Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5

CERITA SUDAH DITERBITKAN DI APLIKASI DREAME DAN INNOVEL. SILAKAN MELAKUKAN PENCARIAN DI SANA.

JUDUL: LIGHT ME UP
AUTHOR: MONKEYTREE

TERIMA KASIH 😘

Vhiya

Edi menyodorkan berkas kepadaku. Aku mengernyit bingung. Rasa-rasanya aku tidak ada meminta berkas apapun padanya.

"Lo disuruh antar ini ke ruangan Bu Friska.'' Baru buka mulut untuk menyanggah omongannya, Edi kembali berbicara. "Kalo mau protes, sana bilang ke Bu Erika. Gue cuma nyampein.''

Aku mengambil berkas itu dengan perasaan gondok. Edi tidak peduli, dia selalu cuek pada lingkungan. Jika tidak ditanya, dia tidak akan bercerita, sangat khas pria. Syukurnya kesinisannya padaku karena dekat dengan Friska menghilang sejak aku kabur dari tawaran makan siang bersama Friska. Edi menodongku bercerita, saat itu jawabanku jujur aku tidak nyaman makan bersama atasan hanya karena kami pernah jadi teman satu kampus.

Aku menambahkan pula jika aku bukan teman yang akrab dengan Friska, malah kami pernah cekcok. Edi bilang dia mengerti jika perempuan bilang maaf bukan berarti sepenuhnya memaafkan.

Aku sangat lega, Edi bisa memahami posisiku walau tidak aku ceritakan detail kisahku dulu. Satu-satunya teman kerjaku yang dekat mau menghentikan aksi sinisnya. Pasti menggelikan, aku hanya punya satu teman yang mengenalku sedikit lebih personal padahal sudah bertahun-tahun kerja di sini. Mau bagaimana lagi, aku tertutup soal beginian.

"Udah pergi sana. Ditungguin lo'', usir Edi.

Aku melangkahkan kakiku menuju lantai atas. Dekorasi lantai atas tidak jauh berbeda dengan lantai lainnya. Hanya lebih banyak ruang-ruang kaca sebagai ruangan khusus atasan dengan tempelan stiker buram pada setengah bagian dinding kaca.

Aku melihat sekretaris direktur sedang sibuk dengan ponselnya. Jam segini seru bermain ponsel, apa tidak takut ketahuan alasan.

Aku berdehem sebelum berucap. "Saya mau serahkan file ini ke Bu Friska.''

Sekretaris itu memindai penampilanku dengan wajah jutek. Lalu tersenyum miring. Ada apa dengan perempuan ini? Bathinku keheranan.

"Masuk aja.''

Dagunya menunjuk pintu ruangan di belakangnya. Aku mengulum bibirku menahan kesal pada sikap tidak bersahabat sekertaris ini.

Aku mendorong pintu kaca ruangan yang berlabel 'direktur' itu. Mataku langsung menyorot Friska duduk dibalik meja kayu besar. Dia mengalihkan fokusnya dari monitor. Senyuman lebar diberikan padaku.

"Udah jam makan siang ya?'' Tanyanya. Tangannya menunjuk kursi di depan mejanya. Aku duduk dengan ragu-ragu.

"Mau serahkan file ini.'' Tanganku mengangsurkan berkas ke meja.

Bibirnya mengerucut. "Kirain mau ajak gue maksi. Nggak seru ah.'' Dia mendorong berkas itu menjauh.

Aku diam saja. Tidak tahu bagaimana menanggapinya.

"Gue nggak bisa ajak lo maksi, ntar lo kabur lagi. Padahal gue ama Deva udah nyamperin meja lo'', katanya sambil berpura-pura sendu.

Deva. Nama itu membuatku merinding. Bagaimana bisa Friska menyebut nama itu dengan santai di depanku padahal dia tahu masa laluku dan Deva tidak baik.

"Yayang baru yang lo maksud tu Bang Admiral ya?''

Mata Friska menyorotku tajam. Tidak memperoleh jawaban apapun dariku, dia tertawa sinis. Aku menangkap keganjilan pada perubahan sikapnya yang drastis.

"Lo masih temenan ya ama Bang Admiral, gue kok nggak diajak makan bareng. Kita kan bisa reuni. Tambah Deva pasti seru. Atau kita bikin event khusus biar bisa undang Pepep sekalian.''

Aku membeku di tempat. Friska terlihat sangat santai. Dia punya maksud apa? Aku tidak bisa membacanya.

"Jika ibu sudah tidak ada urusan dengan saya, saya mohon pamit bu.'' Aku memilih jalan profesional untuk menyudahi pembicaraan sarat makna Friska.

Aku berdiri lalu bergegas menuju pintu. Suara Friska menghentikan langkahku.

"Vhi, apa nggak bisa lo perbaiki kerusakan yang udah lo bikin? Jangan kabur dan bersikap kayak lo bersih. Lo penyebab Deva dan Pepep batal menikah. Lo yang bikin Pepep pergi mengasingkan diri.''

Aku tidak perlu diingatkan soal itu. Hatiku meneriakkan permintaan maaf jutaan kali pun tidak dapat mengubah kesakitan yang aku buat. Aku sadar itu. Tapi perbaikan apa yang diharapkan Friska, aku saja tidak tahu.

"Lo mau gue gimana?'' Tanyaku nyaris seperti suara orang tercekik. Aku menahan keras laju air mata. Akalku masih mengingatkanku ini jam kantor.

"Temui Deva, minta maaf. Cari Pepep, ajak dia balik ke rumah orang tuanya'', teriaknya frustasi.

Friska mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dia kembali menatapku, kali ini dengan pandangan prihatin.

"Maaf gue nggak bermaksud kasar. Gue masih berharap kita masih bisa temenan'', kata Friska. Dia kembali duduk di kursi kebesarannya.

Aku mengangguk sekali. Lalu tanganku menarik pintu ruangannya. Dengan kaki yang serasa berubah menjadi jeli, aku berusaha kembali ke meja kerjaku. Tidak lagi aku pedulikan wajah penasaran sekretaris Friska itu.

Sesampainya di meja kerja, aku langsung mengambil ponsel yang aku letakkan di dalam laci. Edi sedang meninggalkan mejanya, membuat aksi berisikku tidak menghasilkan teguran darinya. Sudah beberapa kali aku menjatuhkan barang, menyenggol monitor, menyingkirkan semua kertas yang berantakan di meja kerjaku ke tepi. Aku seperti seseorang yang hilang akal.

Aku membuka aplikasi chatting. Tanganku menscrol daftar teman chatting, sampai berhenti pada satu nama lalu mengetuknya sekali. Membuka ruang obrolan yang tidak pernah aku lakukan meski menyimpan nomor kontaknya.

Me:
Hi, boleh kita ketemu?

Tidak sampai sepuluh detik, suara notifikasi terdengar. Aku segera membuka ruang obrolanku lagi.

Pranaji Deva:
Vhiya? Sure. Kapan?

Aku meremas bagian depan blouseku. Aku takut. Aku ingin ada Admiral. Sayangnya kali ini aku harus menyelesaikan keonaranku sendiri.

Aku mengetikan balasan itu. Lalu cepat-cepat memasukan kembali ponselku ke dalam laci. Ketakutanku tidak lantas hilang, malah makin menjadi setelah membalas pesan Deva barusan.

Sebotol air minum kemasan tiba-tiba diletakkan di atas mejaku. Aku tersentak. Edi menatapku datar.

"Minum kalo lagi banyak pikiran.''

"Thank you Ed.''

Aku memutar tutup botol yang ternyata sudah tidak bersegel itu. Edi pasti sudah membuka segelnya duluan. Aku menegak sampai sisa setengah botol. Setelah ini aku harus berani menghadapi masalahku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro