Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Tapi ...

Matahari masih bersembunyi di ufuk timur, tapi langkah kaki yang ditemani cahaya senter memaksakan diri untuk menembus kegelapan pagi buta. Suara orang mengaji terdengar jelas dari speaker masjid yang tak jauh dari jalan yang dilalui. Perempuan bertubuh mungil itu menenteng 2 buah baskom besar yang berisi gorengan tempe dan bakwan. Sementara di depan perempuan itu, seseorang yang sudah berumur menggendong sebuah toples besar berbentuk tabung yang berisi gorengan pisang dan tahu isi, dengan tangan menggenggam sebuah tas yang berisi kertas pembungkus nasi dan beberapa pak plastik.

Alasan yang menyebabkan kedua insan itu pergi pagi-pagi buta begini hanya karena ada orang yang memesan gorengan dalam jumlah banyak dan akan digunakan untuk acara pada pagi hari. Mau tak mau Aqila harus membantu orang yang paling berjasa dalam hidupnya, sekaligus menyelamatkan kehidupannya.

Skenario sang Pencipta memang yang terbaik, di saat perempuan itu tak memiliki kendaraan untuk kemana-mana, pasar tempat berjualan sang nenek tak terlalu jauh. Begitu juga dengan sekolah yang masih sanggup ia tempuh dengan berjalan kaki, dan yang pasti dapat menghemat keungan rumah tanpa harus naik kendaraan.

Tempat yang menjadi jualan Aqila dan Martina berada di bagian dalam pasar, dimana banyak orang yang malas untuk masuk ke dalam pasar. Biasanya orang akan lebih memilih untuk membeli dari pedagang yang berjualan di pinggiran, selain tak perlu repot-repot berjalan jauh, juga bisa dilakukan dengan naik kendaraan motor. Tapi mau di mana pun berjualan, Martina yakin jika sudah menjadi rezeki, maka akan ada jalan untuk menemuinya.

"Huwa! Tangan Qila rasanya mau patah!" Jari-jemari Aqila langsung dikibas-kibaskan karena sepertinya mati rasa akibat terlalu lama tertekan oleh kain yang membungkus baskom tadi.

"Kamu istirahatlah dulu, Nenek mau salat subuh ke masjid. Kalau nanti ada yang ambil titipan, tolong kamu susun pesanannya dalam boks kosong yang ada di dalam lemari kayu itu." Martina menunjuk sebuah kotak persegi panjang yang terbuat dari kayu, dengan 4 kaki penyangga yang panjangnya setinggi pinggang orang dewasa.

"Siap, Nek!" jawab Aqila seraya mengedipkan sebelah matanya.

"Kamu mau titip apa, nanti Nenek belikan?"

Sang cucu hanya menggeleng. "Kalau laper Qila kan sudah bawa mendoan!" serunya sembari mengangkat sebuah toples bening yang berisi gorengan. Lagipula jika ia mau, bisa beli sendiri saat nanti gantian dengan neneknya.

Martina tersenyum lalu pergi. "Terimakasih Ya Allah, engkau mengirimkan orang baik seperti Qila untuk menemaniku," lirihnya dengan nada haru.

***

Tempe mendoan yang semula mengisi toples perlahan menghilang menuju ke dalam perut Aqila yang tengah asik mengunyah. Tadi sudah ada beberapa pembeli yang datang meski suasananya sudah mulai terang karena mentari sudah bersinar.

Jaket berwarna cokelat tanpa motif sudah lepas dari tubuhnya karena dingin sudah dihalau oleh kirana sang baskara yang memasuki celah-celah cukup lebar, dibiarkan tersampir pada sebuah kayu. Pemiliknya mulai sibuk membantu neneknya melayani pembeli yang baru datang, lumayan ramai dibanding hari-hari biasa.

Hingga puku 10 akhirnya jualan tersisa sedikit. Rasa syukur sama-sama dihanturkan oleh Aqila dan Martina atas rezeki yang telah diperoleh. Sisa gorengan akan diberikan kepada para pengemis yang biasanya duduk dengan membawa gayung sebagai tempat meletakkan uang jika ada yang ingin bersedekah.

Jika saat berangkat tangan Aqila dibuat serasa mau patah, maka saat pulang tangannya ringan karena hanya membawa baskom kosong yang disatukan. Perempuan itu langsung pulang karena neneknya akan berbelanja ke pasar terlebih dahulu. Gorengan yang diamanahkan untuk dibagi pada pengemis juga sudah ia berikan, walau tak seberapa tapi lumayan untuk mengganjal perut mereka.

Saat sampai di depan pagar rumah, perempuan itu sedikit memincingkan matanya guna melihat siapa yang datang ke rumahnya. Saat pandangan mereka saling bertemu, rupanya orang itu adalah sahabatnya sendiri.

"Qila!" Restin berlari ke arahnya dengan raut wajah yang begitu bahagia.

Aqila berjalan memasuki halaman rumah. "Kenapa, Tin?" Ia menaikkan sebelah alisnya.

"Kenapa nomormu nggak bisa dihubungi? Aku pikir kamu kenapa-kenapa. Aku kan jadi cemas," curhat Restin yang memasang muka sedikit kesal.

Menarik tangan sahabatnya untuk masuk ke rumah, Aqila pun menjelaskan jika ponselnya mati karena tersiram air. Berbohong adalah jalan ninjanya ketika Restin minta penjelasan secara rinci pasal penyebab ponselnya mati. Tak perlu ia memberi tahu sahabatnya karena tak ingin melihat raut sedih dan cemas terpancar lebih lama di wajah perempuan yang memiliki paras cantik itu.

Bagaimana tak cantik, sahabatnya itu kerap disebut ratu kelas karena kecantikannya. Hanya saja karena bersahabat dengannya yang kerap dipandang sedikit aneh, membuat perempuan itu menjadi berkurang pesonanya di mata orang lain.

"Aku punya kenalan yang bisa servis hp, siapa tahu bisa lebih murah kalau sama dia," ucap Restin memberi saran.

Terdengar suara dengkusan pelan lolos dari bibir perempuan bertubuh mungil yang kini menatap netra sahabatnya. "Tuh kan, aku nyusahin kamu lagi."

"Aelah, santai aja, Qil. Kita kan sahabatan, sudah kewajibanku buat bantuin kamu." Tak sengaja mata Restin menangkap nama seragam pramuka yang tergantung menggunkan hanger, ada nama orang yang tak asing di sana. "Qil, itu baju Kak Ruffy?"

Senyum manis Aqila langsung terkembang. "Iya." Ia menarik telapak tangan Restin lalu menyentuhkan ke dadanya. "Jantungku langsung deg-degan gara-gara kamu nyebut nama Kak Ruffy. Apalagi pas inget momen kemarin ... aku ... aku rasanya bener-bener nggak kuat kalau harus melihat pesona Kak Ruffy lama-lama ....."

"Astaga! Kamu segitu ngefansnya sih sama Kak Ruffy." Restin tergelak karena merasa lucu dengan kelebayan sahabatnya itu.

"Restin Ade Monica, sahabatku yang paling cantik sejagat raya! Kalau orang lagi suka emang gitu, tauk!" bela Aqila dengan keyakinan penuh.

"Iya, jadi lebay kaya gini!" balas Restin lalu tertawa lagi.

"Ih, Restin jahat banget! Nanti aku nggak kasih tempe goreng, mau?"

"Yah, jangan dong! Tempe goreng buatan Nenek Martina mah yang paling enak, dan aku nggak bakal biarin kamu makan jatahku!" tukas perempuan berambut ombak itu.

"Aku jadi curiga, jangan-jangan kamu jatuh cinta sama tempe goren buatan nenek aku, ya?" goda Aqila. "Nanti aku bantu pedekate kalau mau!"

"Nggak gitu konsepnya Aqilaku sayang!" Gemas, Restin mencubit pipi sahabatnya.

"Waa! Pipiku dicubit lagi, sama kaya Kak Ruffy yang kemarin juga nyubit pipiku! Kalian sama, tapi aku nggak rela kalau kalian jodoh!" ratapnya penuh haru. Sementara Restin hanya menanggapi dengan kekehan ringan.

Selanjutnya hanya diisi dengan obrolan ringan antara kedua sahabat itu, tak lupa Aqila menceritakan kejadian yang membuat jantungnya mendadak maraton dan bercerita tentang dirinya yang sudah dimaafkan oleh Arkano.

Senyum ceria seorang Aqila yang mampu menularkan rasa bahagia pada orang lain, membuat kedatangan Restin untuk menemui perempuan bertubuh mungil itu tak sia-sia. Padahal pastilah perempuan itu lelah karena baru saja pulang dari pasar, tapi dengan ajaibnya ia selalu bisa menujukkan kalau dia masih bersemangat.

Tangan yang diplester perempuan berambut ombak itu ditutup rapat-rapat agar tak sampai terlihat oleh Aqila, genggaman tangan pada pergelangan tangannya semakin kuat. Entah kenapa, ia harus melakukan hal itu.

Restin ingin sekali bercerita tentang apa yang ia rasakan, tapi rasanya tak tega jika harus menghilangkan senyum manis perempuan itu. Seharusnya anak seperti Aqila tak dibully oleh siswi kejam karena sebuah rasa iri.

Restin tahu jika Aqila kerap di bully, tapi melihat senyum ceria seolah perempuan itu baik-baik saja, ia hanya bisa bersikap seolah-olah tak tahu. Perempuan itu yakin dan percaya jika tiba masanya, Aqila pasti bercerita. Hingga waktu itu tiba, memantau sahabatnya dari jauh lebih dirasa aman.

***

Buih-buih terbentuk ketika kemasan sabun colek yang yang sudah sekarat isinya diisi dengan air lalu dikocok. Sedikit demi sedikit ia sapukan pada baju berwarna cokelat muda ber-name tag Ruffy Brajaya. Tiba-tiba tangannya berhenti saat merasakan sesuatu yang mengganjal pada bagian saku baju yang terkancing tersebut.

Rasa penasaran menggedor-gedor pintu hatinya. Awalnya ingin ia abaikan, tapi tak bisa. Alhasil jemari jempol dan telunjuk bekerja sama untuk membuka kancing tersebut guna menghapus rasa penasaran yang menyusup di hati.

Saat jemarinya berhasil menyentuh isinya dan mengeluarkannya, rupanya sebuah kalung liontin dengan bandul berbentuk hati yang tersimpan di saku tersebut. Lagi-lagi ia penasran dengan isi dari liontinnya. Seperti sinetron yang pernah ia tonton dulu, biasanya pada bandul liontin akan ada sebuah foto kecil yang tersimpan di dalamnya.

Gelengan kuat-kuat Aqila lakukan guna mengusir rasa penasaranya. Logikanya menang kali ini, bagaimanapun liontin yang ia pegang bukanlah miliknya, mana boleh sembarangan di buka. Jika itu terjadi, maka ia sudah mengusik privasi orang lain.

Daripada terjadi hal-hal yang tidak ia inginkan, Aqila membawa kalung tersebut ke kamarnya untuk di simpan. Tapi tiba-tiba ada semacam ingatan samar yang menghampiri otaknya.

"Kok, kayanya kalung ini pernah aku lihat, tapi punya siapa, ya?" gumamnya sembari mencoba membongkar ingatan di otaknya. Ia sudah berusaha mencoba untuk mengingat, tapi gagal.

"Udahlah! Mending lanjut nyuci aja," pasrahnya ketika tak sukses mengembalikan memorinya yang terlupakan.

Kegiatan mencuci Aqila selesaikan usai dirinya sendiri mandi. Yap, Aqila tak sempat mandi tadi pagi saat hendak ke pasar. Tapi sisi positif yang dapat perempuan itu ambil hikmahnya adalah ia bisa berhemat air. Tentu saja, dengan mandi di jam-jam 1-an begini, ia tak perlu repot untuk mandi sore lagi.

Kelar dengan urusan cuci mencuci, tiba-tiba ia punya sebuah ide. Usai membantu neneknya nanti sore untuk berjualan, ia akan pergi ke toko ATK untuk membeli sebuah jarum mungil serta membeli doble tipe dan sekotak pulpen untuk stok pulpennya yang tintanya nyaris habis.

Tepat saat ia sudah berganti pakaian, Martina pulang dengan diantar oleh tukang ojek. Wajar saja, belanjaan orang yang sudah berumur itu cukup banyak. Bisa-bisa patah punggung dan tangan sekaligus jika membawa banyak bawaan di punggung dan kedua tangannya yang ikut menenteng.

Seplastik besar tempe yang sudah jadi dan seplastik besar yang masih berbentuk kedelai ia angkut dari pintu menuju ke dapur. Sementara Martina membawa tas belanja yang berisi sayuran dan bahan untuk jualan.

Tahu neneknya pasti lelah, Aqila membuatkan secangkir teh hangat untuk beliau dan sepiring tahu bunting yang sengaja tak dibawa saat jualan. Meletakkannya di atas meja kayu yang sedikit lusuh dengan taplak meja berbahann plastik, bermotif bunga-bunga pada bagian tengah dan pinggirannya.

"Yang buat isi tahu buntingnya biar Qila aja, Nek. Nenek istirahatlah," ucapapnya saat sang nenek keluar dari kamar mandi untuk mencuci wajahnya.

Martina menekuk bibirnya. "Rasanya Nenek malah selalu menyusahkanmu, padahal kamu harusnya bisa bersenang-senang seperti anak-anak lain seusiamu," desahnya pelan.

Aqila menarik tangan Martina lalu mengajaknya duduk. "Sudah sepatutnya Qila bantuin Nenek. Cuma Nenek yang Qila punya sekarang. Jadi, Nenek jangan pernah berpikir kalau Nenek malah buat Qila repot." Tangannya mengambil gelas yang berisi teh hangat lalu menyerahkan pada Martina. "Nenek minumlah dan jangan lupa istirahat, kesehatan Nenek lebih penting dari apapun," ucapnya lalu tersenyum.

"Terimakasih banyak."

Perempuan bertubuh mungil itu hanya tersenyum sembari mengangguk, kembali berdiri untuk melakukan kegiatan yang harus ia lakukan.

***

Semua persiapan untuk berjualan sore ini sudah diangkut ke lapak jualan. Karena jam-jam 2 warung masih sepi, Aqila izin untuk pergi ke toko ATK sebentar.

Toko yang jaraknya hanya 5 menit jika berjalan kaki dari warung sudah ada di depan mata. Hanya cukup membeli apa yang ia butuhkan lalu pulang.

Satu buah doble tipe, satu buah jarum jahit dengan ukuran kecil, serta sekotak pulpen warna-warni yang tintanya hitam sudah berjejer rapi di depan meja kasir. Penjaga kasir mengambil secarik kertas untuk menusukkan jarum kecil tersebut agar tak hilang lalu memasukkan ke dalam plastik bersama 2 benda yang lainnya.

Baru saja tubuhnya hendak berbalik karena sudah membayar, ia dikejutkan dengan kehadiran lelaki yang sempat bertemu kemarin sore. Sorot mata lelaki itu tajam, tak setajam hidung mancungnya, tapi setajam pedang yang rasanya siap menghunus dirinya.

Baru saja Aqila hendak buka suara, tiba-tiba tanganya langsung ditarik oleh lelaki itu untuk menjauhi toko dan membawanya ke jalan gang yang sedikit sepi. Tentu saja perempuan itu protes, tapi Arkano hanya diam.

Dalam kebekuan yang masih mendominasi, atmosfer mencekam berhasil diseret oleh lelaki itu bersamaan dengan mulut yang hendak mengatakan sesuatu.

"Lo!" tunjuk Arkano pada Aqila. "Bisa nggak sih jangan gangguin hidup gue. Lo pura-pura aja nggak kenal sama gue. Lo nggak harus sampe jungkir balik demi minta maaf sama gue! Lo tu harusnya nyadar kalau gue nggak suka diuber-uber sama cewek yang ngeselin kaya lo!" ucap Arkano dengan nada tinggi. Ia muak dengan semua kelakuan perempuan yang di depannya.

"Aku kan cuma minta maaf, salah siapa nggak mau maafin!" ucap Aqila sembari mengerucutkan bibirnya.

"Siapa yang mau maafin cewek aneh kaya lo, hah?" bentaknya. "Cuma orang nggak waras yang mau berteman sama cewek aneh kaya lo! Harusnya lo sadar apa yang lo lakuin!" Tangan laki-laki itu terkepal kuat memendam emosi yang rasanya ingin meledak saat itu jua.

Aqila menaikkan sebelah alisnya. "Lah kenapa? Apa yang salah dengan minta maaf?" tanyanya kalem. Orang yang protes padanya tak hanya lelaki yang ada di depannya sekarang, jadi ia sudah kebal.

Bugh!

Bahu Aqila terangkat samar karena lelaki di depannya tiba-tiba meninju tembok yang ada di sampingnya menggunkan tangan kanan, tangan kirinya bergerak untuk menyentuh dinding, sehingga perempuan itu terkurung oleh kedua tangn Arkano.

"Tenang-tenang! Emosi tak akan menyelesai---"

"Tenang apa, hah?!" sentak Arkano keras, membuat perempuan itu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. "Lo tu bisa aja gue maafin, tapi gimana mau dimaafin kalau kelakuan lo makin lama makin nyebelin!" bentaknya lagi.

Ctak!

Arkano seketika meringis karena perempuan di depannya baru saja menjentik keningnya dengan cukup keras.

"Kamu tahu nggak sih? Kekerasan itu bukan menyelesaikan masalah!" nasihat Aqila. "Kamu nggak mikir apa kalau memukul tembok itu sakit? Kamu nggak kasihan sama tanganmu? Setelah kamu mukul tembok tadi, bisa aja tanganmu jadi cedera. Gimana kalau sampai memar otot, atau patah tulang? Itu bisa menyebabkan nyeri pada tangan!" omel Aqila panjang kali lebar dalam satu kali tarikan nafas.

"Biarin! Ini juga tangan, tangan gue! Bukan tangan lo! Jadi nggak usah sok perhatian!" ucapnya sinis. Kesal bukan main karena perempuan di hadapannya ini sangat keras kepala dan berisik.

"Kenapa memangnya kalau aku perhatian?"

"Nggak guna!" Arkano melirik. "Lagian lo ngapain perhatian sama gue?" tanyanya dengan alis yang terangkat sebelah.

"Karena aku suka kamu!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro