Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

Vhiya

Satu menit sebelum jam dua belas tepat, aku sudah bersiap dengan dompet dan ponsel di pangkuanku. Kakiku bergerak gusar di kolong meja. Mataku bolak-balik melirik jam dinding dan layar monitor.

Tik

Jarum panjang bergerak ke angkat dua belas. Aku bergegas mematikan komputer lalu berlari ke arah tangga keluar. Edi sempat meneriakkan namaku namun hanya aku balas lambaian tangan. Entah dengan maksud apa aku melambai, sekadar respon sopan mungkin.

Begitu keluar kantor, aku menyeberang jalan menuju gang di seberang gedung kantorku yang ramai dengan gerobak penjual makanan di  bahu jalannya. Aku memutuskan akan makan siang di situ daripada ke kantin.

Sebenarnya aku menghindari Friska yang bisa-bisa muncul dan mengajakku makan. Lebih buruk lagi jika dia mengajak kakak sepupunya itu.

Aku mengamati makanan apa saja yang dijajakan. Kebanyakan makanan yang tersaji adalah menu yang biasa aku temukan di kantin kantor. Akhirnya pilihanku jatuh pada batagor yang terlihat menggiurkan saat penjualnya sedang menuangkan sambal kacang kental di atas potongan batagor yang gendut. Aku memesan seporsi batagor dengan ekstra telur rebus.

Sambil menunggu pesananku tiba, memoriku mengulang kisah masa laluku. Kilas potongan kelam memoriku yang egois dan dengki. Demi memuaskan kebahagiaan semu, aku sampai membuat pertunangan sepasang kekasih batal di tengah jalan. Karena amarahku pada hak prerogatif Tuhan pada makhluk-Nya, aku sampai tega menyakiti hati perempuan lain.

Lima tahun tidak bertemu, aku pikir aku sudah sepenuhnya sembuh dari penyesalanku di masa lalu. Nyatanya, bertemu dengannya hari ini, masih menimbulkan sensasi memilukan. Anggaplah aku perempuan bodoh yang berputar-putar pada masa lalu namun nyatanya aku masih manusia yang hatinya masih berfungsi mengolah perasaan.

"Kenapa makan siangnya batagor?''

Kepalaku berputar ke asal suara. Admiral Putranto duduk di sisiku dengan sebelah tangan memangku wajahnya. Seulas senyum tergores di bibir merahnya. Bibir yang tetap semerah dulu walau si pemilik sering menghisap tembakau.

Aku memilih diam dan kembali menatap punggung penjual batagor yang masih sibuk menyiapkan pesanan pelanggan.

"Cogan dicuekin nih? Fine, gue balik aja ke kantor'', goda Admiral.

Aku mengulum senyum mendengar ucapan narsisnya. "Sok ganteng.''

"Gitu dong bersuara. Gue kira udah putus pita suara lo.'' Dia terkekeh akan ucapannya sendiri.

"Gue tadi ketemu Deva'', ceritaku tanpa ditanya.

Admiral tergagap di depanku. Wajahnya berubah pias. Ini kodrat kami sebagai pelakon kejahatan di masa lalu untuk takut pada balasan di masa kini.

"De.. Deva..rio.''

Aku mengangguk lemah.

Sepiring batagor sudah tersaji di hadapanku. Sebenarnya aku tidak lapar sama sekali. Pertemuan dengan Deva sudah menghilangkan selera makanku. Pergi ke sini hanya pelarian agar aku tidak perlu bertemu Friska.

"Dia bos gue dari kantor pusat'', kataku sembari menyuap satu potong batagor.

Admiral melihat gedung kantorku bekerja yang terdiri dari lima tingkat. Plang nama perusahaan terpampang jelas di puncak gedung.

"Setau gue kantor lo bebas dari sangkut-paut keluarga Deva..'' Admiral tidak melanjutkan perkataannya. Mulutnya menganga dengan mata membelalak. "Damn, gue rasa gue ketinggalan sesuatu.''

Dia mengotak-atik ponselnya. Lalu mengumpat sendiri. Aku hanya memperhatikannya tanpa ingin bertanya apapun. Hampir sepuluh tahun berteman, aku tahu dia akan bercerita sendiri tanpa diminta. Sama halnya denganku yang akan bercerita sendiri tanpa ditodong pertanyaan. Sebuah aturan kasat mata yang berlaku dalam hubungan kami.

"Kantor lo di bawah naungan perusahaan bokapnya Friska.'' Admiral menunjukkan laman internet yang memberitakan kepemilikan saham perusahaan tempatku bekerja oleh Gusti Indrayuda, almarhum papa Friska.

Aku menutup mulutku dengan tangan. Info yang tidak pernah aku ketahui setelah empat tahun lebih bekerja di sana.

"Tapi bulan lalu, Friska cerita bokapnya udah meninggal.''

Mata Admiral membelalak tidak percaya. "Bulan lalu lo ngobrol ama Friska?''

Aku mengangguk lemah. Sudah dua bulan belakang kami tidak bertemu, banyak cerita yang tidak aku bagi kepadanya. Admiral pasti terkejut dengan kabar yang berikutnya aku sampaikan.

"Friska bos besar kantor gue.''

Tangan Admiral meremas jemariku. Wajahnya serius menatap mataku. "Resign dari sana. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa.''

Aku menggeleng. "Gue baru naik gaji.''

Admiral berdecih ke arah lain. "Jangan tergiur sama gaji lebih gede. Lo mau ketemu ama Deva tiap hari?''

Kepalaku semakin tertunduk. Aku akui, sekali bertemu saja sudah membuatku sangat amat tidak tenang.

"Cabut aja dari sana. Kerja bareng gue'', putus Admiral.

Tangannya merebut sendok yang ada di tanganku. Dengan cepat dia menyuap hampir setengah porsi batagor yang ada di piringku.

"Heh, kunyuk, itu makan siang gue. Jangan diabisin.'' Aku menoyor kepalanya lalu merebut kembali sendokku. Menjauhkan piringku dari jangkauannya.

"Medit. Belom kaya aja udah medit.''

"Ini hemat. Life budgeting itu wajar bagi orang susah. Nah lo ngapain di sini?''

"Abis ketemu klien. Eh gue liat lo nyebrang, ikutin aja ampe ke sini.''

"Asek klien, tambah bonus. Ada jatah dewi fortuna lo ini kan?''

Admiral tertawa terbahak-bahak. Penikmat batagor yang sedang asyik bersantap sampai menoleh semua ke arah kami. Beberapa perempuan berbisik-bisik dengan lirikan genit. Pasti membicarakan ketampanan Admiral. Aku pasti akan mengakui ketampanannya jika saja dia lebih normal secara harfiah.

"Ketawa nggak sadar diri gitu. Diliatin, malu.'' Aku menepuk bahunya keras demi menghentikan ulah seeking attention memalukannya.

"Abis semena-mena aja lo nyebut diri lo dewi fortuna gue. Yang ada idup gue kusut dekat ama lo bertahun-tahun.''

Tanganku mencubit perutnya yang keras. Sedikit sekali daging perutnya yang bisa aku jepit dengan ibu jari dan telunjukku.

"Itu bukan karena gue. Itu keadilan alam.''

Admiral meringis. "Iya, benar omongan lo. Ini keadilan alam, yang jahat nggak bakal mujur.''

Aku merutuki omonganku yang jelas menyinggungnya. Jika saja kami bisa memutar waktu, pasti aku dan Admiral tidak akan hidup dalam kubangan penyesalan selama ini.

"Kapan nikah, Vhi?'' Admiral terlihat mengubah topik pembicaraan.

"Mau nikah ama siapa?'' Tanyaku ketus.

"Hahaha makanya jangan ketus gitu, mana ada cowok mau ama lo.''

"Ntar gue nikah ama lo aja ya?'' Aku meliriknya dengan aksi genit.

"Sakit, mbak?''

"Gitu ya? Awas datang ke gue minta nikah, gue tolak lo'', kataku berpura-pura mengancam.

"Ampun kanjeng. Nggak lagi-lagi deh bikin kanjeng sakit hati.'' Tangannya ditangkup di depan wajah. Ulahnya sungguh memalukan. Dia seolah lupa umur berlaku kekanakan di tempat umum. Meski begitu sukses membuatku tertawa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro