Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. 내가 혼자있을 때 나는 너의 이름을 부른다

"Semua manusia menginginkan kebahagiaan, tapi ada yang tidak beruntung sampai tidak ada yang bisa menggapainya. Saat bahagia sederhana indah seperti sayap kupu-kupu maka seseorang itu bisa dianggap sebagai salah satu manusia bahagia dengan seluruh kesederhanaan dimilikinya."

🦋

J i m i n

Duduk dengan tangan meremat tangannya satu sama lain, dia hanya menahan diri untuk tidak membalas ucapan kedua orang tua sama seperti sebelumnya. Keduanya tengah menyidang nya, seorang lagi hanya bisa melihat iba ke arah Jimin dan dia adalah salah satu penasihat ter-pecaya ayahnya sekaligus penanggung jawab rumah selama kedua majikannya pergi. Beberapa kali Jimin menghembuskan nafas lelahnya, deretan kata memarahi dirinya dengan kasar itu keluar juga.

Ini sudah hampir tengah malam dan mereka seperti tidak ada kata lelah, cukup.

"Jimin apa kau dengar kata kami! KENAPA KAU MENOLONG PEMUDA ITU PADAHAL DIA SAJA SAKIT JIWA! KAU TAHU KARENA IBU KIM BILANG KALAU DIA SUDAH MEMBUAT KAU DAN JUGA PEMUDA LAINNYA BAHAYA!" suara seorang ibu katanya tidak akan pernah habis. Sepertinya Jimin akan membenarkan hal itu bagaimana beliau memperlakukannya dengan sangat dan kurang kepedulian. Disini dia adalah seorang anak dan bukan orang lain yang merugikan manusia lainnya. Tatapan Jimin seakan tidak percaya bahwa menolong sesama manusia saja dianggap sebagai sebuah petaka.

"Karena kau sudah membuat beberapa masalah ayah akan menghukum mu! Kau tidak boleh memegang ponsel dan memakai aset rumah ini selama satu bulan!" Begitu juga lainnya, kau hanya boleh makan setelah kami makan dan lagi-

"Apa yang ayah katakan?! Kenapa ayah sangat jahat. Bagaimana kalau aku mengerjakan tugas, sementara tugas harus dikumpulkan secara online. Apa ayah ingin buat aku kerepotan, lalu apa salahnya dengan membantu Taehyung? Dia anak baik, dia pernah menolongku dan kalian tidak tahu akan hal itu." Judes dengan nada tidak terima, dia berdiri membuat kedua orang tuanya menggeleng tidak terima. Sikap sang anak dianggap kurang ajar, hingga membuat ayahnya bangun dengan kedua mata melotot marah. "Lihat ini istriku, sejak dia mengenal pemuda gembel itu anak kita jadi tidak patuh! Park Jimin apa kau mau membuat kami semakin menambah hukumanmu!" Gebrakan di meja depannya, membuat vas bunga diatas sana menggelinding di permukaannya.

Jimin melihat urat tangan itu nampak, seperti menyimpan sebuah dendam. Ibunya bahkan tidak membelanya dan justru menambahkan kata-kata dengan kesan menjatuhkan anak semata wayangnya. "Kau benar suamiku, aku akan buat Jimin masuk ke asrama. Kau tahu bukan, di asrama kau akan diajarkan tata Krama, sopan santun dan juga menjadi salah satu yang bisa kami andalkan sebagai penerus." Tangan itu sudah memegang ponsel, sepertinya dia akan menghubungi seseorang yang berkaitan dengan rencananya.

"Aku setuju istriku, aku akan sangat senang jika Jimin berada di asrama. Kau tahu ayahku juga mengirim diriku kesana, sekarang kau lihat. Aku menjadi jutawan tidak peduli dengan seseorang yang bisa saja menjatuhkan nama dan potensi buruk untuk ke depannya."

Jimin menggeleng tanpa suara, wajahnya tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh ibunda. Jimin ingin mengelak tapi ayahnya memotong suaranya dengan telunjuk berada di depan wajahnya. "Kami tidak akan main-main nak! Kau sudah membuat kami kecewa, ini kesalahan dan kau harus menerimanya. Setelah semester berakhir kau akan pindah ke asrama segera!" Bentaknya dengan kuasa penuh sampai akhirnya Jimin memalingkan wajah ke bawah dan menutup kedua telinganya.

Bibirnya mengernyit seperti menahan sakit dan sesak, kedua telinganya seperti merasa sakit dalam gendang pendengarannya. Berdengung dengan suara seperti melengking tidak karuan, bagaimana pria yang selama ini melihat pemuda itu jarang melampiaskan emosinya membuat pria dengan sikap lemah lembut disana berusaha mendekat Jimin. Semakin lama semakin sakit dan Jimin tidak tahu bagaimana dia bisa menjadi sakit kepala dan pusing.

Sang ibu hanya membelakanginya dan tersenyum memainkan kutek merah darahnya. "Sohyun bisakah kau siapkan tempat asrama terkenal untuk anakku Jimin, dia sudah membuat masalah dan aku-"

"CUKUP!!! BISAKAH KALIAN MEMAHAMI KU?! ASRAMA! ASRAMA DAN SELALU ASRAMA! APAKAH AKU ANAK YANG TIDAK BAIK ATAU ANAK BAJINGAN SAMPAI AKU MASUK KE SANA?! APAKAH AKU ANAK YANG BEGITU BURUK MELAKUKAN HAL MEMALUKAN DAN JAHAT SEPERTI MEMPERKOSA GADIS SAMPAI AKU DIPAKSA BERSEKOLAH DI SANA?!"

Jimin menunjuk ke jendela secara asal, dia juga hampir menangis tapi ini semua ditahan karena dia juga tidak mau menjadi pemuda yang dianggap lemah. Bukan hanya itu saja dia juga menarik rambutnya beberapa kali dan memukul jidat untuk membuang segala masalah memupuk di kepalanya seorang. Rasanya sangat sakit hati karena orang tuanya sendiri lebih buruk ketimbang penjahat. Menangis dan menangis dia tidak akan melakukan hal itu di depan orang tuanya, mereka akan tertawa menang dan berteriak soal anakku payah!

Sang ibu melihat tingkah anaknya yang dia anggap aneh. Bukan seperti Jimin biasanya, dengan gamblangnya dia menampar sang anak. Begitu keras dan begitu menyakitkan hingga seorang pria yang berusaha menenangkan saja diam disana. "Kau kerasukan atau apa! Bisa-bisanya kau bicara begitu pada kami! Apakah kau tidak berfikir bahwa kami melakukan hal ini demi kebaikanmu, dan lagi cara bicara macam apa tadi?! Setan apa yang sudah masuk ke dalam tubuhmu!"

Wanita itu mengguncang tubuh anaknya, Jimin menundukkan kepala dengan senyum mendecih tak sangka. Dia merasa bahwa ibunya lebih kejam dari ibu Taehyung, secara persepsi ini bukan marah tanda sayang tapi tanda merendahkan seorang anak. Kedua tangan itu meremat, dan membuat amarah dalam dirinya tertahan.

"Jangan pernah melawan kami Jimin, kami sudah bekerja keras, pulang malam setiap hari dan juga menjejali resiko saham dengan potensi akan bangkrut itu demi dirimu. Kau masuk asrama agar kami bisa membuatmu jaya, penerusku! Membuat semua menjadi lebih baik kelak untuk istri dan anakmu! Kau aku didik seperti ini agar kau tahu bahwa kami ingin YANG TERBAIK! SEKARANG KAU MEMBUAT KATA KOTOR DAN MENOLAK ASRAMA, ANAK MACAM APA KAU?!" Saking marahnya dia membuang vas keramik itu. Membuat sampah semakin banyak di lantai dan beberapa pembantu di luar ruangan kerja seorang tuan kaya itu terdiam.

Jimin membuang nafas, dia memejamkan mata dengan menarik nafas kuat. Menatap ke atas langit dan juga membuang semua persepsi bahwa dia adalah anak bahagia, dia pura-pura dan tidak seperti anggapan luar sana. Hanya senyuman receh dan itu semakin membuat dia sedikit menyedihkan, "ayah aku pikir aku bahagia dengan yang ayah lakukan? Ibu, aku merasa sesak disini." Menyentuh dada itu dan membuang beban itu sedikit demi sedikit. Kedua orang tuanya menganggap ungkapan sang anak hanya sebuah drama saja, dimana nafas kedua orang tua itu semakin kalut dan juga bibir tertawa melucu.

"Jangan melawan Jimin, aku ingin kau mendengarkan kata kami. Kau harus menurut karena kau anak kami dan-"

"Ibu, apakah aku pernah melawan kecuali hari ini juga waktu itu. Hanya dua kali aku melawan tapi kalian mengancam ku seperti melakukan kejahatan beberapa kali. Apakah ibu atau ayah pernah berfikir kalau aku senang dengan tindakan asal kalian? Menghukum anak itu boleh jika melakukan kenakalan, masalah, atau membuat orang tua terluka atau hal runyam. Meski begitu tetap saja hukuman yang tidak menjatuhkan separuh harga diri. Tapi kalian..." Jimin membuang nafas, dia menggeleng tidak percaya dengan yang dia saksikan sekarang. Hingga akhirnya dia tertawa dengan berat dan menangis juga walau cepat sekali gerakan tangannya mengusap.

Walau dia sembunyikan luka seperti itu tetap saja pria yang menjadi salah satu bagian dari pengasuh Jimin itu sedih, dia ingin bicara tapi dia tidak bisa melainkan kedua orang tua seperti mengintimidasinya. Jimin menggeledah saku belakangnya, memberikan tatapan tajam ke arah ayahnya. Jimin seolah memberikan semua pada Tuhan dan pasrah.

"Kalian membuat keputusan yang salah dan aku menolaknya. Asrama hanya untuk orang berandal dan membuat malu keluarga dengan hal negatif, tapi aku tidak. Aku menolong seorang teman. Dia membutuhkan kemanusiaan, kalian membuatku muak. Aku sudah cukup bersabar dan jangan lagi membuat acuan bahwa aku akan menurut, maafkan aku tapi aku akan melakukannya sendiri. Ini yang ayah inginkan, aku harap kalian berdua puas." Dengan sedikit keras dengan bunyi bagian belakang ponsel membentur meja. Jimin memberikan benda canggih itu dengan ucapan tak santainya. Dia membuang segala disiplinnya karena orang tua egois.

Ibunya sempat menahan sang anak pergi dengan mencekal tangannya, tapi tindakan yang Jimin lakukan jauh dari dugaan. Saat tubuh wanita itu sedikit oleng karena terhempas dan sang ayah yang hendak ingin melemparinya dengan guci mahal tapi sudah ditahan oleh sang istri susah payah. Apapun alasannya tetap saja jika guci itu mengenai kepala sang anak akan menjadi masalah bau, ada begitu banyak saksi dan mereka bisa kena kasus hukum.

"Suamiku tenangkan dirimu kalau kau seperti ini yang ada semua barang hancur. Kita biarkan saja Jimin, aku yakin bocah itu akan sadar akan kesalahannya. Aku jamin kalau dia tidak akan tahan tanpa fasilitas dan kemewahan sebaiknya kau istirahat. Bukankah besok kau ada rapat hemm?" Dia menepuk jas dengan sedikit debu disana, menenangkan sang suami adalah hal mudah baginya karena dia tahu segala hal mengenai prianya. Ketika semua tatapan marah sang suami sedikit pudar dia hanya mendesah kesal.

"Aku harap orang tua lain juga tegas pada anak mereka, aku ingin tahu siapa dia. Membuat anakku menjadi begini, yang aku tahu dia berteman dengan seorang anak gembel. Bagaimana bisa dia melakukan itu pada kita?! Yang benar saja, keluarga kita terpandang dan ini sangat buruk." Dia menggeleng tidak terima, beberapa kali membuang nafas tidak suka. Sang istri mengusap punggung itu penuh sayang. Pria yang melihat semuanya hanya bungkam tapi tetap kena amarah seorang wanita yang merupakan majikannya.

"Ingat Pak Ahn jangan sampai kau membantu Jimin atau melakukan tindakan di luar kekuasaan kami dalam menanganinya, kau akan kami pecat sesuai nama panggilan khusus dari kami namamu Ahn dan namamu adalah jaminan dari pemegang segala pemerintah walau Jimin memanggil mu dengan beda. Kau tetap saja harus patuh pada kami, biarkan saja dia merasakan susahnya tanpa barang dari kami. Agar dia sadar tanpa orang tua dan juga aturan dia tidak akan bisa menjalani hidupnya!"

Wanita itu sudah memberikan segala kedisiplinan, dijawab dengan anggukan menurut meski ini tidak adil. Seorang anak akan semakin berontak jika mereka dihukum hanya karena alasan tidak jelas, pria ini menjadi takut jika Jimin menjadi buruk akan hal ini. Mendengar dia akan dibawa ke asrama juga membuat benaknyaa sedikit khawatir. Terus memikirkan nasib anak baik seperti dirinya, ketika dia keluar dan melihat Jimin yang sedikit termenung di depan pintu kamarnya membuat hati mencelos.

Pria itu ingin menemui pemuda itu tapi sayang, sebelum mendekatinya dia sudah masuk dahulu. Dengan suara pintu kamar keras dibanting, pemuda itu melampiaskan semua dari cara dia bicara dan bersikap. Pria itu tahu bahwa frustasi itu selalu ada, dia juga mendengar bagaimana suara tendangan pada kayu ranjang itu jelas. "Tuan muda saya kasihan dengan anda, tapi saya tidak tahu bagaimana saya membantu anda. Tuan dan nyonya semakin mengekang anda. Tolong bersabarlah, aku yakin anda terlalu baik dan Tuhan akan memberikan sedikit keajaibannya."

Doa dan harapan itu ada. Semua ini terjadi secara bersamaan, saat pemuda lainnya juga merasakan. Bukan hanya Jimin seorang yang mengalami sidang dari kedua orang tua mereka, lainnya juga. Mereka yang berkaitan dengan masalah Taehyung dan membuat kedua orang tua mereka menyalahkan anaknya.

Terus dan terus hingga dalam hati mereka juga tertekan, mereka takut itu wajar. Mereka patuh bukan karena kesadaran tapi kekangan kedua orang, ada lebih parah dan itu adalah salah satu dari mereka.

Semua ini karena Taehyung, ini tidak bisa disebut sebagai kesalahan karena yang terjadi adalah takdir.

Saat bersamaan di kisah lainnya Yoongi masuk ke dalam kamar dengan wajah menatap benci ke dinding, lebam di pipi akibat tangan mematikan sang ayah pelopornya. Dia dihajar oleh seorang gubenur yang di hormati di kota, jika dia pura-pura menjaga masyarakat itu benar. Karena dalam sebuah kenyataan pahit pria itu tidak mampu menjaga anaknya dan selalu menyalahkan hingga membuat sang ibu menatap dia khawatir.

"Yoongi buka pintu mu nak, biarkan ibu masuk. Maafkan ayahmu, dia tidak bermaksud untuk membuatmu terluka atau sakit. Dia melakukannya karena sayang padamu. Tolong buka pintunya sayang ibu ingin mengobati lukamu." Yoongi mendengar, segalanya dari luar sana. Bujukan sang ibu berharap dia mempan dan mau melakukannya. Dia melihat bagaimana pintu dari belakang sana diketuk cukup kuat.

"Yoongi apakah kau sudah tidur? Obati dulu nak, dengarkan ibu. Jangan melawan ayahmu kau kan tahu kalau ayahmu sangat tidak mau kau terjebak dalam masalah." Ucap sang ibu dengan sedikit takut, dia tidak bisa lagi membendung rasa sedihnya. Meski tak ada jawaban apapun Yoongi paham bahwa ibunya tidak akan lama lagi pergi dari kamarnya.

Tebakan tepat.

Merasa sang anak mengacuhkannya membuat dia langsung pergi, ibu yang masih khawatir tapi tidak bisa memaksa kehendak anaknya. Dia melihat sang suami yang membanting gelas alkohol dengan keras ke lantai, membuat dentingan bahan kaca itu menjadi berserakan. "Suamiku, apa yang kau lakukan? Kau membuat Yoongi sakit, bisakah kau tidak melakukan hal itu suami ku?" Berharap bahwa dia mendengar tapi sepertinya gagal karena si gubenur itu membanting pintu kamarnya dengan keras.

"Kau selalu seperti ini, jangan lakukan kekerasan pada anak. Kau selalu keras padanya makanya dia jadi pembangkang!"

Yoongi mendengar semuanya, dia dengar bagaimana ibunya yang membela dirinya. Berani dalam mengambil suatu tindakan untuk membela dirinya, tubuh itu merosot perlahan dengan hembusan nafas perlahan turun. Dia mendongak ke atas dan melihat bahwa langit kamarnya jauh lebih menarik dan beruntung ketimbang hidupnya. "Aku tidak bisa tahan dengan ini semua, tapi bagaimana mungkin aku bisa keluar dari sini. Sial, ayah selalu membuat diriku semakin membencinya." Yoongi akui ini lebih parah ketimbang dia dijodohkan atau di paksa ikut rapat kolega menyebalkan.

Dia mengambil ponsel dan mencoba menghubungi seseorang, sepertinya Jimin paling tertekan sekarang. Meski dia ditempa masalah sama dia mencoba untuk mendukung temannya itu, sayangnya ponsel itu hanya dijawab oleh operator. Kemungkinan besar dia tidak akan bisa menjawabnya.

"Kenapa bisa ayahku seperti ini, aku melakukan tindakan baik tapi dianggap tak jauh beda dari penjahat. Benar-benar hhhh...." Kepalanya dia sandarkan ke bantal, dia memilih berbaring untuk mengistirahatkan tubuhnya. Dia penasaran akan keadaan Taehyung tapi dia cukup yakin hal seperti siang tadi tidak akan terjadi. Membenci seseorang yang membuat masalah ini semakin berarti adalah sesuatu yang membuat dia menjadi kalut.

Taehyung adalah korban dan Jae Bum diprediksi adalah tersangka utama. Dia butuh bukti tapi tidak mudah untuk mendapatkannya. Sampai akhirnya dia memainkan kedua kelopak matanya yang sedikit berat. Ada benda lain bergetar dari saku celananya. Sebuah benda kuno tapi juga bisa digunakan untuk melakukan panggilan dan berkirim pesan. Seseorang tengah menghubungi nya dan itu tampil di depan layar dengan tulisan ibu.

Ponsel Kim Taehyung kebanyakan hanya dari ibu juga kakaknya, tapi lebih dominan ibunya. Yoongi tampak tidak sopan tapi bagaimana lagi jika dia tinggalkan ponsel ini, pasti akan hilang. Dia tidak pernah pakai ponsel ini tapi dia masih mengerti karena fitur tidak asing. "Aku menyesal telah melakukan kesalahan pada Taehyung, tapi aku tidak menyesal membangkang ayahku yang melarangku menolong nya. Tuhan apakah aku cukup gila? Kenapa aku menjadi bingung dengan jalan takdirku sendiri?"

Bernafas dengan pelan sembari memejamkan kelopak mata yang buram. Dia tidak bisa membalas pesan yang datang itu karena dia sendiri tidak bisa berbohong pada orang tua meski itu bukan kandung atau keluarganya. Dia merasa bahwa kebohongan akan membuat dia sial sama seperti sebelumnya.

Di luar...

Hujan jatuh rintik dan perlahan, membuat suara syahdu ingin terlelap tidur dengan nyaman. Dimana hal itu juga terjadi di daerah rumah sakit, tempat dimana Taehyung sedang tidur terlelap dalam selimut. Dingin memang menusuk tapi bukan berarti mampu membuat pemuda itu bangun karena bius yang sudah masuk ke dalam tubuhnya. Semua rasa sakit dari hati dan tubuhnya telah menyatu, membuat seorang ibu juga tidak sadar bahwa anaknya tengah terluka. Dia bahkan tidur dengan lelap di dalam hotel bintang lima di dalam selimut listrik yang memberi rasa hangat untuk tubuhnya di tengah cuaca buruk ini.

"Taehyung seharusnya kau tidak melakukan tindakan bodoh! Kenapa kau bodoh! Lihat ayahmu meninggal karena dirimu Kim Taehyung!"

"Ibu, aku tidak bermaksud untuk hiks..."

Bibir bergetar dan sedikit membiru pada ujungnya. Di tengah rasa ketidaksadaran nya.

Terluka karena biadab manusia lain. Ini masih malam dan Taehyung sudah disiapkan untuk pulang setelah sadar, orang kaya telah melakukan tindakan pengusiran sedikit halus kepadanya. Sangat halus sampai tidak ada yang tahu soal perintah itu. Taehyung juga manusia tapi dia belum mendapatkan semua haknya, hak yang seharusnya dia dapatkan. Meskipun dia melaporkan Jae Bum dan lainnya ke polisi pun disini Taehyung akan dianggap kalah juga.

Dia lemah karena kasta berbeda. Bukan anak orang kaya.

.

Seorang ibu tidak akan tenang saat dia tidak tahu kabar akan anaknya, dia seperti itu sejak subuh tadi. Sudah menyiapkan sarapan dan setelahnya dia melihat bahwa ponselnya sama sekali tidak dapat balasan. Dia ingin pulang karena bisa jadi anaknya dalam keadaan tidak baik, dia sedikit berat hati saat Taehyung juga sedikit demam.

Sudah dua  hari dia tinggal dan ponsel itu sama sekali tidak diangkat, apa karena Taehyung sudah sibuk dengan sekolahnya. Dia juga harus percaya bahwa dia sudah besar dan menjaga dirinya, dia bukan anak kecil walau status sang anak adalah bungsu dalam keluarga. Jackson dari belakang melihat ibunya khawatir, dia pindah menginap ke villa tempat dimana Wendy membuka cabang penginapan.

Meski belum besar tapi hasilnya lumayan untuk kebutuhan belanja seorang wanita yang terbilang cukup banyak. "Ngomong-ngomong ibu memasak apa? Wah baunya saja enak, dan yummy ini sup kesukaanku." Dia melihat bagaimana menggodanya makanan berkuah itu di dalam panci. Jika Wendy bangun dia pasti senang karena dia doyan sekali mencicipi makanan.

Entah kenapa dia jadi ingat lingkungan pedesaan dan kehidupannya saat remaja di desa tanah kelahirannya. Dulu dia dan Taehyung sering rebutan mencicipi masakan sang ibu hingga akhirnya adiknya menangis karena manja. Dalam perasaan diam dia sudah membuang kenangan itu, seharusnya dia simpan dijadikan cerita untuk anaknya tapi dia kalah dengan egois. Ibunya melihat bagaimana Jae Bum termenung seperti memikirkan sesuatu, membuat wanita cantik itu menepuk pundak anaknya.

"Jae Bum, kau tak apa? Apakah kau tidak enak badan?"

Tindakan sang ibu membuat dia terkejut di tempat, sang anak langsung menggeleng dan mengatakan bahwa dia baik saja. Saat dia lihat bagaimana ibunya masih mengaduk sup membuat dia langsung mengganti posisi. Hari ini hari Senin dan biasanya wanita ini sibuk membuat sarapan untuk anaknya, dan adonan untuk jualan. Jackson mencoba memecah keheningan yang terjadi dengan bersenandung.

"Bagaimana kelihatannya nak, apakah kekasihmu suka? Maksud ibu, Wendy pasti suka makanan mahal. Ibu hanya bisa memasak rumahan, sup ayam dengan kuah kari dan ini bisa memakai roti. Kau tahu bukan? Karena sejak kecil kau juga pernah memakannya. Masakan khas nenekmu dan turun temurun sudah ibu buat." Ibunya senang saat dia bercerita bahwa dia memasak karena resep. Jackson tersenyum dan mengangguk dia juga mencoba satu sendok masakan di depannya, rasa khas Korea dengan bumbu rempah desa membuat dia semakin rindu saja.

Tetap saja dia membuang rindu itu agar semua rencananya berhasil. Bukan maksud dia ingin membuat ibunya bernasib malang, tapi dia juga punya pedoman akan mengganti uang itu dengan menjamin kehidupan ibunya. Berfikir bahwa akan membawa ibunya juga ke Amsterdam. Tinggal disana bersamanya.

Pemikirannya hanya fokus pada ibunya dan bukan Taehyung, membuat dia tidak peduli dengan adiknya yang selalu diam dalam posisi bahwa dia harus diam dan diam. Semua terasa sangat mudah ketika raut wajah kepercayaan ibunya dia dapatkan, satu langkah lebih maju dari adiknya yang payah. "Ini enak ibu, aku sangat suka. Bisakah setiap hari kau memasaknya? Aku akan sangat berterimakasih dan aku lebih suka buatan tangan ibu." Pelukan sayang dari samping, dia menjadi lebih dekat dan manja. Membuat seorang gadis yang baru bangun mengamati kekasihnya.

Bukan wajah bahagia tapi sedikit melamun dia hanya melihat bagaimana keduanya bisa akrab. Ibu dan anak, status yang sah dan penuh penyayang. Dia tidak seperti itu dengan ayah atau ibunya dan punya masalah sendiri yang belum bisa dia selesaikan dengan mudah. Sedikit terabaikan dan membuat gadis itu berdehem, ketika kedua orang disana memberikan tatapan terkejutnya gadis itu langsung berlari dan menyusul memeluk mereka.

"Astaga kalian bersenang-senang tanpa aku, aku juga ingin pelukan." Dengan wajah riang dan cantiknya, dia mendapatkan ruang untuk masuk dalam salah satu pelukan. Pelukan hangat dan sayang tanpa wanita dua anak itu tahu bahwa Wendy sedang memberikan tatapan kesalnya pada sang kekasih.

"Ikut aku, ingin bicara secara empat mata!" Sedikit bergidik ngeri ketika Jackson melihat langsung. Pacarnya yang galak tak jauh bedanya dengan sang ibu yang juga bisa galak seperti itu. Tetap saja namanya cinta apapun akan dialkukan bahkan membujuk ibunya agar dapat sertifikat tanah.

Dia ingin segera menikahi kekasihnya setelah semua urusan usai, dan Taehyung? Dia harap bocah itu mati saja karena sudah menyusahkan. Dia ingin menjadi anak tunggal sekarang.

Sementara itu di tempat lain tepatnya di sebuah kota besar, tempat dimana sebuah sekolah negeri dengan tingkat akreditasi tingginya kini tengah mengalami masalah. Sebuah kabar dari linimasa yang mengatakan bahwa salah satu murid melakukan penjualan diri dan juga melakukan adegan pornografi. Hal itu tersebar selama tiga hari sejak Minggu malam dan membuta semua siswa menjadi penasaran dengan beberapa link di kirim.

Link memang tersebar tapi sepertinya ada yang sudah mengubah aturan konten sampai membuat mereka penasaran tingkat dewa. Semua membahasnya bahkan saat Taehyung berjalan pelan dengan kepala menunduk seperti menahan takut dan malu masih bisa mendengar pembicaraan mereka. "Ku dengar kalau salah satu murid kita jadi bintang xxx wah aku yakin dia pasti kaya sekarang. Bukankah dia menjadi salah satu super adegan panas dan dewasa?" Sedikit memperagakan bagaimana mimik wajah mendesah di depan teman sebelahnya disusul tawa menginjak harga diri yang begitu menyakitkan.

"Dasar kau menontonnya sampai habis? Aisshhh... Yang berdosa si pembuat video kenapa juga pemain dalam adegan harus di buram. Dasar membuat suasana sekolah jadi penuh tanda tanya, tapi aku yakin kalau ada yang tahu dan banyak saksi dia akan keluar dari sekolah ini." Ungkapnya semangat tanpa menyadari bahwa Taehyung terdiam mendengar disana.

"Kau salah bukan hanya itu saja dia juga akan di permalukan dunia. Siapa yang mau menerima orang seperti itu, kasihan sekali kalau siswa itu begitu rendah sampai memuja uang."

Semakin lama semakin kasar dan membuat Taehyung melengos pergi. Semua ucapan itu tertuju padanya yang hanya seorang korban, dia korban dan tidak sama sekali punya pemikiran bodoh untuk menjual aset tubuh miliknya. Dia sudah kehilangan arah dan martabat sekarang jadi bahan gosip, sebenarnya dia tahu bahwa Jae Bum adalah bajingan dan membuat semuanya menjadi sulit.

Dia menuju kelas dengan langkah terpaksa sembari menahan sakit pada bagian anusnya. Dia terseok tapi tidak peduli meski siswa lain menatapnya aneh, si kutu buku yang lemah dan aneh. Tasnya hanya membawa beberapa buku sesuai jadwal, tanpa ada bekal karena dia sendiri sudah bangun terlambat. Hari ini dia masuk dan tatapan ketakutan semakin membuat dia parno. Siapakah yang akan disalahkan kali ini? Apalagi posisinya selama ini tidak beruntung.

Taehyung kehilangan ponselnya dan dia pasrah, dia berharap ada orang baik hati yang akan mengembalikan benda itu padanya. Dia hanya ingat bahwa dia bangun dari rumah sakit, ingat bahwa dia bisa ada disana karena bantuan Jimin juga lainnya. Tapi karena ancaman dari seseorang untuk tidak dekat dengan Jimin dia menjadi lebih takut dari sebelumnya.

Semua siswa disini membahas link, video panas dan porno. Dia merasa bahwa Jae Bum membuat semua lingkungan sekolah menjadi pecah. Saat dia sampai di depan kelas semua murid tengah tertawa tapi berhenti saat melihat Taehyung ada di depan pintu. Hanya tatapan takut di balik kacamata retak miliknya tanpa ada kata sapaan dari mulutnya. "Woi kau sudah masuk lemah, aku kira kau pindah ke sekolah karena suatu hal." Dia mengulas senyum remeh, Taehyung tidak menjawab dan langsung melengos pergi tanpa menanggapi Jae Bum. Hal itu membuat Han Chol menyenggol tubuh ketua gengnya agar melakukan hal lain.

"Kurasa dia butuh godaan, kau lihat betapa dia cukup populer sekarang. Semua akan menyadarinya walau kita sudah membutakan wajahnya, apakah kau tidak mau membuat permainan ini akan seru." Dia mengatakan hal itu dengan gampang, Taehyung tidak tahu saja dan dia memilih untuk membaca buku sebelum pelajaran di mulai.

"Kau benar juga, tapi aku yakin dia akan menjadi kaya kalau sudah terkenal. Kau bawa alat itu kan? Aku ingin membuat permainan gila setelah membeli pil perangsang." Sedikit berbisik di akhir kalimatnya, rasanya sangat menyenangkan saat dia bicara seperti itu. "Gila kau sudah main jauh dan aku kagum, oh ya... Bagaimana dengan dua orang itu. Yoongi dan juga kakak kelas kita Kim siapa aku lupa namanya." Dia mencoba mengingat tapi buntu, sementara tangannya masih memainkan ponselnya.

"Kau tenang saja aku punya cara untuk melawan mereka. Kenapa kita harus repot jika musuh saja tidak menyerang aku tidak akan melakukan hal bodoh tanpa alasan untuk membuat serangan lebih dulu." Tangannya sedang memainkan ponsel hitam miliknya. Dia tidak peduli bagaimana keadaan dan perasaan Ku. Taehyung sekarang, dia adalah salah satu orang yang bisa dibuat seperti permainan catur.

Entah kenapa keduanya sangat semangat membahas rencana dan rencana sampai Kim Tae akhirnya menyingkir karena dia tidak bisa memahami rencana kedua temannya disana. Dia memang dekat tapi tidak sepenuhnya tahu dengan apa saja di lakukan oleh mereka.

Dari sana Taehyung berusaha untuk diam tanpa ikut campur atau terpengaruh dengan yang terjadi sekarang. Terus membaca dan membaca sampai tidak sadar bahwa seseorang tengah berdiri disampingnya dengan membawa minuman susu kacang hijau. "Taehyung aku membeli dua dan ini untukmu, aku senang kau bisa masuk kelas hari ini. Bagaimana keadaanmu?" Suaranya tidak asing dan sebelum nya sudah menebak siapa dia.

Benar!

Tebakan Taehyung tidak salah dan justru membuat pemuda itu tersenyum dengan ramah. Taehyung mendapatkan sambutan dari seseorang. "Ah Jimin... Aku- baik saja dan terimakasih untuk minumannya. Tapi aku sedang puasa." Bohong Taehyung dengan mengatakan bahwa dia sedang menahan lapar dan haus, dia memang tidak melakukannya tapi bukan berarti dia akan mengemis pada orang lain. Jimin merasa sedikit terkejut tapi kembali mengulas senyum dengan mengusap tengkuk kepalanya tak gatal.

Sementara Hae Bum dan Han Chol menahan tawa mendengar kebohongan seorang Kim Taehyung yang polos tapi bohong. Dia tidak lagi sepolos itu. Melihat interaksi keduanya menjadi salah satu hiburan karena gelagat Taehyung yang semakin bodoh saja.

"Kau puasa ya hahahah maafkan aku tidak tahu. Kalau begitu simpan untuk nanti, minuman ini tidak akan basi dan jangan menolaknya." Dengan sedikit memaksa tangan itu meremat, agar Taehyung tidak punya alasan lagi untuk melepaskannya. Beberapa kali Taehyung menolak tapi Jimin masih kekeh hingga akhirnya Taehyung sendiri menyerah. Dia tak akan sangka kalau Jimin akan melakukan hal ini untuknya. Dia sudah diperingati oleh ayahnya, tapi bagaimana bisa dia mematuhi peringatan itu.

Seseorang yang sudah baik jika disakiti dengan cara menolak bantuan mereka tidak akan baik. Tapi dia sendiri juga takut jika ancaman pria itu akan terjadi, apalagi terhadap ibunya. Jimin duduk di sampingnya dengan menaruh tasnya, dia juga tidak bersikap aneh seperti biasa.

"Ngomong-ngomong aku pindah ke sini sejak kau tidak berangkat kemarin. Aku sudah sepakat dengan Soha untuk pindah bangku, kau tidak akan masalah bukan Taehyung kalau aku di sampingmu." Ucapannya sangat akrab dan membuat Taehyung sedikit gemetar, kenapa bisa dia ingat akan ancaman itu seperti baru saja. Dia sangat takut sampai wajah gelisah juga gelagatnya muncul, beberapa kali dia netral kan tubuhnya tapi susah. Jimin melihat bagaimana Taehyung tampak gelisah seperti menahan sesuatu. Dia paham bahwa ini pasti sulit.

Dia tahu dari pak Ahn jika sebenarnya Taehyung sudah diancam oleh ayahnya. Keegoisan sang ayah membuat seorang siswa terjebak dalam rasa takut. Sebenarnya dia dan lainnya akan selalu peduli meski orang tua mereka menentang, hanya orang tua Hoseok yang mendukung dan itu bagus. Mereka pernah merasakan bagaimana kehilangan seorang putri akibat perbuatan keji beberapa siswa dan korban dari pemerkosaan. Hal itu membuat mereka juga luput kasihan dengan Taehyung.

"Rasanya aku sedikit kaku, maaf kalau aku sangat membosankan." Tidak ada senyuman seperti biasanya, Taehyung menampakkan sikap tak biasanya. Jimin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa sedihnya, dia semakin kesal dengan sikap ayahnya. "Santai saja, aku akan mengerti. Melihatmu berangkat sekolah dengan keadaan sekarang sudah membuat diriku cukup tenang." Menepuk bahu itu tapi reflek menggeser hingga membuat Jimin kaget dan menggantung pada tangannya.

Taehyung menarik dan menghembuskan nafas dengan buru-buru. Kedua matanya seolah sulit terbaca dengan perasaan dimana jantungnya berdegup dengan kencang. "Taehyung kau dapat salam dari semuanya juga, kemarin kami datang ke rumah sakit tapi kau sudah pulang ternyata." Jimin melakukan basa-basinya, walaupun tampak tidak berguna. Dia tidak ingin membahas hal dimana seseorang mencoba untuk bunuh diri. Dia ingin membuat Taehyung tenang dan tidak merasa takut, tapi apa yang dia dapatkan?

Taehyung bangun dengan kedua lengan tangan rapat, membenarkan kacamatanya. "Aku harus ke kamar mandi, maafkan aku Jim." Pergi begitu saja tanpa tahu bahwa Jimin merasa bahwa Taehyung sengaja melakukannya untuk menghindari dirinya. "Aku tahu kau bohong, sebenarnya apa yang ayah ku katakan padamu Taehyung." Menerka di depan meja, tidak memegang ponsel membuat dia seperti mau mati karena sudah biasa berhubungan dengan benda elektronik itu. Tapi dia juga tidak mah kalah taruhan dengan ayahnya, dia tahu bagaimana ayahnya memaksa kehendak dirinya dengan absolut.

Bayangan seseorang datang dari belakang dan dia menepuk pundak Jimin hingga menoleh.

"Ternyata kau, bagaimana lukamu. Apakah sudah sembuh. Kau tidak berangkat dua hari dan semua khawatir padamu." Yang Jimin maksud adalah Seokjin juga lainnya, Yoongi mematikan koneksi ponselnya. Tidak ada kabar bahkan mampir ke rumahnya saja si penjaga gerbang melarang mereka masuk. "Aku baik, maaf buat kalian khawatir. Sebenarnya ponselku rusak karena aku banting ke lantai. Dimana Taehyung? Aku ingin kembalikan ponselnya." Mengedarkan pandangan dan tak sengaja melihat Jae Bum yang sedang tertawa dengan riang dalam kumpulan anak-anak disana.

Membuat wajah Yoongi bertekuk tidak suka dengan keberadaan kunyuk sialan itu.

"Bajingan! Berandal itu bahkan menjadi teman sekelas ku. Aku tidak akan mengampuninya-"

"Yoongi jangan, hentikan."

Jimin menahan tangan itu, dia melihat situasi tidak memungkinkan. Banyak siswa dan akan membuat semua menjadi bertanya apa yang terjadi. Hembusan nafas dimana Yoongi meredam amarahnya, semakin muak saja saat melihat bagaimana Jae Bum tersenyum sinis ke arahnya. Pria itu sadar bahwa Yoongi memperhatikannya dalam keadaan marah, tapi dia sendiri tidak masalah. Jimin dengan sekuat tenaga tidak mengijinkan Yoongi membuat keributan, dalam satu tarikan kuat dia membawa Yoongi keluar dari kelas.

"Kawan ikut aku, ada hal yang harus aku katakan padamu." Mau tidak mau, suka tidak suka Yoongi tidak bisa mengabaikannya. Dia membiarkan Jimin membawanya keluar begitu saja. "Kau tidak tahu begitu emosinya aku melihat kunyuk sialan itu, apa kau mau aku membiarkan hal itu terjadi terus hah!" Yoongi merasa bahwa Jimin salah melarangnya.

Dengan sedikit dengusan nafas kesal dia mencoba untuk memberikan pencerahan pada namja sipit itu.

"Kalau kau lakukan itu yang ada Taehyung semakin parah. Kau tahu kalau Jae Bum bisa melakukan hal parah, kau pernah bilang dia adalah pelaku. Bisa saja dia punya bukti atau hal lain merugikan Taehyung. Kabarnya di sekolah kita tersebar video porno dengan kemungkinan pemain video itu salah satu murid sekolah ini." Jimin cukup berat mengatakannya, dia sadar dan bisa menebak bahwa yang dia takutkan adalah Taehyung.

Yoongi diam dan mengerti, pantas saja dia mendengar ocehan kotor dari siswa lainnya saat berjalan menuju kelas. "Aku takut kalau bajingan itu membuat nama Taehyung semakin buruk Jim, aku bisa melihat bagaimana Taehyung akan dijadikan layaknya boneka." Keduanya bicara lirih, sengaja agar tidak ada yang mendengar. Jimin menggeleng tidak percaya, kenapa selalu benar dalam setiap firasat?

"Kau juga yakin kalau mereka membahas orang itu kemungkinan besar Taehyung. Lalu bagaimana bisa?" Jimin mencoba untuk memecah spekulasi, dia memang belum sempat tahu dari bibir Yoongi sendiri. Rasanya akan sangat berat saat namja pucat itu mengatakannya karena dia dan Seokjin juga tidak mau percaya. Dalam hembusan berat juga melihat sekitar, dia memerintahkan agar Jimin mendekat. Akan sangat bahaya jika ada yang sengaja mendengarnya, bahkan disini Yoongi rasa tidak akan cukup aman.

"Aku dan kak Jin melihat video itu tanpa dibutakan. Ada Taehyung disana dan dia menjadi model utama, diperkosa bagaikan film porno. Meski begitu orang akan mengacu kalau Taehyung tetap salah lantaran diam." Yoongi memikirkan hal ini dengan logis, dia juga tidak akan lupa. Seokjin akan melaporkannya ke polisi jika sudah ada bukti karena ayahnya Jae Bum adalah orang terkenal dan banyak fasilitas hukum membela dirinya.

Membuat semua keluarganya seolah boleh melakukan kesalahan sekecil apapun. "Kalau begitu Taehyung tidak akan punya hak memang. Aku merasa dia pasti takut dan kita harus menolongnya, aku tidak peduli kalau orang tuaku akan membawaku ke asrama atau apa." Jimin mendesah sebal. Yoongi mendengarnya langsung berseru keras tidak terima.

"Kau mau dibawa ke asrama? Sama siapa dan kenapa?!" Yoongi tampak nyolot, membuat tangan itu bergerak untuk menyingkirkan ekspresi kaget yang tak biasa itu. "Kau kan sudah tahu kalau ayahku seperti apa. Dia seperti dewa neraka kejam karena membantu orang saja aku dihukum, apa mungkin kalau aku buat kasus dan kesalahan maka semuanya akan dianggap benar oleh dia." Sedikit curhat dengan wajah masam, dia membuang segala kepastiannya untuk menjadi anak baik jika hal seperti ini berlangsung.

"Kau serius ingin ke asrama? Kenapa kau tidak membalas pesanku malam itu kemana saja kau?" Yoongi bertanya langsung ketika Jimin hendak berpaling dari tempat itu. Mendengar hal ini akan menjadi kabar heboh tapi sepertinya hanya Yoongi yang tidak tahu karena semua temannya sudah mendapatkan kabar itu. "Ponselku disita oleh ayahku, aku tidak boleh menggunakan fasilitas selama sebulan. Orang tuaku gila dan aku seperti tidak betah." Umpatnya yang cukup berani di depan Yoongi. Rasanya memang tidak adil ketika orang tua mengeluarkan pencetusnya.

Sekarang ini yang dibuat hati-hati adalah mereka. Jae Bum dengan segala tingkah liciknya, dia keluar setelah Yoongi dan Jimin masuk ke dalam kelas. Sengaja pergi sendiri dengan mulut bersiul untuk santai. Sesekali tersenyum dengan senang, dan memutar kunci motor miliknya. Mencari seseorang dan menyelamatkan dia dari sesat adalah hal menyenangkan, bukan karena dia ingin semua berakhir. Tapi kenapa juga dia membuang pemuda itu kalau kenyataannya dia bisa membuah hasil menguntungkan.

Di tengah perjalanan saja dia mendapatkan satu gepok uang yang ada di dalam amplop cokelat. Cukup banyak, dengan kilat amplop itu bersembunyi di dalam kantung celananya. "Jangan kecewakan aku Jae, aku ingin kesepakatan tetap kesepakatan." Berbisik dengan sedikit mesum, dimana dia tidak bisa berfikir lagi mana tahta dan jabatan dia punya. Karena uang mampu memberikan semua, semua yang dia butuhkan dalam kesenangan hidup. "Anda tenang saja pak, semua sudah diatur. Aku akan bawa dia ke tempat yang sudah aku janjikan. Berikan dia juga uang karena dia mendapatkan nya." Bersiul setelahnya hingga kesenangan terjadi.

Tak ada yang tahu pasti, cuma... Seseorang tengah bersandar dengan membaca komik. Dimana kedua teling itu tersumbat oleh earphone putih kesayangannya. Melirik ke bawah dan melihat mereka pergi dengan jalan terpisah, Jungkook menjadi saksi hingga dia memutuskan untuk mengikuti siswa tingkat dua darinya.

"Aku merasa aneh dengan mereka berdua, apakah mungkin hal ini berkaitan dengan Taehyung?" Terka nya sembari dari jauh melihat punggung itu berjalan menjauh, sesekali Jungkook membaca komik saat Jae Bum menoleh ke belakang. Dia pura-pura tidak peduli sekitar dan tetap sibuk dengan kegemaran, dalam posisi diam dia meneken rekaman. Rekaman di ponselnya demi mendapatkan bukti baik sengaja maupun tidak sengaja.

.

Taehyung menatap dirinya sendiri di depan cermin, wajah basah dengan air dan juga keadaan jauh dari kata baik. Sungguh bijak jika dia memilih untuk diam dari tadi dan menyembunyikan semua kejahatan teman sekelasnya. Mungkinkah dia akan selamat sampai dia lulus dari sekolah ini? Dia melihat bagaimana kawasan pendidikan berstatus negeri seperti ini semakin bobrok.

Taehyung tertekan akibat video syur yang bisa saja membuat dia dikeluarkan dari sekolah. Padahal bukan dirinya melainkan perbuatan orang lain yang membuat dia dipaksa secara brutal dan menyakitkan. "Apa yang harus aku lakukan, bagaimana jika Jae Bum melanggar janjinya." Bukan ini yang Taehyung mau, dia juga tidak ingin semua ini terjadi. Apakah dia harus mencoba untuk mati dari atas atap gedung agar semua masalahnya usai?

Dia merasa tercekik pada satu titik dimana dia menginginkan sebuah kematian. "Ayah, bagaimana aku menjalani hidupku sekarang. Ada begitu banyak orang jahat membuat malu dan anakmu ini harus bagaimana? Aku sudah mencoba untuk mengabaikan tapi tetap tidak mampu, apakah aku bisa mendapatkan keadilan di tempat tinggal ku?" Tarikan kuat dengan menjambak rambutnya kuat. Sesekali memukul dengan harapan dia akan mati dengan luka bocor di tempat. Kepala itu terasa sangat menusuk hingga di dalam otak, dia menangis dengan jatuhan air mata dari kedua kelopak.

Kim Taehyung meringis sampai kacamatanya hampir lepas. Dia mencengkram erat wastafel di depannya sampai seperti kesepuluh jemari itu mau menusuk benda keramik itu. Taehyung ingin mengakhiri hidupnya dia ingin mencoba untuk membentur kepalanya sekeras mungkin, menggagalkan nafasnya dan menyusul sang ayah.

Ingin!

Ingin!

Langkah kaki mendekat dan memaksa Taehyung segera sadar, dia kelimpungan masuk dalam bilik toilet dan menguncinya. Seseorang datang dengan siulannya dan itu nampak menakutkan karena Jae Bum mencoba menelisik dari dalam, apakah ada mangsa dia cari bersembunyi di tempat seperti ini. Toilet sekolah kadang menjadi tempat menjijikan dan ini adalah salah satu penyebab kenapa dia tidak ingin masuk tanpa pembersih tangannya.

Sejak dari tadi dia mengelilingi sekitar dengan siulannya hingga membuat seseorang bergidik ngeri dan menatap dari celah pintu dengan mulut menutup takut. Taehyung takut suaranya keluar dan lolos membuat dia akan dihajar habis olehnya, sudah cukup tubuhnya menerima serangan pukulan. Bergetar begitu saja dan menangis, trauma! Trauma! Trauma! Hanya itu saja yang terlintas di dalam benaknya terus menerus.

"Kim Taehyung aku tahu kau ada disini? Kau sedang sibuk dengan urusanmu hemm... Hahahaha!" Tawa meledak di akhir kalimat, saat dia mengecek satu persatu bilik toilet yang ditutup. Dia bersiul seperti seorang Psychopat mengerikan, tak ada kata dimana dia menyesal ke depannya. Suara deritan engsel pintu itu pun berbunyi karena karat, membawa rasa ngeri pada setiap orang mendengarnya. Jae Bum disana masih membuka dan terus mencoba mengintip ke dalam dengan tampang berani dan mesum. "Oh ternyata kau diam saja ya, apa kau tidak merindukanku. Aku sangat merindukanmu, kemana kau pergi selama dua hari ini? Kau tahu sekarang namamu sangat terkenal dan itu belum."

Kekehan di akhir dialognya dan terus saja membuat gencatan suara menakutkan seperti air keran berbunyi. Air yang turun dari lubang pipa hingga suara itu menggema, sarkatik dan merinding. Taehyung memejamkan mata agar dia tidak merasa lebih takut dari sebelumnya. Kakinya menekuk dengan tubuh pasrah dan duduk, jujur Jae Bum seperti raksasa di Shingeki no Kyojin.

Bisa saja membuat dia mati saat membuka mulut dan melahapnya habis. Sial sekali karena dia malah pernah membaca komik dan versi filmnya seperti itu, padahal dia hanya melakukannya untuk kesempatan saja. "Tolong aku Tuhan, aku mohon tolong aku." Serunya lirih dengan isakan yang tak kalah lemahnya. Kepalanya menggeleng ketika dia merasa bahwa Jae Bum berada di depan pintunya.

Benar!

Dia ada di depan sana dan melihat bagaimana bilik itu seperti sepi tanpa ada manusia, tapi dia mencoba membuka dan tak mampu dibuka. Membuat seseorang di dalam sana tersentak dengan kaget. Isakan itu mau lolos hingga suara ketakutan seorang pemuda menjadi salah satu hal yang tak diinginkan oleh Taehyung.

"Kau pasti ada di dalam sini bukan? Karena aku yakin kalau tempat ini adalah favoritmu untuk sembunyi. Kim Taehyung kau tidak akan bisa bersembunyi, kenapa kau sangat naif." Dia sengaja mengetuk sepatunya beberapa kali, membuat suara semakin menegangkan saja. Jae Bum mencoba untuk menendang pintu bilik itu hingga jebol, satu hal yang dia punya adalah keahliannya dalam Taekwondo. Taehyung merasa bahwa dia tidak akan aman. Semakin erat tangannya memeluk kedua kakinya semakin menakutkan juga Jae Bum mengintai.

"Kau tidak akan bisa lari Taehyung. Aku ini tuanmu dan kau budak. Jangan macam-macam dengan ku!" .

DUAAAGGGHHHH!

Gagal!

Hanya peyok saja yang ditujukan pintu besi itu, cukup kuat juga sampai butuh tendangan sebanyak dua kali saja gagal. Taehyung tersentak di dalam sana dan memohon agar pintu itu tidak jebol.

DUAAAGHHH!

"Oh astaga aku sangat salut dengan pengecutmu! Kau berlindung pada pintu yang tebal!" Dia kesal dan menghirup oksigen dengan kuat, satu tendangan telak dia tak peduli kalau aset sekolah akan rusak. Semakin lama dia semakin semangat dan berkeringat, hingga keinginannya untuk mendapatkan pemuda lemah itu semakin besar. "Bersiaplah lemah, kau akan tahu kalau aku sangat serius sekarang!"

DUAAGHH!

Suara tendangan seperti menghilang tidak membentur besi, membuat Taehyung bertanya dalam hati. Suara yang keras seperti dihalangi oleh sesuatu yang keras jua. Siapa sangka kalau kaki seseorang tengah menahan gerakan menendangnya dengan posisi Jae Bum menhadap posisi samping. Jungkook ada disini dan memberikan tatapan tak bersahabatnya, posisi kakinya juga tak kalah panjang dengan dia menahan kaki itu hingga si empu bergetar. "Kau mau merusak aset sekolah ya, kenapa kau kurang kerjaan sekali." Suaranya memecah ketegangan terjadi, Taehyung tidak tahu ini suara siapa. Entah kenapa hatinya menjadi lebih lega karena dia merasa bahwa penyelamat telah datang.

Bagaimana bisa dia berfikir bahwa seseorang lain itu adalah penyelamat dirinya? Rupanya saja dia belum tahu. Bersembunyi di balik pintu bilik toilet.

"Mau apa kau! Bukankah kau si Jeon, adik kelas B!" Kaki mereka turun, keduanya saling bertatap nyalang satu sama lain. Hanya saja Jungkook mengulas senyum manis sampai membuat kedua gigi kelincinya terlihat dengan sangat jelas. Namja manis itu seperti menantang seseorang untuk baku hantam, tapi Jungkook bukan pria bar bar yang melakukan hal buruk seenaknya. "Kita pernah kenal bukan, aku Jungkook. Memang aku bermarga Jeon aku adalah adik kelasku dan itu benar. Aku hanya ingin tahu untuk apa kau kesini dan merusak fasilitas sekolah. Apa kau mau aku adukan pada pihak kesiswaan?"

Jungkook juga bukan anak biasa, dia adalah salah satu anak donatur juga perusahaan terbesar hingga yayasan sekolah ini menjadi lebih besar karena ayahnya. Jae Bum bertemu dengan keturunan dari kasta yang sama besar dan ningrat. "Memangnya kenapa apakah jadi urusan, aku sedang punya masalah dengan seseorang dan aku sungguh ingin melampiaskan semuanya disini." Dia tersenyum santai tapi dianggap Jungkook sebagai bentuk kebodohan.

"Ayolah ada tempat lebih baik dari sebuah kamar mandi untuk membuang masalah dan curhat." Fanatik memang tapi apa salahnya karena dia juga tidak setuju dengan sikap seperti itu. "Tahu apa kau, hanya seorang bocah ingusan. Kau hanya beruntung karena bisa menahan tendanganku." Dengusan sebal tak terima, dia melihat seorang bocah sudah membuat moodnya ambruk.

Tanpa tahu ada dua orang lain masuk dan mereka sepertinya akan menggunakan toilet untuk membuang stock ereksi mereka. "Kau lihat disini adalah tempat pribadi, apa kau tidak malu membuat keributan disini. Lebih baik kakak pergi karena disini akan menjadi sedikit memalukan. Kau bisa dianggap pengintip oleh orang lain." Jungkook sedikit berbisik serta membuat dramatisir keadaan sekitar. Mereka berdua melihat sedikit canggung dengan keadaan toilet yang terasa penuh.

"Sial!" Jae Bum bergumam jelek dengan melirik pintu ke arah dimana dia mau menghancurkan pintunya. Jungkook minggir seakan dia memberikan jalan silahkan pada pemuda galak disana. Dia tidak akan memberikan kesempatan membuat ulah setelah dia mulai mencoba melakukan sesuatu dengan beringas.

Dalam satu pukulan ke dinding, kekesalan berlebih dan Jungkook melihat dengan tatapan menusuk. Si arogant telah pergi dan kedua orang disana juga berdiri di depan Jungkook dengan tampang patuh. Jungkook memastikan semua aman dan mengeluarkan uang dari saku seragamnya, "kerja kalian bagus. Terima kasih sudah membantu, jangan sampai Jae Bum tahu kalau aku sudah minta tolong pada kalian oke."

Ternyata namja manis ini cukup pintar, dia melawan kekerasan dengan cara cerdas tanpa harus membuat korban untuk dirinya atau orang lain. Dia pandai mengamati situasi, dengan banyak orang tidak akan mungkin kekerasan terjadi sekalipun dari manusia garang sepertu Jae Bum.

Jungkook melihat pintu itu masih tertutup. Dia mendekat dengan wajah sedikit iba, andaikata dia tidak datang membantu akan jadi apa keadaan Taehyung? Dia melihat bagaimana keadaan disini sepi, sebagai tempat sembunyi rasanya tidak strategis. Lebih aman ke perpustakaan dimana disana ada pengawas yang berjaga. Jungkook sengaja mengunci pintu masuk toilet bukan untuk hal buruk, tapi untuk melindungi privasi seseorang yang kemungkinan besar semakin jatuh terpuruk.

"Aku tahu kau ada di dalam sana Taehyung, apakah kau baik?" Pertanyaan itu muncul dengan pandangan mata ke depan pintu. Dia berharap jika manusia di dalamnya mau keluar. "Jangan takut aku temannya Jimin, aku Jungkook dan maaf aku pernah menghajar mu karena salah paham. Tapi aku ingin menjadi temanmu dan kau aman sekarang." Dia berani menjamin tanpa ragu, dia juga tidak akan menyangkal jika akhirnya Jae Bum tidak akan melakukan tindakan dekat ini.

Taehyung menatap sedikit takut tapi dia mengeluarkan suara dengan sedikit gemetar. "K-kau ya-yakin aman?" Taehyung semakin was-was, dia mencoba menghitung oksigen dia hirup sekarang. Akibat perbuatan pemuda ganas tadi membuat dia tidak bisa bernafas dengan benar. Dia menurunkan kedua kakinya pelan dan membiarkan kakinya sedikit gemetar dan bangun. Sempoyongan memang tapi bukan berarti dia harus berusaha berdiri dengan tegap.

"Bukalah pintunya dan ayo kita sarapan, aku tahu kau lapar karena aku bisa dengar bunyi perutmu." Sedikit bercanda untuk memecah suasana yang tegang, perlahan tapi pasti suara kunci pintu terbuka. Membuat Taehyung mempersiapkan mental untuk segala kemungkinan yang bisa saja terjadi di luar perkiraan.

"Apa kau yakin dia tidak ada disini?" Taehyung mengeluarkan kepalanya dan dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Dalam retakan kacamata dia melihat wajah Jungkook yang menggeleng dan tersenyum. "Kau aman, selama ada aku kau aman. Jangan takut dan ayo ikut dengan ku." Dia memberikan tangan itu, menyodorkan ke arah Taehyung yang sedikit parno. Dia sedikit takut kalau ini hanya jebakan Batman semata tapi rupanya yang dilakukan Jungkook bukan permainan.

Akhirnya Taehyung menyerah dengan rasa takutnya, dia seperti percaya dengan mendapatkan semangat dari Jungkook sampai akhirnya dia menyentuh telapak tangan itu dan menerimanya. "Terima kasih atas bantuannya." Ucapan malu dengan kepala menunduk dimana kedua pipinya seperti bersemu merah. Jungkook mendadak merasa sedikit canggung hingga senyum kelinci itu ada lagi.

Kepala mengangguk dan rangkulan itu ada. Taehyung sadar dia sudah melawan batasan dari orang tua yang sudah memintanya untuk tidak lancang. Walaupun salah tetap saja Taehyung membutuhkannya, dia butuh teman seperti dia inginkan, sejak dia ulah tahun dia berharap kalau ada teman yang merayakan ulang tahun untuknya juga.

Jungkook mengajak dia keluar dengan perilaku akrab dan membuat beberapa pemuda yang hendak ke toilet heran. Jarang sekali seorang Jeon Jungkook dekat dengan siswa lain selain satu gengnya.

"Bukankah itu Kim Taehyung?" Dia melihat bagaimana seseorang itu melewatinya, dengan tatapan menerka juga menebak. Seseorang itu juga merasa senang serta bahagia dan ada perasaan dimana dia merasa kalah. Haechan tidak akan menyangka bahwa dia kalah dengan satu angkatannya, dia menatap dengan wajah seolah tak puas dan sedikit tidak menyukai seorang Taehyung disana. "Aku merasa iri, dia lebih menyedihkan dari aku tapi kenapa malah beruntung. Padahal dia sudah buat-" dia bungkam ketika ada siswa lain melewatinya.

Tidak, jangan sekarang. Dia hanya butuh waktu agar semua jelas. "Aku yakin jika suatu saat nanti kedok siapa wujud aslimu akan terungkap Kim Taehyung." Dia melupakan bagaimana sempatnya Taehyung menolongnya, memberikan dia roti manis rasa cokelat yang dia juga suka. Dia melupakan segala kebaikan itu dengan melenyapkan kenangan, ikut dengan kelompok seseorang dan membuat dia aman meski dia sendiri dimanapun di kawasan sekolah ini.

Manis yang dibuang dan pahit sebagai balasannya. Seperti madu di balas racun di sisi keduanya. Taehyung tidak tahu saja bahwa dia menciptakan musuh baru tanpa di sadari dari sebuah kebaikan yang dia yakini dari ayahnya. Rasa minatnya menuju ke perpustakaan hilang, dia melengos dengan wajah kesal seperti murka ada disana. Dia tidak peduli jika tugasnya harus tertunda, moodnya bobrok sama seperti sekolahnya yang buruk.

Malang sekali.

.

Taehyung tidak akan tahu tempat ini kecuali Jungkook membawanya, dia baru paham bahwa disini ada banyak sekali fasilitas yang digunakan untuk belajar dan istirahat. Hingga dia berfikir tempat ini lebih bagus dibandingkan tempat tinggalnya.

Minder.

"Aku sangat malu disini, apakah aku harus keluar? Aku rasa sekarang sudah masuk dan aku tidak boleh terlambat." Degup jantung makin berdetak dengan cepat, membuat dia seperti sesak nafas saja. Ini salah dan ini bukan keinginannya seperti ini. Lebih buruknya dia akan jadi bahan candaan saat sifat bodohnya tampil sekarang. Ada Jimin juga Yoongi disana dan mereka adalah kedua teman sekelasnya.

"Taehyung kenapa diam saja? Apakah kau tidak suka makannya. Kita bisa memesan lagi jika mau." Namjoon paling semangat jika memesan lagi sampai lirikan Seokjin terarah padanya. Dia hampir tersedak daging karena hal itu dan membuat Jungkook juga Jimin tertawa. Taehyung langsung menjawab karena dia tidak ingin yang lain kerepotan karena dirinya. "Ini enak kok, tidak apa aku suka. Hanya saja memang aku sudah sarapan dan-" dia melirik ke arah Jimin dengan tatapan tak enak hatinya. Siapa sangka kalau Jimin datang saat dia mencoba memasukkan nasi ke mulutnya. Dia ketahuan berbohong dan membuat rasa bersalah pada Jimin semakin besar.

"Maafkan aku karena sudah berbohong pada Jimin. Aku tidak bermaksud untuk melakukan hal itu." Sambungnya dengan wajah terpejam takut, dia juga semakin salah tingkah saja karena tatapan mereka seperti menelisik. Jimin memaklumi semua dia tidak marah dan justru mendekati Taehyung dengan mengusap puncak kepalanya tanda sayang dan akrab.

"Jangan pikirkan hal itu aku tahu kau berbohong kau mungkin takut dengan orang yang sudah menyakitimu. Tapi disini kau aman dan bisa makan sepuasnya, ini tempat dimana para anak donatur dapat kesempatan di manja dari fasilitas sekolah, anggap saja ini reward dan kita tidak akan dapat hukuman kalau membolos. Kita sudah memakai satu kali dan bersisa dua."

"Ya, karena kau juga kami bisa menggunakannya. Ini adalah waktu tepat dimana memanfaatkan peluang kebebasan disini." Yoongi menambahkan dengan ucapan dimana dia juga senang dengan kedatangan Taehyung. Melihat dirinya berbeda dari kemarin membuat dia merasa lega, dan dia menyodorkan ponsel kuno hitam milik Taehyung tepat di depan namja itu.

"Ini milikmu, aku rasa dia sudah rindu dengan tuan sesungguhnya." Sedikit melebihkan sesuatu agar mempermanis dialog yang dia ungkapkan. Membuat Taehyung terperangah tidak menyangka, dia melihat Yoongi dengan kedua mata berbinar. "Aku kira aku kehilangan ponselku, astaga aku tidak sangka aku akan bertemu dengannya lagi." Dia memeluk hasil kerja keras sang ayah, kenangan dari beliau juga peninggalan bagaikan sebuah warisan.

Taehyung tak peduli modelnya, dia lebih peduli dengan isi kenangan juga peristiwa yang dia lewati bersama ponsel ini. Tak terasa air matanya jatuh mengenai layar ponselnya, kedua mata itu sembab hingga membuat mereka yang ada disana terperanjat dan mendekat ke arah Taehyung.

"Kim Taehyung kau tak apa?"

Untuk pertama kalinya ada begitu banyak yang khawatir padanya. Membuat kedua matanya berkaca tak percaya. Dia merasa bahwa orang lain seperti menganggap keberadaannya, sementara Yoongi dia malu sendiri ketika melihat seseorang begitu menyayangi ponselnya tapi dia malah suka membuangnya.

"Aku tidak apa, hanya saja aku senang sekarang."

........

TBC....

Fuhhhh.... Jempol sampai keriting dengan menulis 8300 kata dan dalam waktu 1 hari itu saja aku jeda karena ngerjainnya pas aku lagi free, semoga saja kalian suka dengan yang aku tulis dan membuat kalian semakin semangat dengan chapter ke depan.

Ngomong-ngomong siapa yang sudah gak sabar dengan chapter selanjutnya? Apakah kalian sudah siap? Tolong jangan lupa dengan bintang dan komentarnya ya.

Tetap semangat dan jaga kesehatan, semoga saja tahun ini banyak membawa berkah.

Gomawo and saranghae ❤️

#ell

14/02/2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro