chap # 11
Mia menemaniku menunggu Alvaro di halaman depan restoran. Kami setengah hati menuruti tawarannya mengantar pulang sementara Azra sudah lebih dulu menghilang bersama motorku. Keresahan memancar di bola mata cokelat perempuan itu. Helaan napasnya berhembus pendek seakan kepalanya terisi banyak masalah.
"Masih marah?" tanyaku pelan. Sepanjang acara makan malam tadi Mia memerhatikanku dengan saksama. Perhatiannya membuatku sedikit risih. Keramahan yang ditunjukan Alvaro pasti menghernkan. Sikap mesra lelaki itu bahkan membuatku berpikir ada yang salah dengan kepalanya.
"Oh aku masih luar biasa kesal. Ayahku sudah sangat menjengkelkan sekarang ditambah sahabat dekatku," dengusnya sambil bersidekap. Tatapannya menuntut kejujuran. "Siapa lagi yang tahu soal hubunganmu dengan bos?"
"Ceritanya panjang. Hubungan kami tidak seperti yang kamu bayangkan." Aku diam sejenak, mengamati raut manis di samping yang tengah merengut. "Cuma Ditto."
"Ya ampun. Jadi selama ini kalian sengaja menyembunyikan rahasia dariku? Apa aku bukan sahabatmu lagi?"
"Bukan begitu. Aku hanya belum menemukan waktu yang tepat. Hubunganku dan Alvaro juga belum lama." Kucoba mencari pembelaan diri paling masuk akal. "Sudah kubilang tadi masalahnya terlalu rumit. Kami bukan pasangan sesungguhnya. Hubungan ini punya batas waktu."
"Maksudmu semacam kontrak? Berapa lama?" Mia terbelalak. "Jangan bilang kalau kalian melibatkan... "
Kepalaku menggeleng cepat menyadari apa yang ia pikirkan. "Tidak ada tindakan yang mengarah ke hubungan semacam 'itu'," ucapku cepat lalu melirik sekitar, memastikan suaraku tidak menarik perhatian. "Dengar ini sudah malam. Aku akan ceritakan nanti tapi yang pasti hubungan kami tidak lebih dari kesepakatan."
"Tentu saja kesepakatan. Pada umumnya pasangan yang pacaran awalnya dari kesepakatan menjalin hubungan. Kamu mau menipuku?"
Aku menggaruk kepala yang sama sekali tidak gatal. Mia sangat keras kepala jika rasa ingin tahunya muncul. Sifatnya yang satu ini kadang sangat menjengkelkan. "Kesepakatan yang kumaksud sama sekali tidak melibatkan perasaan. Hanya semacam kontrak kerja. Lebih ke pura-pura jadi pacar."
"Benarkah?" Pandangan Mia beralih ke depan. Sebuah mobil mendekat tidak jauh dari tempat kami menunggu. "Reaksi kalian terlalu natural untuk pasangan yang katanya cuma pura-pura. Kamu kelihatan menikmati perhatian bosmu. Dan memangnya kamu harus memanggilnya Mas? Tidak sekalian bilang Sayang?"
Kusikut lengan Mia. Penjelasannya melukis rona di wajahku. Sikap Alvaro selama makan malam membuatku cukup terlena, mengaburkan tekad untuk menjaga jarak. Berada di dekatnya dalam kondisi seperti tadi memang nyaman. Sejenak aku berpikir kami memang pasangan sungguhan.
"Apapun panggilanku sama Alvaro semuanya hanya demi pencitraan. Supaya aku terbiasa di depan Nenek Euis."
"Tapi kamu memang suka sama Alvaro. Anggap saja ini semacam undian berhadiah. Omong-omong pencitraan kalian buat siapa sih?"
"Siapa lagi kalau bukan Neneknya Alvaro." Siluet seorang perempuan paruh baya dengan raut tegas melintas di kepala. "Entah kenapa ia tiba-tiba saja memiliki ide ajaib. Ia mencoba menjodohkanku dengan Alvaro setelah cucunya menolak dikenalkan sama cucu temannya."
"Alvaronya mau?"
"Menurutmu?" gerutuku.
Mia nyengir. "Yah, sikapnya sama kamu tadi memang meyakinkan sih. Ia kelihatan sunguh-sungguh menyukaimu. Aku tidak melihat reaksi serupa waktu kita pertama kali makan bersamanya."
"Pokoknya hal ini tidak boleh sampai bocor sama siapapun di kampus. Kamu sama Ditto harus tutup mulut. Aku tidak ingin menambah drama sama Genta kalau ia sampai tahu."
"Masalah kalian tidak selesai-selesai juga? Kalian punya kehidupan masing-masing."
"Terakhir kami bicara ia masih keras kepala. Genta bilang ia belum menyerah. Bisa dibayangkan kalau hubunganku dan Alvaro ketahuan. Apa jadinya nanti kalau waktu kontrak kerjasama kami selesai? Pada akhirnya aku bukan siapa-siapa yang perlu Alvaro lindungi."
"Kamu berpikir terlalu jauh."
"Dulu aku juga tidak pernah mengira hidupku akan berubah sebelum ayahku meninggal. Berpikir akan tetap hidup nyaman tapi takdir berkata lain. Dan sekarang aku harus memilah risiko terkecil. Bagian terburuk karena setelah hubunganku dan Alvaro selesai adalah aku masih harus menghadapi Genta. Aku akan kembali ke dunia sebelum Alvaro memasuki hidupku."
"Menyebalkan sekali ya." Mia menghela napas panjang tepat pada saat sebuah mobil berhenti di depan kami. "Kamu lebih terkekang daripada saat masih pacaran. Perasaannya padamu benar-benar tidak sehat. Kamu harus tetap waspada. Alvaro tahu?"
Aku mengangguk pelan. "Ya tapi itu bukan urusannya. Sudahlah, kita lanjutkan obrolannya nanti. Kepalaku jadi pusing karena masalah ini."
Mia meraih jemariku. Remasan lembutnya terasa hangat. "Ingat. Kamu tidak sendiri. Kamu masih bisa mengandalkanku dan yang lain. Jangan menyimpan semua sendiri terutama kalau hidupmu dalam bahaya."
"Terima kasih. Aku akan lebih hati-hati sama Genta."
"Bukan cuma Genta. Jika kamu tidak yakin sama perasaanmu sama Alvaro. Sebaiknya persiapkan diri dari sekarang atau jaga hatimu supaya tidak patah kalau laki-laki itu pergi."
Jendela mobil yang berhenti di depan kami terbuka. Seraut wajah tampan tersenyum dari balik kemudi. Perutku melilit menghadapi keramahan tak terduga Alvaro. "Ayo masuk."
Acara makan malam merupakan awal mula kesibukan di hari-hari berikutnya. Suasana sepi yang biasa menyambutku di apartemen terusik oleh sejumlah orang. Mereka membawa sejumlah barang ke kamar yang akan Nenek Euis tinggali.
Aku tidak dilibatkan sama sekali. Azra mengurus semuanya tanpa meminta bantuan. Ia bahkan menolak tawaranku membantunya. Alvaro memintanya tidak menyuruhku melalukan apapun selain kuliah dan tidak ada alasan baginya untuk melanggar perintah.
Selain tempat tidur single bed, beberapa koper dan tas besar dimasukan ke kamar tamu. Azra menyuruh orang-orang itu mengubah posisi perabotan hingga tidak terlihat penuh. Aku menyakini ada tambahan orang baru yang akan menemani Nenek Euis.
Azra mengamatiku yang memerhatikan barang-barang yang di bawa masuk ke apartemen. Aku cukup tertarik pada kursi goyang dengan ukiran dedaunan yang menghias kedua sisi kursi. Benda itu terlihat antik, sekilas mirip dengan kursi goyang milik nenekku.
"Kamu tahu, itu kursi goyang kesayangan Nenek Euis. Ia memaksa membawa benda itu karena tidak bisa berjauhan terlalu lama. Aku sarankan kamu tidak merusaknya," kata Azra masih dengan senyuman manis. Ia berdiri sambil membawa catatan.
"Kursi goyang itu pasti punya kenangan manis."
"Memang tapi bukan karena keluarga melainkan hasil rebutan dari musuh bebuyutan waktu muda."
"Serius?" Keningku berkerut membayangkan Nenek Euis saat masih berseragam sekolah. "Memangnya jaman dulu masanya rebutan kursi goyang?"
Lelaki itu terkekeh geli. "Bukan tapi lebih ke kepuasan saat berhasil mendapatkannya. Waktu SMA Nenek Euis punya musuh bebuyutan. Singkatnya mereka suka sama satu laki-laki. Persaingan keduanya sudah diketahui satu sekolah. Nah, kebetulan laki-laki itu punya kursi goyang dan entah kenapa punya ide siapapun yang dapat kursi goyang itu ialah pemenangnya."
"Lucu ya." Aku tidak bisa menahan senyum membayangkan aksi Nenek Euis kala remaja. "Jadi laki-laki itu memilih Nenek Euis?"
Bahu Azra terangkat. "Tidak juga. Sampai sekarang masih abu-abu karena kursi goyang itu dikirim setelah mereka lulus sekolah tapi lelaki itu menghilang. Dan Nenek Euis menikah sama orang lain."
"Namanya juga remaja kadang suka melakukan hal konyol apalagi kalau sudah menyangkut hati."
"Kamu sendiri gimana? Hati kamu nyangkut sama siapa?"
"Ya Al... Alam yang akan menentukan." Kepalaku berpaling ke arah lain, menyembunyikan kikuk karena hampir menyebut nama Alvaro. "Semesta itu misteri seperti perasaan."
"Perasaan?" Nada geli dibalik suara Azra tak kugubris.
"Apa sekarang aku akan diberi tugas?" balasku balik bertanya.
"Tidak. Alvaro akan mengomel kalau tahu."
"Kalau begitu aku permisi dulu. Ada tugas yang harus dikerjakan." Tubuhku berbalik, bergerak cepat meninggalkan Azra. Berulang kali kutepuk bibir karena lengah dan hampir mempermalukan diri sendiri.
Aku terus berjalan, melewati ruang tengah hingga menuju pintu belakang yang menghubungkan ke arah kamar. Seharusnya diriku tidak perlu gugup. Selama ini Azra bukan tipe pengadu atau usil. Ia pemerhati yang baik hati. Jarang sekali keluhan meluncur dari mulutnya menghadapi sikap Alvaro.
Tapi rasa cemas sulit kuindahkan begitu membayangkan Alvaro walau ia berada puluhan kilometer dari tempatku berada.
Kamar menjadi tempat pelarian yang nyaman. Alvaro meminta orang suruhannya mengubah kamarku lebih layak ditinggali. Tempat tidur nan empuk mengganti yang lama. Di bagian bawah sengaja dibuat laci untuk menyimpan barang atau pakaian. Rak buku menempel di bagian atas meja belajar yang bisa dilipat ke dinding. Keramik berganti parket dengan hiasan karpet bulu. Cat yang kusam kini dilapisi wallpaper bercorak bunga sakura berwarna merah muda. Televisi berukuran tidak terlalu besar menggantung di seberang tempat tidur sebagai hadiah hiburan.
Alvaro melakukannya karena permintaan Nenek Euis. Pernyataannya membuatku kecewa sekaligus senang. Di satu sisi perhatian Nenek Euis melegakan kekhawatiran sementara di sisi lain menambah keraguan pada Alvaro.
Kurebahkan tubuh di tempat tidur. Mencoba beristirahat sejenak dari kekacauan yang menguasai kesadaran. Kedamaian singkat ini akan berakhir setelah Nenek Euis menghuni apartemen. Entah apa yang akan terjadi padaku, pada Alvaro dan pada keseluruhan hidupku.
Terlebih aku harus semakin hati-hati mengarang cerita pada Mama. Sesering mungkin menyempatkan pulang ke rumah meski hanya satu jam agar tetangga tidak mengatakan hal aneh pada Mama. Aku pun harus bernegosiasi dengan Alvaro tentang waktu libur. Jika menilik keadaan kamar Nenek Euis, sepertinya ia tidak akan datang sendiri. Ia akan ditemani seseorang hingga kekhawatiranku sedikit berkurang saat berada di rumah.
Ketukan di pintu menyeretku kembali ke kenyataan. Setengah malas-malasan kupaksa tubuh bangkit dari tempat tidur, menyeret kaki untuk melihat siapa yang datang.
Azra mematung begitu pintu terbuka. Senyumannya masih menyungging. Ia memberitahu kalau orang-orang yang membawa barang sudah pulang. Ia memintaku ikut bersamanya ke ruang tengah untuk memberi laporan pada Alvaro melalui vidio call.
"Bapak tidak perlu repot. Kenapa tidak menelepon saja?" tanyaku saat mengikutinya.
"Tadi sekalian memeriksa keadaan di bagian belakang. Nenek Euis menyukai tanaman. Ia berpesan untuk membeli sejumlah tanaman hias dan nanti ditaruh di sekitar kamarmu."
Aku diam sejenak. Hobi bercocok tanam bukan sesuatu yang aneh tapi area belakang tidak terlalu luas. "Mm Pak Alvaro minggu ini tidak datang ya?"
"Datang kok. Ia memintaku pergi lebih awal untuk mengurus kebutuhan Nenek Euis. Besok ia menyusul naik kereta. Aku akan menjemputnya di stasiun."
Berita itu membuat perutku diliputi perasaan aneh. Reaksi yang bersamaan dengan meningkatnya debar jantung. Aku sengaja melangkah lambat-lambat karena khawatir Azka bisa mendengarnya.
"Oh laporan lewat vidio call tidak cukup ya."
Azra tertawa kecil. "Ia bisa datang kapan saja, Frey," ingat lelaki itu. "Kenapa? Kamu ada acara?"
Kepalaku menggeleng. Sejauh ini aku belum memiliki rencana berpergian di akhir minggu. Tuntutan tugas kuliah memaksa mengorbankan sebagian besar jam tidur dan aku ingin membalasnya dengan berleha-leha di rumah.
Hari ini kebetulan mata kuliah siang dan sore ditiadakan. Semangatku terpompa membayangkan bisa beristirahat walau tugas pengganti menumpuk. Kemunculan Azka memupus keceriaan. Aku tidak mengira akan kedatangan tamu sehari sebelum weekend.
Azka memberi isyarat agar aku duduk di sebelahnya. Aku menurut, memerhatikan lelaki itu menggunakan laptop miliknya. Detik yang berlalu memacu adrenalin saat menunggu sesosok wajah muncul di layar.
"Sepertinya aku tidak usah ikut?" Kataku cemas.
"Tidak apa-apa. Siapa tahu Alvaro ingin bertanya padamu."
"Bertanya apa? Ia belum memberi tugas belakangan ini."
"Jangan lupa ia bos kita. Tugas kita hanya bersiap, entah itu akan diperlukan atau tidak." Senyum Azra semakin lebar. "Terutama sekarang statusmu juga kekasihnya."
Mulutku mengerucut. Entah harus senang atau sedih mendengar jawaban Azra.
Selang beberapa menit sosok yang ditunggu muncul di layar laptop. Suaraku tercekat. Gelisah oleh gugup padahal seakan Alvaro berada di tengah kami. Laki-laki itu masih mengenakan kemeja. Wajahnya tampak tampan seperti biasa. Aku hanya bungkam, menikmati peran sebagai pendengar.
"Ada yang mau dibicarakan sama Freya?" Dada seperti dipukul palu ketika Azra sekilas melirik padaku.
"Tidak perlu. Jangan ganggu Freya. Urusan nenekku sudah selesai?" Suara berat Alvaro terdengar bagai alunan musik saat namaku disebut.
"Semua sudah beres seperti perintahmu kecuali tanaman hias. Permintaan nenekmu tidak menyulitkan tapi aku ragu ia akan menyukai seleraku sementara aku kesulitan menghubunginya sejak pagi."
"Aku bisa bantu," ucapku tanpa sadar. "Ibuku senang berkebun. Ia punya tempat langganan yang menjual tanaman hias. Koleksi mereka cukup lengkap dan tidak terlalu mahal."
Kening Alvaro mendadak berkerut. Ia memiringkan kepalanya seakan sedang mencari tahu siapa yang bicara. Reaksinya hampir membuatku tertawa.
"Freya ada di situ?"
Lengan Azra tiba-tiba meraih bahuku hingga bahu kami menempel. "Dari sejak siang. Dosennya tidak masuk jadi pulang lebih awal."
Aku tersenyum kikuk. Hampir tergoda untuk menunduk kalau tidak berpikir reaksiku akan menambah ketidaksukaan di wajah Alvaro. Ekspresi lelaki itu berubah gelap seakan sedang mengalami hari yang buruk. Azra bahkan melepas rangkulannya.
"Jemput aku nanti malam." Suara Alvaro memecah keheningan.
Azra tertawa geli melihatku kebingungan. Aku memang bingung pada siapa Alvaro memberi perintah. "Kamu mau menjemputnya?"
"Pakai motor? Kalau bawa barang susah, Pak?" Ide itu tidak buruk. Aku bisa membayangkan satu motor dengannya tapi sepertinya sulit kalau ia membawa tas atau koper besar.
"Kamu sudah lulus menyetir mobil?" Aku menggeleng pelan pada Alvaro. Kesibukan membuatku lupa permintaannya agar ikut kursus mobil.
"Aku bawa tas besar. Lebih baik pakai mobil. Kamu nanti ikut jemput ke stasiun."
"Buat apa, Mas?"
"Permintaanku terlalu berat? Kamu berpikir akan menikmati gaji tanpa bekerja sedikitpun?"
"Tidak tapi apa susahnya memberi penjelasan," gerutuku lebih ke bergumam sambil melempar pandangan ke bawah.
Alvaro masih menatap tajam saat aku mendongkak. Kami terdiam selama seperkian detik. Azra pun tak bersuara hingga suasana menjadi canggung. Alvaro terlihat luar biasa jengkel. "Kita akan makan malam bersama!"
Azra terkikik. Tubuhnya menunduk dengan salah satu lengan memegangi perut sementara yang lain menutup mulut. Aku merasa tak ada yang lucu, malah sebaliknya, geraman Alvaro menyiutkan nyali padahal ia jarang marah.
"Kami akan menjemputmu. Aku akan memastikan Freya ikut seperti perintahmu," ucap Azra setelah berdeham. "Bagaimana dengan tiket?"
"Sekretaris sudah mengurusnya." Kegugupan semakin menggelitik karena Alvaro tidak mengalihkan perhatiannya padaku. "Kamu ada rencana malam ini, Freya?"
"Belum, Mas."
"Bagus. Kamu menginap di apartemen hari ini. Besok temani saya ke tempat langganan tanaman hias ibumu."
"Setelah itu boleh libur?" tanyaku memberanikan diri.
"Kita lihat saja nanti. Sekarang kembali ke kamarmu. Saya mau bicara empat mata dengan Azra."
Kepalaku mengangguk cepat. Keinginan menjauh dari perhatian Alvaro sama besarnya dengan desakan menatapnya hingga vidio call selesai. Aku khawatir salah bicara karena sulit berkonsentrasi. Hal semacam ini sering terjadi setiap menghadapi Alvaro. Bahkan logikaku tidak pernah beranjak dari tempatnya saat masih bersama Genta.
Perasaan tidak kunjung membaik setelah mengurung diri di kamar. Beberapa kali aku memerhatikan cermin, mencoba memoles diri tanpa terkesan berlebihan. Kepala ikut pusing karena persoalan pakaian padahal sebagian besar pakaianku sejenis kaus dan jeans. Entah kenapa semua jadi terasa penting tapi aku tidak ingin terlihat terlalu berusaha tampil menarik.
Waktu berlalu hingga tiba saatnya menjemput Alvaro. Lelaki itu rupanya berencana ke Bandung hari ini tanpa memberitahu Azra.
Aku akhirnya memilih berpakaian seperti biasa. Wajahpun hanya dipoles hanya agar tidak terlihat pucat. Kurasa berdandan berlebihan belum tentu mendapat perhatian Alvaro. Selera lelaki itu jauh melampaui kemampuanku saat ini.
Aku berusaha menenangkan kegelisahan sepanjang perjalanan dengan mengobrol bersama Azra. Semua topik aman kecuali menyangkut Alvaro. Sebisa mungkin aku ingin menghindarinya hingga keberadaan lelaki itu bukan lagi fatamorgana.
Azra memintaku turun lebih dulu sementara ia memarkirkan mobil. Suasana stasiun memang cukup ramai. Sebagian besar tempat parkir terisi.
Kedatangan kami agak terlambat dari perkiraan karena terjebak macet. Azra tidak ingin membuat Alvaro menunggu lama.
Langkahku bergerak cepat menuju area kedatangan. Pandangan tidak berhenti berkeliling, mengamati setiap orang di sekitar stasiun. Ada banyak orang yang lalu lalang. Semua sibuk dengan urusannya masing-masing.
Pandanganku tiba-tiba terkunci pada seorang lelaki. Ia berdiri dekat minimarket bersama tiga orang perempuan cantik bergaya modis. Salah satunya memakai celana pendek hingga mempertontonkan kakinya yang jenjang.
Entah kenapa keraguan untuk mendekat semakin membesar. Alvaro tampak menikmati bicara dengan ketiganya. Ia bahkan tersenyum. Aku tidak tahu apakah mereka baru kenal atau sudah lama kenal tapi dilihat dari kejauhan, keakraban mereka terlihat natural.
Alvaro mengenakan pakaian kantor. Penampilannya rapih dan bersih. Ia tampak menonjol di antara orang-orang yang sebagian muncul dengan raut lelah. Tubuhnya lebih tinggi dari rata-rata lelaki yang kukenal, membuatnya mudah menjadi pusat perhatian terutama di kalangan perempuan.
Azra menepuk bahuku. Sorot matanya mempertanyakan keberadaan Alvaro. Aku mengangguk ke arah orang yang ia cari. Lelaki itu tidak mengomeliku karena perintahnya tidak kulakukan dengan baik. Ia memintaku mengikutinya.
Aku berdiri di belakang Azra saat mendekati Alvaro. Setengah mati meredakan kecemburuan karena dampaknya membuatku lalai bersikap profesional. Jemari mendingin saat mendengar sayup ketiga perempuan itu menginginkan bertukar kontak yang disambut penolakan halus Alvaro.
Alvaro memperkenalkan kami. Reaksi ketiga perempuan itu seperti yang kuperkirakan. Tatapan menyelidik dan menilai dari ujung kaki hingga rambut. Sambutan yang jelas berbeda ketika Azra memperkenalkan diri dan terjebak obrolan tak berkesudahan.
Alvaro meraih jemariku, menarikku merapat ke arahnya. Lirikan ketiga perempuan di hadapan kami menyatakan ketidaksetujuan melalui tatapan tapi lelaki di sampingku seolah tak peduli.
"Kenapa diam saja di sana tadi?" bisiknya.
"Aku tidak mau menganggu."
"Tapi aku pacarmu. Seharusnya kamu menyelamatkanku."
"Mas yang sengaja menyeburkan diri. Kenapa aku harus repot menolong."
"Kamu tidak suka?"
Aku berusaha melepas genggamannya tetapi Alvaro justru mempeerat. "Katakan kamu tidak suka maka aku tidak akan menanggapi perempuan lain."
Alvaro terdiam, menungguku mengikuti permintaannya. Rahangnya mengeras seiring tertutupnya mulutku. Sikap lelaki itu disadari Azra. Ia pamit pada ketiga perempuan entah siapa mereka tanpa menunggu balasan.
Aku menghela napas, mengomel dalam hati karena gagal mengendalikan diri. Alvaro tidak membujuk atau mengajak bicara tetapi tangannya masih mengenggam kuat. Azra berjalan di depan kami sambil menyeret koper kecil milik Alvaro. Ia meminta kami menunggu di pelataran stasiun sementara dirinya mengambil mobil.
Untuk sesaat aku kebingungan menempatkan posisi. Sikap Alvaro maupun efek yang ditimbulkan karena keberadaannya membuatku kewalahan.
"Bagaimana keadaanmu?"
Kuberanikan diri mendongkak. Alvaro menatap keramaian pelataran parkir. "Baik. Mas sendiri?"
"Aku tidak akan menempuh perjalanan jauh kalau tidak sehat."
"Syukurlah," balasku pelan. Kehangatan kulit kami mengalir ke seluruh tubuh. Percikan yang sempat terasa sewaktu Alvaro meraih jemariku menyisakan gelitikan aneh di perut. "Mm... Apa kita perlu genggaman tangan. Di sini tidak ada yang perlu Mas yakinkan tentang hubungan kita."
Pandangan Alvaro beralih padaku. "Kamu takut ada yang melihat kita bersama?" Nada suaranya menajam.
Sejujurnya aku sama sekali tidak memikirkan kemungkinan ada seseorang yang mengenalku melihat kebersamaan kami. Aku baru menyadarinya saat Alvaro bertanya. "Aku lebih mengkhawatirkan perempuan lain salah paham."
"Di mataku yang salah paham itu kamu. Kedatanganku tadi lebih cepat. Kalian terlambat datang. Perempuan tadi dari salah satu kampus yang pernah mengundangku seminar."
"Apa Mas bertukar nomor telepon?" tanyaku memastikan.
"Tidak, Sayang. Aku tidak memberi nomor telepon ke sembarang orang. Sudah lega?"
"Bi... biasa saja. Itu kan hak Mas," ucapku kembali menunduk dan tanpa sadar menyandarkan kepala di lengan kokohnya.
Samar terdengar tawa kecil Alvaro. Ia mungkin sedang menertawakan pipiku yang merona. Sentakan di dada menyeruak saat merasakan sentuhan hangat di puncak kepala. Aku reflek semakin merapat padanya, tidak berani memerhatikan reaksi di sekeliling akibat tindakan tak terduga Alvaro.
"Ayo, mobilnya sudah datang."
Azra turun dari mobil dan menaruh koper ke bagasi sementara Alvaro membukakan pintu bagian belakang untukku. Tubuhnya menghempas kursi di sampingku. Azra melirikku sambil tersenyum dari spion dalam sebelum menyalakan mesin.
"Perang dinginnya tidak jadi. Kita harus merayakannya," katanya.
"Apa yang perlu dirayakan. Cepat. Aku belum makan," gerutu Alvaro sambil bersidekap. Ia tampak nyaman bersandar ke belakang.
"Kita mau makan di mana?"
"Tenang saja. Aku sudah pesan tempat. Makanannya enak. Tempatnya juga nyaman," balas Azra.
"Ada tempat atau makanan khusus yang kamu ingin datangi?" Alvaro menoleh padaku.
"Tidak. Di mana saja boleh." Pikiranku terlalu fokus pada lelaki ini hingga tidak bisa memikirkan hal lain.
"Lusa Nenekku datang. Ia akan ditemani sama orang kepercayaannya jadi kamu bisa tetap pulang seminggu sekali ke rumah. Aku sudah membicarakan hal ini dan Nenek tidak keberatan."
Bulu romaku berdiri membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Alvaro terlihat santai. Penjelasannya tanpa beban.
"Jadi tepatnya aku harus bagaimana?"
"Bersikaplah seperti biasa."
"Tapi situasinya luar biasa," terangku tak sabar. Alvaro memiringkan tubuhnya menghadapku. "Kita harus satu suara, Mas."
"Dalam hal?"
Pembicaraan ini tidak akan ada habisnya. Alvaro seharusnya mengerti maksudku. "Aku. Mas. Kita. Peran apa yang Mas berikan padaku di hadapan Nenek Euis?"
"Nenekku belum sepenuhnya pulih. Tidak ada seorangpun yang boleh menyebabkan penyakitnya kambuh."
Kuhela napas pendek. Berusaha tidak kalah saat membalas tatapan Alvaro. "Yang artinya sementara kita harus terlihat pasangan bahagia tapi aku tidak boleh jatuh cinta sama, Mas?"
Alvaro terdiam. Keningnya berkerut seakan baru saja mendapat berita buruk. Aku ingin keluar dari mobil, menjauh dari ruangan di mana ia berada. Sejak awal Alvaro memang tidak menjanjikan apa-apa. Dan kebodohan membiarkan kakiku melayang ke langit, melupakan fakta bahwa yang terjadi hanya kebahagiaan semu.
Jika perpisahan merupakan jalan akhir, untuk apa kami bersusah payah terlihat layaknya pasangan sesungguhnya. Berlindung dibalik Nenek Euis bukan alasan tepat karena perempuan itu mengatakan tidak akan memaksa andai kami tak berjodoh. Apa selama ini Alvaro mengira bisa memperlakukanku seenaknya? Menyentuhku sesukanya? Dan kesalahan terbesarku adalah membiarkan ia mengira aku setuju.
"Kamu pengecualian dari semua hal yang tidak kusukai. Aku tidak membenci perasaan saat kita dekat. Kamu lucu seperti kelinci dan aku menyukainya."
"Mas suka sama aku?"
"Aku tidak pernah menyentuh perempuan yang tidak kubenci."
"Benar? Yang tadi tidak begitu."
"Apanya yang tidak begitu. Mereka kebetulan mengenalku. Obrolan kami hanya seputar kemungkinan aku jadi pembicara di kampus mereka lagi. Sama sekali tidak membicarakan masalah pribadi. Aku pun menolak permintaan bertukar nomor telepon."
Azra berdeham. "Perjalanan kita masih agak lama jadi bisakah kalian menurunkan emosi. Biarkan Alvaro istirahat dulu, Frey. Kalian bisa bicara setelah makan. Kamu belum makan dari siang, kan?"
Alvaro melotot. Ia mengabaikan bujukan Azra. Tubuhnya mendekat dalam sekali gerakan. Salah satu tangannya diletakan di kepalaku. "Kenapa belum makan?"
"Karena tidak lapar," gerutuku sebal.
"Tapi kamu gampang masuk angin. Kalau kamu sakit yang bagaimana dengan kuliahmu? Apa kamu mampu melaksanakan tugas yang kuberikan?"
"Kalau sakit ya tinggal minum obat. Kenapa Mas peduli?"
"Dimana letak salahnya peduli sama pacar sendiri. Sudahlah tidak perlu dibahas lagi. Mulai sekarang dengarkan perintahku. Mengerti?"
"Seharusnya aku merekam pembicaraan kalian dan mempostingnya di sosial media. Pasti seru," ucap Azra.
"Diam!" geram Alvaro. Kekesalan yang tersirat dalam suara lelaki itu ditangkap Azra cukup baik. Ia mengangguk pelan sambil tersenyum namun garis bibirnya kaku. Sejauh aku mengenal keduanya, Alvaro jarang sekali menunjukan emosi berlebih. Ia lebih sering mempertontonkan ekspresi dingin daripada nada tinggi.
Bunyi ponsel Alvaro menyela ketegangan di udara. Rupanya panggilan masuk berasal dari nomor Nenek Euis. Perempuan itu bersikeras ingin melakukan vidio call denganku saat tahu aku bersama cucunya.
Nenek Euis tampak lebih ceria dan hidup dibanding terakhir kali kami bertemu. Ia menjejaliku banyak pertanyaan. Sebagian besar menyangkut progres hubunganku dan Alvaro. Aku lebih banyak menjawab kata-kata singkat yang berkonotasi positif tanpa berniat menjelaskan hingga detail. Rasanya risih sekaligus canggung jika harus bicara panjang lebar di bawah tatapan Alvaro.
"Sampai ketemu Minggu nanti. Jangan pikirkan kalau Alvaro akan mengintimidasimu. Ia hanya perlu sentuhan perempuan yang melihatnya bukan hanya sebagai tiket keluar dari masalah," kata perempuan di layar ponselku.
Kepercayaan Nenek Euis membuatku tercekat. Pertemuan kami bisa dihitung jari tetapi ia menaruh banyak harap yang cukup mustahil kujalani tanpa berpikir dunia sedang jungkir balik. Selain itu jarang sekali ada orang yang menilaiku sebaik itu dalam waktu singkat.
"Nenek belum kenal lama. Bagaimana kalau perkiraan Nenek salah."
"Jangan terlalu dipikirkan. Salah atau tidak akan terbukti nanti. Toh Alvaro juga setuju atau kamu mau mundur?"
Aura dingin tiba-tiba terasa dari samping. Tanpa perlu memastikan penyebabnya, aku bisa membayangkan ekspresi gelap yang Alvaro pertontonkan. Ia tidak akan senang suasana hati neneknya berubah muram.
"Tidak," sahutku pendek, tidak sanggup mencari kalimat penyangkalan saat kepala seolah ditodong senapan.
"Bagus. Kalau begitu sampai bertemu besok. Dan untukmu, Alvaro, Nenek tahu kamu pasti mendengarkan, bersikaplah baik pada Freya atau temui cucu teman Nenek."
Alvaro meraih ponselnya dari tanganku. Gerakannya cukup cepat hingga membuatku kebingungan. Senyumannya tampak hambar saat menatap layar ponsel. "Jaga kesehatan dan sampai ketemu besok, Nek. Sampai jumpa."
Aku ingin sekali mengomentari sikap Alvaro yang seenaknya tapi khawatir suasana bertambah muram. Tidak ada gunanya pamer masalah selain memperburuk sisa hari. Untuk menenangkan diri sekaligus membangun citra positif, aku memilih memandang keluar jendela. Cahaya lampu yang menerangi gelapnya malam menghadirkan perasaan senang, mengingatkanku pada perjalanan liburan ke luar kota saat Ayah masih ada.
Suara Azra terdengar kembali. Ia mengobrol dengan Alvaro mengenai urusan kantor yang tidak kumengerti. Dari intonasi dan reaksi keduanya tampak tidak lagi diliputi ketegangan. Percakapan keduanya mengalir seperti wajarnya orang bicara tanpa dibumbui kemarahan.
Restoran yang kami tuju cukup jauh dari pusat kota. Berada di daerah perbukitan yang terkenal dengan rumah-rumah mewah. Sejumlah restoran dan kafe memenuhi kedua sisi jalan sebelum akhirnya Azra memarkirkan mobil di salah satu bangunan yang didominasi kayu.
Keningku berkerut saat mengamati nama restoran itu hingga tidak sadar membalas uluran tangan Alvaro ketika pintu mobil terbuka. Ia menuntunku yang sibuk mengamati sekeliling. Bangunannya lumayan besar. Terbagi menjadi dua lantai. Seperti hal nya di bagian luar, interior didominasi kayu dan warna cokelat. Lampu yang temaram mengesankan kelembutan.
Sejenak aku teringat pernah diajak Genta ke tempat ini. Situasi tidak berjalan lancar. Acara makan malam berubah pertengkaran sengit sesama pengunjung. Permasalahannya sepele, Genta salah paham saat mengira salah satu pengunjung lelaki berniat mendekatiku. Kenyataannya kami tidak sengaja bersenggolan dan membuatku hampir terjatuh saat keluar dari toilet. Beruntung orang itu berhasil menahan tubuhku sebelum aksiku menjadi pusat perhatian.
Sayangnya Genta melihat kejadian itu dengan emosi. Kecemburuannya tak terkendali meski sudah kujelaskan. Kami akhirnya memilih pergi, tepatnya aku nyaris menyeretnya sebelum terjadi hal buruk di antara dua lelaki yang tidak saling mengenal. Genta bersumpah serapah tidak akan menginjakkan kaki di restoran ini lagi.
Aku akhirnya memilih diam setelah perdebatan panjang. Rasa malu hampir membuatku ingin lari. Ia menyalahkanku karena ceroboh. Tapi setelah kepala dingin dan memikirkan sikap Genta selama kami berhubungan, lelaki itu akan bereaksi sengit jika mengetahui atau mengira aku didekati oleh lelaki yang secara latar belakang setara dengannya.
"Freya," teguran Alvaro mengembalikanku pada kenyataan.
"Ya?"
"Duduk, Sayang," ucapnya dengan suara rendah. Aku tersenyum kikuk pada seorang pelayan perempuan yang sepertinya kebingungan melihatku berdiri. Kami berada di ruangan dengan satu meja dengan sofa empuk. Jendela kaca memperlihatkan pemandangan Bandung di kala malam. Ruangan itu terpisah dari ruangan utama.
Alvaro mengambil tempat di sampingku sementara Azra duduk di hadapan kami. Pelayan tadi menyerahkan menu lalu menerangkan sejumlah menu yang paling disukai. Sesekali ia mencuri pandang pada Alvaro yang lebih fokus menungguku membaca daftar menu.
Restoran ini menawarkan hidangan eropa sampai lokal. Harganya termasuk mahal untuk isi dompetku. Aneka makanan itu tampak lezat tetapi ketegangan sebelumnya hampir menyapu rasa lapar. Aku memilih nasi goreng dan sop buntut sementara dua lelaki yang bersamaku memesan steak.
"Kamu yakin tidak ingin memesan yang lain? Restoran ini salah satu favorit Alvaro kalau kencan. Pacar-pacarnya tidak pernah komplen. Menurut mereka masakan di sini salah satu yang terbaik di kota... ini." Azra memutar pandangannya dariku pada Alvaro setelah pelayan tadi pergi.
Aku sempat mendengar suara benturan di bawah meja. "Tidak. Aku belum makan nasi dan butuh yang hangat."
"Kamu mau cari tempat lain? Di sekitar sini banyak restoran."
Kepalaku menggeleng. Alvaro masih memasang raut tajam pada Azra. "Untuk apa? Kita kan sudah pesan makanan?"
"Kamu nyaman berada di sini?"
"Tenang saja, Mas. Aku tidak terganggu sama ucapan Azra kok."
"Maaf, Freya tapi kamu yakin masih mau makan di sini?" Azra tampak hati-hati.
"Tentu saja. Aku sudah sangat lapar," balasku. Berada di restoran ini jauh lebih aman dibanding tempat lain. Setidaknya kemungkinan kecil bertemu Genta.
"Lain kali tidak boleh ada kesalahan."
"Oke, Bos," sahut Azra. Ia tersenyum padaku. Mimiknya lega seakan berhasil lolos dari maut.
Sepanjang makan malam aku sulit menghilangkan pikiran apa yang Alvaro dan teman kencannya di ruangan privat seperti ini. Ruangan dan pengisinya sangat nyaman apalagi untuk bermesraan.
Berulang kali mengingatkan diri sendiri bahwa posisiku tidak ada bedanya dengan perempuan-perempuan yang pernah dekat dengan Alvaro. Di tempat ini atau di manapun sama saja. Hubungan kami akan berakhir dalam hitungan bulan.
"Makanannya tidak enak?" Alvaro menunjuk nasi gorengku yang masih tersisa banyak.
"Enak," balasku sambil tersenyum.
Ia memotong steak di piringnya lalu menyodorokannya padaku. "Ayo makan."
Aku melahap tanpa protes agar tidak didesak terus.
"Bagaimana?"
"Enak."
Alvaro tersenyum dan menyuruhku melanjutkan makan. Seorang pelayan tiba-tiba datang kembali. Rupanya Alvaro memanggilnya untuk dibuatkan pesanan yang akan dibawa pulang. Ia memesan cukup banyak termasuk aneka desert.
Azra tidak banyak berkomentar. Ia sibuk melahap makanannya sambil sesekali mengobrol dengan Alvaro.
Mata mulai terasa berat di penghujung makan malam. Aku harus berusaha keras menahan kuap. Sofa yang empuk menambah kenyamanan dalam buaian kantuk. Meski begitu aku tidak berani memasang wajah lelah. Mata kubuka lebar-lebar agar tetap terjaga.
"Capek?" Pandangan Alvaro menelisik.
"Sedikit," ucapku pelan.
"Sudah selesai makannya?"
Kepalaku mengangguk lemah. "He em."
"Kalau begitu kita pulang sekarang."
Tidak berapa lama pelayan muncul. Azra mengurus pembayaran makan malam kami. Ia menenteng plastik berisi makanan yang dibawa pulang.
Alvaro berdiri lebih dulu sambil menungguku bangkit. Lengannya berada di pinggangku setelah memastikan posisi kami berdampingan. Aku memilih mengikuti keinginannya dan terlupa oleh kemungkinan ada mata-mata Genta yang mungkin berada di tempat ini.
Kenyamanan berlanjut hingga kami berada di mobil. Kantuk yang benar-benar tak tertahankan membuatku sulit terjaga.
"Kemarilah, anak manis," bisik Alvaro saat mataku terjaga dari kantuk. Dalam keadaan setengah sadar aku melihat lengan lelaki itu merentang, menarikku perlahan hingga kepalaku bersandar di bahunya. "Istirahat saja. Perjalanan masih lama," lanjutnya dengan suara lebih dalam.
Aku ingin menolak. Tidak ingin terlena oleh tindakan Alvaro tapi pemberontakan tersangkut di tenggorokan begitu mencium aroma maskulin memberi efek menenangkan yang sulit diabaikan. Lelaki itu tiba-tiba membuat gerakan sangat hati-hati dan dalam hitungan detik jas miliknya disampirkan di bahuku. Kehangatan rangkulannya melingkupi tubuhku, membuatku larut dalam ketenangan.
Ini mungkin mimpi pikirku sebelum kegelapan menguasai sisa cahaya.
*****
Suara-suara nyaring tertangkap oleh telinga. Bunyi itu semakin keras dan memaksaku membuka mata. Kala mulai terjaga aku mendapati berada di kamar. Kening berkerut karena mendadak pusing dan sulit memikirkan apa yang sebelumnya terjadi.
Belum sempat berpikir lebih jauh, bunyi yang berasal dari ponsel mengalihkan perhatian. Setengah malas-malasan aku bangkit dan mencari-cari benda itu dari dalam tas di samping tempat tidur.
Tidak terlalu fokus membuatku menekan menggeser logo telepon warna hijau tanpa melihat nama di layar. "Halo," sapaku dengan serak.
"Halo, Frey. Kamu sudah tidur?"
Aku terdiam sebentar lalu memastikan siapa penelepon di seberang. "Ya. Ada apa?" tanyaku enggan berbasa-basi.
"Aku ada di luar rumahmu? Bisa kita bicara sebentar?"
Jantung serasa dipukul dengan sangat kuat. Kekhawatiran muncul. Sebelah tangan mengusap kening. "Aku capek sekali, Ta. Kita bicara lain kali saja."
"Kamu di rumah? Aku tidak melihat motormu."
"Motorku di bengkel," sahutku cepat. Aku melirik jam menunjuk pukul sembilan lebih. Perlahan kaki kuseret keluar kamar dan berhati-hati agar tidak terdengar oleh Genta saat membuka pintu.
Tenggorokan terasa kering dan butuh udara segar.
"Besok bagaimana?"
"Tergantung apa dulu urusannya," ucapku sambil berjalan menuju bagunan utama.
"Aku ingin memperbaiki pertemanan kita, bukan untuk membicarakan masa lalu."
"Kita bicara di kampus Senin depan. Malam ini aku benar-benar butuh istirahat." Mengingat sifat keras kepala Genta, mengambil inisiatif lebih baik daripada mendengarnya memilih hari pertemuan.
"Oke. Kita ketemu Senin nanti."
Kakiku tiba-tiba terhenti di koridor, terpaku pada dua sosok yang sedang bersantai di ruang tengah. Tangan yang tidak memegang handphone mengucek mata, memastikan tidak ada yang salah dengan indera penglihatan.
"Frey? Kamu masih di situ?"
"Eh... ya. Sampai ketemu lagi." Sejenak aku baru tersadar kalau Azra dan Alvaro datang hari ini. Terakhir aku ingat pergi makan bersama keduanya. Aku tertidur dalam perjalanan pulang dan saat terbangun sudah berada di kamar. Bagaimana caranya aku sampai di kamar?
Pandangan Alvaro datar namun kesan yang kudapatkan malah sebaliknya. Ia memerhatikan dengan enggan sejak menyadari kehadiranku di koridor. Beruntung jarak kami cukup jauh hingga Genta tidak akan mendengar ada suara selain diriku.
Lelaki itu mengangkat dagu, memberi isyarat agar aku mendekat. Perlahan aku menurunkan tangan yang memegang handphone ke sisi tubuh lalu berjalan mendekatinya. Senyuman Azka cukup menenangkan. Setidaknya ia bisa membantu kalau mood Alvaro memburuk.
"Mau ke mana?"
"Dapur. Haus."
Azka bangkit dan menyuruhku duduk. "Biar aku ambilkan. Aku juga ingin minum cola. Bos mau minum apa?" Lelaki itu mengalihkan perhatian pada Alvaro.
"Tidak usah." Azka beranjak pergi, meninggalkanku yang terpaksa duduk di samping Alvaro.
Keheningan tidak biasa menyelimuti kami. Ada jarak walau kami berdekatan. Alvaro memusatkan perhatian ke layar kaca meski raut wajahnya tidak menunjukan ketertarikan.
"Waktu aku tidur tadi... "
"Aku yang membawamu ke kamar."
"Seharusnya Mas membangunkanku."
"Kamu kelihatan lelah sekali."
"Tapi aku berat."
"Lebih berat kulkas."
"Terima kasih."
Alvaro berdeham. Ia melirik sekilas pada handphone yang kuletakan di samping. Aku mengikuti pandangannya, mencoba memahami arti sikapnya.
"Tadi ada teman menelepon."
Posisi duduk Alvaro berubah menghadapku. Sebelah lengannya menopang kepala pada sandaran sofa. "Teman," gumamnya.
"Ya."
"Mia?"
Kepalaku menggeleng dan merasa terjebak dalam pusaran bahaya. Berbohong menjadi pilihan tetapi kekhawatiran akan ketahuan lebih mengerikan. "Genta," ucapku pelan.
Tidak ada perubahan dalam ekspresi Alvaro kecuali ketegangan yang seakan menguar dari tubuhnya. Tangannya yang bebas terulur, merapikan anak rambutku ke belakang telinga. Sentuhannya menghadirkan gelitikan di perut sekaligus perasaan dingin saat adrenalin meningkat. "Ada urusan penting?" Suaranya nyaris datar tapi berhasil membuat bulu roma berdiri.
"Ia ingin bicara. Hubungan kami selama ini kurang baik, lebih mirip kucing dan tikus. Genta pikir kami perlu bicara tanpa membahas masa lalu."
"Menurutmu kenapa ia ingin bicara denganmu?"
Bahuku terangkat. Mengungkapkan sikap Genta beberapa waktu lalu merupakan kesalahan besar. "Apapun itu rasanya lebih baik memperbanyak teman daripada memiliki satu musuh. Tidak ada lagi yang tersisa di antara kami, setidaknya dari pihakku."
"Kamu yakin?"
"Aku akan menolak permintaan Nenek Euis kalau memang ada rasa sama Genta."
Alvaro terdiam. Sorotnya melembut. Reaksinya membuatku terhipnotis. Jemarinya menahan wajahku saat akan berpaling. Sentuhannya di pipi memercik kehangatan yang entah kenapa membuat tubuhku memanas.
Irama jantung berdegub tanpa irama seiring mendekatnya wajah Alvaro. Suara terkesiap meluncur dari bibirku. Alvaro tidak bereaksi. Ia justru mengecup keningku seolah berusaha menenangkan.
Pandangan kami terkunci. Bola mataku mengikuti setiap gerakannya. Perasaan untuk Alvaro membuncah tak karuan. Pertahananku meluruh. Akal sehat tidak lebih dari hembusan angin.
Aku terkikik pelan saat jemarinya mengusap telinga. Alvaro tersenyum tanpa mengalihkan pandangan. Semua sifat menyebalkannya menghilang. Wajahnya semakin dekat hingga aku bisa merasakan napasnya. Hidung kami saling bersentuhan dan menimbulkan perasaan menyenangkan.
Alvaro terdiam, rahangnya menegang melihatku mengigit bibir bawah karena gelisah. Ia seperti menunggu isyarat dariku. Dan detik berikutnya tubuhku terpaku. Alvaro memiringkan kepalanya. Ia menyentuh bibirku, menahannya selama beberapa detik sebelum mencumbu dengan sangat lembut.
Mataku terbelalak. Sekeras apapun logika berperang, sensasi aneh di tubuhku justru berkhianat. Perasaan sayang pada Alvaro mengabaikan segala bentuk risiko. Seolah terbuai suasana aku mulai menikmati ciuman kami.
Percikan, getaran bahkan kehangatan yang mengalir melalui sentuhan membuatku sangat bahagia. Sesaat aku khawatir akan menjadi candu pada Alvaro.
Erangan lirihku lolos dari sela ciuman kami. Meski tidak terburu-buru Alvaro sepertinya enggan menyudahi. Mataku terbuka dan mendapatinya sedang menatapku. Bola matanya berbalut kabut gairah.
Tanganku yang semula berada di dadanya perlahan naik ke lehernya dan merengkuh rambutnya. Insting menuntunku tanpa rencana.
"He em." Suara dehaman mengejutkanku. "Kalian masih haus?" Azra berdiri tidak jauh dari kami.
Aku tercekat, berniat mengakhiri ciuman kami dan menjaga jarak dari Alvaro tetapi pelukan lelaki itu lebih kuat. Ia bergumam kesal saat akhirnya menyurukan kepalanya di leherku. "Kenapa kamu tidak datang dua jam lagi?"
Azra tampak santai. Pandangannya sama sekali tidak meremehkanku yang semerah tomat. Ia duduk di tempatnya semula lalu menyodorkan botol air mineral dingin padaku. "Aku kasihan sama Freya. Kamu membuatnya semakin kehausan."
Pelukan Alvaro mengurai namun masih menahanku agar duduk di sampingnya. Ia meraih kaleng cola yang dibawa Azra sambil tertawa geli. "Haus setelah ciuman."
Aku terbatuk saat minum. Azra menatap jail sementara Alvaro mengusap-usap punggungku. "Ganti topik," gerutuku setelah tenang.
"Wah Freya bisa marah juga," seloroh Azra.
Alvaro menyipit. "It's oke. Masih cantik kok." Jemarinya mengusap kepalaku. "Makan dulu ya. Pesanan tadi tinggal dihangatkan."
Tubuhku bangkit saat Alvaro lengah. Ia merengut dan meraih tanganku. "Mau ke mana?"
"Dapur."
"Biarkan Azra saja yang lakukan."
"Tidak perlu. Lagian Mas belum kasih aku tugas. Aku tidak mau dibilang dapat gaji buta."
"Ya, sudah." Suara Alvaro melunak. "Hati-hati."
Aku bergegas menuju dapur. Aura Alvaro memabukkan. Lebih mudah bersikap waspada ketika ia bersikap dingin dibanding lembut. Ciuman tadi salah satu efeknya. Debaran jantung bahkan belum kembali ke ritme semula. Dan bodohnya diriku masih teringat rasa ciumannya.
Alvaro tampak santai. Sikapnya seolah tidak terpengaruh kejadian tadi. Ekspresinya kembali serius. Ia sedang mengobrol dengan Azra. Salah satu kakinya ditekuk ke samping dan ditopang ke lutut sementara kedua lengan bersidekap. Sosoknya dari samping tetap terlihat menarik, menonjolkan hidung mancungnya.
Kuhela napas panjang, membuka kulkas lalu mengeluarkan wadah transparan dari restoran. Aneka desert dari mulai kue sampai puding belum tersentuh.
"Freya."
"Ya," ucapku tertahan. Wadah di tangan buru-buru kuletakan di counter setelah hampit menjatuhkannya karena panggilan Alvaro. "Ada apa?"
Alvaro berdiri di sampingku dengan posisi menyamping. Kedua lengannya menyusup di balik saku celana. "Soal ciuman tadi." Pipiku merona mengingat kejadian itu. "Aku tidak ingin kamu berpikir sedang dilecehkan. Ciuman tadi juga bukan permainan. Aku sama sekali tidak menganggapmu murahan."
"Lalu karena apa?"
"Kamu kekasihku satu-satunya. Nenekku juga menyukaimu. Ia memanganggapmu berbeda dan aku setuju. Kita akan lihat ke depannya bagaimana hubungan ini berjalan."
"Tapi aku bahkan tidak mendekati tipe Mas."
"Kriteria manusia sering meleset. Lagipula aku tidak akan pernah melakukan kontak fisik dengan perempuan yang tidak kubenci."
"Soal kontrak... "
"Lupakan," gerutunya. "Kamu tidak akan dipecat karena menyukaiku dan abaikan masalah tengat waktu. Hubungan kita akan berjalan normal dengan atau tanpa persetujuan nenekku."
"Jadi ceritanya kita pacaran sungguhan?" tanyaku belum sepenuhnya percaya.
"Tentu."
"Kenapa tiba-tiba?"
"Aku butuh waktu dan ciuman tadi membantu meyakinkan." Alvaro mencondongkan tubuhnya hingga kepala kami sejajar. "Dan sepertinya aku butuh diyakinkan sedikit lagi," godanya.
Aku menciumnya secepat kilat. Alvaro tertawa lepas saat menegakan tubuh. Aku mengalihkan pandangan pada wadah berisi steak.
Alvaro mengusap rambutku lalu berbalik pergi. Mataku mencuri pandang ke arahnya, mengagumi punggungnya yang kokoh. Kedua tangannya masih berada di saku celana. Belum lama melangkah ia tiba-tiba berhenti. "Jangan terlalu dekat dengan lelaki lain. Mau itu Genta atau siapapun di luar sana. Mengusik milikku adalah kesalahan dan tidak ada tempat untuk pengkhianat."
Tbc
Halo, apa kabar? Semoga sehat semua ya pembaca setia. Maaf baru bisa muncul lagi setelah sekian lama absen. Visual Alvaro sama Freya di atas diambil dari karakter game kesukaan saya soalnya sampai sekarang belum ada bayangan siapa yang pas mewakili mereka berdua hehehe. Part ini lumayan panjang jadi semoga nggak bosen ya 😊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro