Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chap # 13

Ekspresi Alvaro tak terbaca. Tatapannya mengarah pada layar laptop di pangkuanku. Benda itu ia balik menghadapnya. Tubuhku membeku, memerhatikan dengan kegelisahan yang nyaris tidak bisa ditenangkan. Rasa malu bercampur gugup berbuah getaran di jemari.

Kepala sontak menunduk, mencoba mengalihkan perhatian selain pada lelaki di hadapanku. Kediaman Alvaro suka tak suka menumbuhkan kecemasan.

"Ini film apa?"

Tenggorokanku masih sangat kering. "Romantis."

"Hm yeah, aku tahu itu." Suara geli Alvaro menggelitik seluruh indera tubuhku. Tangannya memutar kembali laptop ke arahku. "Kamu suka film seperti ini?"

"Tidak," bantahku cepat. "Temanku yang merekomendasikan. Aku belum selesai menontonnya. Tapi tokoh laki-lakinya lumayan tampan. Badannya juga bagus." Setiap kata yang terucap meluncur tanpa berpikir apakah layak atau tidak menjadi alasan menutupi gugup.

Senyuman Alvaro melengkung ke bawah . Sorot tajamnya menyipit. Sisi tempat tidur melesak begitu lelaki itu mengambil tempat menghadap ke arahku. "Pipimu semerah tomat hanya karena penampilan aktor itu?"

"Mas ke sini untuk membahas warna pipiku?"

Tangannya terulur, membelai pipi hingga sudut bibir. Jejak panas menempel lama melewati setiap sentuhan. Kepalaku mendadak kosong. Otak tidak bisa berpikir selain menginginkan Alvaro. Pemikiran itu nyaris meluluhkan pertahanan. Logika terpinggirkan oleh hasrat yang entah sejak kapan memanaskan seluruh tubuh.

Wajah Alvaro mendekat. Gerakannya pelan seperti sedang mengincar buruan. Kewaspadaanku berkurang seiring lekatnya pandangan kami. Jemarinya beralih dari bibirku, menyusup di antara helaian rambut di belakang kepalaku.

Aku kehilangan kata-kata.

Sebelum menyadari apa yang terjadi, Alvaro sudah menempelkan bibirnya di leherku. Aku tersentak sewaktu ia memagut kulitku cukup keras. "Itu hukumanmu."

"Hu... hukuman apa? Memangnya aku salah apa? Karena menonton film itu? " Tanganku mengusap sisa panas dan basah di leherku.

Mimik Alvaro semakin masam. Senyumannya tak lagi tersisa. Ia bangkit lalu berbalik, meninggalkanku yang kebingungan. Sosoknya menghilang di balik pintu.

Tenaga perlahan terkumpul setelah kepergian Alvaro. Mata terpejam sesaat, mencoba mengembalikan akal sehat. Momen memalukan telah berlalu.

Laptop segera kumatikan dan menaruhnya di meja. Desakan untuk buang air kecil memaksaku keluar dari persembunyian. Perasaan belum sepenuhnya lega saat keluar dari kamar mandi. Kini rasa haus mulai menggerogoti. Tenggorokanku benar-benar kering.

Kaki tertahan di depan pintu penghubung ke ruang utama selama beberapa menit. Tangan menyentuh kenop namun keraguan menahan menarik benda itu. Sikap Alvaro tadi membuatku bertanya-tanya apakah berada di ruangan yang sama dengannya adalah pilihan tepat atau sebaliknya. Perubahan ekspresi lelaki itu itu sangat membingungkan. Keramahannya berganti sorot tajam dalam hitungan detik. Aku tidak bisa melupakan kilatan emosi di bola matanya sebelum ia beranjak dari kamar.

Tapi keinginan menenguk segelas air dingin lebih menggoda daripada bayangan menakutkan Alvaro. Aku tidak perlu berlama-lama di dapur jika ingin menghindarinya.

Suasana ruangan di hadapanku sangat sepi saat memberanikan diri membuka pintu. Keberadaan Alvaro tidak terlihat di manapun. Ruangan tampak dingin. Jika dipikir kembali kamarku yang kecil jauh lebih hangat.

Kuhela napas lega sambil meneruskan langkah menyusuri koridor hingga tiba di ruang tengah sebelum bergerak menuju dapur. Keheningan sedikit membuat bulu roma merinding. Di hari biasa aku lebih banyak menghabiskan waktu di kamar dibanding berada di bangunan utama. Sekalipun situasi mengharuskan berlama-lama berada di salah satu ruangan ini kupastikan televisi menyala. Apapun jenis acaranya tidak masalah selama bisa menghidupkan suasana.

Aku meraih cangkir dari rak piring lalu mengisi air di dispenser. Suara air memecah keheningan. Perasaan beranjak tenang begitu cairan dingin mengalir membasahi kerongkongan.

Bunyi bel tiba-tiba terdengar. Cangkir di tangan hampir terlepas karena terkejut. Aku bergegas menaruh cangkir yang telah kosong di wastafel. Bunyi bel terdengar kembali saat menuju sumber suara. Mulutku mengerucut menyadari lampu di ruang tamu dalam keadaan mati. Dengan terburu-buru tanganku meraba-raba dinding, mencari saklar lampu dalam kegelapan.

Perhatian beralih melihat tamu yang datang begitu ruangan terang benderang. Seorang lelaki berusia sekitar akhir dua puluhan tersenyum di balik pintu. Ia memperkenalkan diri sebagai penjaga keamanan baru. Perawakannya tinggi dan kurus. Rambut hitam pendek membingkai wajahnya yang tergolong menarik dalam balutan safari serba hitam.

"Ada titipan makanan punya Pak Alvaro, Mbak," kata Pak Andi, nama penjaga keamanan baru itu.

Baru saja meraih paper bag dari salah satu kios kopi terkenal yang disodorkan, sebuah lengan tiba-tiba merangkul pinggangku dari belakang. "Ada apa, Pak?"

Pak Andi menundukan kepalanya lalu tersenyum. Sikapnya menunjukan kehati-hatian. "Tadi ada titipan pesanan makanan buat Bapak."

"Oh. Terima kasih." Alvaro menyodorkan selembar uang kertas berwarna biru pada Pak Andi. "Buat rokok," lanjutnya tanpa menunggu kesiapan si penerima. Pak Andi mengucapkan terima kasih dan tersenyum senang meski awalnya ragu.

"Masih ada perlu lagi?" Alvaro mempererat rangkulannya setiap merasa diriku ingin menjaga jarak.

Pandangan Pak Andi beralih padaku. Pandangannya turun ke bawah wajahku. Ia tiba-tiba tampak canggung seolah melihat pemandangan terlarang. "Tidak ada, Pak. Saya permisi dulu. Malam, Pak, Mbak." Lelaki itu mengangguk. Langkahnya tergesa-gesa meninggalkan kami.

"Pak Andi kenapa?"

"Masih ada pekerjaan mungkin." Alvaro memastikan pintu dalam keadaan terkunci sementara lengan yang lain masih merangkul pinggangku.

Sekuat tenaga aku melepaskan diri dari cengkramannya. "Makanan Mas mau ditaruh di mana?"

"Meja ruang tengah. Aku juga beli minuman untukmu." Alvaro mengikuti dari belakang. Ia seperti sengaja tidak menyusul atau menjajari langkahku. "Kita bicara sebentar ya." Tekanan dalam setiap kata menyiratkan tidak boleh dibantah.

"Baik."

"Kamu tunggu di sini. Aku ke ruang kerja dulu." Alvaro menjauh menuju ruangan tempat ia biasa habiskan saat bekerja.

Kuhempas tubuh di sofa setelah meletakan paper bag pesanan Alvaro di meja. Lutut terasa tak bertenaga. Kaki kuluruskan sambil sesekali melirik ke arah ruang kerja. Ruangan itu masih tertutup rapat. Menit demi menit berlalu tetapi belum ada tanda kemunculan Alvaro.

Dengan gelisah, setengah meredam berbagai prasangka penyebab lelaki itu berada di dalam ruang kerja, aku menyalakan televisi untuk mengalihkan perhatian. Dalam bayangan Alvaro sedang menatap penuh kasih pada layar laptopnya. Teringat pada seseorang yang dikasihinya hingga melupakan janjinya beberapa menit lalu.

Seorang pembawa acara tampak menyiarkan berita tentang pembunuhan. Seorang perempuan dibunuh dengan brutal oleh mantan kekasihnya karena cemburu. Berita semacam ini selalu membuatku ngeri. Aku tidak menyukai kekerasan, sebisa mungkin menghindari konfrontasi apalagi jika memakai kekuatan fisik.

Perasaan muram belum hilang, bahkan semakin memburuk meski telah mengganti saluran ke acara musik. Aku mencoba menepis dugaan, menyalahkan imajinasi yang di luar kendali. Genta tidak mungkin berniat seperti berita tadi. Lelaki itu selalu menjaga reputasinya. Selama ini ia pun tidak pernah bertindak kasar. Hubungan kami mungkin sulit kembali seperti dulu. Ia memang mengatakan belum rela melepaskanku tetapi aku yakin ia akan memilih cara lebih elegan dibanding melakukan tindakan kriminal.

Tangan mengusap wajah. Ketegangan karena cemburu mungkin penyebab pemikiran buruk. Aura negatif yang tidak kusukai.

"Kenapa cemberut?" Usapan lembut menyentuh kepalaku.

"Tidak apa-apa." Senyumku kembali menyungging.

Alvaro mengambil tempat tepat di sampingku. Lengannya perpindah dari kepala ke pundakku. Ia terlihat sangat santai. "Ngantuk?"

Kepalaku menggeleng. Otak dan badan selalu bertolak belakang jika menyangkut Alvaro. "Mas mau bicara apa?"

"Kita akan menonton film."

"Nonton film?"

"Ya."

"Kenapa?"

"Karena itu kegiatan umum setiap pasangan."

"Bukannya tadi Mas kelihatanya tidak berminat menonton film."

"Kamu mau nonton film apa?" Alvaro mengabaikan kebingunganku. Tangannya yang bebas meraih remote di meja lalu memindahkan saluran ke langganan film berbayar.

Deretan film menunggu untuk dipilih. Aku memerhatikan satu persatu judul. Sejumlah film dari berbagai genre sudah pernah kulahap. Beberapa di antaranya menarik untuk ditonton ulang terutama tema horror berhubung ada teman di samping. Tapi aku segera mengurungkan niat. Adegan menyeramkan atau mengejutkan mungkin akan membuatku terlalu terbuai suasana.

Sekalipun kedekatan kami sudah naik satu tingkat, aku masih harus menahan diri agar tidak terjebak dalam situasi yang mungkin akan kusesali. Aku menyadari daya tarik Alvaro sulit diabaikan bahkan sering kali menepikan akal sehat ke urutan terakhir. Berada di dekatnya memang menyenangkan. Hati kecil mengakuinya. Hanya saja bermain dalam hubungan kami harus pandai tarik ulur. Tahu kapan merasa lepas dan sadar saat untuk menahan diri.

"Bagaimana kalau itu?" Setengah layar dipenuhi sebuah poster film.

Tenggorokanku tercekat. Film yang di maksud Alvaro adalah film yang tadi baru kutonton. "Yang lain saja."

"Aktornya ganteng lho."

"Kita nonton itu saja gimana?" jawabku cepat lalu menyebut asal sebuah judul action.

"Kamu suka film action?"

"Tergantung pemeran sama jalan ceritanya asal tidak terlalu banyak darah."

Alvaro semakin merapatkan tubuh kami. Aku menurut dan mengabaikan perasaan aneh yang semakin menjadi. Ia menyuruhku mengambil minuman yang baru dibelinya. Rupanya Alvaro juga membelikanku. Meski ia tersenyum, aku merasa perlakuannya tak istimewa.

Kami menghabiskan waktu memandangi layar kaca selama satu jam lebih. Filmnya lumayan menarik. Aktornya pun tidak hanya pandai memainkan peran, gaya bicara dan penampilannya memanjakan mata. Seharusnya semua berjalan lancar andai mampu mengabaikan keberadaan Alvaro.

Permasalahannya ada padaku. Memokuskan pandangan pada satu titik ke depan terasa berat ketika keinginan melirik menguat seiring menyadari betapa besarnya pesona Alvaro. Situasi ini membuatku gila karena harus meredam berbagai emosi.

"Menurut kamu, menonton bersamaku tidak menyenangkan?"

"Tentu tidak."

"Lalu kenapa kamu tegang sekali?"

"Aku biasa saja kok."

"Kalau begitu rileks." Ia mendorong pelan kepalaku bersandar di lehernya. "Aku kekasihmu bukan musuhmu."

"Sepertinya menjadi musuhmu sangat mengerikan ya?"

Bulu roma sempat merinding saat tak sengaja mendongkak ke arahnya. Bibirnya menyungging senyuman tetapi tatapannya setajam pemangsa buas. "Mungkin."

*****

Alvaro.

Dalam waktu singkat ia berhasil menggoyahkan rencana yang telah kususun dengan matang. Mimpi-mimpi tentang masa depan termasuk seperti apa sosok lelaki idaman kelak.

Pertemuan kami bukanlah bagian dari perkiraan, bahkan mendekati harapanpun tidak. Kami berasal dari lingkup yang berbeda. Ia terbiasa di antara bintang-bintang sementara aku cukup nyaman berjalan di bumi.

Tapi takdir membawa kami ke tempat yang sama. Meski begitu aku tetap tidak berpikir akan terperangkap dalam sandiwara membingungkan bersamanya. Posisiku serba salah, sulit keluar dari kubangan tanpa berakhir drama. Aku menyadari hal itu.

Kebohongan demi kebohongan kadang membuatku kewalahan. Cepat atau lambat Mama mungkin akan menyadari kebiasaanku hanya pulang seminggu sekali. Sementara untuk Genta, andai ia benar-benar move on setelah perpisahan kami, situasinya tidak akan serumit ini. Ketidakpeduliannya akan membantu menutup mulut usil orang-orang di kampus.

Aku harus memikirkan cara ampuh agar ia mengerti, memahami bahwa kemungkinan kami bersatu lagi sangat kecil. Terlebih setelah lepas darinya semua terasa lebih enteng dan nyaman. Tidak ada aturan menjengkelkan, larangan tak masuk akal dan permintaan-permintaan bersifat egois.

Tapi untuk menyelesaikannya aku perlu memperjelas jenis hubungan seperti apa yang Alvaro inginkan. Kebaikannya, kemesraannya atau kalimat manis tidak selalu berbanding lurus dengan keseriusan. Hubungan kami masih abu-abu. Sekalipun ia mengucap kata cinta, aku pasti masih mempunyai celah keraguan. Dan semua membutuhkan waktu hingga aku bisa menarik kesimpulan sendiri.

Apakah hubungan kami sebatas permainan atau sesuatu yang memiliki makna layak diperjuangkan.

Aku memikirkan semua itu dengan sungguh-sungguh sejak kami menonton bersama. Ia menunjukan rasa kepemilikan terhadapku. Sikap itu jelas terbaca setiap tanpa sadar aku mengungkapkan kegaguman pada actor di layar kaca. Sesuatu yang menurutku sangat aneh karena seharusnya lelaki seperti Alvaro tidak perlu terganggu oleh sesuatu semacam itu.

Ia memiliki daya tarik, pesona yang mampu menarik mata siapapun melirik ke arahnya. Penampilannya tak kalah hidup dengan deretan lelaki tampan di majalah.

Alvaro sering menatapku dan sama sekali tidak menyembunyikan aksinya. Kemanapun aku bergerak seolah di awasi mata elangnya. Pengawasannya membuatku risih karena biasanya ia lebih banyak berada di kamar atau ruang kerja.

Dan satu lagi kebiasaan barunya, tanpa peduli dengan pendapatku, ia akan mengikuti saat aku kembali ke kamar untuk istirahat. Selama beberapa menit Alvaro menikmati kebingungan perempuan di hadapannya. Mulutnya tetap terkatup hingga perutku mulas oleh ketegangan sebelum akhirnya memberi kecupan di kening dan ucapan selamat malam.

Hari kedatangan Nenek Euis pun tiba. Ia tiba bersama orang kepercayaannya yang akan menemani selama tinggal di sini. Aparteman yang sepi berubah ramai. Beberapa pekerja bergantian membwa sejumlah barang milik Nenek Euis.

Alvaro hanya diam walau sepertinya terganggu karena kesunyiannya dirusak. Bantuanku ditolak Nenek Euis. Ia sudah cukup senang melihatku akur dengan cucunya.

"Kenapa kamu merengut setiap melihatku?" Alvaro menarikku duduk di sampingnya sementara Nenek Euis masih sibuk mengomandoi sejumlah pekerja.

Aku menunjuk leher yang tertutup kerah kemeja. "Ini."

Alvaro tersenyum lebar. 'Jejak merah' buatannya baru kusadari saat bercermin. "Itu hukuman."

"Memangnya aku salah apa?"

"Membuatku kesal."

"Kesal? Kapan?"

"Tidak perlu dibahas. Aku tidak suka mengingat hal buruk."

"Aku harus pergi sekarang, Mas."

Lirikan Alvaro menajam. "Ke mana?"

"Kampus. Aku sudah melewatkan mata kuliah pertama." Mataku berputar ke arah jam tangan."Apa hari ini aku boleh pulang sebentar ke rumah?"

Helaan napas panjang sama sekali bukan pertanda bagus. "Sebelum jam sembilan sudah sampai di apartemen. Nenek datang ke sini karena ingin melihat kita."

"Kalau besok gimana?"

"Aku kembali ke Jakarta pagi sekali."

"Ok. Aku pulang malam ini."

"Bagus." Alvaro bergegas bangkit. "Bersiaplah. Kita pamit dulu sebelum berangkat."

Kenungku berkerut saat bangkit. "Kita."

"Ada yang aneh?"

"Tentu saja aneh. Aku sudah bilang kalau... "

Salah satu telunjuk Alvaro terangkat. "Aku mengantar pacarku sendiri. Di mana letak anehnya?"

"Sampai gerbang kampus. Titik."

Alis Alvaro menyatu. Balasanku bukan seperti harapannya. "Cepat. Ambil barang-barangmu."

Tanpa menunggu lebih lama aku setengah berlari menuju kamar. Ingin rasanya memaki karena Alvaro memperumit situasi. Seharusnya ia menemani neneknya hingga aku kembali. Dengan begitu aku lebih mudah menyusun rencana bicara dengan Genta hari ini.

Nenek Euis tersenyum melihat kebersamaan kami. Sikapku masih kaku dan canggung. Alvaro menunjukan reaksi sebaliknya. Lengannya melingkar di pinganggku, menatap lembut hingga semua orang di sekitar mengira kami sedang kasmaran.

"Nenek senang?" tanya Alvaro.

"Tentu saja. Kalian serasi sekali."

"Bagus." Alvaro mengecup pipi neneknya. "Aku kembali setelah mengantar Freya ke kampus."

"Kalian berdua hati-hati ya." Mimik senang Nenek Euis membuatku lega. Gurat-gurat kelelahannya seolah tersamarkan. Aku mencium punggung tangannya sebelum pamit.

Selama dalam perjalanan kepalaku dipenuhi alasan menghindari pertemuan Genta dan Alvaro. Kami memang pernah pergi ke luar di mana selalu ada kemungkinan bertemu Genta. Tapi aku tidak berharap itu terjadi di kampus, dunia yang selama ini ingin ketenangannya kupertahankan hingga lulus.

Tapi mengabaikan sepenuhnya Alvaro nyaris mustahil. Keinginan memperhatikan sosok itu selalu datang menggoda. Ekspresinya saat memerhatikan jalanan tampak serius. Kaus hitam pas badan dan jeans senada memperlihatkan garis-garis tubuhnya yang atletis. Ia begitu tenang sekaligus misterius. Jantung hampir berhenti berdetak setiap kali ia menoleh begitu menyadari aksiku mencuri pandang.

Senyumnya merekah. Tawanya terdengar renyah. Untuk sesaat aku merasa sedang bermimpi. Semua terasa indah disebut kenyataan.

"Mas, aku turun di depan kios fotocopy sebelum gerbang." Mataku memerhatikan perempatan jalan menuju kampus.

"Takut ketemu Genta?"

Tubuh mendadak kaku. Tebakan Alvaro tepat sasaran. "Kemungkinan tidak bertemu Genta hanya saat ia lulus atau pindah kampus," ucapku pura-pura tenang.

"Jadi bukan Genta?" ulangnya, kali ini nadanya lebih rendah.

Kepalaku menggeleng cepat. Hati kecil berdoa bisa secepatnya keluar dari kendaraan ini. "Bukan," dalihku percaya diri di atas kebohongan.

Ketegangan semakin melilit setiap indera tubuh. Perasaan mendadak super sensitive, khawatir memancing kecurigaan Alvaro. Lelaki itu kembali fokus, melewati kemacetan dengan gerakan santai hingga kami berhenti di tempat yang kutunjuk.

Aku mendesah lega dalam hati karena kios sedang sepi. Alvaro memperhatikanku yang mati-matian bersikap normal saat membuka seatbelt. Ia menyilangkan kedua lengannya di kemudi dengan tatapan melekat erat setiap jengkal jiwaku.

"Pulangnya aku jemput."

"Tidak usah. Kasihan Nenek. Lagian aku mau ke rumah sebentar." Senyumanku sekaku batu. "Aku pergi dulu. Terima kasih tumpangannya."

"Tunggu."

Gerakan tanganku yang akan membuka pintu terhenti. "Ya?"

"Lihat mataku, Freya."

Perintahnya menghipnotis kesadaranku. Dengan mudah aku mengikuti keinginannya. Seraut wajah tampan menjadi pemandangan yang sulit diabaikan. Pandangan kami terkunci dalam kesunyian.

"Kamu masih menyukai Genta?"

"Dulu iya, sekarang aku menyukai lelaki lain."

Rahang Alvaro menegang. Kepalanya yang bersandar pada lengan kini terangkat. "Siapa?"

Irama jantungku menari-nari, seakan mencemooh upayaku menghindari kebohongan. Selama beberapa detik aku termangu. Detik berikutnya tubuhku condong ke arah Alvaro dan mendaratkan ciuman singkat di pipi lelaki itu. "Lelaki yang baru saja aku cium pipinya." Getaran halus merambat di sekujur tubuh, terkejut oleh keberanian diri sendiri melakukan hal semacam itu tanpa memedulikan keadaan sekitar. "Sekarang aku boleh pergi?"

"Belum."

"Masih belum percaya?"

"Aku masih melihat keraguan di matamu, Frey."

"Kalau begitu Mas turunkan aku di kampus saja."

"Jangan, kamu mau fotocopy kan."

"Lalu aku harus gimana supaya Mas percaya?"

Ia mengedip nakal. "Kamu ada ide?"

"Terserah, Mas saja deh." Kepalaku benar-benar buntu.

"Ciuman sebelum tidur, gimana?" Permintaannya yang blak-blakan membuatku terbatuk.

Semburat merah terasa menghangat di pipiku. "Pipi."

"Cuma pipi," desahnya dibuah seakan menahan kecewa.

"Kalau Mas baik mungkin aku bisa pertimbangkan lebih dari itu."

Alvaro tertawa senang. "Lebih dari itu? Kamu yakin, Sayang?"

Wajahku semakin memerah mendengar nada antusias lelaki itu. "Maksudku di bibir bukan macam-macam."

"Bibir yang mana?"ucapnya sambil memasang wajah tanpa dosa.

"Mas!"

Derai tawa Alvaro menyisakan senyuman kemenangan. "Deal, Sweetheart."

Lututku tak bertenaga setelah keluar dari mobil. Bayangan Alvaro belum menghilang dari ingatan meski kendaraannya baru saja berputar arah. Belum sempat memulihkan diri mataku tiba-tiba menangkap seseorang dari arah gerbang kampus. Ia berjalan cepat ke arahku dengan gerakan terburu-buru. Semakin lama sosok itu semakin jelas.

"Siapa yang mengantarmu tadi?" Genta menghadang langkahku. Rambutnya yang biasanya rapih kini terlihat berantakan. Matanya dipenuhi kilatan emosi. "Jangan berkelit. Belakangan ini sikapmu berubah. Bukan sekali atau dua kali aku mendengar ada yang pernah melihatmu bersama laki-laki dan siapapun itu bukanlah salah satu dari teman-temanmu. Katakan, siapa laki-laki sialan itu, Frey!"

tbc

Maaf lama menunggu ya. Sampai jumpa di update selanjutnya. Sehat selalu semua. Love you all ^^ 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro