Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

chap # 10

Aku menghela napas berulang kali, melepaskan udara di antara himpitan kebaya yang cukup ketat. Kegelisahan terpaksa kutelan sendiri setelah supir meminta izin menunggu di luar. Alvaro tidak memerintahkan kembali ke apartemen. Ia justru meminta supir kembali ke pelataran parkir, menunggunya yang beranjak masuk dalam gedung.

Sepatah kata Alvaro ucapkan padaku. Entah penghiburan atau basa basi. Aku diminta duduk manis hingga ia kembali mengingat tawaran menemaninya kembali ke tempat acara kutolak secara halus. Perubahan status kami tidak begitu saja mengubah sikapku menjadi  seenaknya. Demi alasan kesopanan aku harus mengendalikan setiap riak emosi meski sudah di ubun-ubun.

Alvaro tidak memaksa tetapi tidak juga mengabulkan keinginanku pergi dari tempat ini. Ia bahkan mengabaikan kemungkinan diriku pulang menggunakan taksi atau angkutan online.

Aku mencoba berdamai dengan keadaan. Menikmati kesendirian sambil meredakan otot yang tegang karena kejutan tak terduga. Sejuknya AC perlahan membuat tubuh semakin rileks. Untuk sejenak aku larut dalam kenyamanan. Dilihat dari sudut manapun pilihan berada di dalam mobil jauh lebih baik daripada harus terjebak di antara wajah-wajah asing dan skenario terburuk, bertemu Genta.

Mata terpejam. Mencoba menikmati  irama lagu di radio. Aku tidak terlalu peduli siapa penyanyi atau judul lagu selama itu mampu mengalihkan pikiran dari kehawatiran.

Kesendirian terusik ketika suara pintu terbuka. Supir tersenyum dengan sorot dipenuhi rasa bersalah. Ia mengucap kata maaf telah menganggu waktuku. Alvaro baru saja menghubunginya. Ia diminta menjemput di tempat aku naik tadi.

Pandanganku beralih ke arah teras gedung setelah mobil terparkir tepat di depan bangunan itu. Kaca mobil yang lumayan gelap memungkinkanku bersembunyi dari tatapan orang-orang.

Gemuruh di dada menghentak keras. Dua orang lelaki terlihat sedang mengobrol di depan pintu masuk gedung. Alvaro dan Genta tampak akrab bahkan sesekali saling tertawa.  Perasaan seolah diremas oleh ketakutan melihat pemandanga itu. Di tengah kepanikan aku mencoba menyikirkan tebakan-tebakan buruk, menggantinya dengan energi positif yang susah payah otak ciptakan.

Hati kecil menyenandungkan doa. Sebuah harap agar  namaku tidak terseret dalam pembicaraan. Genta mungkin akan terusik jika Alvaro tiba-tiba bertanya tentang diriku. Mata terpejam selama beberapa detik. Tidak sanggup memikirkan hal yang jauh lebih rumit dari jalan yang kutempuh sekarang.

Alvaro berjalan santai menuju mobil. Ia dan Genta sempat bersalaman sebelum mantan pacarku kembali ke tempat acara. Alvaro memandangiku sekilas setelah tubuh besarnya melesak di sampingku. Aksi diamnya menimbulkan tanda tanya. Mulutku tergelitik ingin bertanya tetapi rasa sungkan menahan keinginan.

"Kita langsung ke rumah sakit, Pak." Perintah Alvaro mengejutkanku.

"Bukannya kita mau ke apartemen dulu?"

"Nenek ingin sekali melihatmu memakai kebaya pilihannya." Alvaro memberi jawaban yang sulit kutepis.

Aku bingung menempatkan posisi baik sebagai seorang pegawai maupun kekasih. Keduanya bias. Sekalipun menguntungkan, aku enggan memanfaatkannya karena khawatir risiko di kemudian hari. Tapi hal itu tidak menyurutkan perasaan kesal hingga semua ketidaknyamanan membuatku duduk sejauh mungkin dari Alvaro.

Mulutku terkunci. Menatap lepas ke luar jendela. Tidak satupun pemandangan yang terekam dalam kepala. Otakku justru sibuk meredam keingintahuan pembicaraan Genta dan Alvaro.

"Pak, kita ke apartemen dulu saja. Ada yang harus saya ambil." Perubahan perintah Alvaro tetap tidak mengusik kediamanku. Lelaki itu memiliki kewenangan mengubah rute sesukanya tanpa perlu mempertanyakan pendapatku. 

"Kamu capek, Frey?"

Kepalaku menggeleng tanpa menoleh. "Tidak."

"Ada yang mau kamu tanyakan?"

"Tidak ada."

"Lawan bicaramu ada di luar sana?"

Kuhela napas pendek lalu berpaling pada Alvaro. Senyuman menyungging selebar mungkin. "Mas butuh sesuatu?"

"Ya." Alvaro menatap lekat bola mataku.

"Apa itu?"

"Sikapmu." Keningku berkerut bingung. Lengan Alvaro terangkat. Jemari besarnya merapikan anak rambut ke belakang telinga. "Perbaiki sikapmu. Aku tidak ingin suasana hatimu sekarang terbawa saat kita ke rumah sakit."

"Baik, Pak." Kataku sengaja menyebut panggilan lelaki itu lebih formal.

"Jangan membuat masalah."

"Saya pasti sudah hilang akal kalau berani buat masalah sama... Mas."

"Kita bicara lagi setelah sampai di apartemen." Balasan santai Alvaro menambah kadar emosiku. Ketidakpekaannya sangat menjengkelkan walau tidak ada keharusan menyenangkan perasaanku.

Perjalanan menuju apartemen terasa luar biasa panjang. Alvaro berada di sudut kursi, terpisah oleh jarak karena aku memilih menempel ke sisi pintu. Lelaki itu bersandar dengan kedua tangan bersidekap. Ia memakai kacamata hitam dan tidak bisa ditebak apakah matanya terjaga atau terpejam.

Begitu kami turun di halaman apartemen, Alvaro bergaya bak kekasih sejati. Dengan sabar ia memperlambat langkah mengingat rok yang kukenakan menyulitkan setiap kali bergerak. Tangannya berada di bawah pinggang, seolah memberi perlindungan jika aku tiba-tiba tersandung.

Sikapnya tidak begitu saja melunakan perasaan. Aku berulang kali menjauh. Mencoba memperbesar jarak di antara kami. Usaha itu sama sekali tak berguna. Alvaro selalu memastikan posisi kami bak amplop dan prangko yang di lem super kuat.

"Tidak ada orang lain di sini. Kita tidak perlu beradegan mesra," ucapku saat pintu lift terbuka.

"Aku tidak merasa harus meyakinkan orang-orang tentang status kita."

"Kalau begitu kenapa kita harus sedekat ini. Lift ini cukup luas untuk menampung sepuluh orang lebih."

"Aku mengeluarkan uang tidak sedikit untuk tempat tinggal dan fasilitas yang disediakan termasuk lift. Jadi aku berhak berdiri di manapun yang kusuka." Suara dentingan pertanda pintu lift akan terbuka menahan dorongan protes dari bibirku. Alvaro mengambil kesempatan pertama saat perhatianku teralihkan. Ia meraih jemariku, menyatukan genggaman kami sambil membawaku menuju unit apartemennya.

Aliran listrik yang tercipta saat kulit kami bersentuhan membuatku terserang gugup. Alvaro cukup senang melihat perempuan di sampingnya bungkam oleh keterkejutan. Aku tidak memiliki tenaga untuk menepis apalagi melepas paksa. Genggaman mengurai saat kami berada di depan pintu.

Aku bergegas mengeluarkan kartu dan membuka pintu. Alvaro kembali menjajari langkahku. Tubuhnya berbalik menuju ruang tengah. Ia tidak terlihat akan mengambil atau mencari sesuatu yang tertinggal.

"Mas bukannya mau ambil barang yang ketinggalan?" tanyaku bingung melihat lelaki itu menghempas sofa.

"Tidak ada yang perlu diambil," jawabnya santai. "Kamu bawa baju ganti. Sebelum pulang dari rumah sakit, kamu bisa ganti kebaya dengan pakaian lain."

"Untuk apa?"

"Kita pergi makan setelah dari rumah sakit. Azra sudah memesan tempat."

"Cuma berdua?"

"Kenapa? Kamu menolak?"

Kepalaku menggeleng. "Cuma aneh saja."

"Sejak kapan sepasang kekasih makan bersama dibilang aneh?"

"Tapi kita bu... "

Lengan Alvaro terangkat. Ekspresinya berubah serius. Ia tak suka dibantah dan bodohnya diriku justru  bermain-main dengan keberuntunganku. "Pergi ke kamarmu. Bawa pakaian ganti. Lima belas menit seharusnya lebih dari cukup, kan?"

Aku bergegas menuju kamar. Meraih pakaian tanpa banyak pertimbangan. Sebelum waktu yang ditentukan aku sudah berada di ruang tengah tetapi sofa yang diduduki Alvaro tampak kosong.

"Duduk, Frey. Kita bicara sebentar." Alvaro muncul dari belakang. Ia menyodorkan kaleng minuman cola dingin.

"Terima kasih, Mas." Aku memilih tempat di sofa panjang. Begitupula dengan Alvaro meski aku sengaja duduk sejauh mungkin.

"Pakaianmu sudah dibawa?"

"Sudah."

Alvaro tiba-tiba bangkit. Ia bergerak mendekat dan tanpa banyak basa-basi tubuhnya yang tinggi besar melesak di sampingku. Ketenangan yang susah payah terbangun perlahan meluruh.

Kekesalan sebelumnya bercampur perasaan tegang sekaligus gelisah. Reaksi  lelaki ini di luar dugaan. Akan lebih mudah menyikapi situasi andai jarak di antara kami tetap terjaga.

"Soal mantanmu. Itu yang membuatmu cemberut sepanjang jalan tadi?"

"Mas salah paham." Aku berusaha tersenyum walau bibir terasa kaku. "Aku cuma sedikit tegang."

Pandangan Alvaro berpaling padaku. Matanya yang tajam seakan siap mengorek kebohongan. "Benarkah?"

"Ya," balasku cepat. "Nenek Euis mungkin sedang menunggu. Sebaiknya kita cepat berangkat."

Lengan Alvaro menahanku saat bersiap  bangkit. "Kita selesaikan sampai selesai."

Aku menyerah. Perhatian Alvaro sulit teralihkan. Kami tidak akan meninggalkan apartemen sampai keinginannya terpenuhi.

Bulu roma berdiri menyadari kehangatan kulit Alvaro hanya hanya berjarak satu ruas jari dari lengan. Dorongan merasakan lebih banyak sentuhannya menggodaku bertindak lebih berani. Godaan yang harus kutahan kuat-kuat atas nama kesopanan.

Alvaro menceritakan pertemuannya dengan Genta. Ia awalnya tidak menyadari hingga lelaki itu menghampirinya. Seorang perempuan sebaya dengannya menemani Genta. Sikap keduanya tampak akrab layaknya pasangan kekasih.

Keduanya hanya membahas seputar  kampus. Alvaro tidak menyebut namaku dalam bahasan pembicaraan mereka.

"Sudah cukup penjelasannya?"

"Mas sama sekali tidak heran dengan keengganku menyangkut Genta? Kalau memang ada yang ingin ditanyakan baiknya beritahu aku selain bertanya pada orang-orang di sekitar kami. Tapi pada dasarnya hubungan kami sekarang  memang kurang baik."

"Kenapa kamu merasa begitu?"

"Aku... " Tenggorokan mendadak kering. " Begini aku bukan bermaksud lancang. Aku ingin kita bisa bicara baik-baik menyangkut masalah pribadi di luar pekerjaan. Mas tidak harus peduli soal masa laluku tapi andai memang merasa perlu penjelasan soal rumor tentangku terutama yang berbau negatif, aku berharap dilibatkan supaya Mas bisa melihat dari posisiku."

"Kamu takut sekali dengan Genta." Kalimat Alvaro menyiratkan tuduhan halus. Tuduhan yang menunjuk diriku sebagai pemeran antagonis.

"Bukan takut secara fisik tapi salah satu keluarga Genta punya posisi di kampus. Meski tidak terang-terangan, Genta menyadari hal itu dan mungkin saja sesuatu yang buruk bisa dilakukannya padaku. Aku tidak mungkin berlindung dibalik keberadaan Mas terutama saat waktu yang kita sepakati berakhir. Mas mengertikan?"

Raut Alvaro menggelap. Keramahan sekaligus ketenangannya menguap. Sikapnya berubah dingin. Ia menatap dengan sorot menakutkan. Bola matanya seakan menyala oleh ketidaksukaan.

Lengannya tidak beranjak dari pahaku sejak kami bicara. Aku pun sulit bergerak tanpa harus menyentuhnya. Arti diam Alvaro terasa membingungkan. Sebagai lelaki yang kuanggap lebih berpengalaman dalam hidup, aku berpikir Alvaro bisa memahami kegelisanku.

Tidak mungkin aku meminta perlindungannya. Perubahan status kami bukan berdasar cinta. Dan tengat waktu menjadi pengingat untuk tetap menggunakan akal sehat. Aku tidak bisa menjamin akan tetap bekerja pada Alvaro. Mimpi buruk akan jadi kenyataan jika aku sampai terlena dan bergantung sepenuhnya pada Alvaro.

"Mas... "

Telunjuk Alvaro menempel di bibirnya. Isyarat yang memberi tanda agar aku diam. Ia kemudian mendekat hingga wajah kami hanya berjarak beberapa centi.

Dalam keadaan normal seharusnya aku memundurkan kepalaku, menjaga kesadaran tetap berada di tempatnya. Kenyataannya aku bergeming. Membalas  tatapannya yang membuat alarm tanda bahaya dalam kepala berbunyi nyaring.

"Genta lebih menakutkan dariku?"

"Bukan begitu. Mas sepertinya tidak paham penjelasanku."

"Aku mengerti tapi kekhawatiranmu soal Genga terlalu berlebihan atau memang ada yang kamu sembunyikan dari sekadar perpisahan kalian?"

Kepalaku menggeleng lemah. "Kami berpisah karena memang tidak sepaham dalam banyak hal tapi tidak ada pertengkaran sengit atau sesuatu yang lebih memalukan daripada memergokinya sedang berselingkuh. Mas bisa menyelidikanya kalau mau."

"Alasanmu bisa diterima. Entah benar atau tidak, ada banyak pasangan lain yang memiliki masalah seperti kalian."

"Itu masalahnya. Kita belum lama kenal. Mas mungkin lebih percaya sama Genta."

"Jika aku bertindak hanya berdasar emosi, perusahaan yang kujalani sekarang mungkin tinggal nama. Percaya atau tidak semua tergantung bukti meski  aku tidak tertarik membahas masa lalumu."

Kuperhatikan mimik Alvaro. Ketegangan masih tampak jelas. Rahangnya yang kokoh seakan kaku. Ketidakpuasan tergambar di kegelapan bola matanya. "Maaf. Aku mungkin terlalu berlebihan seperti kata Mas tadi. Sebaiknya kita pergi sekarang."

"Aku belum memberi perintah."

"Pembicaraan kita sudah selesai. Aku yakin Mas akan bersikap bijak seandainya mendengar rumor tentangku."

"Dan kamu masih enggan terlihat bersamaku?"

Pembicaraan kami semakin membingungkan. Keenggananku bersama Alvaro mungkin melukai harga dirinya. Ia mengira aku termasuk salah satu penggemar setianya yang berbangga  hati bisa menjadi salah satu orang terdekat.

Mengingat perasaanku bertepuk sebelah tangan  aku mungkin akan bergabung dengan mereka. Kumpulan perempuan patah hati. Tapi saat ini aku lebih memilih bersembunyi dari kenyataan. Menyimpan rapat hati di kotak tak terlihat.

"Selain sebagai pasangan, aku tidak punya masalah berada di dekat Mas saat kita berada di luar. Aku belum siap kalau  ibuku tahu tentang kita. Ia pasti tidak akan memercayaiku lagi."

Alvaro bergeming. Reaksinya membuatku serba salah bercampur takut.

"Aku masih ingin kuliah dengan tenang. Masih ingin bekerja sama Mas. Posisiku tidak lebih menguntungkan jika hubungan kita berakhir."

"Lakukan apa yang menurutmu baik tapi dengan status atau tidak, kamu harus serius menyikapi hubungan kita. Nenek harus yakin kedekatan kita bukan sandiwara. Dan itu berarti kamu meniadakan kemungkinan masuknya  pihak ketiga."

"Mas juga akan mematuhinya?" Mataku terpicing sebelah. Mengingat kecintaannya pada kebebasan, sulit membayangkannya terikat pada satu perempuan yang tidak dicintai. "Aku mengerti kalau Mas menolak. Mas tidak perlu memaksakan diri jika tak sanggup."

Alvaro tiba-tiba mengecup pipiku. "Aku terima tantanganmu."

Wajahku memanas. Entah semerah apa pipiku. "Dilarang melakukan sentuhan fisik seperti ciuman. Kita harus sepakat dulu soal itu."

"Maksudmu seperti... " Kepalanya kembali mendekat. Ia berbisik di telingaku. "Boleh aku mencium pipimu?"

"Ti... tidak. Kita hanya berdua."

"Pipimu menggiurkan. Sebagai kekasih aku mengaguminya."

"Hentikan, Mas. Kita sudah keluar dari pembicaraan."

"Tapi kita memang pasangan kekasih, bukan?" Alvaro perlahan bangkit. Ia menatapku yang masih duduk. "Dan mungkin, di kemudian hari hubungan kita berlanjut lebih dari tiga bulan."

Aku meraih tangannya yang terulur. Alvaro bergerak dengan sigap, menahan tubuhnya agar tidak terjatuh saat berdiri. "Mas bakal bosan sebelum tiga bulan."

Jantung berdegub kencang diikuti riak menggelikan dalam perut. Sensasi aneh yang sama sekali tidak terasa buruk. Reaksi itu terjadi ketika Alvaro menundukan pandangannya sementara salah satu lengannya melingkari pinggangku.

Keheningan menambah aura kegelisahan. Kedua alis Alvaro hampir menyatu saat berkerut. Ia tersenyum geli. "Simpan asumsimu. Detik ini kita pasangan kekasih baik itu saat berdua atau di depan banyak orang. Kamu terikat padaku."

"Dan Mas sendiri?" tanyaku ragu.

Alvaro terkekeh. "Aku tidak bisa menjanjikan cinta tapi aku tidak pernah menjalin hubungan dengan dua perempuan dalam waktu bersamaan, seburuk apapun situasinya."

Perasaan mencelos. Ingatan tentang perempuan yang menjadi wallpaper laptop Alvaro melintas. Gelagat lelaki itu membuatku mengira ia satu-satunya pemilik hati Alvaro.

Jika cukup beruntung disukai Alvaro sudah merupakan keajaiban. Kejutan yang sebelumnya terdengar seperti halusinasi. Pemikiran itu cukup menganggu. Khawatir efek patah hati lebih menyakitkan dari sekadar kata suka.

"Oh kita harus bekerja sama dengan sungguh-sungguh ya."

"Aku tidak akan membiarkan hal buruk terjadi padamu. Berhenti mengkhawatirkan Genta atau siapapun. Meski kita akhirnya berpisah di simpang jalan, bukan berarti aku melepasmu begitu saja."

"Misalnya aku bersikap mesra, Mas tidak akan memecatku, kan?" tanyaku setengah bercanda.

Kedipannya membuat perasaan membuncah, terlena oleh godaan yang mungkin akan kusesali. "Aku menantikannya. Sekarang kita pergi. Azra sudah mengirim puluhan pesan dari tadi." Alvaro meraih tas berisi pakaian ganti sementara tangannya yang lain mengamit jemariku.

*****

Sejak saat itu aku mencoba mengubah pola pikir. Alvaro terbuka untuk disukai. Hanya sebatas itu yang akal sehat izinkan. Melewati garis pembatas risikonya mungkin lebih buruk dari patah hati.

Di luar berbagai pemikiran yang memusingkan, langkahku semakin tenang. Kantin bukan lagi tempat terlarang. Aku tidak peduli seandainya waktu mempertemukanku dan Genta di manapun. Selama aku berada di pihak yang benar, Alvaro tidak akan menemukan bukti menyudutkan.

Ditto cukup takjub dengan perubahanku. Ia senang melihatku tidak lagi terbebani keberadaan Genta. Aku sempat meminta maaf karena mencatut namanya tempo hari. Ia tak keberatan hanya kaget karena keesokan hari ditodong pertanyaan tentang resepsi yang tidak didatanginya oleh Cipto.

Beruntung Ditto bisa membaca situasi. Ia pintar mengarang cerita terdengar sangat meyakinkan.

"Lain kali kamu kabari aku dulu sebelum  melibatkan namaku." Ditto menyeret kursi di meja yang kupilih untuk bersantap siang.

Suasana cukup ramai. Hampir semua meja disesaki mahasiswa yang berniat mengisi perut atau sekadar membunuh waktu sambil menunggu mata kuliah berikutnya. Di antara mereka sosok Genta berada tidak jauh dari tempatku duduk. Ia sedang mengobrol bersama teman-temannya.   

"Sorry. Aku benar-benar lupa tapi terima kasih bantuannya."

Ditto menyeruput minuman cola dingin yang ia bawa. Matanya melirik sekilas ke arah meja Genta. "Kamu sudah berdamai dengan keadaan?"

"Seharusnya aku melakukannya dari dulu." Aku menelan sisa nasi goreng.

"Pengaruh Alvaro cukup besar ya. Ia menawariku perlindungan?"

"Tidak juga. Aku hanya mencoba, siapa tahu kali ini berhasil. Kalau gagal, mungkin aku memang harus menjauhi sumber masalah."

Ditto mengamatiku. "Genta sepertinya sudah move on. Seharusnya kamu bisa membuka hati lagi. Bukan berarti punya pacar tapi setidaknya mulai menyingkirkan kecemasan kalau ada lelaki yang mendekat."

"Kamu mungkin berpikir aku terlalu ge er sama Genta. Kenyataannya ia memang dekat sama perempuan-perempuan lain. Tapi kekhawatiranku belum bisa dihapus sampai aku yakin Genta benar-benar melupakanku. Kadang aku merasa tindakannya karena dendam bukan suka atau semacamnya."

Helaan napas mengalun dari bibir Ditto. Ia merengut setelah melempar pandangan ke sekeliling. "Genta datang."

Aku melirik ke samping. Genta berjalan mendekati kami. Senyumannya menyungging, menambah pesona yang membuat sejumlah mahasiswi mencuri pandang.

"Hai, Frey. Dit," sapanya ramah. "Tumben kamu ke kantin, Frey."

"Lapar," balasku singkat.

Genta melirik pada Ditto. Pesan yang tersirat memintanya meninggalkan kantin. Aku mengangguk pelan saat Ditto menunggu persetujuan.

"Aku ke kelas dulu, Frey." Ditto berlalu tanpa mengucap sepatah kata pada Genta.

"Ada apa lagi, Ta." Todongku sebelum lelaki itu menduduki kursi yang ditinggalkan Ditto.

"Cuma ingin bicara sebentar."

"Tentang?"

"Bagaimana kabarmu? Cipto bilang penampilanmu berbeda waktu hari biasa saat resepsi."

"Baik." Kutatap Genta dengan tenang. "Mungkin karena aku jarang dandan ke kampus jadi kelihatan beda."

"Seharusnya aku datang lebih cepat. Aku sulit sekali membujukmu merias wajah supaya tidak pucat waktu kita masih pacaran."

"Aku dengar kamu punya pacar lagi," tanyaku mengalihkan topik yang menjurus mengungkit masa lalu.

"Belum sampai ke tahap itu. Masih proses pencarian. Kenapa?"

" Aku senang kamu sudah move on."

Senyuman Genta tiba-tiba menghilang. Tubuhnya dicondongkan ke arahku. Kedua lengannya ditaruh di atas meja. Jemarinya saling mengait kuat. "Kamu sudah punya pacar?"

"Itu bukan urusanmu."

"Kamu sudah punya pacar?" Genta mengulang pertanyaan dengan nada sedikit lebih tinggi.

Bola mataku berputar ke sekeliling. Merasa lega karena pembicaraan kami tidak mengusik keingintahuan orang-orang di sekitar. "Belum."

"Jangan bohong."

"Jangan kekanakan, Ta. Aku sedang malas berdebat."

"Siapa?" tanyanya semakin tak sabar. 

"Genta, please." Aku merendahkan suara. "Jangan buat hubungan kita semakin rumit."

Genta menyeret kursinya dengan kasar lalu bangkit. "Apa laki-laki itu lebih segalanya dariku?"

Aku menghela napas panjang. Emosi Genta selalu turun naik setiap kali membahas masalah pribadi. "Cukup, Ta. Jangan permalukan diri sendiri di tempat umum. Terimalah kenyataan. Kita tidak sejalan dalam banyak hal. Cara pandang kita terlalu berbeda dan memaksakannya hanya akan memupuk  kebencian."

Kaki bergerak cepat meninggalkan kantin. Pandanganku lurus mengabaikan semua perhatian yang mungkin tertuju pada kami. Seharusnya tadi aku menahan kepergian Ditto. Pembicaraanku dan Genta selalu berakhir buntu. Terkadang aku ngeri kalau emosi lelaki itu sudah memuncak. 

"Tunggu, Frey." Genta menghadang langkahku saat akan menaiki tangga menuju lobi. 

"Sebentar lagi kelasku dimulai."

"Beri aku waktu. Lima menit saja."

"Apa lagi?" keluhku sambil merapat ke dinding. 

"Kamu serius kan belum punya pacar?"

Nama Alvaro tersangkut di tenggorokan. Aku tidak bisa menggunakannya sebagai kartu emas. Dalam tiga bulan percintaan pura-pura kami akan usai. Kehidupanku selanjutnya akan berantakan bila Genta mengetahuinya. 

Meski Alvaro mengisyaratkan akan tetap membantu, aku tidak mungkin seratus persen bergantung padanya. Ia bisa saja membalikan semua janji dalam satu kalimat penolakan. 

"Sudahlah, Ta. Aku capek bahas ini terus. Kalau memang punya pacar, cepat atau lambat kamu akan tahu juga."

"Aku masih sayang sama kamu, Frey."

"Sayang saja tidak cukup. Berapa kali kita putus sambung, mencoba berbagai cara memperbaiki kesalahan. Hasilnya nol besar. Kita masih muda, Ta. Fokusku sekarang bukan mencari pasangan."

"Kali ini pasti berhasil. Aku rela melakukan apa saja untukmu. Kamu tidak perlu mengkhawatirkan beasiswa atau biaya kuliah."

"Dulu kamu pernah mengatakan hal yang sama tapi hubungan kita tetap berujung pada perpisahan. Aku capek, Ta. Kita masih bisa berteman daripada menjadi musuh."

Kepalan tangan di samping tubuh Genta menguat. Ia tidak menyukai penolakan. Aku mengenal karakternya. Sifat keras yang selalu memaksaku mengalah. "Ini belum berakhir. Siapapun yang berusaha mendekatimu akan menyesal." Ia berbalik kembali menuju kantin. 

Aku melanjutkan perjalanan menuju kelas. Kepala mendadak pusing. Mereka yang tidak berada di posisiku pasti mengatakan aku tidak tahu diri. Di mata mereka Genta bak pangeran yang berusaha mengejar cinta upik abu. Dari sudut pandangku Genta terlihat seperti penggemar  yang terlalu obsesif. 

Pembicaraan kami sengaja kututupi dari teman-teman dekatku demi menghindari kekhawatiran. Aku tidak ingin melibatkan mereka dalam urusan Genta. Meski begitu aku semakin lebih berhati-hati. Kantin masih kudatangi tetapi selalu ditemani. 

Sikapku pada Genta pun biasa saja. Tetap normal walau dibalas delikan atau sorot dingin. 

Masalahku bukan hanya seputar kehidupan di kampus. Aku harus menyiapkan diri menemani Nenek Euis selama beberapa bulan ke depan. Entah apa rencana yang ada di kepala perempuan paruh baya itu. 

Ia tampak sumringah pada pertemuan terakhir kami. Pujiannya sedikit berlebihan saat melihatku memakai kebaya pilihannya. Ia cukup optimis aku dan cucunya bisa dekat seperti yang diharapkan. Alvaro tidak banyak bicara. Ia kembali ke mode tak acuh. Pertanyaan neneknya sering kali dibalas jawaban singkat. 

Mengingat kondisi kesehatan Nenek Euis, ia baru akan tinggal di apartemen minggu depan. Itu artinya aku memiliki waktu seminggu untuk menikmati ketenangan. Selain merawat apartemen, tugas dari Alvaro terbilang jarang. Tidak ada lagi perintah membeli barang untuk perempuan. 

Ketenangan yang tinggal menghitung jari terusik kedatangan Alvaro. Ia datang ditemani Azra. Keberadaan Azra membuatku sedikit lega. Berdua saja bersama Alvaro menimbulkan rasa canggung. Berada di dekatnya mengacaukan perasaan. Segala bentuk penyangkalan sering goyah setiap melihat wajahnya. 

Aku bersyukur masih bisa menempatkan kata suka di level aman. Akan sangat berbahaya jika terlalu terbuai oleh keadaan hingga lupa berpijak pada kenyataan. Tapi belakangan ini tindakan Alvaro sulit dipahami. Entah ia memberi lampu hijau pada status palsu kami atau sekadar memanfaatkan momen, seolah diriku boneka yang bisa dibuang saat bosan.

Hati kecil mengagumi sosok Alvaro. Laki-laki itu tampak gagah dalam balutan busana apapun. Malam ini ia mengenakan pakaian santai. Kaus putih dan celana biru tua selutut. Otot lengannya tercetak jelas saat bersidekap. 

Suasana hatinya sedang buruk sejak datang. Azra memintaku berhati-hati dan mengabaikan nada tak enak dari Alvaro. Lelaki itu tampak muram. Ia menekuk wajahnya saat diajak bicara oleh Azra. Sikapnya padaku tidak berbeda. Mendadak aku kangen rumah. Setelah menghadapi kekerasan kepala Genta, otakku butuh istirahat dari kesulitan menghadapi laki-laki lain. 

"Mas aku pulang dulu ya. Mau nengok rumah." 

"Kembali ke sini kalau sudah selesai."

Mataku melirik jam tangan. "Bisa besok saja? Sekarang sudah malam."

"Aku akan mengantarmu."

"Jangan. Nanti tetangga malah curiga dan laporan sama ibuku."

"Kenapa kamu jadi cerewet sekali," protes Alvaro. Ia beranjak dari sofa, mendekatiku yang mematung di samping pembatas ruangan. 

"Untuk kebaikan bersama kecuali Mas mau menemui keluargaku dan menjelaskan hubungan kita."

"Bagus sekali." Sudut bibirnya naik sebelah. "Sekarang kamu belajar mengancamku?"

"Bukan mengancam tapi negosiasi." Hati kecil mengagumi sosok Alvaro. Laki-laki itu tampak gagah dalam balutan busana apapun. Malam ini ia mengenakan pakaian santai. Kaus putih dan celana biru tua selutut. Otot lengannya tercetak jelas saat bersidekap. 

"Sekarang sudah malam. Sebaiknya kamu tunda kepulanganmu sampai besok pagi."

Azra menatapku dari ruang tengah. Mulutnya komat-kamit, mengisyaratkan agar aku menurut. Awalnya aku setuju tetapi pemikiran itu berubah begitu Alvaro memasuki ruang kerja. Ia melarang kami menganggunya. Perintahnya tidak ada yang aneh hingga aku tidak sengaja menyadari pintu ruangan kerja sedikit terbuka. Rasa ingin tahu menggodaku melihat apa 

Alvaro sedang menatap layar laptop. Sorotnya dipenuhi oleh kesedihan. Senyumannya terlihat getir. Ia terlihat putus asa. Aku belum pernah melihatnya tidak berdaya seperti itu. Samar terdengar nama seseorang perempuan disebut. 

Tubuhku mundur perlahan lalu berjalan cepat kembali ke kamar. Perasaan mendadak tak keruan. Keinginan menyingkir dari apartemen bertambah besar. Pikiran singkat itu begitu menganggu seiring munculnya kejadian di ruang kerja. 

Deringan ponsel membuyarkan lamunan. Mia menelepon sambil menangis. Ia bertengkar dengan ayahnya dan sedang menenangkan diri di luar rumah. Aku berjanji akan menemuinya karena tidak tega membiarkannya sendirian.

Aku mengemas pakaian yang akan dibawa dalam tas.  Rencanaku kembali ke niat semula yaitu pulag ke rumah. Tanpa menimbang akibatnya aku segera keluar dari kamar. Azra yang baru saja membuka pintu kamar tamu terkejut melihatku di ruang tengah. 

"Boleh aku pergi? Temanku sedang menunggu. Ia butuh teman bicara," pintaku setengah memohon. 

"Aku tidak yakin Alvaro akan mengizinkan."

"Sebaiknya kita coba dulu."

Azra menggeleng pelan, tampak ragu walau akhirnya menuruti permintaanku. Ia mengetuk pelan pintu ruang kerja. Bentakan dari dalam membuat kami terkejut. Alvaro benar-benar tidak ingin diganggu dan menyetujui apapun keputusan Azra. 

"Ini berbahaya. Kamu paham, Frey."

"Maaf, aku tidak bermaksud melibatkanmu tapi temanku benar-benar butuh bantuan. Aku bisa minta ia bicara padamu kalau tidak percaya."

"Bukan aku tapi kamu."

"Semua bisa dibicarakan dengan kepala dingin lagi pula Alvaro sepertinya tidak akan keluar dari ruang kerja dalam waktu dekat. Ia akan mengira aku ada di kamar. Besok pagi aku kembali sebelum ia bangun. Bagaimana? Rencana yang bagus, kan?"

Azra tersenyum tipis. "Hati-hati di jalan."

Kesempatan itu kugunakan sebaik mungkin. Sepanjang jalan menuju basement tak ubahnya seperti sedang adegan bersembunyi dari penjahat. Kegelisahan sulit ditepis terutama begitu menyadari tindakan impulsifku bisa berakibat buruk.

Ada kemungkinan Alvaro menyadari diriku tidak berada di kamar. Tapi kembali ke apartemen pun enggan kupilih. Emosi sesaat yang berasal dari kecemburuan melarang berada satu tempat dengan penyebab masalah.  

Dibanding Mia, sepertinya aku yang lebih butuh udara segar agar mampu mengembalikan akal sejernih sebelumnya.

Kurang dari satu jam, setelah melewati kemacetan dan keramaian di malam minggu, aku menemui Mia di salah satu bioskop. Kami menonton film yang diinginkannya sebagai bentuk penghiburan. Ponsel kumatikan agar terhindar dari gangguan.

Malam semakin larut saat film berakhir. Mia belum ingin pulang walau sudah dibujuk. Aku membawanya ke restoran fast food yang buka dua puluh empat jam. Letaknya tidak jauh dari mal yang kami tinggalkan. Kami bisa mengobrol bebas di sana tanpa dibatasi oleh waktu.

Suasana di restoran sangat ramai. Kami cukup beruntung mendapat meja kosong walau berada di luar ruangan.

Aku menjadi pendengar setelah membawa pesanan kami. Hubungan orang tua dan anak sering kali turun naik. Kesalahpahaman maupun ketidakpahaman bukan hal baru.

"Sabar. Jangan keburu emosi. Beda pendapat itu biasa. Kamu jelaskan sama ayahmu pelan-pelan apa maumu. Kabur dari rumah malah tambah runyam."

"Aku sudah bilang sedang bersamamu. Ayahku mungkin sudah tidur sekarang." Mia mengigit ayam pedas kesukaannya. "Kamu sendiri tidak apa-apa menemaniku? Alvaro datang ke Bandung."

Napsu makan sontak menghilang. Bulu roma merinding mendengar Alvaro disebut. Padahal aku berhasil mengalihkan perhatian sejak bertemu Mia.

"Jangan mengingatkanku hal buruk. Kita sedang bersenang-senang sekarang walaupun tempat ini terlalu ramai."

Mia menoleh ke sekeliling. Senyumnya mengembang saat berbalik menghadapku. "Bukannya ini kesempatan bagus. Sebagian besar pengunjung anak muda. Siapa tahu kamu tertarik sama salah satu dari mereka."

Kepalaku menggeleng. "Lain kali saja. Otakku sedang tidak bisa diajak kerja sama."

"Oh ya. Aku pinjam ponselmu dong. Bateraiku habis. Aku mau memastikan kalau ayahku sudah tidur."

Sebuah benda kecil kukeluarkan dari tas. Jemari menekan tombol power. Aku sontak terdiam melihat sejumlah pesan masuk.

"Kenapa? Ada masalah?"

"Alvaro... "

"Kamu hubungi bos mu, siapa tahu ada tugas mendadak."

Aku tersenyum miris. Bukan tugas yang kutakutkan tapi luapan kemarahannya. Alvaro sudah menyadari aku tidak berada di apartemen. Ia menghubungi sejak aku menonton film.

Setengah ragu-ragu aku menelepon lelaki itu. Di deringan kedua panggilanku diangkat.

"Halo, Freya." Sapaan lembut Alvaro membuatku bingung. Ia terdengar santai.

"Halo. Maaf tadi baterai ponselnya habis," kataku berbohong. Mia sibuk menyantap makanannya hingga tidak terlalu menyimak panggilanku pada Alvaro.

"Oh... " Suara di seberang mengambang selama beberapa detik. "Kamu di mana sekarang? Masih bersama temanmu?"

"Ya." Aku menyebut nama restoran tempat kami berada. "Tadi aku... "

"Jangan pergi sebelum aku datang. Aku ke sana sekarang."

"Eh apa... " Sambungan kami terputus sebelum sempat menyelesaikan balasan.

Kedua alis Mia terangkat. "Kalian bicara apa? Kenapa wajahmu pucat?"

"Alvaro. Ia bilang mau ke sini."

"Buat apa? Tenang saja. Aku akan menjelaskan padanya kalau kamu datang karena permintaanku."

Bahuku terangkat. "Entahlah. Kita lihat saja nanti."

Penantian terasa menyiksa. Biasanya Alvaro akan menyuruhku kembali alih-alih mendatangi tempat ini. Suaranya terdengar wajar, nyaris tanpa emosi. Seharusnya aku lega tapi hatiku tidak setuju.

Aku berpura-pura tenang sambil meneruskan obrolan. Mia berulang kali memintaku tenang padahal ia sendiri sedang ada masalah. Sejenak kami melupakan kekhawatiran dan membahas hal lain yang menyenangkan.

Dua orang lelaki menghampiri kami di tengah obrolan. Kepalaku mendongkak ke samping dan menemukan sosok yang kukenal sedang tersenyum. Seorang lelaki bertubuh tinggi, memakai sweater abu-abu dan topi baseball menyapa kami. Mataku terbuka lebar memperhatikan lebih saksama pemilik  wajah berkacamata.

Penampilan Alvaro membuatku sempat mengira ia lelaki iseng sementara Azra memakai jaket kulit dibalik pakaiannya yang kulihat sebelum meninggalkan apartemen.

Alvaro menyeret kursi di sebelahku sedangkan Azra mengambil tempat di samping Mia setelah bertanya dengan sopan.

"Mas kenapa pakai pakaian seperti ini? Pakai kacamata pula."

"Kamu selalu khawatir ada yang mengenaliku saat kita bersama."

"Mas?" Sela Mia yang kebingungan. "Kabar penting apa yang kulewatkan?"

"Aku akan jelaskan nanti," balasku cepat lalu mengalihkan pandangan pada Alvaro. "Mas marah?"

Jemarinya meraih tanganku di bawah meja. Sengatan listrik menyentak saat kulit kami bersentuhan. Genggamannya sangat kuat hingga sulit melepaskan diri.

"Tidak," jawabnya santai.

"Lalu kenapa ke sini? Kita bisa bicara besok."

"Menemui pacar sendiri. Ada yang salah?"

Mia terbatuk mendengar ucapan Alvaro. Ia menatapku tak percaya. "Aku butuh lebih dari sekadar penjelasan singkat, Frey."

"Bukannya Mas sedang tidak ingin diganggu."

"Apa kedatanganku menganggumu? Kalian sepertinya sedang bersenang-senang." Alvaro mengabaikan pertanyaanku. Ia menatap meja di sekeliling kami. Sebagian besar ditempati oleh lelaki seusiaku.

"Ya, kalau Mas datang cuma untuk marah-marah."

"Aku memarahimu karena peduli. Kamu sepertinya salah paham setelah mengintipku di ruang kerja. Aku sedang mengingat ibuku bukan perempuan lain."

"I... itu tidak sengaja dan aku pergi bukan karena salah paham."

Ibu jari Alvaro mengusap lembut punggung tanganku. Ketegangan membuatku lupa kami masih bergenggaman tangan. "Kamu pergi karena mengira aku sedang memikirkan perempuan lain.  Memanfaatkan situasiku yang tidak ingin diganggu sebagai kesempatan untuk pergi. Kamu bahkan meminta Azra menyampaikan alasan tanpa berani bicara langsung."

"Siapa yang cemburu."

"Aku tidak bilang kamu cemburu." Alvaro tersenyum lebar. "Aku datang karena ingin menikmati malam minggu dengan pacar."

"Maaf seharusnya aku bertindak lebih bijak."

"Dimaafkan, Sayang, tapi jangan pernah berani mengulanginya," bisiknya pelan.

Wajahku merona. Kesan kelam di kalimat Alvaro terabaikan oleh panggilan sayang.

Tbc

Malam semua. Maaf ya updatenya ngaret sekali. Bukannya mau banyak alasan tapi bulan ini lumayan ribet. Dari part ini yang ternyata nggak ke save padahal udah setengah jalan, kerabat dekat yang meninggal dan mengharuskan saya keluar kota sampai urus si kecil yang sakit dan sakitnya menular ke saya.

Karena agak lama vakum, saya harus mulihin dulu mood buat nulisnya dan alhamdulillah bisa enak nulis lagi. Jadi maaf kalau nggak ada kabar ya.

Seperti biasa maaf kalau ada typo. Kesalahan nanti di koreksi. Selamat malam & sampai jumpa di part selanjutnya 😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro