lelaki itu berulang kali menghindari tatapanku. Tapi ia tidak benar-benar menikmati siaran televisi. Kepalanya sedang memikirkan sesuatu atau seseorang. "Hubungan sama mantan pacar Mas sendiri gimana?"

Senyuman Alvaro memudar. Rahangnya mengeras membuatku mengira telah melakukan kesalahan. Ia berubah dingin setidaknya terlihat saat mendelik tajam. "Ia sudah meninggal."

"Ah maaf. Aku... "

Lengannya terangkat. Ia tampak gusar. Sebelah tangan yang berada di lutut menegang seolah menahan kakinya agar tetap diam. "Tidak perlu. Aku tidak perlu simpatimu."

Aku menelan ludah, tidak menyangka situasi akan semakin tegang. Sekilas mimik Alvaro memperlihatkan kebencian dan kemarahan yang belum pernah kulihat sebelumnya. Rasanya menakutkan meski sikapnya terlihat biasa.

"Sudah malam. Istirahatlah."

"Baik," balasku pelan.

Perlahan aku bangkit. Alvaro seperti tidak ingin melihatku. Caranya bersikap menunjukan lebih dari sekadar ucapan. Aku berusaha tetap tenang, tersenyum meskipun rasa nyeri menghujam dada. Genta mungkin benar, Alvaro tidak pernah benar-benar lepas dari kenangan masa lalu.

Aku terus berjalan, meninggalkan ruangan yang sebelumnya penuh kehangatan. Jemari masih memegang kaleng cola kuat-kuat demi menenangkan sentakan panas di kedua bola mata. Aku tidak boleh kalah oleh perasaan. Setiap orang memiliki masa lalu tak terkecuali Alvaro. Hanya sebagian kecil kehidupannya yang baru kukenal. Jadi wajar jika ia masih bersedih. Aku tidak boleh egois, memaksakan keberuntungan hanya milikku.

Malam itu mata sulit terpejam. Aku mencoba mengalihkan perhatian. Mulai dari belajar, membaca novel, menonton film sampai memaksa memejamkan mata. Tidak ada satupun yang berhasil sampai senewen sendiri hingga akhirnya baru tertidur lewat tengah malam.

Keesokan pagi hariku dimulai dengan sakit kepala. Sama sekali tak bersemangat. Ketidaknyamanan kemarin masih terbawa. Perasaan muram dan lesu. Butuh waktu agak lama hingga aku berhasil mengumpulkan ketenangan.

Dengan sengaja aku mengulur waktu pergi ke ruang makan. Berdalih bangun kesiangan agar tidak perlu berlama-lama berada di sekitar Alvaro. Harapanku saat bangun ia sudah kembali ke Jakarta tapi kenyataannya lelaki itu duduk manis di meja makan.

Nenek Euis baru akan ke kamarnya saat aku tiba di ruang makan. Aku ingin menahannya tapi tak punya alasan. Ia menyuruhku sarapan sebelum berangkat kuliah dan mengabaikan permintaanku yang ingin segera keluar dari tempat ini. Bagian paling menyulitkan adalah berpura-pura perasaanku baik-baik saja.

Alvaro meletakan ponselnya. Ia sudah menyelesaikan sarapannya dan menyisakan secangkir kopi. "Kamu sakit?"

"Tidak."

"Wajahmu pucat. Benar kamu tidak sakit?"

"Tidak."

"Freya," ucap Alvaro penuh penekanan.

"Aku tidak apa-apa. Seratus persen sehat," balasku sambil meraih mengoles roti lalu memakannya dengan lahap. Mataku tertuju pada meja, enggan melirik apalagi menoleh ke samping.

Alvaro menghela napas panjang. Mata gelapnya menatap lekat. "Ini soal semalam, kan?"

Benar. Kepalaku menggeleng untuk kesekian kali. "Bukan, " balasku sambil pura-pura melirik jam tangan. "Dan aku harus segera berangkat kalau tidak ingin telat."

"Hari ini aku akan mengantarmu."

Pandanganku mengikuti Alvaro yang bangkit lebih dulu. Ia memakai kemeja lengan pendek putih dan celana kain abu. Tubuhnya tinggi dan mengagumkan, memesona sekalipun diriku tak menginginkannya. Kemarahan yang kurasakan tidak mengurangi sedikitpun rasa suka. Tapi berada di dekatnya hanya akan membuatku serba salah. "Aku bisa pergi sendiri."

"Aku akan menurunkanmu sebelum gerbang jika kamu malu terlihat bersamaku. Aku juga akan menjemputmu setelah kuliahmu selesai." Jelas Alvaro tenang. Kami tidak sedang bernegoisasi. Lebih tepatnya ia sedang memberi perintah.

"Bukan begitu. Daripada mengantarku sebaiknya Mas bersiap kembali ke Jakarta sebelum terlalu siang." Kekesalan menambah api keberanian. Aku mengeluarkan alasan paling masuk akal agar ia mengalah.

"Kapanpun aku mau pergi itu bukan urusanmu." Nada Alvaro mulai meninggi, memaksaku menahan diri melontarkan penolakan. "Pekerjaanku tidak akan berantakan hanya karena aku berada di sini. Aku memiliki orang-orang terpilih dibidangnya. Mereka akan memastikan setiap detail pekerjaan selesai meskipun aku berada ratusan kilo dari kantor."

Perdebatan kami terhenti ketika pintu kamar Nenek Euis terbuka. Perempuan paruh baya itu menggeleng sambil berkacak pinggang. Ia menatap kami bergantian. Walau dari kejauhan, tatapan tajamnya membuat perutku dua kali lebih tegang. Nenek Euis tidak bermasalah dengan suasana ramai kecuali bila melibatkan pertengkaran. Ia mengomel, meminta kami bicara dengan kepala dingin sebelum akhirnya kembali masuk.

Alvaro meraih tasku dari sandaran kursi. "Ayo."

Aku berjalan mengikutinya seperti anak kucing. Sengaja menjaga jarak sambil cemberut. Langkahnya tiba-tiba berhenti lalu berbalik. Sebelum otakku bisa bereaksi tangannya terulur dan meraih jemariku. Kulit kami yang bersentuhan terasa panas oleh kemarahan. Setiap kali berusaha melepaskan diri, genggaman Alvaro justru semakin menguat. Ia tidak memberiku jarak. Lengan kami saling menempel kesana kemari. Di dalam lift pun kami tak terpisahkan. Ia bergerak ke manapun aku melangkah tanpa suara.

Situasi tidak berbeda setibanya di mobil. Sepanjang perjalanan jemari kami tergenggam erat. Alvaro sengaja mengabaikan reaksiku meski tahu perempuan di sampingnya memasang raut galak. Sebenarnya aku sadar tindakanku malah memperkeruh situasi , seharusnya aku mengeluarkan alasan dibalik kekesalan tapi anehnya pemikiran itu hanya berakhir di kepala. Sikap dipermukaan hanya rengutan masam.

Meski hati kecil terbuai oleh perhatian Alvaro, di sisi yang lain ketidakpuasan semakin menjadi-jadi. Aku ingin masalah ini harus selesai sebelum sampai di gerbang kampus. Masalahnya entah harus dari mana memulai sementara mulutku justru terkunci rapat. Gengsi terlanjur membelenggu kesempatan.

"Maaf." Suara Alvaro terdengar saat kami menunggu lampu hijau menyala. Sekitar lima ratus meter di depan aku akan tiba di kampus.

"Ya?"

"Soal semalam." Ia diam sejenak. Senyumannya menawarkan ketulusan. "Seharusnya aku bisa lebih mengendalikan diri. Bukannya malah membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ingin semua masalah selesai sebelum kembali meninggalkanmu. Tapi sepertinya caraku menyikapinya salah dan akhirnya melukaimu."

Genggaman kami terlepas. Tangannya yang kokoh bergerak ke kepalaku, mengusap rambutku berulang kali. "Aku tidak bermaksud keras padamu. Hanya saja membicarakan masa lalu bukan soal mudah bagiku termasuk pada keluarga atau teman dekat."

"Aku paham rasanya kehilangan orang yang kita sayangi."

Alvaro tersenyum tapi sorotnya berkata lain. Ada luka di sana tapi setelah pembicaraan semalam, aku belum terpikir menggalinya lebih dalam. "Sekali lagi aku minta maaf. Kamu masih marah?"

"Sedikit. Aku masih kesal," ucapku jujur.

Alvaro memacu mobil setelah lampu hijau menyala. Pembicaraan kami terhenti tetapi jemarinya kembali menggenggamku. Sesekali ia mengangkat genggamannya lalu mencium punggung tanganku. Perasaanku kacau balau.

Mobil berhenti beberapa meter dari gerbang kampus. Hanya beberapa orang yang berada di luar gerbang. Jarak membuat keberadaanku tidak disadari oleh mereka. Aku cukup lega setelah memerhatikan mereka asyik mengobrol dan mengabaikan sekeliling.

"Terima kasih sudah diantar. Aku pergi dulu."

"Frey."

"Ya," balasku sambil sibuk membuka seat belt.

Alvaro mengelus lembut pipiku. Aku hanya diam, terpesona oleh sosok di sampingku. Sentuhannya mengalirkan kehangatan. Diriku tenggelam dalam gelapnya sorot mata Alvaro yang sedang tersenyum. "Belajar yang rajin ya."

Kepalaku sontak menunduk, menyembunyikan rona di pipi. Aku tidak ingin terlihat malu-malu."Sudah selesai?"

Jemari Alvaro menarik daguku. Kecupan hangat mendarat di kening. "Sampai ketemu lagi nanti."

Kami tidak bertemu lagi sejak pagi itu. Alvaro tiba-tiba memberitahu ia harus kembali ke Jakarta. Meski begitu ia masih sempat menelepon sesusai jam kuliah hanya untuk memastikan aku segera pulang dan beristirahat. Nenek Euis mengatakan kalau Alvaro pergi terburu-buru. Siapapun yang menghubunginya sudah membuatnya marah. Ia bahkan tidak membawa makanan yang disiapkan Nenek Euis untuk perjalanan.

Nenek Euis menyarankanku agar tidak menghubunginya dulu. Menurutnya Alvaro bersikap seperti ini jika ada sesuatu yang menyangkut dengan keluarga ayahnya. Ia khawatir aku kena imbas kekesalan cucunya.

Aku menuruti saran Nenek Euis. Setiap kali menatap ponsel, jemariku tetap bertahan tidak menekan nomor Alvaro atau mengirimanya pesan. Aku sendiri cukup sibuk dan mengalihkan konsentrasi pada hal lain. Tapi rupanya harapanku bersambut. Malamnya Alvaro menelepon. Suaranya tenang, tidak ada sama sekali indikasi kalau ia sedang kesal atau marah.

Aku mengira Alvaro sudah menyelesaikan masalahnya. Alvaro bahkan menelepon setiap hari hanya untuk mengetahui kabarku. Ia menyempatkan mengabari di tengah makan siang atau sebelum tidur. Suaranya setenang hari-hari sebelumnya. Perhatiannya sedikit demi sedikit menghapus jejak kesedihan karena pertengkaran kami sebelum ia kembali ke Jakarta.

Tapi Nenek Euis mengira masalah Alvaro belum selesai. Azka meneleponnya setiap hari sebagai ganti cucunya. Ia berpesan untuk menghubunginya jika butuh sesuatu atau ingin bicara dengan Alvaro. Ada sedikit masalah di kantor. Bekerja di bawah tekanan sudah biasa bagi Alvaro. Saat mulai bergabung di perusahaan sebagian besar waktunya untuk bekerja. Ia nyaris tidak punya kehidupan sosial karena terlalu sibuk membenahi keuangan perusahaan yang morat marit. Seiring waktu pengalaman membuatnya lebih santai menghadapi tantangan. Kepemimpinannya dinilai cukup tegas. Ia bukan tipe atasan yang mudah marah tanpa alasan. Karyawan merasa nyaman dengan semua aturan di bawah naungannya. Semuanya terkendali kecuali jika menyangkut soal keluarga ayahnya. Bagaimanapun ayahnya masih memiliki posisi di perusahaan meski di belakang layar.

Azka tidak menjelaskan secara detail tapi satu minggu ini situasi kantor agak horror karena Alvaro uring-uringan. Semua karyawan berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan.

Hari berganti hingga akhirnya sampai di waktu kesukaanku. Waktu di mana biasanya Alvaro berkunjung. Sebelumnya ia memberitahu kalau baru bisa datang hari Minggu karena ada urusan pekerjaan. Setelah mendengar penjelasan Nenek Euis aku memakluminya. Lebih baik sabar menunggu daripada pikirannya terganggu karena pekerjaan yang belum selesai.

*******

"Hai, Frey." Teguran Genta menghentikan langkahku dan Mia saat menyusuri koridor menuju tempat parkir.

Genta menghampiri kami. Ia tidak terlihat membawa tas maupun buku. "Mau pulang?"

"Iya."

"Malam nanti ada acara?" Genta mengabaikan desahan Mia yang tak suka.

"Ada."

Ekspresi Genta menegang. Salah satu tangannya mengepal kuat. "Sama siapa?"

"Sama oppa korea. Aku mau nonton semalaman dan tidak berencana pergi ke mana-mana."

"Tapi inikan malam minggu."

"Hei, anak dodol. Kamu pikir setiap orang harus keluar tiap malam minggu? Cara orang menyegarkan pikiran itu beda-beda. Memangnya kenapa kalau malam minggu cuma nonton di rumah?"

Genta mengernyit mendengar panggilan Mia dan berusaha mengabaikan kekesalannya. Gengsinya cukup besar jika mengajak Mia bertengkar. Ia terlalu menjaga image sebagai lelaki baik. "Tadinya aku mau ajak Freya keluar malam ini. Tenang saja bukan cuma berdua. Freya boleh ajak siapapun yang ia mau. Terserah mau berapa orang."

"Sorry, Ta. Lain kali saja ya." Mia tiba-tiba mencubit pinggangku. Matanya menyipit. Isyarat agar aku segera menyudahi pembicaraan kami. "Aku pergi dulu ya."

Genta mengangguk lalu membiarkan kami pergi. Aku tidak menoleh ke belakang dan bergegas menuju tempat parkir.

"Harusnya kamu tidak perlu bilang lain kali. Itu sama saja memberi Genta harapan." Mia misuh-misuh saat memakai helm.

Aku menaiki motorku yang terparkir di samping motor Mia. "Maksudku tadi cuma basa-basi biar cepat selesai."

"Kamu harus lebih tegas kayak dulu. Kalau sikapmu melunak, aku yakin Genta bakal cari cara buat deket lagi sama kamu. Percaya deh."

"Masalahnya kita satu kampus. Kalau terus-terusan menghindar kayak dulu malah aku yang kerepotan. Biar sajalah selama tidak menganggu. Lama-lama Genta pasti bosan. Apalagi masih banyak yang nempel."

"Terserah. Aku sudah ingatkan loh. Sampai ketemu Senin depan." Mia melambaikan tangan lalu pergi lebih dulu.

Perjalanan pulang tidak banyak hambatan kecuali kemacetan yang menjadi santapan sehari-hari. Sebelumnya aku sudah berpesan pada Nenek Euis akan kembali agak malam setelah membereskan rumah. Beruntung saat situasi di sekitar rumah lumayan sepi. Aku paling malas kalau harus berpapasan dengan tetangga. Khawatir mereka akan memberitahu ibuku macam-macam karena aku jarang di rumah walaupun selama ini tidak pernah melakukan tindakan aneh.

Sekitar jam tujuh, setelah membersihkan diri sehabis merapikan rumah, seseorang tamu tak terduga muncul. Genta berdiri di depan pintu. Pakaiannya rapih dan wangi, terlalu wangi malah. Aku tidak memungkiri ia memang tampan tapi hingga detik ini perasaanku sama sekali tidak tergerak.

Mungkin aku memang memberinya harap, desahku dalam hati.

"Kita duduk di luar saja ya, Ta. Aku tidak ingin tetangga salah paham karena hanya sendirian di rumah." Dalihku saat Genta beralasan kedatangannya hanya mampir sebentar. Ia mengangguk dan menyerahkan satu kotak besar pizza.

"Tadi sekalian lewat terus ingat pizza kesukaan kamu." Aku enggan menerimanya tapi kehilangan alasan untuk menolak.

Genta memerhatikanku yang memakai celana kain berwarna merah lusuh dan kaus hitam kebesaran. Rambutku diikat sekenanya tanpa memedulikan apakah rapih atau berantakan. Wajahpun tanpa polesan apapun, hanya masih lembab sehabis mandi. Aku tak peduli seberantakan apapun penampilanku. Ia menolak tawaran minuman karena cuma mampir sebentar.

"Lagi nonton, Frey?"

"Belum, agak malam mungkin. Habis beres-beres dulu."

"Habis ini mau ke mana?" tanyaku berbasa-basi.

Genta menyebut sebuah nama kafe. "Aku dan beberapa teman janjian di sana."

"Oh." Aku mengusap leher agar terlihat meyakinkankan butuh istirahat.

"Besok aku boleh ke sini lagi?"

"Besok aku ada janji sama Mia. Belum tahu mau pulang jam berapa atau menginap di rumahnya."

"Oke kalau begitu. Aku pergi dulu. Maaf sudah ganggu waktu kamu."

Aku tersenyum, mengangguk pelan sembari bersyukur dalam hati. Ia melambaikan tangan sewaktu menutup pagar.

Setelah Genta pamit aku tidak segera pulang ke apartemen. Aku berencana mengulur waktu setengah jam hingga yakin lelaki itu sudah berada jauh dari rumahku. Lebih baik berjaga-jaga daripada celaka. Entah apa yang akan terjadi andai berpapasan dengan Genta di jalan saat pergi nanti.

Untuk mengusir bosan karena ponsel mati total dan malas mengisi baterai aku memilih menonton televisi. Semenit kemudian pandangan mulai mengabur. Kantuk menyerang tubuh yang lelah. Mata kupaksa terbuka selebar mungkin walau sama sekali tidak menikmati tayangan di layar kaca. Saluran demi saluran berpindah dan tak satupun menarik minat hingga memutuskan menonton berita. Kantuk perlahan menyeret kesadaran ke alam mimpi.

Aku terbangun mendengar pintu diketuk bersamaan dengan suara memanggil namaku. Setengah tersadar tubuh bergerak mendekati sumber suara. Tangan mengucek-ucek mata, berusaha mengembalikan indera penglihatan.

Siapa sih, ganggu orang malam-malam.

Dua sosok lelaki bertubuh tinggi yang tidak asing berdiri di hadapanku begitu pintu terbuka. Salah satunya tersenyum dan satu lagi menatap galak. Aku kembali menggucek mata untuk memastikan sudah terbangun dari mimpi. Dilihat dari manapun Alvaro dan Azka tidak menghilang. Sekarang aku yakin mereka bukan hantu atau imajinasi.

Bukannya Alvaro baru datang besok?

Senyuman ramah Azka mengembang. "Malam, Frey."

Azka memakai kemeja lengan pendek bergaris putih biru dan bawahan jeans biru tua. Ia cukup manis, apalagi saat tersenyum tapi perhatianku lebih tertarik pada lelaki di sebelahnya. Dalam balutan sweater hitam dan jeans senada ia tampak lebih maskulin. Sweater yang dipakainya tidak terlalu longgar tapi melekat sempurna menutupi dadanya yang bidang. Wewangian yang Alvaro gunakan tidak terlalu tajam tetapi justru menambah daya tariknya.

Cengiran dengan mata yang masih terkantuk aku menjawab. "Malam. Kalian sedang apa di sini?"

"Nenek Euis bilang sehabis kuliah kamu ke rumahmu dulu tapi tidak bilang kamu mau menginap. Teleponmu juga tidak aktif. Karena sudah larut dan kamu belum juga kembali, kami memutuskan mencarimu." Azka melirik ke ruang tamu. "Boleh kami masuk?"

Tubuhku menyingkir, memberi ruang kedua lelaki itu masuk dan sengaja tidak menutup pintu. Alvaro masih membisu meski ia tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dariku. Tatapannya membuatku merasa sedang ditelanjangi. Kekesalannya tampak nyata.

Azka menolak halus tawaran minum sebelum aku pamit untuk mencuci muka sementara Alvaro hanya mengeluarkan geraman halus. Aku menggelung dan merapikan anak rambut yang mencuat dari ikatan saat tertidur. Pakaian tidak kuganti karena Alvaro seperti tidak peduli.

Aku kembali bergabung dan mengambil tempat di kursi kosong di depan kedua lelaki yang duduk bersebelahan. Kesadaranku sudah pulih. Mataku melirik jam tangan yang sudah menunjukan pukul sepuluh. Rupanya aku tertidur cukup lama.

"Maaf. Aku ketiduran. Rencananya habis beres-beres mau langsung pulang ke aparteman cuma mendadak ada tamu. Waktu tamunya sudah pulang, niatnya tiduran sebentar eh malah keterusan."

Bahasa tubuh Alvaro tak lagi santai. Kedua tangannya bersidekap. Ia menatap penuh selidik. "Siapa tamunya?"

Kebingungan mengobrak-abrik akal sehat. Pikiran terpecah di antara pilihan jujur atau berbohong. "Mm... Genta." Kesiap tajam terdengar dan bukan dari bibir Azka. "Tadi ia kebetulan lewat dan mampir. Kami bicara tidak lebih dari lima menit karena ia punya acara sendiri," lanjutku sambil berdoa dalam hati.

Arah pandangan Alvaro beralih pada box pizza di meja. "Pizza itu darinya?"

Anggukanku menambah panas suasana padahal di luar cuaca semakin dingin. Alvaro bergerak-gerak gelisah. Punggungnya agak membungkuk saat lengannya menumpu di lutut. Kedua lengannya saling meremas kuat. Ia tidak melepaskan pandangannya dariku.

"O...ke, saudara-saudara," potong Azka. "Sebaiknya kalian berdua tenang dulu dan bicarakan baik-baik. Jangan pakai emosi. Aku tunggu di luar sampai kalian selesai."

Kepergian Azka menyisakan kesunyian di tengah udara yang penuh ketegangan. Alvaro masih terdiam, menatap setajam elang di hadapan mangsa. Setengah mati aku berusaha tidak menundukan kepala. Kedatangan Genta terjadi di luar perkiaraan. Bukan salahku kalau ia tiba-tiba muncul. Akupun sudah bersikap sewajarnya seorang teman. Meskipun tidak ada saksi, aku berharap Alvaro percaya.

Lelaki itu menepuk sisi yang ditinggalkan Azka. "Kemarilah."

Perlahan aku bangkit walau sedikit ragu malam ini akan berakhir damai. Alvaro merentangkan sebelah lengannya di punggung kursi begitu aku duduk di sampingnya. Jemarinya memainkan anak rambut di leherku. Ia terlihat tampan seperti biasa. Nyaris membuat imajinasiku berpikir macam-macam andai tidak ingat kekesalannya. Aku menyukai aromanya.

"Aku tidak selingkuh. Kami bicara sebentar di teras dan tidak terjadi apapun."

Jemari Alvaro bergerak perlahan dari leher ke dagu. Kepalanya mendekat lalu mengecup bibirku. "Genta menciummu seperti ini?"

"Tidak," ucapku serak.

Aku masih membatu ketika kali ini Alvaro mendekap erat. "Memelukmu seperti ini?" Tubuhku merinding merasakan suaranya di telinga.

"Tidak."

Ia melepas pelukannya, kembali menatapku dengan jarak hanya beberapa ruas jari dari wajahku. Bola mata gelapnya menghipnotis. Menahan semua logika di tempat. "Benar?"

"Untuk apa berbohong. Aku kan sudah mengatakan semuanya dari awal." Kataku meyakinkannya. "Mas tidak usah cemburu karena hubungan kami hanya teman."

Tangannya beralih mengusap rambutku. Memainkan ujungnya dengan antusias. "Bagaimana mungkin aku tidak cemburu jika ada laki-laki yang mencoba mengusik milikku."

"Dugaan Mas belum tentu benar. Kami cuma berteman."

"Banyak pasangan yang kembali pacaran sebelumnya juga dari status pertemanan."

"Tapi..."

"Sshh. Aku percaya padamu tapi tidak padanya. Kamu harus pastikan Genta berhenti mendekatimu jika tidak ingin aku ikut campur."

"Aku akan lebih tegas padanya," janjiku walau masih ragu akan berhasil.

"Kalau begitu ayo pulang. Ada seseorang yang ingin berkenalan denganmu. Ia menunggu kita di apartemen. Tadinya aku sengaja datang lebih cepat karena ingin sekalian mengajakmu pergi makan malam tapi sepertinya kita tunda sampai besok."

"Mas datang hari ini saja sudah jadi kejutan. Aku tidak mau ada kejutan lain," gerutuku. "Katakan siapa orangnya?"

"Amanda." Kata Alvaro tanpa beban.

"Amanda adik pacar Mas yang sudah meninggal?"

"Benar. Ia ingin sekali bertemu denganmu. Kebetulan keluarganya sedang ke Bandung. Saat tahu aku juga ada di sini ia memintaku mengenalkanmu. " Alvaro mengusap keningku yang berkerut. Ide bertemu Amanda memang cukup membuatku berpikir buruk. "Tenang saja. Amanda bukan perempuan jahat seperti di sinetron. Selama ini ia menghormati setiap keputusanku termasuk tidak mencampuri hubunganku dengan perempuan manapun. Aku berharap setelah bicara dengannya tidak ada lagi kesalahpahaman di antara kita. Lagipula ia sudah bertunangan dan aku mengenal baik tunangannya."

"Lalu kenapa sekarang Amanda ingin menemuiku?"

"Ia penasaran waktu tahu aku pacaran sama anak kuliah."

"Memangnya ada yang salah?"

"Aku tidak pernah pacaran dengan mahasiswi sebelumnya. Menurutnya itu berbeda mengingat perempuan yang pernah bersamaku biasanya sudah lulus S1 dan mapan secara finansial. Ia juga bingung karena belakangan ini aku tidak lagi bersama perempuan lain. Jadi menurutnya kamu pasti istimewa." Alvaro bangkit dan menatap meja. Rautnya berubah berubah jengkel. "Ngomong-ngomong apa yang akan kamu lakukan dengan benda itu?" Dagunya menunjuk box pizza.

"Benda? Pizza ini maksudnya? Ya mau aku makan, sayang kan kalau dibuang."

"Kamu yang makan? Serius, Freya?" Nada bicara Alvaro meninggi.

"Loh kenapa? Mas mau?"

Deheman Azka menghentikan pembicaraan kami. Tawanya tertahan saat menghampiri kami. Ia melirik geli pada Alvaro yang bersidekap. "Bagaimana kalau pizza ini kita berikan pada orang lain daripada mubazir. Lagipula di apartemen ada banyak makanan, Frey. Jangan khawatir bakal kelaparan. Benar tidak, Bos?"

"Tambahkan pizza. Pesan semua menu kalau perlu," decak Alvaro.

"Rasanya itu terlalu berlebihan, Bos. Siapa yang akan menghabiskannya."

"Tidak perlu beli pizza. Aku makan apa yang ada saja."

"Bagus. Nah sekarang masalahnya sudah selesai. Ka, bawa benda sialan itu sekarang. Terserah mau kamu berikan pada siapa. Dan kamu nona manis, siapkan barang yang akan kamu bawa. Kamu ikut denganku. Biar Azka yang bawa motormu."

"Siap,Bos," sahut Azka sambil mengangguk dan mengambil box pizza. Aku sempat memberinya STNK dan kunci motor sebelum ia keluar.

"Kalau sudah beres kenapa Mas masih marah?" Aku bangkit dan bersiap mengambil tas di ruang tengah.

Alvaro menyeringai. Tubuhnya menghalangi langkahku. Lengannya melingkari pinggangku, menariknya hingga menyentuh dada bidangnya saat akan memutari meja. Diciumnya bibirku lama dan dalam. "Kamu perlu dihukum supaya tidak lagi mengulang kesalahan," bisiknya di telinga.

"Hukuman apa?"

"Lihat saja nanti."

tbc


Apa kabar semua? Semoga kita semua sehat selalu ya. Maaf kalau jadwal updatenya belum bisa konsisten kayak dulu. Sampai ketemu di part selanjutnya. See u ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro