Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Alvaro side

"Bayi besar aku pergi dulu ya. Sampai ketemu sore nanti." Sorot teduh perempuan berambut panjang berdiri di depanku. Kulit kecokelatannya berkilau indah.

"Laura, bisakah kamu tunggu di apartemenku? Aku janji setelah pekerjaan selesai akan segera menemuimu. Satu jam ah tidak setengah jam paling lama. Biar aku yang mengantarmu ke bandara." Tanganku menyentuh pipinya. Desakan yang entah berasal darimana seolah berusaha menahannya pergi.

Senyuman Laura membuat perempuan itu semakin cantik. Ia bergerak perlahan, melingkarkan kedua lengannya di pinggangku lalu mendongkakkan kepala. "Kamu tahu itu tidak mungkin. Lagipula kamu sedang mengerjakan project penting. Fokus saja pada pekerjaanmu. Aku pergi hanya satu minggu. Minggu depan kita sudah bersama lagi."

Kukecup puncak kepalanya dan mempererat pelukan. "Kenapa kamu baru memberitahu akan pulang ke Indonesia sehari sebelum berangkat. Jika aku tahu, aku bisa mengambil cuti untuk menemanimu."

Laura mencium singkat daguku. Matanya berbinar dipenuhi kebahagiaan. "Jangan memaksakan diri. Selama ini kamu selalu menghindar setiap ditanya kapan kembali ke Indonesia. Aku tidak ingin memberimu beban tambahan. Setelah aku urusan keluargaku selesai aku akan segera kembali."

"Tapi perasaanku tidak enak. Bisakah kamu menunda keberangkatanmu sampai besok? Biar aku yang mengurus semua."

"Tidak bisa, Al. Keluargaku membutuhkanku. Kita pernah berpisah cukup lama dan kamu baik-baik saja."

"Seharusnya waktu itu aku mendengarmu," gumamku sambil kembali mengecup kepalanya. "Aku membutuhkanmu, hanya kamu."

Laura tersenyum geli. "Kenapa tiba-tiba melankolis. Kamu sudah kuat sekarang. Tanpa dirikupun aku yakin kamu bisa menghadapi dunia."

Jantung berdegub kencang. Kegelisahan menjalari setiap bagian tubuh. Ada ketakutan tak beralasan muncul. Rangkulanku menguat, mengurung perempuan manis yang masih tersenyum. Kepalaku menunduk, menghujaninya ciuman. Laura membalas dengan intensitasi yang sama. Aku tidak peduli keadaan sekitar selama bisa menahan kepergian Laura.

Laura melepas ciumannya, mendorongku pelan meski tubuh kami tetap rapat. "Aku mencintaimu dalam diam sejak kita pertama bertemu. Aku tidak berhenti mencintaimu meski kamu memilih perempuan lain. Aku tetap mencintaimu walau kamu bilang kita berteman. Aku semakin mencintaimu saat kamu menyadari keberadaanku. Dan rasa cintaku tidak akan pernah berubah hanya karena jarak memisahkan. Kamu cinta dalam hidupku, Al. Selamanya."

Laura.

Nama itu bergema dalam hati. Bayangan perempuan cantik berkulit eksotis muncul di hadapanku. Senyumannya menawarkan berjuta kenyamanan. Rambut hitam tergerai indah. Tatapan hangat dalam bola mata kecokelatan.

Ia tidak pernah benar-benar pergi meski yang raganya tak lagi ada. Kenangan bertahun-tahun tersimpan kuat. Ia yang selalu memercayaiku. Pelindung ternyaman saat hidup terasa pahit. Teman terbaik kala berada di titik terendah. Kekasih paling setia. Aku kehilangannya sebelum sempat mengabulkan mimpinya.

Sakit ini masih sama seperti ketika firasat terburuk menjadi kenyataan. Waktu seolah berhenti berdetak. Tangis dan penyesalan terus menerus menghantui rasa bersalah. Meski sekarang intensitasnya tak lagi sama. Perlahan hati yang terkunci mulai terbuka. 

"Alvaro." Suara memanggil namaku dari balik pintu mengaburkan sosok Laura.

"Ya."

Seraut wajah tak lagi muda muncul. Senyum Nenek mengembang. "Kamu jadi pergi ke Jakarta."

"Jadi, Nek. Ada urusan penting di kantor. Azka minta aku datang."

"Freya gimana? Kamu sudah memberitahunya?"

Aku segera menutup laptop, meraih ponsel di meja lalu menghampiri Nenek. Tangan merangkul bahu perempuan itu, mengajaknya ke ruang tengah. Sejak tinggal di apartemen ia terlihat lebih bahagia meski tidak senyaman rumahnya di Jakarta. Aku senang melihat kesehatannya semakin membaik.

"Aku akan mengabari nanti. Sekarang Freya masih kuliah."

"Jam berapa kamu berangkat?"

"Satu jam lagi. Aku mau siap-siap dulu."

Panggilan masuk menyela pembicaraan kami. Nenek meninggalkanku ke dapur. Ia bersikeras agar aku membawa makanan tak peduli apapun penolakanku. Aku tak ingin mengecewakannya dan menuruti keinginannya.

"Halo, Bos. Kamu sudah berangkat?" Azka terdengar gelisah.

"Belum. Kenapa? Ada yang lebih penting selain panggilanmu sebelumnya tadi pagi."

Suara Azka di seberang menghilang sesaat. "Ayahmu tadi datang ke kantor,"ujarnya ragu.

"Jelaskan secara detail."

"Ayahmu datang mungkin karena tahu kamu tidak ke kantor hari ini. Ia muncul dan menanyakan apakah ada rapat yang seharusnya kamu ikuti. Aku tidak bisa berbohong karena tempat, tim dan materi rapat sudah lengkap. Aku tak mungkin mengusirnya. Yang lain juga segan."

Aku mengatur napas. Percikan amarah setiap mendengar ayahku disebut menghancurkan kedamaian semenit lalu. "Kamu tahu kalau aku paling tidak suka ada orang yang tidak berkepentingan masuk ke ruang rapat apalagi mencampuri hasil rapat."

"Tapi orang itu ayahmu. Bagaimanapun ia masih memiliki posisi di perusahaan. Aku tidak tahu ayahmu tahu darimana hari ini ada rapat project Daya Bumi Sentosa. Tapi sepertinya ia sangat tertarik. Bahkan memintaku melaporkan setiap proses yang berjalan."

"Daya Bumi Sentosa." Kupijat kening karena merasa sakit kepala. Perusahaan itu memang cukup spesial di mata ayahku. Ia berteman baik dengan pemiliknya. Awalnya aku enggan menyetujui proposal yang ditawarkan tapi ayahku terus membujuk dengan embel-embel balas budi. Bukan hanya citra perusahaan itu yang kurang baik, sifat putri pemiliknya kurang lebih sama. Hanya karena kami pernah makan malam satu kali, ia mengembuskan rumor kalau kami sepasang kekasih. Ayah sempat gembira sebelum aku menghempas harapannya.

Dan tidak lama rumor selanjutnya muncul, perempuan itu mem-post kesedihannya putus denganku karena perempuan lain. Julukan playboy yang orang-orang sematkan membuat posisiku paling layak disalahkan. Akibatnya sumpah serapah sering terdengar sampai berita itu reda sendiri. Azka sempat khawatir berita buruk itu akan berpengaruh pada perusahaan. Ia kesal karena aku lebih memilih tidak peduli.

Setiap kerjasama dikerjakan secara professional. Semua harus berjalan tanpa meninggalkan ruang kesalahan meski tangan yang diuntungkan sekumpulan manusia serakah. Jika tidak mengingat orang-orang yang terkena dampaknya, sudah sejak lama perusahaan itu masuk dalam daftar hitam. Aku sendiri pernah mengalaminya, memulihkan perusahaan butuh kerja ekstra keras. Sayangnya hingga detik ini perusahaan itu belum berbenah dan menggantungkan kelangsungan hidup pada hutang.

"Dengar. Aku minta laporan hasil rapat sudah ada di mejaku saat aku sampai di kantor. Tidak ada satupun dari tim yang pulang sebelum aku datang. Proses belum bisa berjalan sebelum aku menyetujuinya. Siapapun termasuk ayahku sekalipun bukan penentu jalannya project ini."

"Apa aku perlu mengatur rapat ulang."

"Tidak perlu. Suruh nanti tim project ke ruanganku. Aku ingin mendengar poin pentingnya."

"Baik, Bos. Hati-hati di jalan."

Berengsek.

Bertahun-tahun aku mencoba berdamai dengan keadaan. Ayahku, orang yang paling banyak mengukir luka selalu saja mencampuri urusanku. Ia melupakan janjinya tidak akan mengusik seandainya aku mau bergabung di perusahaan ini. Jika bukan karena permintaan Nenek, aku tidak sudi mengambil alih perusahaan.

"Alvaro ada apa?" Nenek menatapku cemas.

"Biasa, Nek. Panggilan dari kantor. Aku siap-siap dulu." Kakiku bergerak cepat menuju kamar. Mengganti pakaian dengan pakaian formal dan memasukan benda-benda penting dalam tas kerja.

Kemarahan terlanjur menguasai setengah akal sehat. Aku tahu Nenek bingung melihatku pergi terburu-buru. Kekhawatiran menggurat di wajahnya saat aku memberinya pelukan dan ciuman di pipi sebelum meninggalkan apartemen. Kepergian putri dan suaminya sudah cukup membuatnya bersedih. Aku tidak ingin menambah kekacauan saat bersamanya.

Sepanjang perjalanan amarah tidak menurun. Emosi meledak-ledak. Di saat semua tidak tertahankan terkadang kendaraan kupacu melewati batas aman saat di tol. Ketenangan telah rusak. Sisa waktu berharga pun terbuang sia-sia.

Sial.

Setibanya di kantor aku segera pergi menuju ruangan di lantai paling atas. Setiap karyawan yang berpapasan tampak tegang. Mereka mengangguk cepat sambil mengucapkan salam. Beberapa memilih menundukan kepala atau menghindar. Azka yang sudah menunggu di lobi mengikuti dari belakang. Ia tahu suasana hatiku sedang buruk. Lelaki itu paham ada saat-saat di mana pendapatnya tidak akan didengar.

"Sekarang masih jam makan siang." Azka membuka pintu setibanya kami di ruanganku. "Semua anggota tim sudah kuberitahu. Laporan juga sudah kusimpan di meja. Masih ada tambahan?"

Aku melangkah menuju meja. Tas kerja kutaruh di meja lalu duduk di kursi. Mata terpejam, menghalau kelelahan. "Pesankan aku makanan dari restoran biasa."

"Baik, ada lagi?"

"Setelah pertemuan nanti aku tidak ingin diganggu. Tidak ada yang boleh masuk kecuali urusan hidup dan mati. Siapapun tanpa kecuali."

"Untuk besok apa ada perubahan jadwal?"

"Tidak. Besok aku kerja seperti biasa."

"Oke."

Pintu tertutup. Keheningan menyelimuti tempat di mana setiap hari aku bekerja. Ruangan yang di dominasi warna cokelat dan hitam. Dinding berwarna putih gading dihiasi beberapa lukisan pemandangan. Di depan meja terdapat meja rapat berukuran tidak terlalu besar. Kadang aku melakukan rapat mendadak di ruangan ini. Sementara di bagian belakang meja berderet rak yang terisi buku-buku koleksi. Sebagian besar tentang bisnis. Jendela kaca berukuran besar berada di sisi kanan tempatku duduk, cahaya yang masuk membuat ruangan lebih terang tanpa menggunakan lampu.

Laptop dan ponsel kukeluarkan dari dalam tas. Rasa tak sabar mengusir lelah. Ada seseorang yang ingin sekali kudengar suaranya.

"Siang, Frey."

"Siang." Suara di seberang terdengar antusias.

"Kamu sudah makan?"

"Sudah. Mas sudah makan?"

"Baru saja dipesan." Freya mungkin sedang berada di kantin. Suara di belakangnya sangat ramai. Membayangkan aku tak didekatnya memaksaku menahan diri berpikir negative. "Frey, kamu nanti pulang sendiri ya. Aku sudah pulang ke Jakarta. Ada masalah kerjaan. Tidak apa-apa, kan?"

"Oh, tidak apa-apa. Aku bisa pulang sendiri atau ikut sama Mia. Mas tidak usah khawatir."

"Khawatir? Aku mengkhawatirkanmu saat bisa melihatmu dan lebih mengkhawatirkanmu saat berjauhan."

"Mas bisa saja. Aku baik-baik saja kok."

Bayangan pipi yang merona di seberang sana menambah berat kerinduan. Aku merindukan semua tentangnya. "Beres kuliah langsung pulang dan istirahat. Jangan kemana-mana lagi kalau tidak penting. Jangan lupa makan. Nenek bilang kamu suka menunda makan kalau sedang mengerjakan tugas."

"Iya. Iya."

"Nanti aku kabari lagi ya, Sayang. Bye."

"Bye."

Kepalaku masih mengingat ekspresi malu-malu Freya. Kegugupan yang tidak dibuat-buat setiap kupandangi. Pernah aku berpikir ada yang salah karena menyukainya. Berniat menghindarinya, menempatkan status kami sebatas hubungan professional. Seiring waktu, kebersamaan justru menambah setiap rasa untuknya.

Aku memiliki rencana-rencana yang ingin atau akan dijalani baik untuk besok atau masa depan. Memilih pasangan termasuk di dalamnya. Selama ini aku nyaman dengan hubungan casual. Bersama seseorang yang tidak banyak meminta perhatian dan status jauh lebih menenangkan. Aku bukan pemaksa tak peduli seberapa besar menginginkannya. Jika mereka keberatan dan mempertanyakan status hubungan maka aku akan berhenti mencoba. Sebagai balasan aku akan memberikan apa yang mereka sukai. Sebagian besar meminta aksesoris, perhiasan atau liburan yang tentunya tidak murah. Selama mereka bisa mengendalikan perasaan bagiku bukan masalah besar. Bahkan ketika beberapa yang secara tidak langsung menggunakan kedekatan kami untuk menaikan pamor, aku tidak akan protes selama tak menganggu. Setiap hubungan harus saling menyenangkan kedua belah pihak.

Perempuan yang menjadi pasanganku sebagian besar memiliki kemiripan. Kulit cokelat. Rambut panjang. Tinggi semampai. Berumur di atas dua puluh lima tahun. Sudah bekerja dan mandiri. Aku tidak akan melirik atau mempertimbangkan perempuan-perempuan yang memiliki karakter sebaliknya.

Ketika melihat data Freya pertama kali muncul ketertarikan aneh. Bukan berarti aku menganggap istimewa, mungkin lebih pada penasaran. Setelah asisten sebelumnya membuat ulah, Azka memberi usul agar mencari kandidat perempuan. Dari sekian banyak calon aku memilih Freya. Awalnya aku mengira pilihanku tepat. Secara fisik dan penampilan ia bukan tipe yang membuatku tergoda memilikinya. Hubungan kami akan murni karena pekerjaan. Aku tidak pernah memiliki niat menjadikan salah satu pacar menjadi sekretaris atau asisten pribadi. Bagiku itu langkah berbahaya.

Aku tersenyum sendiri mengingat pertemuan kami. Sosok Freya sangat biasa. Ia memakai kaus dan jeans seperti mahasiswa kebanyakan. Kulitnya putih bersih. Wajah tanpa polesan membuatnya terlihat agak pucat. Tapi di saat tegang pipinya bersemu. Ia terlihat lebih hidup dan membuatku sulit mengalihkan perhatian.

Seharusnya aku mencari kandidat yang mempunyai banyak pengalaman. Seharusnya aku tidak memikirkan Freya lebih dari sebatas asisten. Seharusnya aku menghindarinya. Tapi semakin kuat pemikiran untuk menepis sosoknya, semakin kuat pula keinginan memilikinya.

Azka kembali muncul membawakan makanan pesananku. Tanpa banyak bicara ia segera pergi setelah meletakan melaksakan tugasnya.

"Oh ya, Bos. Informasi tentang Genta sudah kukirim lewat email." Kata lelaki itu sebelum berlalu.

Genta, mantan pacar Freya, keberadaannya membangunkan setiap sel kewaspadaan. Sebagai sesame lelaki aku bisa melihat ketertarikan. Ia belum menyerah.

Di sisi lain sikap Freya terlalu lunak. Ia sering khawatir pada hal yang belum tentu terjadi. Aku paham ia berada di usia yang belum bisa dikatakan sepenuhnya dewasa. Pilihan-pilihan di hadapannya membuatnya mengambil jalan dengan risiko terendah. Oleh karena itu aku tak memaksa saat ia ingin hubungan kami di bawah radar. Waktu akan membuka semua kesulitan. Jika saatnya sudah tepat, ia tidak akan lagi kulepaskan.

Aku melahap makan siang dengan cepat. Jam istirahat segera berakhir dan tugas berikutnya akan dimulai. Di tengah konsentrasi aku tersenyum sendiri. Kekesalan berganti tenang. Rasanya menggelikan perempuan sepolos Freya mampu mengubah suasana hati dalam hitungan detik. Membayangkan Freya menunggu datangnya weekend membuat niat untuk menyelesaikan masalah menguat.

Sejak kepergian Laura, aku menutup rapat pintu hati. Kesenangan bersama perempuan-perempuan selama ini untuk hiburan. Sekalipun beberapa mantan pacarku memiliki kemiripan fisik dengan Laura, perasaan pada mereka hanya semu. Padahal mereka memenuhi kriteria yang kuinginkan, cantik, pintar, mandiri dan tentunya bukan pemalu. Tidak jarang ada laki-laki memandang iri saat bersama mereka. Meski aku sadar mereka berusaha menyenangkanku, mencoba menyentuh perasaan dan berharap waktu akan berpihak mereka, rasa suka tidak pernah berkembang menjadi cinta.

Lalu kenapa Freya tampak berbeda dari yang lain? Kenapa aku tidak ingin melepasnya.

Selesai makan siang, setelah tenaga dan fokus pulih, aku membaca laporan hasil rapat tadi pagi. Tidak berapa lama pintu diketuk. Azka muncul dan mengingatkan kalau tim project sudah berkumpul di luar ruangan. Aku mengangguk, memberinya tanda bahwa mereka boleh masuk.

Satu persatu tim project memasuki ruangan. Mereka memberi salam, anggukan cepat dan bergegas duduk di meja rapat khusus di depan meja kerjaku. Ekspresi mereka waswas padahal aku sedang tidak melotot. Sambutan hangat berbalas raut tegang. Apa mereka tidak melihat aku sedang tersenyum.

Azka perlahan menutup pintu. Bersamaan dengan itu tubuhku menyeret kursi ke belakang, meraih laporan yang sempat dibaca lalu memutari meja. Aku bersandar pada sisi meja, menatap orang-orang di depanku hingga Azka mendekat dengan sejumlah kertas di tangannya dan pekerjaan pun dimulai.

********

Di sudut ruang sebuah kafe, aku menikmati malam bersama teman istimewa. Ia adik Laura, Amanda. Tadi siang kami berjanji bertemu. Sebenarnya ia sudah meminta bertemu dari beberapa hari lalu tapi kesibukan memaksaku menundanya.

Makanan lezat, musik yang lembut dan suasana hangat mengelilingi kami. Jarak antar meja tidak terlalu dekat hingga menjaga privasi setiap pengunjung. Meski begitu suasana cukup ramai Jumat malam ini. Hampir semua meja terisi. Sebagian besar didominasi oleh anak muda.

"Aku dengar Kakak besok ke Bandung." Amanda terbiasa memanggilku Kakak sejak aku dekat dengan Laura. Sejak awal tidak ada celah romantisme meski secara fisik mirip Laura. Ia sudah kuanggap seperti keluarga sendiri. "Kebetulan aku dan keluargaku ada acara di Bandung. Kita bisa bertemu di sana."

"Untuk apa? Bukannya kita sekarang sudah ketemu?"

Amanda tersenyum masam. Ia tak puas dengan reaksiku. "Bukan sama Kakak tapi pacar Kakak sekarang."

"Nanti juga kamu tahu. Biasanya kamu tidak peduli."

"Karena aku penasaran siapa orang yang bisa mengubah Kakak."

Keningku berkerut bingung. "Berubah apanya? Aku tetap sama seperti Alvaro yang kamu kenal."

"Sudah lama aku tidak pernah melihat Kakak berkencan. Aku pernah dengar Kakak menolak ajakan makan malam model terkenal. Belum lagi belakangan rajin sekali ke Bandung. Biasanya cuma tiga minggu atau sebulan sekali ke sana. 'Orang' ini pasti istimewa, bukan?" ucap Amanda gemas.

Mataku mengedar, memerhatikan suasana di sekitar. Setiap orang bersenang-senang. Tawa dan obrolan samar terdengar disela alunan musik. Sejumlah pasangan menikmati suasana romantis. Beberapa kelompok kecil perempuan dan lelaki larut dalam kegembiraan. Pandangan terhenti pada dua meja di depanku. Empat perempuan diam-diam mencuri pandang sambil berbisik-bisik.

"Tertarik?" tanya Amanda mengikuti pandanganku.

"Tidak. Aku tidak lagi punya waktu bersenang-senang."

"Serius, Kak? Sejak kapan Kakak melewatkan perempuan cantik." Dagu Amanda masih menunjuk pada empat perempuan tadi. "Lihat yang pakai dress hitam, sangat sesuai dengan selera Kakak, kan." Perempuan yang dimaksud Amanda kini berani membalas pandangan. Ia memang serupa dengan mantan-mantanku sebelumnya. Cantik tapi tidak menarik.

"Biasa saja."

"Kalau begitu kenalkan aku dengannya. Jangan bilang Kakak tidak tahu siapa yang kumaksud."

"Jadi kamu mengajak bertemu cuma ingin mengatakan itu."

Senyuman Amanda semakin masam. "Kurang lebih." Ia diam sebentar. "Kakak khawatir aku akan bersikap kasar padanya?"

"Tidak."

"Lalu kenapa? Jika Kakak bahagia, akupun ikut bahagia. Kak Laura pasti ingin melihat Kakak benar-benar melanjutkan hidup."

Sejak kepergian Laura, Amanda selalu memotivasi agar aku melanjutkan hidup. Ia tahu ketidakseriusanku berkaitan tentang perempuan. "Baiklah. Kabari saja kalau kapan kamu bisa. Aku akan atur waktunya."

"Omong-omong Azka bilang ia masih kuliah? Tipenya juga beda pacar-pacar Kakak. Kenapa tiba-tiba berubah? Bukannya dulu mau secantik apapun kalau masih kuliah atau berkulit putih pasti Kakak abaikan."

"Kenapa bertanya padaku? Bukan aku yang mengatur perasaan."

"Kakak menjengkelkan sekali."

"Nama Freya. Kalian sebenarnya pernah bertemu. Kamu ingat waktu kuminta menemani ke acara beberapa minggu lalu? Ia salah satu mahasiswa yang diundang." Amanda memandang tak percaya. Mulutnya mengerucut kesal. Aku melanjutkan sebelum ia memotong. "Aku tidak ingin membuatnya tertekan. Seiring waktu semua akan tahu tanpa perlu gembar gembor. Lagipula sepertinya ia belum siap jika hubungan kami diketahui banyak orang."

"Serius? Selama ini mantan pacar Kakak malah selalu minta ditemani jalan atau acara besar demi dapat pengakuan orang banyak."

"Awal hubungan kami tidak normal. Ia mungkin masih belum sepenuhnya memercayai hubungan kami. Untuk sementara aku tidak keberatan. Biar saja hubungan kami di bawah radar sampai waktunya tepat. Freya bukan perempuan haus perhatian. Aku tidak ingin ia tertekan dan malah menjauh."

"Aku semakin penasaran," gumam Amanda. "Kakak pasti sangat menyukainya, kan?"

Aku tersenyum tanpa menjawab. Ia semakin senewen. Gerutuannya bertambah karena mulutku tertutup. Kekesalan Amanda terhenti saat ponselnya berdering. Ia bangkit lalu pamit mencari tempat yang agak tenang untuk menjawab panggilan tunangannya.

Sepeninggal Amanda aku memeriksa email lalu membuka galeri ponsel. Jemari menggeser kumpulan foto candid Freya. Gadisku terpotret dalam berbagai ekspresi. Rasa tak sabar meluap-luap ingin segera bertemu dengannya. Jantung berdegub kencang saat berhenti di foto Freya sedang tersenyum. Aku ingin mempertahankan senyuman itu meski terlalu awal berpikir semua akan mudah.

Setelah Laura pergi kupikir waktu mencinta sudah berhenti. Kesenangan demi kesenangan menjadi pengisi kekosongan. Tidak ada perasaan, tidak ada patah hati, semua sebatas ikatan saling menguntungkan. Bertahun-tahun hidup dalam kebahagiaan semu membuatku abai pada kesepian. Aku semakin terbiasa dan berpikir semua tidak terlalu buruk untuk dijalani. Semua fokus hanya untuk pekerjaan.

Pendirian mulai goyah sejak kemunculan Freya. Wajah polos itu sulit ditepis dari ingatan. Setiap detik yang kuhabiskan untuk menghindarinya menjadi siksaan. Aku harus puas hanya mendengar suaranya saat jarak memisahkan. Harus mengurungkan tekad tidak berbuat nekat setiap merasa ada yang mengancam keberasamaan kami.

"Halo, maaf menganggu." Suara lembut memaksa kepala terangkat. Perempuan yang dibicarakan Amanda cukup dekat. Bahasa tubuhnya memperlihatkan kepercayaan diri yang besar. Ia memakai dress polos hitam pendek dengan belahan dada cukup rendah. Kakinya tampak jenjang dan mulut. Rambut panjang bergelombang membingkai wajah oval.

"Ya. Ada apa?" jawabku sopan. Aku cukup takjub melihat keberanian perempuan ini mendatangiku.

"Anda Pak Alvaro? Bisa kita bicara. Sebentar saja kok." Bola matanya menatap kursi di sampingku.

"Silahkan duduk," tawarku pada kursi di samping.

Perempuan itu menatap lekat. Matanya berbinar. Dari jarak dekat perempuan ini setipe dengan mantan-mantan pacarku. "Saya sering membaca tentang Anda. Saya juga beberapa kali ikut seminar yang anda datangi. Saya penggemar anda dan mengagumi cara anda bekerja. Mm... kalau tidak keberatan apa boleh saya minta foto bersama?"

"Terima kasih, Nona..." Aku menyodorkan tangan.

"Ah maaf," ucapnya gugup. "Saya Adila." Ia membalas uluran tanganku.

"Sekali lagi terima kasih atas perhatiannya, Nona Adila. Saya tidak tahu media apa yang kamu baca tapi semoga itu ada manfaatnya. Dan untuk permintaanmu tadi, maaf sekali, hari ini saya sedang tidak bisa di foto."

Adila terkejut, mungkin tak mengira akan mendapat penolakan. "Oh karena Anda sedang bersama pacar ya," gumamnya menahan kecewa.

"Yang bersama saya tadi teman bukan pacar. Tapi maaf sekarang saya sedang dalam kondisi tidak sedang ingin berfoto."

"Tidak apa-apa. Saya mengerti ini waktu pribadi anda." Suara Adila kembali antusias. Ia menaruh selembar kertas kecil di meja. "Saya harap anda mau menerimanya. Mungkin kita bisa bertemu di saat yang lebih tepat. Saya senang sekali kalau anda mempertimbangkannya. Saya permisi dulu." Perlahan ia bangkit dengan gaya anggun.

Aku hanya mengangguk singkat sambil berpikir apakah telah melewatkan kesempatan. Sebagai lelaki normal tubuh Adelia cukup menggoda. Gaunnya memperlihatkan keindahan tubuhnya. Ia menyadarinya kelebihan aset pribadinya. Tapi kecantikannya tidak membuat tubuhku bereaksi. Entah karena bosan atau memang perasaan sudah kebas pada godaan semacam itu. Ia maupun perempuan lain tidak bisa membuatku sama tertariknya saat bersama Freya. Aku bahkan kesulitan membendung hasrat melihat Freya dalam keadaan bangun tidur dalam balutan kaus kebesaran yang lebih pantas dijadikan lap. Andai tidak bisa menahan diri, aku sudah membuatnya berada 'dibawahku'.

Ah, sialan.

Selang beberapa menit Amanda kembali. Ia melirik saat aku mengambil kartu nama di meja dan tidak mengatakan apa-apa. Ia sudah terbiasa melihatku didekati perempuan saat kami sedang bersama.

Aku memilih jalan berbeda agar tidak perlu melewati meja Adelia. Perempuan itu dan teman-temannya terang-terangan menatap kepergianku. Selebihnya tidak kupedulikan. Aku hanya ingin segera kembali ke rumah dan mandi air dingin.

Amanda berkerut melihatku membuang kartu nama tadi ke tong sampah di dekat pintu masuk. Ia menjajari langkahku ke parkiran. "Kenapa tadi tidak ditolak saja."

"Aku hanya mencoba bersikap sopan."

"Itu sama saja membangun harapan."

"Tidak akan. Seminggu dari sekarang ia akan berhenti berharap."

"Hebat sekali pengaruh Freya. Aku harus bertemu dengannya."

"Jangan berekspektasi terlalu besar. Freya bukan perempuan paling sempurna. Baik penampilan maupun karakternya berbeda jauh dengan perempuan-perempuan yang pernah jadi pacarku."

"Tapi pasti ada alasan kenapa Kakak menyukainya."

"Tidak ada alasan spesifik. Tanpa perlu berubah sesuai seleraku, aku akan tetap menyukainya."

"Seberapa besar Kakak menginginkannya?"

Kami berhenti di samping dua mobil sedan. Aku dan Amanda datang menggunakan kendaraan masing-masing. "Aku bisa serakah kalau soal Freya."

Amanda urung membuka pintu mobilnya. Ia menoleh padaku. "Jadi Kakak serius sama Freya? Lebih dari sekadar suka, kan?"

Aku kembali tersenyum tanpa menjawab lalu berlalu memasuki mobil.

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro