Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chap 15

Nenek Euis terlihat segar sepanjang hari. Ia tidak terlihat seperti orang yang beberapa waktu lalu terbaring di rumah sakit. Ibu Nayara, orang kepercayaannya yang dipanggil Ibu Naya selalu berada di dekatnya. Usianya satu tahun lebih tua dari ibuku. Ia cukup ramah dan sepertinya penyabar mengingat Nenek Euis lumayan keras kepala.

Sepeninggal Alvaro yang kembali ke Jakarta, aku pun menjalani kehidupan seperti biasa. Kuliah, belajar, sesekali keluar jalan-jalan dengan teman-teman dan bekerja. Untuk poin terakhir aku memang bersikeras diposisikan sebagai pegawai pada Alvaro. Sekalipun melakukan tugas remeh temeh pun tidak mengapa selama uang yang masuk ke rekeningku bukan atas dasar kasihan.

Kami sempat berdebat. Baginya menjaga Nenek Euis termasuk tugas darinya. Tapi aku tidak bisa melihatnya sebagai pekerjaan. Segala urusan yang berhubungan dengan Nenek Euis sudah dikerjakan Ibu Naya termasuk memersihkan rumah yang merupakan kewajibanku. Untuk masalah bepergianpun lelaki itu sudah menyiapkan supir.

Frekuensi pertemuan kami tak menentu. Hingga detik ini sudah hampir tiga minggu kami terpisah sejak pertemuan terakhir. Kesibukan bukan hal aneh.

Setiap rencana terasa lebih mudah saat kami berjauhan. Keyakinan bahwa permasalahanku akan menemui titik akhir bahagia begitu nyata. Percintaan dengan Alvaro pun seakan tinggal menyusun puzzle paling gampang. Terlebih kebaikan Nenek Euis memudahkan hari-hariku. Ia bahkan tidak pernah melarang meja makan kugunakan sebagai tempat belajar. Keberadaannya mengisi kekosongan sebuah keluarga.

Tapi ketika malam tiba, ketika menyadari kesendirian, bayangan Alvaro yang berusaha mati-matian kutepis kerap muncul. Ingatan tentangnya kadang membuat pikiran-pikiran negative menggerus semangat yang terkumpul. Kekhawatiran mengingat gaya hidupnya menganggu ketenangan. Sekalipun hubungan kami terbilang baik bukan berarti komunikasi berjalan layaknya pasangan biasa. Ada batas tak terlihat yang menahan keinginan menghubunginya meski rindu sudah di ubun-ubun.

"Freya," panggil Nenek Euis.

Kepalaku terangkat, mengalihkan pandangan dari kertas-kertas di meja makan. Setelah makan malam aku meminta izin menggunakan ruangan itu untuk belajar. Seperti biasa Nenek Euis tidak mempermasalahkan. Sepiring kue kering dan teh hangat bahkan dibuat untuk menemaniku mengerjakan tugas.

"Ya, Nek."

Nenek Euis berjalan ke arahku. Di belakangnya Ibu Kanaya sedang merapikan ruang tengah, kebiasaan sebelum mengantar Nenek Euis beristirahat. "Kamu bilang Sabtu ini mau ke Bogor?"

"Iya. Rencananya pergi sama beberapa teman Ke IPB. Kami mau cari bahan buat tugas kuliah. Kemungkinan pulangnya agak malam karena ada undangan dari dosen makan bersama. Freya kayaknya nginap di rumah teman, Nek. Takutnya sampai di Bandung tengah malam."

"Alvaro sudah tahu soal ini?"

"Belum sempat, Nek. Belakangan Mas Alva sibuk sekali."

Nenek Euis mendesah pelan. Salah satu tangannya memegang bagian belakang kursi di hadapanku saat menggeleng. "Anak itu selalu saja lupa segalanya kalau sedang kerja. Semangatnya memang bagus tapi seharusnya ia tidak begitu saja melupakan kita."

Aku mencoba tersenyum. Sebagai cucu satu-satunya, Nenek Euis pasti menginginkan lebih banyak waktu bersama Alvaro. Lelaki itu memang tidak pernah alpa mengabari neneknya setiap hari tapi melihatnya sosoknya tentu lebih membahagiakan daripada hanya bertemu lewat suara.

"Mungkin Minggu ini Mas Alva datang, Nek," ucapku berusaha menghibur.

"Tidak, Freya." Raut Nenek Euis semakin muram. "Alvaro sudah bilang menunda kedatangannya minggu ini. Nenek sudah malas bertanya kapan ia akan datang. Kamu juga tidak perlu memikirkannya. Bersenang-senanglah bersama teman-temanmu. Tiga minggu ini kamu sudah menemani Nenek ke mana-mana. Jangan khawatir soal Alvaro."

Senyumanku semakin melebar tetapi jantung serasa diremas kuat. Untuk kesekian kali aku tahu kabar ini dari orang lain. Setiap kali kami bicara, Alvaro selalu mengatakan belum bisa memastikan kapan ia akan datang hingga di detik terakhir keputusannya kudengar dari Nenek Euis. Dan aku sendiri sering lupa menanyakan hal itu karena terlalu asyik membicarakan hal lain.

"Terima kasih, Nek. Sekarang Nenek tidur saja, sudah malam. Setelah pulang dari Bogor, kalau Freya ada waktu kosong, nanti kita pergi ke tempat yang Nenek suka."

"Kamu juga jangan tidur malam-malam. Jangan sampai sakit. Nenek tidur dulu ya."

Pandangan masih mengamati kedua perempuan paruh baya yang berjalan beriringan menuju kamar tidur tamu. Gelitikan rasa sakit menusuk-nusuk begitu bola mata beralih pada ponsel di meja. Pembicaraan dengan Alvaro terakhir tadi pagi sebelum berangkat ke kampus. Pembicaraan singkat, pertanyaan yang sama tentang keadaanku dan Nenek Euis tentunya. Setelah itu notifikasi, pesan dan panggilan masuk tak satupun dari lelaki itu.

Saat kami terpisah, ia tidak lebih dari imajinasi. Menempatkanku dalam kisah cinderela berakhir tragis.

Perlahan serpihan harap kukumpulkan demi melanjutkan tugas yang tertunda. Walau sulit aku mencoba mengalihkan kesedihan dan menciptakan bayangan-bayangan menyenangkan di masa depan setelah lulus nanti. Bayangan di mana kemungkinan Alvaro tidak berada di dalamnya dan aku tersenyum.

*******

Hari keberangkatan ke Bogor tiba. Sejak semalam hingga sampai di kampus balasan pesanku belum mendapat jawaban. Panggilanpun terhubung ke kotak suara. Azka hanya memberi mengatakan akan memberitahu Alvaro bahwa aku mencoba mengabarinya. Ia memintaku memaklumi karena belakangan ini atasannya benar-benar sibuk.

Kepergianku ke Bogor sebenarnya bukan karena keinginan sendiri. Salah satu teman yang ikut himpunan meminta digantikan karena harus pulang kampung. Setelah menimbang aku akhirnya setuju setelah mengetahui Mia dan kedua temanku lainnya juga ikut. Dari lima belas orang dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok pergi ke salah satu kampus di Jakarta sementara kelompokku ke Bogor. Kami akan berkumpul kembali di acara undangan makan bersama yang dosenku hadiri.

Mia ikut dalam kelompokku sementara Bian dan Ditto pergi bersama kelompok lain. Kejutan dimulai sesaat sebelum kendaraan yang kutumpangi meninggalkan kampus. Genta tiba-tiba muncul. Kedatangannya menggantikan posisi salah satu teman kami yang berhalangan.

Di luar dugaan ia tidak lagi menunjukan sikap ingin mendekatiku. Ia duduk di depan sedangkan aku memilih bersantai di kursi paling belakang. Di bagian tengah tiga orang perempuan justru terlihat senang dengan keberadaan Genta. Mereka mengobrol sepanjang jalan sambil sesekali tertawa. Selama itu Genta tidak sekalipun menoleh ke arahku.

"Kurasa Genta benar-benar menyerah," bisik Mia di sebelahku. Teman lelaki kami di sampingnya memilih tidur dan mengabaikan keriuhan.

"Baguslah. Mungkin ia sudah sadar kalau aku tidak lebih istimewa dari mantan-mantannya."

"Tapi aku tidak menyangka ia mau ikut. Kupikir ia sedang bersenang-senang menikmati hari libur."

"Aku juga seharusnya menikmati liburan kalau bukan karena permintaan Anti. Aku kasihan padanya. Ayahnya lagi sakit." Mataku terpejam setelah mendapat posisi yang nyaman. "Kenapa kamu juga mau ikut?"

"Ditto yang ajak tapi ternyata kelompok kita beda."

"Biar saja. Nanti kan ketemu lagi di Jakarta."

Sikutan di lengan memaksaku kembali membuka mata. Mia melirik sambil tersenyu jahil. "Kamu sudah mengabari Alvaro?"

"Belum ada respon. Memangnya kenapa?"'

"Kita kan mau ke Jakarta. Memangnya kamu tidak mau ketemu?"

"Alvaro sibuk sekali. Ia belum meneleponku sejak semalam. Biar sajalah. Toh kita pergi bukan buat liburan."

"Kalian bertengkar lagi?" tanya Mia. Keingintahuannya memancar dari bola matanya yang gelap.

Bahuku terangkat pelan lalu memandang sekilas keluar jendela. "Aku juga kurang paham. Sikapnya selalu berubah-ubah. Hari ini baik, besok lain lagi. Kadang aku merasa ia sedang tarik ulur."

"Yang memusingkan bukan cuma perempuan ya." Mia manggut-manggut seolah memahami isi hatiku. "Kalau begitu kamu tidak perlu memikirkannya. Kita bersenang-senang saja. Jika ia bisa menikmati hidupnya, kenapa kamu tidak bisa melakukan hal yang sama."

Aku hanya mendesah pelan, mengangguk pelan agar bahasan tentang Alvaro berhenti. Mia kembali memainkan ponselnya setelah puas melihat reaksiku. Ia tidak tahu kalau tanpa dimintapun aku berulang kali berupaya menyibukan diri, menghindari lamunan terlalu lama sebelum bayangan Alvaro menganggu. Aku sengaja tidak selalu berkeluh kesah, membahas hubungan kami yang rumit padanya.

Di luar langit tampak cerah. Suasana yang biasanya mampu membangkitkan semangat. Sangat menyenangkan bila aku menghabiskan waktu melakukan hal yang kusuka. Berada di kios buku langganan sempat terpikir atau menikmati film dibalik selimut ditemani aneka kue lezat. Mungkin menikmati pemandangan hijau di sekitar apartemen juga bisa menghilangkan jenuh. Tapi satu hal yang paling kuinginkan sekaligus tidak ingin kuakui adalah bertemu Alvaro.

Aku merindukannya.

Menjelang siang kami tiba di tujuan. Kegiatan mengunjungi kampus lain sejenak melupakan keresahan. Genta yang bersikap sewajarnya teman biasa membantu menikmati setiap rangkaian acara. Aku tidak perlu khawatir ia akan mengikuti karena sejauh ini dirinya selalu bersama teman-teman lain. Obrolan kami sebatas tentang kuliah, itupun relative singkat. Dan ia terlihat cukup antusias dibanding saat sedang kuliah.

"Sudah menyelesaikan memfotocopy buku yang kamu butuhkan?" Genta tiba-tiba menyapa saat aku sedang mengambil beberapa buku yang sudah di fotocopy. Kedatanganku ke kampus ini memang sekalian untuk mencari bahan tugas. Letak tempat fotocopy berada di bagian luar perpustakaan.

"Sudah. Aku baru mau mengembalikannya."

"Mia mana?"

"Masih di dalam." Bola mataku berputar ke dalam ruangan perpustakaan.

Genta melirik jam di pergelangan tangannya. "Lima belas menit lagi kumpul di mobil ya. Kita harus lanjut ke Jakarta. Kalau terlalu sore nanti telat. "

"Oke." Aku mendekap buku dan plastic berisi lembaran fotocopy-an. "Terima kasih."

Genta berlalu sambil melambaikan tangan. Tubuhnya berjalan menjauhi perpustakaan. Sosoknya menarik sejumlah pasang mata terutama kaum hawa. Situasi yang sudah menjadi makanan sehari-hari sejak mengenal lelaki itu. Kali ini tidak jauh berbeda walau tampilannya lebih apa adanya. Rambutnya yang biasanya tertata rapih dibiarkan berantakan oleh angin. Selain sepatu dan tas, tidak ada logo brand terkenal menghias penampilannya. Meski harus diakui tanpa merek-merek itu pun ia sudah cukup menarik.

Sebuah lengan melingkari bahuku. Mia manggut-manggut saat mengikuti arah pandangku. "Genta sepertinya benar-benar sadar tindakannya memaksamu sia-sia. Seharusnya ia tidak peduli lagi dengan kehidupanmu."

"Omong-omong buku yang kamu cari sudah ketemu? Genta bilang lima belas menit lagi kita harus kumpul."

"Sudah mau pulang ya? Bisa mampir buat oleh-oleh dong."

"Tidak bisa." Aku melepaskan rangkulannya. "Kamu lupa kita harus ke Jakarta."

Mia menepuk dahinya sambil menggerutu. "Kenapa harus ke sana sih? Kan sudah ada kelompok lain. Badanku sudah capek."

"Jangan bawel. Tidak enak sama yang lain kalau tiba-tiba kita protes. Lagian rencananya sudah disusun dari awal. Cepat fotocopy sana. Aku mau kembalikan buku dulu."

Aku bergegas meninggalkan Mia dan keluhannya.

Waktu berlalu hingga kami melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Sebagian sudah tidak bersemangat. Energi terlanjur terkuras seharian. Mia masih menggerutu karena niatnya ingin membeli oleh-oleh ditolak Andi sebagai ketua kelompok sekaligus supir. Kami tidak boleh sampai telat kalau tidak mau kena teguran dosen.

Genta menenangkan teman-temannya, menghibur mereka dengan mengeluarkan topik makanan yang akan kami makan di sana. Jamuan makan undangan dari dosen terdengar menyenangkan untuk perut-perut yang kelaparan. Sementara kekesalan Mia mereda begitu kusebut Bian dan Ditto menunggu kami di sana.

Setelah menembus kemacetan ibukota mobil yang kutumpangi akhirnya sampai di sebuah hotel. Aku mengikuti teman-teman lain menuju aula. Kami diminta memakai jas almamater sesaat sebelum memaski hotel. Aku pikir kami akan mendatangi acara semacam seminar.

Di ruangan yang berukuran cukup besar, orang-orang terlihat berpakaian formal. Pemandangan itu awalnya tidak terlalu mengejutkan. Aku sudah mengira kami akan mendatangi acara resmi saat diminta memakai jas almamater.

Kami bergabung bersama kelompok Bian. Mereka belum lama sampai. Semua orang tampak sama, tampak berkelas dari pakaian yang melekat. Ditto menarikku ke sisinya lalu berbisik.

"Alvaro tahu kamu di sini?"

Pertanyaan Ditto memaksaku mengarahkan pandangan. Bola mata mengamati sejumlah orang-orang di berbagai sudut ruangan. Mereka berkumpul dalam jumlah kecil sambil mengobrol. Aku baru sadar ini bukan seminar melainkan semacam pesta. Dan hanya aku dan teman-temanku yang berstatus mahasiswa.

Diantara keramaian salah satu dari mereka menarik perhatian. Seorang lelaki yang sedang mengobrol bersama tiga orang lainnya. Salah satunya perempuan berparas manis berdampingan dengannya. Perasaanku mencelus menyadari salah satu tangan perempuan itu merangkul lengan Alvaro. Mereka terlihat berada di dunianya sendiri, mengabaikan keadaan di sekitar.

"Siapa perempuan itu?" tanya Mia.

"Tidak tahu," balasku pendek. Kenyataannya aku memang hanya sedikit mengetahui dunia Alvaro.

"Kalian pacaran tidak sih?"

"Sejauh ini sih iya."

Mia tampak tidak sabar. "Kamu tidak mau mencari tahu kebenarannya?"

"Biar saja. Aku sendiri yang meminta hubungan kami disembunyikan." Rasanya sulit bersikap wajar tapi pilihanku tak banyak. "Lebih baik begini."

"Yakin? Kalau aku jadi kamu, Alvaro sudah habis kumaki."

"Aku tidak berencana menghancurkan reputasi setelah pulang dari tempat ini. Jika aku mengacau, anak-anak lain akan menjadikannya berita panas di kampus."

Tubuhku menegang ketika Alvaro bersama perempuan manis itu menghampiri kami. Dosen kami ikut mendampingi keduanya. Berbanding terbalik denganku, reaksi Alvaro nyaris terlalu santai. Ketenangannya tidak terkesan dibuat-buat. Ia seperti dirinya saat kami belum saling mengenal.

Teman-temanku tak terkecuali ketiga teman dekatku membalas sapaan hangat Alvaro. Aku sendiri terdiam di samping Mia dan bersyukur berada di barisan paling belakang. Obrolan singkat Alvaro tentang keadaan kami terdengar bagai hembusan angin lalu.

Di antara kami, Genta mungkin yang paling bersemangat. Ia bahkan tidak segan memuji perempuan yang masih melingkarkan lengannya pada Alvaro. Dari pembicaraan mereka, aku tahu kalau perempuan itu adik teman lelaki itu. Seseorang yang menikmati perhatian terlebih ketika di sekitarku mengatakan keduanya serasi.

Anehnya kepalaku tetap tegak. Dengan mudahnya keinginan menunduk ditepis meski keinginan pergi dari tempat ini semakin membesar. Wajah perempuan itu kelihatan familer. Rasanya tidak asing. Bila diingat-ingat aku yakin pernah melihatnya di suatu tempat atau...

"Halo." Sapaan lembut perempuan di samping Alvaro membuyarkan lamunan.

"Oh. Halo juga," balasku tak sadar mendapat giliran berkenalan.

Ia memperkenalkan diri. Anehnya rangkulannya mengurai bahkan terkesan menjaga jarak dengan Alvaro. Padahal sikapnya tak berubah saat mengajak bicara teman-teman lain.

Nama perempuan itu Amanda. Ia berkulit eksotis dengan tubuh lumayan tinggi. Berat badannya proporsional. Caranya berpenampilan mengesankan keanggunan sekaligus kemewahan. Brand-brand terkenal berharga mahal yang harus kupikir ratusan kali bila ingin membelinya.

"Cantik sekali," pujiannya terdengar tulus.

"Ya, cantik sekali," balasan tak terduga Alvaro disambut candaan teman-temanku. Aku tersenyum ala kadarnya. Pertunjukan kegembiraan yang susah payah kupamerkan. Entah disadari atau tidak, Alvaro tampak tak terusik.

Genta menyela pembicaraan, membahas tentang kesuksesan Alvaro. Topik yang menyurutkan niat karena lelah menata hati. Waktu berlalu hingga tiba acara makan bersama. Aneka makanan di hidangkan ala buffet. Perut yang keroncongan memaksaku melahap makanan. Ketegangan tadi sedikit banyak membuatku merasa kenyang walau belum makan.

Setelah menyelesaikan makan aku beranjak duduk di salah satu sudut ruangan. Tersembunyi oleh tanaman hias berukuran besar. Tempat bersembunyi dari keramaian.

Aku mengatakan pada ketiga temanku untuk tidak mengkhawatirkan diriku. Sejumlah orang penting berkumpul di tempat ini. Wajah-wajah yang pernah kulihat dalam tayangan berita. Mereka punya hak menggunakan kesempatan dan keberanian mengenal orang-orang itu tanpa perlu menanyakan pendapatku lebih dulu.

"Sudah makan?"

Suara ini, desahku dalam hati.

Pandanganku menatap lurus, mengabaikan sang pemilik suara yang menghempaskan tubuhnya di kursi di sampingku. "Ya."

"Ini bukan waktu yang tepat tapi aku harus jelaskan. Amanda adik temanku. Aku sudah menganggapnya adik sendiri. Aku sengaja memintanya menemaniku untuk menghindari perempuan lain. Jangan salah paham. Amanda sudah punya tunangan dan aku sudah minta izin darinya. Kami berhubungan baik."

Aku menelan ludah. "Aku tidak mendapat kabar apa-apa. Mas pikir aku harus menerima jika mendapati foto kalian berdua di media?"

"Itu tidak akan pernah terjadi. Baik wartawan atau siapapun yang mengenalku tahu siapa Amanda. Menyeret kami berdua dalam tulisan tanpa sadar sama saja dengan mencari masalah."

"Untuk orang yang baru melihat Amanda sepertiku atau teman-teman yang lain sangat mudah menyalahpahami hubungan kalian berdua. Aku tidak perlu memberi contoh, bukan?" Suaraku mulai bergetar. Emosi yang perlahan membakar sisa kebakaran nyaris membuat air mata tumpah. "Tapi siapa aku, seorang asisten yang merangkap kekasih palsu bosnya sendiri," lanjutku dengan tawa getir.

"Hentikan, Freya." Sorot Alvaro berubah serius. "Aku tidak ingin mendengarmu merendahkan diri. Aku akui salah mengabaikanmu belakangan ini. Akan kujelaskan semua di waktu dan tempat yang lebih baik. Aku akan ke Bandung setelah acara selesai."

Kepala menggeleng. Berada di dekat Alvaro semacam kebahagiaan sekaligus kesedihan. Akal sehatku kadang tersingkir oleh kerinduan dan membutakan perasaan sendiri.

"Mas tidak perlu buru-buru. Mau besok atau minggu depan lagi juga tidak apa-apa. Aku baru pulang besok atau lusa. Nenek sudah memberi izin."

Sekilas kedua tangan Alvaro mengepal. Ia mungkin tidak mengira reaksiku akan menghindarinya. "Mau ke mana?" Nadanya kembali tenang tapi ketegangan masih kental terasa.

"Menginap di rumah teman. Aku butuh liburan walau sebentar."

"Ke mana?" ulang lelaki itu.

Dari kejauhan aku melihat Genta mendekat. Untuk pertama kali setelah putus aku bersyukur dengan keberadaannya. Alvaro kembali rileks. Perubahan sikapnya cukup mengesankan. Ia bisa mengganti suasana hati dari kesal menjadi tenang dalam waktu singkat.

Genta menyapa kami. Aku tahu ia hanya berbasa-basi tapi apapun niatnya, aku ingin menjauh sementara dari Alvaro. Tapi kenyataan jauh dari harapan yang membuatku justru terjebak dalam obrolan keduanya.

Selama pembicaraan Genta benar-benar bisa menempatkan diri. Ia sama sekali tidak membahas hubungan kami yang kandas. Ia justru sering mengeluarkan pujian tentangku.

Genta mengambil tempat di samping kiriku hingga posisiku menengahi kedua lelaki itu. Tubuhnya setengah membungkuk ke depan saat mengajak bicara Alvaro. Posisinya membuatku mau tak mau sering menatapnya demi terlihat mengikuti obrolan. Dan Gentapun sering melakukannya disela-sela menjawab pertanyaan Alvaro.

Selang beberapa menit Alvaro pamit. Kesan yang kudapatkan sangat biasa. Jauh dari kata marah atau sejenisnya. Genta bahkan sama sekali tidak menyadari keanehan selama pembicaraan kami hingga aku mendapat pesan masuk.

Azka mengirim sebuah pesan singkat dan padat. Pesan yang bisa membuatku dapat masalah jika tidak mematuhinya.

Pacarmu cemburu, Nona.

"Kenapa, Frey? Ada masalah?" tanya Genta memerhatikanku tersenyum kecut.

Dengan cepat ponsel kumasukan kembali dalam tas. "Oh cuma tanya kapan aku pulang."

"Siapa? Ibumu lagi di Bandung?"

"Bukan eh Ibuku tidak di Bandung cuma kemarin aku memberitahu akan pergi ke luar kota." Aku pura-pura melirik jam tangan. "Omong-omong kita pulang jam berapa?"

"Belum tahu. Mungkin sebentar lagi habis anak-anak selesai makan." Genta terdiam sesaat. Tangannya saling meremas. "Kapan-kapan aku boleh mengajakmu jalan? Jangan salah paham, maksudku bukan cuma kita berdua. Kamu boleh ajak teman-temanmu juga. Aku masih berharap kita bisa berteman seperti dulu."

"Aku tidak bisa janji. Kalau aku dan yang lain sedang ada waktu luang mungkin bisa kupertimbangkan."

Gentak mengangguk sambil tersenyum. Senyuman yang selalu membuat perempuan-perempuan tertarik mendekat. Dulu aku berpikir serupa. Sekarang rasa itu memudar.

Menjelang pukul delapan mobil yang kutumpangi membelah malam. Beranjak menjauhi gemerlap kota Jakarta. Aku terlalu lelah memikirkan kejadian tadi meski dalam lamunan. Sepanjang jalan mata terpejam diiringi alunan musik di telinga. Mia dan sebagian teman memilih beristirahat sementara yang lain masih sibuk mengobrol.

Ponsel sengaja kumatikan. Mengingat situasi yang kurang bagus dengan Alvaro, pilihan tidak mengangkat panggilan masuk akan menambah ketegangan.

Malam semakin larut saat kami tiba di kota tercinta. Aku tetap pada keputusan menginap di rumah Mia. Ia tidak keberatan, malah memaksa agar aku menemaninya lebih lama. Kebetulan rumahnya sedang kosong. Keluarganya baru kembali lusa dari luar kota.

Keesokan pagi saat baru saja menyalakan ponsel, sejumlah panggilan tak terjawab dan pesan masuk bermunculan. Beberapa dari Nenek Euis, Azka, Ditto dan sisanya tidak lain Alvaro. Lelaki itu rupanya pulang ke Bandung setelah acara selesai seperti perkataannya malam kemarin.

Mia memintaku mandi dan makan lebih dulu sebelum menjawab telepon Alvaro. Ia memerhatiakan kami berdua acara makan bersama. Ditto dan Bian duduk bersamanya. Keduanya ingin membantu tetapi Mia menahan mereka untuk ikut campur. Selain itu Amanda juga sempat beramah tamah dengan mereka dan secara tidak langsung menyebut hubungannya dengan Alvaro sebatas teman.

"Halo," sapaku pada penelepon setelah panggilan masuk terdengar untuk kesekian kali.

"Kamu di mana?" Seperti biasa ketenangan Alvaro layak dapat pujian.

"Di rumah Mia."

"Nanti siang aku jemput."

"Aku belum mau pulang."

"Frey."

"Ini hari libur aku, Mas."

Helaan napas mengambang di seberang. Kebisuan menambah ketegangan di perut. Makanan yang masuk hampir saja keluar lagi.

"Nenek menghubungimu semalam. Kamu sudah melihat pesannya?"

Jangan membawa Nenek dalam masalah kita, umpatku dalam hati. "Sudah."

"Lalu?"

"Nenek sudah kenyang melihatku. Yang Nenek ingin lihat itu, Mas. Aku masih kesal. Biarkan aku sendiri, satu hari saja."

"Baiklah tapi jangan biarkan ponselmu mati. Kalau kamu sulit dihubungi, aku akan menjemputmu, di manapun kamu berada."

"Ok."

"Sudah makan?"

"Barusan."

"Berikan ponselmu sama Mia." Aku melakukan perintah Alvaro tanpa menunggu lama. Mia yang sedang duduk di sebelahku sempat kebingungan. Ia paham sewaktu aku menyebut nama Alvaro tanpa suara.

Mia menatapku sambil menjawab telepon. Kepalanya kadang manggut dan menyebut kata iya berulang kali. Lima menit berlalu ia mengambalikan ponsel dalam keadaan panggilan sudah selesai.

"Alvaro bilang apa?"

"Aku diminta jadi bodyguardmu hari ini."

"Terus kamu bilang apa?"

"Ya aku terima dong soalnya berbayar," ucapnya diiringi cengiran.

Aku menggeleng sebal. Sikap Alvaro yang mendadak perhatian membuatku meragukan kemampuan diri sediri. Takut jika terlalu menyukainya akan membuat logika kalang kabut. Membuat perasaan tidak jelas dan uring-uringan seperti saat ia berhalangan datang ke Bandung.

Mia mengajak pergi jalan ke sebuah kafe untuk bersantai dan menikmati malam malam. Sebelumnya kami menemui tetangganya. Aku sudah berjanji cukup lama untuk menjadi guru privat untuk anak mereka. Seorang remaja lelaki menyambut kami. Ia termasuk ganteng. Dengan rambut agak ikal dan bertubuh tinggi. Tatapannya tajam, terkesan ingin mengomeli kami. Awalnya kupikir bantuanku tidak dibutuhkan mengingat kesan pertama sepertinya kurang meyakinkan hingga ibu anak itu mengatakan anaknya setuju aku jadi gurunya. Waktu dan system belajarpun diserahkan padaku mengingat tugas kuliahku kadang tidak bisa diprediksi.

"Ganteng kan? Mudah-mudahan Biru tidak mengikuti jejak Genta. Tapi kalau dari cerita ibunya, anak itu bandelnya setengah mati. Mudah-mudahan kamu banyak bersabar. Kasihan orang tuanya, sudah berapa banyak guru privat yang nyerah karena kelakuan bocah itu." Mia mengamati penampilannya di cermin.

"Tadinya aku mau tolak. Takut tidak bisa bagi waktu. Cuma kasihan juga liat ibunya."

Mia mengedip lalu berbalik meraih tas tangan miliknya di nakas. "Tenanglah. Sepertinya bocah itu menyukaimu. Ayo cepat taksi yang kupesan sudah datang."

Kami akhirnya sampai di kafe. Pilihan Mia kali ini berbeda dari biasanya. Tempat yang kami datangi lebih cocok di sebut hiburan malam. Dalam satu ruangan cukup besar terdapat beberapa spot. Bar, panggung untuk live musik dan area makan. Aroma rokok bercampur alkohol tercium di udara. Hentakan musik menggema, membuat sejumlah pengunjung mendekati panggung untuk menari atau sekadar menikmati dari dekat.

Kafe ini sedang banyak digemari walau makanannya tergolong mahal untuk dompetku. Weekend merupakan waktu paling ramai. Tak jarang harus reservasi dulu untuk bagian restoran karena mejanya terbatas. Sebenarnya sepupu Mia yang seharusnya berada di sini. Berhubung terlanjur reservasi dan membayar full, ia menawari Mia menggantikannya karena tiba-tiba ada acara penting. Kami hanya tinggal duduk manis dan pulang dengan perut kenyang.

Pengunjung sebagian besar di dominasi anak muda. Mereka larut menikmati malam. Begitupula dengan kami yang asyik makan sambil mengobrol. Aku bahkan hampir sepenuhnya melupakan penyebab kejengkelanku.

"Hidup makanan enak dan tentunya gratis." Mia mengangkat minuman sodanya. Kamipun tertawa bersama.

Semua berjalan seperti biasa. Tidak ada yang aneh hingga seorang lelaki mendekati meja kami. Tubuhnya agak limbung, membuatku khawatir ia akan jatuh. Dan orang-orang akan menganggap kami perusak suasana. Ia tiba-tiba duduk di sampingku. Rayuan meluncur dari mulutnya yang berbau alkohol. Ia mengatakan menyukaiku dan bertanya banyak hal yang membuatku semakin tak nyaman.

Beruntung seorang lelaki bergerak cepat menghampiri kami sebelum kegaduhan terjadi. Genta, kami rupanya berada di tempat yang sama.

"Jangan macam-macam. Mereka temanku," gertak Genta. "Pergi sebelum security datang atau kamu ingin menjadi tontonan saat aku menyeretmu?"

"Kamu pikir aku takut denganmu bocah!" Suara musik meredam bentakan lelaki itu dari telinga pengunjung lain. Jarak meja yang berjauhan membuat sekeliling belum menyadari kekacauan. 

Aku mencoba memerhatikan sekeliling tapi hingga waktu berlalu tidak ada satupun yang menampakan diri sebagai teman lelaki ini. 

Lelaki yang mabuk itu tidak menyerah. Dari perawakan dan umur, ia terlihat lebih besar dan tua dari Genta. Aku ingin segera mengakhir pertikaian sebelum semua mata memandang ke arah kami tapi lelaki itu malah menggenggam pergelangan tanganku.

Mia mencoba menahan diri dan membiarkan Genta menyelesaikan masalah tanpa keributan. Aku sendiri tidak terlalu menyukai perhatian apalagi karena hal buruk.

"Lepaskan aku dan kembali ke tempatmu,"pintaku setegas mungkin sambil menahan sakit di pergelangan.

"Panggil security saja, Ta. Ayo cepat." Mia semakin kehilangan kesabaran. Jika terjadi keributan kemungkinan besar Genta akan kalah tanpa bantuan.

"Selamat malam semua." Di tengah ketegangan sebuah suara yang kukenal mendekat. Kami terdiam dan sontak melihat ke sumber suara. Alvaro tersenyum, memerkan giginya yang rapih. 

Genta tidak bergerak sedikitpun dariku. Ia kembali melotot pada lelaki mabuk itu.

"Sekarang siapa lagi ini," gerutu lelaki itu. Ia melirik tajam padaku. "Kamu rupanya banyak penggemar tapi pura-pura sok polos. Berapa hargamu? Berapapun akan kubayar." Berulang kali aku berusaha melepaskan diri karena mual.

Lelaki itu kembali tersentak. Tangan ramping menahan bahunya. Alvaro setengah menunduk hingga tepat di telinganya. "Suasana hatiku sedang buru jadi sebaiknya kamu diam dan lakukan perintahku. Lepaskan tangan Nona ini lalu pergi. Aku beri dua pilihan, mau jalan sendiri atau security yang menendangmu keluar."

"Heh. Sedikit saja kamu melukaiku, aku bisa menjebloskanmu ke penjara," ucapnya tak peduli.

Alvaro menyeringai. "Laporkan saja tapi aku tidak bisa menjamin besok saat matamu terbuka tanganmu yang melukai Nona ini masih lengkap."

"Berani-beraninya kamu mengancamku! Kamu pikir kamu siapa."

Remasan tangan Alvaro di bahu lelaki itu menguat. "Ini baru peringatan. Jika kamu masih keras kepala, kupastikan bukan hanya tanganmu yang hilang." Ia sekilas menatapku dan melanjutkan bicara dengan suara sangat pelan yang mungkin tidak terdengar oleh Mia dan Genta. "Dan satu hal yang harus kamu ingat. Jangan pernah berani mengusik milikku kalau masih ingin hidup tenang." Lelaki mabuk itu menoleh padaku seolah tahu siapa yang dimaksud Alvaro.




tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro