chap # 16
Kejadian buruk baru saja berlalu, nyaris tanpa teriakan maupun kekerasan. Lelaki mabuk itu beranjak begitu saja seolah menyadari siapa lawan bicaranya. Ia beranjak, berjalan agak sempoyongan dan menghilang di antara pengunjung lain dekat panggung. Sekilas wajahnya nampak kesal namun tetap berjalan meninggalkan kami.
Mia bernapas lega. Wajahnya tak lagi merah oleh emosi tertahan. Aku sendiri baru bisa menghela napas panjang dan baru menyadari kemungkinan keterlibatan Mia hingga Alvaro berada di tempat yang sama dengan kami. Menilik dari permintaan lelaki itu sebelumnya, memberi kabar tentu menjadi salah satu tugasnya.
Aku mengusap pergelangan lengan yang lelaki tadi cengkram. Rasanya tidak lagi sakit namun menyisakan kemerahan. Bercak pertanda kebodohanku karena tidak bisa membela diri sendiri.
Genta dan Alvaro duduk mengapitku setelah kejadian tadi berlalu. Keduanya bereaksi seakan tidak pernah ada kejadian buruk. Aku tak mungkin mengusir mereka setelah menyelamatkanku dari bahaya. Sekalipun pernah bermasalah dengan Genta, hari ini ia berperan bukan sebagai orang jahat. Suka atau tidak, aku berhutang terima kasih padanya.
Begitu juga dengan Alvaro. Keberadaanya berhasil mengembalikan ketenangan. Hanya saja pesan akhir lelaki itu membuat bulu roma berdiri. Pernyataan yang diucapkan sama sekali tak terdengar seperti omong kosong. Entah kenapa aku merasa peringatan itu tidak ditunjukan hanya untuk pemabuk tadi. Meski begitu ia layak mendapat ucapan terima kasih. Ia membebaskanku dari rasa malu.
Acara makan berlanjut dengan dua tambahan tamu. Alvaro bersikap santai kembali. Ia tersenyum, tertawa dan mengobrol tanpa beban. Ia tahu kapan harus bereaksi seperti orang yang memiliki pengaruh dan saat berlaku layaknya teman. Reaksinya membuat Genta dan Mia terbawa arus sementara aku berusaha mengimbangi mereka sementara pikiranku sibuk membereskan mood yang terlanjur berantakan.
Makan malam terlihat normal kecuali sandiwara yang diperankan oleh aku dan Alvaro. Genta sama sekali tidak membahas hubungan kami yang lalu. Sikapnya malam ini seperti halnya yang kulihat pada Ditto.
Puas mengisi perut, Alvaro mengantar aku dan Mia pulang. Genta ikut mengantar sampai teras. Ia berpikir kedatangan Alvaro kebetulan belaka dan sempat menanyai keadaanku karena aku lebih banyak diam. Mia mencibir perhatian Genta walau tidak secara jelas memperlihatkan reaksinya. Beruntung Alvaro sedang mengambil mobil dan tidak menyaksikan adegan yang mungkin membuatnya salah paham.
"Kalian tidak apa-apa?" Alvaro menoleh padaku saat memakai seatbelt. Mia setengah memaksaku agar aku duduk di bagian depan.
"Saya tidak apa-apa, Pak."
"Kamu gimana, Frey?" Kelembutan nada bicara Alvaro sedikit menenangkan walau otakku masih terasa kacau.
"Aku baik-baik saja, Mas."
Sudut mataku menangkap senyum jahil Mia. Ia senang menggoda dan kali ini aku targetnya. Ditto mungkin akan ia seret untuk mendengarkan gosip tentang diriku.
Mobil Alvaro bergerak meninggalkan kafe. Kusandarkan tubuh ke belakang, mencari posisi senyaman mungkin saat Alvaro bicara dengan Mia. Alvaro berterima kasih karena Mia sudah memberitahu rencana kami.
Pandanganku tertuju pada keluar jendela. Pekatnya malam, suara-suara bising di tengah kemacetan tidak mengurangi antusias orang-orang yang mencari hiburan, entah bersama keluarga, teman atau pasangan. Sebagian tampak bahagia tapi tidak sedikit yang memasang raut lelah. Dunia memang tidah hanya diisi oleh tawa.
Langit malam tampak cerah dengan bulan yang bersinar terang. Suasana yang pas dan menyenangkan bagi pasangan-pasangan yang dimabuk cinta. Sementara perasaanku jauh dari itu. Meski telah berlalu, kejadian mengerikan tadi masih membekas.
Bagaimana jika Genta atau Alvaro tidak ada? Bagaimana jika lelaki semacam itu muncul saat aku sendirian, di tempat gelap yang tidak memungkinkan untuk bersembunyi. Apa aku terlihat murahan hingga ia mengira aku salah satu dari perempuan bayaran? Berbagai pertanyaan muncul satu persatu dan membuatku kewalahan.
Lamunan semakin dalam. Alam bawah sadar mengingat kembali apa yang terjadi. Pakaianku jauh dari kata seksi. Aku meyakininya saat bercermin sebelum berangkat. Setiap lekukan tertutup jaket meski jeans memperjelas bentuk kaki. Riasan wajah hanya polesan sederhana karena sedang malas menghabiskan waktu di cermin. Tidak ada keinginan menarik minat perhatian lelaki lain saat berdandan, niatku hanya ingin bersenang-senang dengan Mia.
"Freya?" Sentuhan hangat di tanganku membuyarkan semua bayangan.
Kepalaku sontak menoleh ke sumber suara. "Ya," balasku cepat.
Alvaro mengelus kepalaku, merapikan anak rambut ke belakang telinga lalu mengusap pipiku yang dingin. Aku mencoba tersenyum lalu melempar pandangan ke depan. Menatap deretan kendaraan yang tak terhitung jumlahnya.
Kami menunggu lampu hijau menyala diiringi rintik hujan yang tiba-tiba turun.
"AC nya dimatikan saja ya," ucap Alvaro. Perlahan ia melepas jaketnya. "Berikan pada temanmu."
Kuperhatikan Mia tampak pulas. Matanya terpejam. Ia tidur sambil bersidekap. Aku menutupi tubuhnya dengan jaket Alvaro walau untuk melakukannya posisiku semakin dekat dengan lelaki itu. Kami belum menyelesaikan pembicaraan saat di pertemuan kemarin. Rasa kesal masih mengganjal.
Alvaro tak memedulikan seberapa ketus diriku. Ia mengambil kesempatan mencium keningku saat akan kembali ke posisi semula.
"Jangan mengambil kesempatan. Aku belum lupa soal kemarin," bibirku merengut. Mengingat kebersamaan Alvaro dan perempuan di acara kemarin membuat perasaan yang sudah payah kutata berantakan kembali.
"Kamu kira untuk apa aku ke Bandung? Aku siap bicara tapi kamu sendiri yang menghindar."
"Ada aku atau tidak, Mas tetap punya alasan untuk ke Bandung. Nenek menunggu kedatangan Mas dari minggu kemarin."
"Aku kangen sama kalian berdua." Alvaro kembali memamerkan senyuman lebar. Ia masih mencoba melunakan keras kepalaku.
"Tidak bertemu dengan Mas adalah pilihan terbaik. Aku sedang tidak yakin bisa berpikir jernih. Lebih baik menghindari menumpahkan emosi sesaat daripada menyesalinya di kemudian hari."
"Kamu tahu..." Alvaro kembali melanjutkan perjalanan saat lampu hijau menyala. "Kadang cara berpikirmu menakjubkan untuk gadis seusiamu. Padahal aku sudah bersiap melihatmu menangis dan menghadapi tuduhan-tuduhanmu sepanjang malam."
Kugigit pipi bagian dalam. Sejak kecil hingga remaja duniaku tak berbeda dengan remaja lain pada umumnya. Limpahan kasih sayang membuatku tidak kesulitan mendapatkan sesuatu terutama jika memintanya pada Ayah. Ada masanya aku tidak selalu menjadi anak baik. Bukan satu atau dua kali melakukan tindakan nakal yang mengharuskan masuk ke ruang BP.
Semua berubah setahun sebelum Ayah meninggal. Orang tuaku cukup harmonis tapi aku pernah mendapati keduanya bertengkar. Pertengkaran hebat yang membuat Mama menangis. Semenjak itu Ayah semakin sibuk dan sering tugas ke luar kota.
Di saat itu aku mulai menyadari bahwa hidup tidak selalu manis. Kekhawatiran bermunculan. Apakah mereka akan bercerai dan kisahku akan seperti teman-temanku yang orang tuanya berpisah? Ada yang semakin memberontak, terjerumus narkoba meski tidak sedikit berhasil bertahan dari godaan dunia.
Sedikit demi sedikit aku mulai mengurangi kegiatan di luar. Aku tahu Ayah senang jika putrinya lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga. Usaha dan rengekanku membuahkan hasil walau prosesnya lama. Kami kembali menjadi keluarga bahagia lagi.
Dan semenjak Ayah tiada, aku semakin menguatkan diri. Demi Mama dan adikku. Harus bisa berpikir logis meskipun bertentangan dengan perasaan. Hidupku bukan lagi tentang aku.
"Melamun lagi."
"Mas kapan balik ke Jakarta?" tanyaku mengabaikan sentuhan Alvaro. Melupakan sejenak alasan kemarahanku.
"Kamu ingin aku pergi?"
"Mas bisa datang kapan saja. Apartemen bahkan kota ini bukan milikku. Aku hanya tidak ingin jadi alasan saat pekerjaan Mas terhambat karena berada di sini."
"Rencananya lusa. Setelah urusan kita selesai. Pekerjaan bisa di remote dari sini. Aku bekerja selama kamu kuliah. Yang berbeda dari rutinitasku hanya tempat."
Alvaro meraih tanganku. Keningnya berkerut mendapati jemariku masih dingin. Ia mengusap pelan hingga kehangatan tidak lagi hanya terasa di tanganku.
"Sebaiknya Mas besok pulang saja kalau memang sibuk. Kita hanya perlu bicara baik-baik." Aku mendelik tajam. "Dan tentunya harus jujur."
"Tenanglah. Semua sudah kuatur. Azka akan menggantikanku sementara waktu di kantor. Itu sudah tugasnya dan ia sudah terbiasa melakukannya. Lagipula Jakarta masih bisa ditempuh dalam beberapa jam kalau situasi di sana memaksaku harus kembali."
Kepalaku bergerak pelahan dan bertumpu di bahunya. Genggaman Alvaro semakin erat. Aku masih marah tapi masih menyimpan rasa percaya. "Kapan kita akan bicara?"
"Tidak sekarang, Sayang. Kalian baru saja mengalami kejadian buruk. Kita bicara besok saat kamu sudah lebih tenang. Dan kamu juga pasti tidak tega membiarkan temanmu sendirian, bukan?" Kecupan mendarat di puncak kepala. Sebelah tanganku yang bebas merangkul lengannya. "Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan menunggu di mobil sampai kalian benar-benar aman."
"Menurut Mas, lelaki itu akan membalas dendam?"
"Kecil kemungkinan itu terjadi. Ia mungkin tidak ingat saat sadar nanti."
"Lalu untuk apa repot-repot menunggu di mobil? Aku pastikan pintu dan jendela tertutup sebelum tidur."
"Untuk memastikan kalian terutama kamu aman." Aku tidak terlalu memahami penjelasan Alvaro namun tubuh semakin lelah untuk melanjutkan pembicaraan. Alvaro hanya tersenyum singkat saat memerhatikan spion dalam.
*****
Keesokan hari semua berjalan kembali normal. Mia kutinggalkan setelah memastikan dirinya tak lagi memikirkan kejadian semalam. Ia tidak menunjukan reaksi terganggu atau takut, justru lebih tertarik membahas ekspresi Genta ketika Alvaro mencoba menguasai situasi.
Ada semacam ketidaksukaan. Seolah terganggu padahal sebelumnya lelaki itu termasuk gencar bermanis ria setiap ada kesempatan bertemu Alvaro. Bukan hanya Genta sebenarnya. Teman-temanku yang lain akan melakukan hal serupa jika diberi kesempatan. Tidak banyak pengusaha seperti Alvaro yang bisa berbaur dengan mahasiwa seperti kami.
"Jalan salah sangka dulu. Sudah bagus ia mau nolong kita. Bersyukur saja kita sudah terhindar dari masalah."
"Ah tetap saja kebanyakan gaya. Kenapa tidak langsung pakai tindakan."
"Lah Alvaro juga sama, kan? Sampai selesai juga tidak ada yang dipukul atau kena pukul."
"Tapi sikap lebih serius. Istilahnya mau baku hantam juga diladeni. Jangan lupa lelaki berengsek itu hampir meringis waktu Alvaro pegang pundaknya, padahal kelihatnya tidak pakai tenaga. Kalau Genta... mm gimana ya, kesannya terlalu banyak mikir."
"Kita berada di tempat umum. Jadi wajar kalau tarik ulur. Apa pembelaan kamu bagian dari bayaran yang Alvaro tawarkan?"
"No. Aku cuma sebal aja, kalau memang tidak sanggup ya minimal cepat panggil security atau pelayan. Coba kalau lelaki berengsek itu melukai tanganmu. Paling Genta tidak mau wajah bonyok."
"Hush. Sudahlah. Tidak perlu dibahas lagi. Lain kali kalau mau ajak ke tempat seperti itu mending ajak Ditto atau Bian."
"Ok." Mia memberi tanda setuju dengan tangannya sebelum menaiki mobil Alvaro.
Setibanya di apartemen Nenek Euis menyambut kami. Alvaro sampai memintanya agar membiarkanku istirahat sebentar karena diajak mengobrol. Nenek Euis memang tidak bisa diam. Jika tidak sedang melakukan sesuai, ia akan mengajak ngobrol tentang apapun yang menurutnya menarik. Ia juga sering menceritakanku kisah masa mudanya, masa-masa di mana penuh persaingan.
Alvaro duduk menemani di ruang tengah. Dengan penuh perhatian ia mendengarkan cerita Nenek Euis yang mungkin sudah didengarnya ke sekian kali. Di balik kesuksesan dalam pekerjaan, Alvaro tetap menghargai Nenek Euis.
Keluarganya yang lain masih abu-abu. Baik Nenek Euis maupun Alvaro jarang membahasnya. Sepengetahuanku ayah kandung Alvaro masih hidup. Keduanya tinggal terpisah. Hubungan mereka sepertinya kurang harmonis.
Aku belum berani bertanya. Khawatir keingintahuanku membuat Alvaro tidak nyaman.
"Bagaimana acaramu kemarin, Frey?" Nenek Euis mengalihkan pandangannya saat aku menghampiri mereka.
Alvaro bergeser seakan memberi isyarat di mana aku harus duduk. Aku menurut meski tetap memberi jarak. Bermesraan di depan Nenek Euis masih terasa sungkan.
Lelaki itu tidak peduli dengan suara di kepalaku. Seenaknya ia menarik dan merangkul bahuku dengan gerakan santai. Tubuh kami saling merapat dan membuatku salah tingkah.
"Lihat cucuku. Freya masih punya malu dekat denganmu. Pacar-pacarmu dulu terlalu agresif."
"Nenek terlalu berlebihan. Kita hidup di jaman yang berbeda. Cara pandang dan pergaulanpun pasti ada perubahan. Lagipula setiap orang memiliki karakter masing-masing."
"Kita masih punya batasan dan norma. Setiap tindakan harus melihat situasi. Nah yang kalian lakukan apa? Mesra-mesraan sampai ciuman di acara Nenek. Nenek sudah sering mendengar keluhan teman-teman Nenek dan membandingkan dengan cucu mereka."
Bola mataku berputar ke arah Alvaro. Membayangkan kehidupannya yang bebas bersama perempuan-perempuan cantik sebelum bersamaku. Bukti-bukti bertebaran. Jejak digital sulit terhapus. Foto-fotonya bersama perempuan-perempuan itu akan tetap ada setiap aku mencari informasi tentangnya.
Cemburu. Sengatan ketidaksukaan membuatku ingin menyingkir. Aku tahu semua terjadi di masa lalu, saat kami belum mengenal tapi rasa sakit yang diakibatkan pembicaraan ini tetap tidak menyenangkan.
Alvaro mengeratkan rangkulannya. Ia menyadari reaksiku yang berulang kali menepis lengannya.
"Mereka begitu karena Mas Alva memberi lampu hijau, Nek. Kita tidak bisa hanya menunjuk satu pihak. Karena Mas Alva tidak menolak, mereka pikir tindakannya disetujui." Aku tersenyum lebar. Pernyataanku akan membuat Alvaro pikir seribu kali jika akan bersikap macam-macam padaku di depan Nenek Euis.
"Kamu benar, Frey." Nenek Euis memandang Alvaro sambil menggeleng. "Nenek terlalu sayang padamu. Kamu satu-satunya cucu Nenek. Pengingat keberadan ibumu. Kali ini lakukan semua dengan benar. Freya punya orang tua, punya keluarga yang menyayanginya. Jangan permalukan ia seperti kamu bermain-main dengan pacar-pacarmu dulu. Setidaknya ia pantas mendapat lelaki yang menghormatinya."
Alis Alvaro naik sebelah. Situasi mendadak berubah tak nyaman. "Nenek tidak lupa kenapa kami bersama?"
"Tentu saja. Kalian bersama karena usulan Nenek," jawab Nenek Euis lancar. Ia tidak mengalihkan pandangan dari cucunya. "Tapi semua keputusan ada padamu. Bukan sekali Nenek menjodohkan kamu dengan cucu teman Nenek, berulang kali kamu menolaknya. Kenapa kali ini tidak?"
"Karena Nenek bilang akan menyerah menyeretku dari satu perempuan ke perempuan lain jika hubungan kami tidak berhasil."
"Benar tapi Nenek mengenalmu lebih dari siapapun. Kamu pintar meloloskan diri dari situasi tidak menguntungkan. Selalu mengambil keputusan dengan risiko paling sedikit. Dengan semua pengalamanmu, kenapa kamu memilih perempuan tak berpengalaman menjadi asistenmu?"
Alvaro terdiam. Ia sama sekali tak menoleh padaku.
"Nenek pikir akan menemukan seseorang yang lebih berpengalaman saat pertama kali ke apartemenmu. Seseorang yang sudah terbiasa kamu perintah sekalipun di malam buta. Tapi Nenek menemukan sebaliknya. Freya masih kuliah. Pengalamannya minim dan bahkan pekerjaannya tidak mendekati asisten-asistenmu sebelumnya. Jika hanya karena kasihan, memberinya beasiswa kamu. Berbohonglah semaumu tapi matamu tidak bisa mengelabui Nenek."
"Apa aku sudah melakukan kesalahan besar sampai Nenek menghakimiku?" gumam Alvaro. Kepalanya menunduk, menyembunyikan kekesalan dengan memandangi lantai. Jika bukan Nenek Euis, Alvaro mungkin sudah mengeluarkan makian.
"Nenek perlu melakukannya sebelum kamu melewatkan kesempatan yang belum tentu datang dua kali. Kalian memang belum tentu berjodoh tapi di mata Nenek, Freya jauh lebih baik dari perempuan-perempuan yang kamu pacari." Nenek Euis bangkit. Bu yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan kami bergerak cepat membantu perempuan itu. "Nenek istirahat dulu. Kalian gunakan waktu sebaik mungkin sebelum Alvaro kembali ke Jakarta."
Keheningan menyelimuti ruangan. Aku masih merapat pada Alvaro. Pembicaraan nenek dan cucu tadi menempatkanku sebagai penonton drama keluarga. Lelaki itu mengedarkan pandangannya kecuali padaku.
"Sebaiknya Mas maklumi sikap Nenek. Ia begitu karena ingin melihat Mas bahagia." Kutepuk lembut tangannya. Ia hampir berjengit namun urung begitu melihat kerutan di keningku. "Kita lanjutkan pembicaraan nanti. Hari ini sangat melelahkan dan aku tidak berniat jadi pelampiasan hanya karena Mas kesal oleh hal lain."
"Tunggu, Frey." Alvaro menahan gerakan tanganku saat bersiap bangkit. "Aku bukan kesal padaku. Dengar apapun yang Nenek katakan, aku harap kamu tidak perlu memasukan dalam hati segala sesuatu tentang masa laluku."
"Jejak masa lalu Mas bisa kutemukan hanya dengan membuka internet. Perkataan Nenek Euis hanya informasi tambahan yang seharusnya membuatku tidak perlu terkejut. " Aku diam sejenak, menimbang antara terus mengoceh atau menyingkir. Pernah melihat bukan berarti membebaskanku dari cemburu. Terlebih Alvaro terkesan membela perempuan-perempuan yang pernah dekat dengannya. "Jika tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku mau ke kamar."
"Sebelum kamu istirahat dengarkan dulu penjelasanku."
"Tentang siapa perempuan itu... "
"Aku bicara soal ucapan nenekku tadi," potong Alvaro hingga memaksaku mengurungkan niat. "Apa yang terjadi di masa lalu merupakan bagian hidup yang tak terpisahkan. Aku ada di sini setelah melewatinya. Ucapanmu tadi benar, aku yang menyetujui sikap mantan-mantanku. Aku tidak lebih baik dari mereka karena memang hanya itu yang bisa kuberikan. Kemesraan, kepemilikan sementara dan hal-hal selain komitmen. Sejak awal mereka menyetujuinya hingga seharusnya tidak perlu ada sakit hati. Tapi sering kali semua berubah saat mereka meminta kepastian. Mereka tahu itu akhir cerita."
"Mas jahat tahu tidak."
"Aku sudah sering mendengarnya." Alvaro menghela napas. "Mereka bersamaku meski sudah mengetahui risikonya. Semua tidak akan dimulai tanpa persetujuan dua pihak."
Kulepas paksa tanganku saat genggaman Alvaro mengendur. Mataku terpejam karena kepala mendadak pusing. "Mas menempatkan asmara seperti bisnis."
"Itu dari kacamatamu tapi mereka tidak mengeluh saat menghabiskan waktu dari satu toko ke toko lain saat kami bersama. Aku memberi yang memberi mereka inginkan, menjaga mereka termasuk status seperti janji di awal. Perempuan polos sepertimu bukan kriteriaku."
Sentakan rasa sakit tiba-tiba menghantam dadaku. Napas tercekat oleh luapan emosi. Segala yang tertahan hampir meluap bersamaan memanasnya bola mata. "Lalu kenapa aku?"
"Karena nenekku benar. Aku punya banyak pilihan alih-alih mempersilahkanmu masuk ke tempat ini. Tugas-tugasmu lebih mudah dibanding asisten sebelumnya tapi aku tetap mempertahankanmu. Gajimu lumayan besar tanpa banyak tuntutan dariku. Seharusnya aku menyewa seseorang yang lebih professional, lebih berpengalaman dan bisa bekerja kapan dan di manapun." Aku menatapnya bingung. Perkataan Alvaro sulit kupahami. Jika ia butuh asisten berpengalaman, kenapa menerimaku?
"Bagiku apartemen ini hanya tempat singgah sementara. Tidak ada yang spesial. Tidak pernah sekalipun merindukan tempat ini. Semuanya berbeda sejak kemunculanmu. Seburuk apapun pekerjaanmu tak sekalipun terbersit menggantikanmu. Awalnya aku mengira hanya karena butuh suasana baru tapi ternyata lebih dari itu. Aku menginginkanmu melebihi perasaan-perasaan lain. Tawaran nenekku adalah kesempatan emas yang tidak ingin kulewatkan."
"Mas bilang aku tidak masuk kriteria. Aku tidak akan pernah bisa memberi kebebasan seperti yang pacar-pacar Mas lakukan saat bermesraan. Mas harus menghormati batasanku."
"Menggoda gadis yang masih polos sama sekali bukan caraku mencari pasangan. Kamu adalah pengecualian dari segala aturan yang kubuat sendiri. Kamu tidak perlu menjadi mereka atau siapapun. Tidak akan kubiarkan iblis sekalipun merusakmu walau aku tak menyangkal menikmati rona pipimu saat kita berciuman."
"Mas." Mataku melotot serasa menoleh kea rah kamar Nenek Euis.
Alvaro bergeming. Sepasang matanya menatap tajam. Sikapnya yang berubah serius membuatku kembali kebingungan. Tubuhku masih membeku ketika tarikan lembut menarikku dalam pangkuannya. Aku berusaha bergerak, khawatir Nenek Euis muncul.
Rangkulan Alvaro lebih kuat dari tenagaku. Ia memosisikan wajahku hingga pandangan kami sejajar. Sentuhan tangan di kulitku membuat sekujur tubuh memanas. Akal sehat tercerai berai, tertutup oleh hasrat yang entah kapan datangnya. Kedua tanganku reflek menumpu di bahunya, merasakan otot lelaki itu dari balik kemeja.
"Mulai besok aku ingin kamu bersiap karena kesabaranku hampir habis. Biasakan melihat kehadiranku di acara kampusmu." Jemarinya yang bebas membelai pipiku. Sentuhannya menurun dan berakhir dengan menarik daguku mendekat. "Aku menginginkan ini sejak kita terakhir bertemu."
"Nenek nanti marah," desisku berusaha menahan diri untuk tidak menciumnya.
"Nenek tidak akan keluar dari kamarnya. Ia sengaja membiarkan kira berdua." Alvaro mengecup daguku. Tubuhku gemetar karena geli. "Aku tidak akan meminta lebih tapi bolehkah aku mendapatkan ciuman?"
Rasa rindu dan sayang terlanjur menyelimuti penolakan. Alvaro mendapatkan yang ia inginkan. Aku merasakan yang kubutuhkan. Ciumannya tidah hanya sekadar kontak fisik. Sebagian besar tentang caraku mengenyahkan keraguan. Bahwa hubungan kami senyata sosoknya saat ini.
Kecupan berganti ciuman lembut. Emosi berperan saat jauh dalam diriku menuntut lebih. Tanpa sadar lenganku mengalung di leher Alvaro. Ia membiarkanku berbuat sesukanya dengan tetap merangkul pinggangku.
Ciuman kami semakin lama semakin dalam. Saling mencumbu dan memangut. Kelembutan berubah menjadi rakus. Alvaro bahkan melakukannya sambil menatapku. Sesekali kami berhenti namun dorongan menciumnya kembali muncul, lagi dan lagi. Aku merasa tidak akan pernah puas.
"Sayang," bisik Alvaro disela ciuman kami.
"Ngg..." balasku lirih di bibirnya. Tubuhku lemas dan sulit berpikir jernih.
"Katakan kamu milikku."
Permintaannya terdengar wajar jadi aku menurutinya. "Aku milikmu."
Alvaro memintaku sampai mengulang hingga tiga kali padahal meski lemas suaraku terdengar cukup jelas. Sambil tersenyum ia kembali mencumbu hingga kami berhenti untuk bernapas. Wajahku masih memanas. Napaspun belum teratur. Tenagaku meluruh dan hampir jatuh dalam pelukannya.
Berbeda denganku Alvaro bisa menjaga sikap. Perasaannya hanya terpancar dari bola matanya yang menggelap. Semburat rona yang samar melukis wajahnya. Ciuman tadi berpengaruh padanya.
Ia menempelkan kening kami lalu mencium pipiku. "Milikku." Suara seraknya mengakhiri kebersamaan kami.
Alvaro mengantarku hingga ke kamar seperti layaknya menemani pasangan pulang setelah menghabiskan kencan. Genggamannya tidak lepas sebelum aku menutup pintu. Ia sempat memeluk, mengecup keningku dan mengucapkan selamat tidur.
Waktu berlalu begitu cepat. Jam menunjuk pukul tujuh pagi ketiga alarm berbunyi. Kepala berat saat membuka mata. Semalam suntuk aku terjaga. Ucapan Alvaro berdengung di telinga, berbuah kebahagiaan yang nyaris menyingkirkan kantuk. Berulang kali aku mencoba mengembalikan perasaan ke tempat semula. Usaha itu gagal karena semakin berusaha, dorongan menemui Alvaro hampir membuatku nekat mengetuk pintu kamarnya. Bukan untuk melakukan hal-hal dewasa tapi lebih menginginkan berada di dekatnya.
Keesokan pagi terasa seperti neraka. Hariku berantakan akibat kantuk. Aku sempat panik karena melupakan jadwal kuliah. Dengan setengah terburu-buru dan melewatkan sarapan aku segera ke kampus.
Alvaro tidak bicara sedikitpun. Ia menenggelam diri mengerjakan pekerjaan di depan laptop. Aku ingin memakinya karena tidak bersikap peduli walau kesalahan ini karena ulahku sendiri. Nenek Euis lebih perhatian dari cucunya. Ia setengah memaksaku membawa bekal roti untuk dibawa ke kampus.
Jarak apartemen dan kampus tidak terlalu jauh. Butuh waktu lima belas menit kalau tidak terjebak macet. Ada sejumlah jalan tikus seandainya ingin menyingkat waktu. Tapi dalam keadaan kalut, perjalanan terasa lebih panjang dari biasanya.
Kepalaku benar-benar pusing karena tidak ingin sampai terlambat masuk. Dosen yang mengajar di jam pertama termasuk paling anti dengan kata telat. Ia sudah mengingatkan minggu ini ada kuis. Mahasiswa yang telat dianggap tidak hadir.
Kelas sudah di mulai saat aku tiba di kampus. Tubuhku menegang didera rasa takut. Inilah salah satu yang kutakutkan jika menyayangi seseorang. Tanggung jawabku terlupakan karena terlena oleh perasaan.
Mia tiba-tiba menelepon. Ia mengomeliku dan menyuruhku cepat datang ke kelas. Menurutnya aku beruntung karena dosenku belum kelihatan batang hidungnya. Ia baru dapat kabar kalau dosen kami ada keperluan mendadak hingga ia akan datang telat. Kami diminta belajar sebelum kuis dimulai.
"Tumben telat." Mia menyeret kursi di sebelahnya. Sebagian teman-temanku menakut-nakutiku kalau dosen kami berjalan di belakangku.
"Aku masih manusia biasa. Bisa telat atau lupa," gerutuku sambil menghempas kursi.
"Kan aku bilang tidak biasanya." Mia menopang dagunya, memerhatikanku yang mengeluarkan alat tulis dan catatan. "Tapi dosen kita juga tumben telat."
"Daripada banyak tanya, sebaiknya kamu membaca catatan. Sebentar lagi kita mau kuis."
"Aku sudah belajar semalam. Kalau ada yang tidak ingat, kamu pasti tidak keberatan memberiku contekan, kan?" Mataku mendelik sebal. Sebelum aku sempat membuka mulut Mia melanjutkan ucapannya. "Karena aku juga manusia biasa yang tidak luput dari lupa."
Di saat membaca ulang catatan sekaligus mengajari Mia, seorang teman kami tiba-tiba masuk kelas. Ia juga terlambat sepertiku. Di tengah ledekan teman-teman lain ia memberitahu kemungkinan kenapa dosen kami telat. Awalnya ia hampir saja tidak masuk tapi tidak sengaja melihat dosen kami keluar dari ruang dosen bersama seorang lelaki.
Aku tidak begitu memperhatikan pembicaraan mereka. Lolos dari hukuman saja sudah bagus. Fokusku sekarang hanya mendapatkan nilai bagus sambil makan roti buatan Nenek Euis. Indera pendengaranku baru bereaksi begitu temanku yang telat tadi akhirnya mengingat siapa tamu dosen kami.
Alvaro.
Mia menoleh padaku. Memberiku tatapan penuh tanya. Bahuku terangkat dengan mulut penuh roti. Alvaro masih di apartemen, bekerja dengan laptopnya saat aku meninggalkan tempat itu.
Tepat sebelum dosen akhirnya datang sebuah pesan masuk muncul.
Semoga harimu menyenangkan. Jangan lupa berdoa sebelum mengerjakan kuis.
Harapan Alvaro memberiku tambahan semangat. Aku bahkan tidak mengeluh walau Mia berulang kali memberi kode butuh bantuan.
Suasana hati terasa damai. Ketakutan-ketakutan yang menganggu kini hilang bak angin. Semua berjalan normal. Menjelang makan siang Mia mengajak pergi ke kantin. Aku menyanggupi tanpa perlu bertanya dua kali. Ia kembali membahas topik paforitnya saat ini, hubunganku dan Alvaro.
"Kamu tadi pagi diantar Alvaro?"
Kepalaku menggeleng sambil terus menyuap sepiring mie goreng. "Ia masih ada di apartemen waktu aku berangkat."
Mia mengaduk-aduk es jeruknya yang tidak lagi dingin. Matanya menyipit lalu mendorong tubuhnya ke depan. "Jangan-jangan ia membuntutimu."
"Mungkin saja ia memang punya urusan dengan Pak Aswin. Pekerjaan yang tidak ada sangkut pautnya denganku. Kebetulan saja waktunya bersamaan," tukasku melempar pernyataan lebih masuk akal daripada dugaan. "Kamu selalu bersemangat membahas Alvaro. Apa kamu juga menyukainya?"
"Nah." Mia mengibaskan tangannya. "Jujur saja Alvaro memang menarik. Perempuan normal manapun bisa dengan mudah tertarik padanya. Tapi bagiku ia cukup dinikmati secara visual. Untuk dijadikan pacar, aku lebih memilih orang biasa. Seseorang yang tidak membuatku cemburu saat melihat foto-foto masa lalunya di internet. Aku sendiri tidak keberatan dengan masa lalu Alvaro? Maksudku mengingat pergaulannya selama ini, mungkin saja ia sudah tidak perjaka."
Aku hampir tersedak. Mia mendorong air mineral padaku. "Coba kamu perhatikan lelaki yang ada di kampus kita." Kepala Mia terangkat. Dengan patuh ia mengikuti permintaanku. "Menurutmu berapa orang dari mereka yang masih perjaka?"\
"Mana aku tahu. Apa aku perlu membuat survey?"
"Menurutku, entah berapa persen, keperjakaan mereka sudah diambil tangan mereka sendiri. Dan entah berapa banyak lagi yang sebenarnya sudah icip-icip tapi pura-pura polos."
"Kamu benar tapi apa hubungannya sama Alvaro?"
"Sejak awal aku sudah melihat gaya hidupnya. Tinggal buka internet, tulis namanya lalu muncul semua berita tentang Alvaro. Tidak hanya keberhasilannya tapi juga kisah asmara. Aku tidak bisa mengubah masa lalunya sekalipun mencintainya. Ketika aku memutuskan menerimanya itu termasuk masa lalunya. Kalau memang tidak bisa menerima, aku lebih baik menolak. Jadi bagiku Alvaro atau mereka sama saja."
"Aku tetap tidak tertarik pada Alvaro seperti caramu menilainya. Ia baik sih mm... gimana ya ada yang beda darinya. Aku sulit menjelaskan. Ada sesuatu darinya yang membuatku merasa waspada. Genta memang menyebalkan sementara Alvaro lebih ke menakutkan. Kamu mungkin tidak melihatnya tapi tatapannya seperti siap membunuh waktu kejadian malam itu."
"Seperti psikopat?"
"Bukan." Mia menggaruk kepalanya. "Lebih dari posesif, aku tidak tahu sebutannya."
"Terobsesi? Rasanya perlakuannya biasa saja. Waktu aku minta hubungan kami disembunyikan pun ia tidak marah. Selama tidak bertemupun ia tidak pernah menguntit atau semacamnya."
"Makanya aku bilang sulit menjelaskan tapi selama kamu nyaman, aku mendukungmu."
Pembicaraan berlanjut ke topik lain hingga waktu mengharuskan kami meneruskan sisa kuliah hingga sore. Mia pulang lebih dulu sementara aku pergi ke kamar kecil. Setelah mencuci tangan aku segera pergi ke tempat parkir. Di tengah perjalanan, saat melewati lobi ternyata Genta menghampiriku.
Ia ingin bicara denganku tapi bukan di kampus. Sebenarnya aku ingin menolak tapi mengingat ia pernah menolong, aku setuju dengan syarat tempat kami bicara harus di sekitar kampus. Genta mengangguk, menyebut nama kafe yang letaknya hanya seratus meter dari kampus. Ia akan pergi lebih dulu dan menungguku di sana.
Aku berusaha berpikir positif. Hariku belakangan berjalan lancar. Semua tampak sesuai harapan. Begitupun dengan keberadaan Genta. Pertemanan kami memang tidak bisa seakrab sebelumnya tetapi aku merasa ia bukan lagi gangguan. Setidaknya begitulah pikiran naifku.
Pembicaraan kami awalnya membahas kejadian tempo hari. Genta mengungkapkan kekhawatirannya, nyaris tidak dibuat-buat hingga aku merasa perhatiannya seperti teman biasa. Reaksiku senormal seperti saat bicara dengan Mia. Hingga Genta mengatakan tentang sesuatu yang suka tak suka mengusikku.
"Kenapa sama Pak Alvaro?" Intonasiku malas-malasan meski jantungku berdebar kencang.
Genta menatapku, hampir tidak berkedip ketika mendengar jawabanku. Ia seperti sedang memastikan sesuatu. "Kamu tertarik padanya?"
"Kenapa itu menganggumu?" Aku mencoba menegaskan garis batas yang harus Genta hormati sebagai teman. "Aku bisa tertarik pada siapapun."
"Bukan begitu. Aku bertanya sebagai teman," balasnya ragu sebelum menghela napas panjang. Ia sempat mengalihkan pandangannya ke lantai lalu melanjutkan bicara. "Aku tahu sering mengecewakanmu. Hal yang hingga detik ini kusesali. Aku tulus mendoakan kamu bahagia dengan siapapun itu. Aku juga sadar masih jauh dari kata sempurna. Di luar sana ada banyak pilihan untukmu. Aku hanya berharap kamu tidak kecewa lagi apalagi Pak Alvaro bukan orang sembarangan."
"Lalu?" Aku pura-pura tak tertarik. Berita tentang Alvaro sudah banyak kulahap selama kami berhubungan. Rumor tentangnya mudah ditemukan di dunia maya. Kebersamaannya dengan perempuan-perempuan cantik bukan hanya isapan jempol. Aku sudah melihatnya dengan mata kepala sendiri. Genta mungkin mengira aku terllau polos hingga harus dilindungi.
"Kamu mungkin sudah tahu jejaknya bersama perempuan. Rumor yang beredar mengatakan ia jarang bertahan lama berstatus single. Perempuan-perempuan yang bersamanya memang istimewa tapi apa kamu sudah tahu kalau ia pernah bersumpah tidak akan mencintai perempuan lain selain mantan pacarnya yang sudah meninggal? Itu sebabnya ia tidak pernah sungguh-sungguh saat menjalin hubungan. Perasaannya terkunci di masa lalu. "Bukan bermaksud menyinggungmu tapi aku hanya khawatir ia melihatmu tidak lebih sebagai selingan sebelum menemukan pacar berikutnya."
Aku menelan ludah saat hampir tersedak. Sesaat ingatan membawaku pada foto Alvaro dan seorang perempuan yang menghias layar laptop lelaki itu. Foto yang memamerkan kemesraan. Sorot mata Alvaro menunjukan kepemilikan.
Dengan gerakan setenang mungkin jemariku meraih minuman cokelat dingin. Rasa manis di lidah berubah pahit saat melewati tenggorokan. "Terima kasih informasinya tapi aku tidak tertarik menggosipkan kehidupan seseorang yang belum lama kukenal. Masih banyak yang jadi prioritasku sekarang."
"Jadi fokusmu hanya kuliah?" Intonasi Genta merendah. Pandangannya melunak. Sekilas kuperhatikan bahunya menurun seakan baru melepaskan beban berat.
"Sudah kubilang tidak ingin mendiskusikan kehidupan pribadiku, Ta." Kuletakan kembali minuman ke meja. "Kuharap kamu mengerti. Pertemanan kita bukan berarti membuat situasi kembali normal."
Genta mengangguk pelan. "Tentu saja. Aku sudah terlalu dalam menyakitimu."
Pembicaraan kami terhenti saat ponsel Genta di meja berbunyi. Genta sempat menjauh untuk menerima panggilan. Kami akhirnya berpisah karena ia harus segera pergi. Panggilan tadi dari ibunya.
Perasaan masih tidak nyaman saat berjalan menuju parkiran. Jika ada yang menganggu tentu tidak lain berita tentang Alvaro. Ada banyak pertanyaan dan didominasi keingintahuan pada masa lalunya. Jika ucapan Genta benar, siapa perempuan yang berhasil mendapatkan hatinya bahkan hingga detik ini?
Setibanya di apartemen perasaan semakin tidak nyaman. Nenek Euis mengatakan Alvaro uring-uringan sejak kembali dari luar. Ia sempat pergi tanpa menyebut tujuan. Sekarang lelaki itu berada di ruangan kerjanya, mengurung diri dan memberi pesan agar tidak diganggu.
Alvaro tiba-tiba muncul dari balik pintu ruang kerjanya. Ia menatapku yang masih bicara dengan neneknya. "Masuk." Nenek Euis mengangguk, memberi isyarat agar aku mengikuti perintah Alvaro.
"Ada apa. Mas?"tanyaku setenang mungkin. kursi di depan meja kerjanya kuseret hingga berderit.
"Kamu kemana saja?" Ia bertanya tanpa menoleh. Wajahnya tersembunyi dibalik laptop.
"Dari kampus."
"Langsung pulang?"
Aku terdiam, terpaksa menelan kebohongan menjadi alasan keterlambatan. Meski tidak menunjukan tanda-tanda kemarahan, sambutan Alvaro jauh dari kesan hangat. Suaranya sekilas terdengar dingin, memberiku isyarat agar berhati-hati.
"Tidak," balasku pelan. "Genta mengajak bertemu sepulang kuliah. Ia ingin bicara."
Laptop di hadapanku ditutup. Kini sosok Alvaro terlihat jelas. Dalam ketenangan, kilatan emosi membayangi bola matanya. Ia memang tampan tapi dalam situasi ini kata mengerikan lebih layak disematkan padanya. Kedua tangannya menopang dagu. Ia tersenyum tetapi aku merasa sedang diadili oleh iblis. Salah langkah sedikit maka langkah berikutnya akan runyam. "Dan apa itu jika aku boleh tahu?"
"Ia mengira Mas menyukaiku. Aku memintanya agar tidak mencampuri urusan pribadi. Aku rasa ia sudah mengerti posisinya." Kuperhatikan reaksi Alvaro. Ketegangannya belum berakhir. Rahangnya masih mengeras. "Aku tidak menyembunyikan apapun," lanjutku.
"Aku memercayaimu." Alvaro membuka kembali laptopnya. "Sekarang kamu boleh pergi. Istirahatlah. Kita lanjutkan pembicaraan setelah makan malam."
Aku mengigit pipi bagian dalam lalu bangkit. Otakku menebak-nebak alasan dibalik kekesalan Alvaro. Ia terlihat biasa saja pagi tadi. Nama Genta bahkan tidak muncul. Jadi bagaimana Alvaro mengetahui aku bertemu Genta?
"Freya."
"Ya," balasku sambil mengembalikan kursi pada posisi semula.
"Aku tidak akan membatasi ruang gerakmu. Kamu bebas berteman dengan siapapun. Tapi kamu mengerti statusmu saat ini." Alvaro tiba-tiba bangkit. Tubuh tegapnya mendekatiku, memosisikan diri tepat di hadapanku. Jemarinya meraih daguku, menariknya hingga pandangan kami terkunci. Sementara tangannya yang lain melingkari pinggang. "Selama ini aku selalu memastikan tidak ada yang berani mengusik milikku. Tidak ada yang berani mencoba setelah mereka mengetahui risikonya. Denganmu aku rela melonggarkan aturan. Aku tidak keberatan harus menunggu sedikit lebih lama tapi jangan pernah mengkhianati kepercayaanku."
"Apa risikonya?"
"Tergantung sebesar apa kesalahanmu."
Tanpa sadar aku mencoba melepaskan rangkulannya. Kebaikan dibalas lebih dari balik dan balasan kejahatan akan lebih buruk. Azka pernah mengatakan salah satu sifat Alvaro. "Bagaimana kalau Mas yang melakukan kesalahan?"
Raut Alvaro kembali serius. Ia menilik perubahan mimik wajahku yang berusaha mengalihkan pandangan. "Apa tepatnya kesalahanku yang kamu tanyakan, Manis?"
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro