Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Kakak Idola

"Kakak Ayu mau ngapain?" tanya Aqila berusaha untuk bersikap baik.

Perempuan yang bernama Ayu itu lantas mendekat. "Gue ke sini cuma mau ngasih peringatan sama lo!"

"Peringatan apa? Aku nggak punya salah sama---"

"Diam!" bentak Ayu keras. "Lo itu kenapa sih jadi cewek kok kegatelan!" jari telunjuk perempuan itu mendorong bahu Aqila dengan kuat. "Dulu Ruffy, sekarang Arkano. Lo emang nggak bisa ya kalau nggak cari muka sama cowok ganteng!" sindirnya.

Aqila hanya diam. Ia tak berani berucap karena takut dibentak lagi. Padahal keinginannya untuk menyurakan isi hatinya cukup besar, setidaknya untuk menepis tuduhan kakak tingkatnya yang mengatakan bahwa ia kegatalan dan mencari muka. Fakta pertama, ia sedang tidak alergi ataupun dalam kondisi tubuh yang gatal. Fakta kedua, Aqila sudah memiliki muka dan tak butuh muka lagi. Memangnya untuk apa? Disedekahkan pun sepertinya tidak bisa!

"Lo harus jauhi Arkano dan jangan ganggu dia lagi. Kalau lo nolak, bukan dari gue yang bakal neror lo, tapi dari anggota Fans Club Arkano yang udah gue bentuk bakal ikutan neror lo."

Memang dasar perempuan bertubuh mungil itu kadang pelupa. Harusnya Aqila berhati-hati dengan fans Arkano, sama halnya dengan ia yang harus berhati-hati pada fans Ruffy. Isu tentang grup fans Arkano memang ramai dibicarakan saat hari kedua lelaki itu bersekolah di Dirgantara High School, tapi ia mengabaikan dan sekarang malah harus berhadapan dengan ketua grup tersebut.

Aqila mengangguk tanda setuju. Ia tak mau kejadian lama terulang lagi. Tangannya rasa copot gara-gara ulah siswi yang ada di depannya.

"Oke, sekarang lo milih buat korbanin tas lo, atau korbanin diri lo?" tanya Ayu dengan senyum menyeringai.

"Biar aku aja," jawabnya dengan nada lirih.

"Permintaan lo diterima." Segera Ayu melempar tas korbannya ke arah sudut toilet. "Girls! Kalian eksekusi cewek ini sekarang!"

Setelah kata perintah keluar dari sang ketua, Aqila hanya bisa merasakan basah dan dingin yang menyergap tubuhnya. Dua orang antek-antek Ayu mengguyurnya dengan air dari bak hingga tubuhnya benar-benar basah kuyup. Tapi itu lebih baik baginya daripada isi tasnya yang menjadi korban.

Setelah puas, mereka meninggal Aqila seorang diri di sana. Tak ada yang bisa perempuan itu lakukan selain pulang secepatnya, kejadian ini harus ia tutup rapat-rapat jika tak ingin berbuntut panjang.

Jedug!

Karena berjalan menunduk dan buru-buru, perempuan itu tanpa sadar menabrak seseorang. Bukannnya menengadah untuk melihat siapa yang yang menjadi korban tabrakannya, ia memilih untuk berpikir dan mencari alasan yang tepat jika orang yang ditabrak bertanya pasal kondisinya. Syukur-syukur jika orang itu adalah tipikila manusia yang cuek dan langsung pergi begitu saja.

"Loh, Qila! Tubuhmu kenapa basah semua?"

Tepat, alasan yang sudah ada di otaknya siap untuk ia lontarkan. Namun, mendengar suara lembut nan ramah yang keluar dari orang yang berdiri di depannya, membuatnya lantas mendongak.

"Kak Ruffy," lirih Aqila senang.

Melihat senyum manis dari lelaki yang perempuan itu idolakan sangat menentramkan jiwa, apalagi dari jarak dekat seperti ini. Ia tebak jika lelaki itu mendapat giliran jam Penjaskes pada saat jam terakhir, makanya Ruffy masih mengenakan seragam olahraganya.

"Iya. Kamu kenapa bisa basah gini? Bahaya, nanti kamu bisa masuk angin."

Jika Aqila adalah sebatang cokelat, maka perhatian Ruffy adalah panas yang akan melelehkannya. Tak sanggup lagi rasanya dirinya berdiri lama di depan lelaki tampan itu. Tulang-tulang penyangga tubuh serasa tanggal dari susunannya.

"Ah, bentar." Ruffy melepas tas gendongnya lalu mengeluarkan sebuah jaket, baju, dan celana pramuka. "Mungkin ini konyol, tapi daripada nanti kamu masuk angin, lebih baik kamu pakai." Lelaki itu menyerahkan gulungan pakaian untuk diterima Aqila. "Cepetan ganti, aku tungguin di sini!".

Perempuan itu hanya bisa mengangguk menurut lalu melesat kembali ke toilet. Bunyi hantaman pintu yang sedikit keras tak kalah keras dengan bunyi detak jantungnya yang menggila. Rasanya jika Aqil berdiri lebih lama di dekat sang ketua OSIS, bisa dipastikan ia akan pingsan saking tidak kuatnya menahan daya pikat seorang Ruffy yang tak hanya berwajah rupawan, juga memiliki senyum yang sangat manis.

"Ya Allah, Kak Ruffy baik banget sih! Jadi makin ngefans deh, sama dia!"

Senyum perempuan itu tak kunjung pudar selama ia mengganti seragamnya. Beruntung perempuan itu selalu membawa plastik hitam di dalam tas gendongnya. Jika ada peribahasa berbunyi "Sedia payung sebelum hujan", maka Aqila merefleksikan dengan sedia plastik sebelum hujan. Daripada bukunya basah, akan lebih aman jika ia masukkan ke dalam plastik.

Buru-buru tangannya mengambil sebuah benda berbentuk balok dari dalam saku rok pramukanya. Detik itu juga rasanya ia ingin menangis karena ponsel satu-satunya tak mau menyala. Wajar saja, ponsel itu terkena air dalam jumlah yang tak sedikit, mengingat tubuhnya saja sampai basah kuyup.

Urusan ponsel ia kesampingkan terlebih dahulu, sekarang ia harus pulang untuk membantu neneknya berjulan nanti sore.

"Perempuan kalau ganti lama, ya?"

Aqila tersentak. Ia pikir ketua OSIS itu sudah pulang lebih dulu, rupanya sungguhan menunggunya untuk pulang. Benar-benar so sweet, pikirnya.

"Maaf, kirain tadi Kakak udah pulang duluan," jawab Aqila setengah malu.

"Ya enggaklah, kamu sendirian di sini. Kalau ada apa-apa-apa kan aku bisa bantu." Netra Ruffy bergerak dari atas hingga ke bawah. "Celananya kepanjangan, tapi dengan kamu lipat gitu jadi nggak terlalu buruk. By the way, ternyata kalau kamu pakai jaket kegedean gitu malah jadi gemesin," komennya.

"Huh! Kak Ruffy! Bisa nggak sih jangan ngeluarin kata-kata yang cheesy gitu! Aku kan jadi baper!" gerutu Aqila dalam hati.

"Qila, tapi kenapa kamu bisa basah kuyup gini?" Kini tampang Ruffy lebih ke mencurigai, apalagi perempuan di depannya malah memilih diam daripada bersuara. Jelas-jelas lelaki itu tahu jika makluk yang akrab dipanggil Qila itu bukan termasuk golongan manusia yang irit bicara.

"Rencananya mau mandi gratis di sekolah, tapi karena nggak ada sabun, jadi renang aja di baknya," jawabnya yang terdengar malu-malu kucing, padahal itu hanya bagian sandiwaranya agar tak ketahuan.

Tawa Ruffy mengudara, dengan gemas lelaki itu mencubit pipi tirus perempuan di sampingnya. "Kamu itu lucu, bikin gemes!"

Gawat, jika Aqila harus di samping lelaki idolanya, bisa saja jantungnya akan melompat dari tempatnya saking tak kuatnya untuk memompa darah perempuan itu yang rasanya meledak-ledak.

"Ah, aku lupa! Aku harus pulang cepet buat bantuin nenek." Aqila mengeratkan pegangan tangannya pada tas. "Kalau gitu aku duluan, Kak. Makasih udah mau minjamin seragam sama jaketnya!" ucapnya lalu berlari menjauh, tapi ia sempat menoleh sebentar. "Hati-hati di jalan, Kak! Kalau ada tikungan jangan lupa belok!" teriaknya lalu benar-benar pergi.

Bahkan hanya sebuah kebaikan sederhana, tapi mampu membuat perempuan yang kini tengah berlari itu bahagia setengah mati. Rasanya jika semua orang di dunia ini seperti Ruffy, pasti akan lebih menyenangkan. Tak ada yang namanya perisakan, tak ada yang namanya dendam, dan yang jelas semua akan adem ayem, tanpa harus ada yang namanya perceraian.

***

Sepanjang perjalanan perempuan yang mengenakan baju pramuka dengan name tag Ruffy Brajaya berlapis jaket itu tak henti-hentinya tersenyum. Sifat ramahnya bahkan 2 kali lipat meningkat dari yang biasanya. Orang-orang yang dijumpai diberi sapa atau sekadar melempar senyuman, seolah-olah perempuan itu kenal dengan mereka. Tanggapan dari orang-orang pun beragam, ada yang balik tersenyum dan menyapa, dan ada yang malah mengabaikan seolah-olah tak melihat.

Saat sampai di rumah pun Martina juga dibuat heran dengan kelakuan cucu satu-satunya yang tak biasa, dan tentu pakaian yang digunakan oleh Aqila menarik perhatiannya.

"Qila, kamu pakai baju siapa? Dan itu kenapa pakai celana pramuka?" tanya Martina penasaran ketika Aqila usai mencium punggung tangannya.

Sang cucu tersenyum. "Ah, Nenek. Ini dikasih pinjam sama teman. Soalnya baju Qila basah."

"Kenapa? Kamu nyemplung di kolam renang biar nggak keringatan?" Martina ingat jika cucunya pernah pulang dengan mengenakan jaket temannya dengan alasan anak itu kegerahan saat di sekolah.

Untuk kali ini terpaksa Aqila berbohong dengan mengiyakan apa yang ditanyakan oleh sang nenek. Tapi waktu kelas X, ia tak menyangkal alasan itu. Iseng, saat itu ia main menceburkan diri ke kolam renang sekolah, hanya karena ingin menyegarkan diri.

Alasan yang mungkin terkesan norak, tapi itulah kenyataannya. Dan akhirnya Aqila malah mendapat omelan dari Pak Rahidin yang kebetulan sedang keliling. Mana boleh berenang tapi masih mengenakan seragam sekolah. Beruntung Restin membawa jaket hoodie yang bisa dikenakan oleh Aqila, setidaknya tidak atas bawah basah semua.

"Ruffy Brajaya?" Martina membaca name tag yang ada di baju ketika Aqila melepaskan jaket abu-abu polos tersebut.

"Iya, tadi---"

"Kamu nggak macam-macam sama dia, kan?" Martina menyorotokan pandangan kekhawatiran yang berlebih.

Paham apa yang membuat neneknya cemas, Aqila akhirnya menjelaskan kronologi pertemuannya dengan lelaki yang bernama Ruffy, hingga akhirnya ia bisa mengenakan baju milik sang ketua OSIS di sekolahnya.

Hal yang membuat Aqila menutupi jika ia pernah mendapat perlakuan yang tidak baik di sekolah adalah karena takut penyakit jantung neneknya kambuh. Bagi perempuan itu, hanya Martina lah keluarga yang ia miliki dan tak akan ia biarkan sesuatu yang buruk menimpanya. Orang baik seperti beliau tak pantas jika hanya untuk mendengar keluh kesahnya. Ia hanya perlu selalu bersikap ceria agar semuanya terlihat baik-baik saja.

Tepat pukul 2 siang Aqila membantu Martina untuk berjualan gorengan di depan gang rumahnya. Hanya cukup berjalan kaki 1 menit, maka akan langsung sampai di lapak jualan.

Sebuah warung mini tanpa dinding full, hanya setengah, pun hanya menggunakan papan. Ada sebuah meja panjang dengan kursi panjang yang ada di sebelahnya. Di atas meja itu ada secumpuk cabe rawit dan sebotol saus tomat.

Tak jauh dari tempat penggorengan ada 4 buah kotak bening untuk meletakkan gorengan yang sudah berendam di minyak panas hingga kecokelatan. Sementara di samping gorengan ada sebaskom adonan bakwan dan adonan tepung untuk menggoreng tempe, pisang, dan tahu bunting alias tahu isi.

Sembari menunggu ada yang membeli, Aqila menyapu lantai tanah dengan sapu lidi, kemudian membersihkan meja dan kursi menggunakan kemoceng.

Sampai azan asar berkumandang, pembeli yang datang masih sedikit sepi karena memang biasanya akan ramai ketika sekitar pukul lima, dimana banyak orang yang pulang kerja dan menyempatkan singgah untuk membeli gorengan atau memakannya langsung di sana.

"Qil, Nenek ke masjid depan dulu, mau salat asar. Nenek titip kalau ada yang beli gorengan." Martina sudah siap dengan membawa mukena di tangan.

"Oke, Nek. Serahkan semua urusannya sama Qila!" ucapnya dengan penuh semangat.

Setelah kepergian Martina, perempuan itu kembali dengan kesibukannya tidak jelasnya sembari menunggu pembeli datang, yaitu menyusun cabe rawit hingga menjadi tumpukan yang rapi.

"Nek, mau beli gorengannya!"

"Ah, iya!" Aqila lantas berbalik saat mendengar ada orang yang datang. Buru-buru ia berdiri di depan 4 buah kotak yang berisi gorengan yang masih hangat.

"Eh, yang jual bukan Nenek Martina, ya?" tanya orang itu sopan.

"Bukan, Om. Nenek saya sedang salat ke masjid, tapi nanti ke sini lagi kok," jelasnya. "Ada perlu apa, ya?" tanyanya penasaran.

"Bukan. Tadi saya pikir Nenek Martina sedang tidak jualan, karena saya baru melihatmu di sini."

"Saya biasanya bantu Nenek kalau malam, memang baru sekali ini saya bantu pas sore," tutur Aqila dengan diiringi senyuman.

"Ah iya, saya mau beli bakwan dan tempe gorengnya, masing-masing sepuluh ribu, ya!"

"Siap, Om!"

Tangan perempuan bertubuh mungil itu mulai sibuk memasukkan gorengan ke dalam plastik transparan bergambar emoji tersenyum yang sudah dilapisi dengan kertas pembungkus nasi, lalu memasukkan cabai rawit dan sebungkus saus, baru kemudian menyerahkan pada sang pembeli.

"Arkano, tolong ambilkan uang Papa di mobil!" teriak lelaki itu ke arah mobil yang kacanya terbuka, tapi tak menampilkan sosok siapapun.

Tak ingin berpikir aneh-aneh, Aqila memilih untuk mengabaikan saja. Toh, yang namanya Arkano bukan hanya lelaki yang ia cari akhir-akhir ini.

Namun saat melihat orang yang keluar dari mobil adalah orang yang ia kenal, mau tak mau ia jadi terkejut. Tentu banyak pertanyaan yang ingin Aqila lontarkan, tapi ia sadar posisinya sekarang. Kecuali ...

"Hai, Arkano? Kamu kenapa hari ini nggak sekolah?" Senyum terbaik Aqila sunggingkan agar lelaki itu setidaknya mau bersuara, tapi tatapan tajam lelaki itu membuatnya cepat-cepat menelan salivanya dengan kasar.

Pandangan mata tajam lelaki yang paling tua diantara ketiganya itu menghunus pada lelaki yang ada di sampinganya, tapi kemudian beralih menatap perempuan yang memandanginya dan sang anak. "Jadi Arkano tadi tidak sekolah?"

Ada gelengan lemah yang Aqila lakukan, ada sedikit keraguan atas apa yang telah ia lakukan.

"Arkano! Kita harus bicara 4 mata setelah ini!"

Sekarang Aqila tahu apa yang menyebabkan lelaki berhidung mancung itu memiliki aura-aura dingin, rupanya ada yang menurunkan karakternya.

Rasa kasihan mendadak menyelimuti hatinya. Mungkin Aqila harus bertidak jika tidak, ia akan semakin sulit untuk dimaafkan oleh lelaki yang bernama Arkano itu.

"Ah, tapi Om," ucap Aqila halus, "mungkin Arkano masuk sekolah, cuman saya nggak tahu. Soalnya kami nggak sekelas, terus hubungan kami bisa dibilang lagi nggak baik-baik aja."

Sampai sini Arkano di buat melongo dengan kata-kata yang diucapkan perempuan itu.

"Sebenarnya saya mau minta maaf sama Arkano karena nggak sengaja dorong dia ke parit sampai keningnya lecet." Gerakan tangannya refleks menangkup. "Maafkan kesalahan saya, saya berjanji lain kali akan lebih berhati-hati."

Lelaki yang Aqila panggil Om itu malah tergelak. "Anak muda memang lucu, cuma gara-gara jatuh di parit aja sampai musuhan." Ia menoleh ke arah Arkano. "Sudahlah Nak, jangan karena masalah kecil kamu jauhin pacarmu itu, kasihan dia. Lagian plester---"

"Papa, jangan ikut campur urusan kami! Dan lagi, kami nggak pacaran. Cuma nggak sengaja kenal aja!" ucap Arkano benada kesal.

Sejujurnya Aqila yang diam juga hendak protes, mana mau ia dikatakan pacaran sama lelaki seperti itu. Tujuannya mendekati hanya untuk meminta maaf, tidak lebih. Lagipula idolanya lebih baik daripada lelaki yang sulit untuk memaafkan seperti dia.

"Maaf, Om. Saya cuma mau minta maaf, soalnya anak Om itu sulit sekali memaafkan. Apa dia memang tipe manusia yang kalau punya dendam ia simpan sampai mati? Padahal kan manusia mati itu nggak bawa apa-apa. Cuma amal ibadah selama di dunia dan catatan keburukan yang akan dimintai pertanggung jawaban. Ah, apa Arkano mau mau punya tabungan dosa banyak-banyak dengan cara dendam? Kalau gitu ambil dosa saya saja. Saya ikhlas pake banget, kok," cerocos perempuan bertubuh mungil itu panjang kali lebar tanpa sadar.

"Iya, iya. Aku sudah maafin," jawab Arkano cepat. Jujur, ia tak suka dengan cara Aqila yang malah mengadu papanya, ditambah mulutnya yang berisik membuat kepalanya menjadi sakit. "Arkano capek, mau pulang, Pa!" usai mengucapkan kalimatnya, lelaki itu langsung kembali memasuki mobil usai menyerahkan selembar uang bergambar presiden pertama Republik Indonesia.

"Maafin anak saya, ya! Dia memang seperti itu, tapi aslinya baik, kok," tutur Papanya Arkano dengan senyum yang menghiasi bibirnya.

"Nggak, saya justru yang minta maaf karena membuat anak Om sempat terluka."

Papa dari Arkano tersenyum. "Tidak apa-apa, manusia itu tidak ada yang luput dari yang namanya kesalahan. Jadi, jangan terlalu cemas," ucapnya menasehati.

Akhirnya Aqila bisa bernapas lega setelah orang penting itu pergi. Sempat ia diserang rasa panik karena orang yang baru saja berbicara dengannya adalah pemilik yayasan di sekolahnya. Jika salah berucap, bisa saja nasibnya di sekolah itu harus dipertanyakan, mungkin tak akan bertahan lama.

Setidaknya perempuan itu merasa lega karena sudah berani jujur dan mendapatkan kata maaf dari lelaki yang ia cari-cari akhir ini. Akhir pekannya akan berjalan nyaman tanpa gangguan. Detik berikutnya ia kembali pusing karena memikirkan nasib ponselnya yang malang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro