2
Vhiya
Aku melenggang malas ke meja kerjaku. Sudah sebulan sejak aku makan siang dengan Friska. Maka sudah sebulan juga aku berstatus 'Nyamuk bos'. Status paling kubenci, karena aku dianggap tidak becus kerja kecuali karena kemahiranku menjilat atasan.
Awalnya aku sudah menduga akan ada desas-desus di belakangku. Setelah dikonfirmasi pada Edi yang punya pacar biang gosip, aku hanya bisa menghela napas pasrah. Sekali makan siang bersama, julukan jelek sudah menempel. Dan Friska kelihatannya tidak terpengaruh dengan pandangan mata karyawan lain. Tentu saja dia tidak terpengaruh, tiap dia bersirobok dengan karyawan lain, tatapan sopan dan sapaan hormat akan terlimpah padanya. Beda hal denganku yang belakangan sering menerima pandangan menilai dari atas ke bawah.
"Pagi, Ed'', sapaku seraya menjatuhkan bokongku pada kursi kerja.
"Pagi-pagi pasang muka suntuk'', ledek Edi.
Aku hanya bisa mencebik kesal. Aroma kopi hitam Edi mengundang lidahku ingin mencicipinya. Aku membasahi bibir bawahku melihat Edi menyeruput kopinya dengan khidmat.
"Bagi kopinya dikit'', pintaku.
Edi melotot ke arahku. Lalu meletakkan mug kopinya agak jauh sehingga sulit aku raih. "Nggak boleh. Cewek gue bisa liat ntar jadi berabe.''
"Elah, dia kan nggak di lantai ini gawenya'', timpalku sengit.
Edi menatapku remeh. "Lo lupa ini kantor dindingnya punya mata. Asal lo tau, debu yang bergoyang juga bisa bergosip di sini. Nggak cukup gelar 'Nyamuk bos' buat lo, hah?''
Aku mengerucutkan bibir. Sejujurnya aku mengakui kebenaran omongannya, gosip di kantor ini memang level wahid. Kurang lima menit sekali update berita baru mouth to mouth bahkan by online.
"Mending lo beberes. Cakep-cakepin tuh muka'', kata Edi. Wajahnya tampak tidak enak sudah menolak permintaanku meski demi kebaikanku juga.
"Buat apa? Gue nggak ada urusan ketemu klien kok.'' Aku menjawabnya acuh. Telunjukku menekan tombol power komputer dengan malas. Aku ingin segera menenggelamkan diriku dalam pekerjaan lalu pulang tepat waktu.
"Yodeh terserah'', balas Edi tak kalah acuh.
Sejam kemudian aku baru menyadari maksud saran Edi. Aku menatap di kejauhan serombongan orang turun dari lantai atas, area khusus bagi atasan dan departemen personalia. Orang-orang itu berjalan dari satu kubikel ke kubikel lain. Sesekali mereka berhenti sebentar, melakukan percakapan entah apa itu.
"Ed, Ed'', desisku pada pria di sebelah kubikelku.
"Hmm.'' Edi masih setia memantengi monitornya.
"Lo nyuruh gue dandan karena ada sidak ya?'' Tanyaku dengan suara kecil. Tidak ada satu pun dari kami yang bertatapan atau membuat interaksi mata.
Terdengar suara kekehan tertahan Edi. "Makanya kalo dikasih saran nurut.''
"Lo nggak bilang bakal ada sidak. Korelasinya ama dandan apa?'' Desisku menahan emosi.
Kuperhatikan rombongan itu terdiri dari lima pria dan dua perempuan. Satu perempuan kukenali sebagai Friska. Tiga pria itu kepala masing-masing departemen. Sisanya tidak bisa kukenali karena terlalu jauh dan mungkin memang tidak kukenal. Barangkali orang kantor pusat.
"Bos dari pusat masih sendiri, karyawati lain heboh mau tebar ranjau. Emang nggak mau ikutan?''
Aku merasakan nada usil dalam ucapan Edi. Hanya saja aku berbeda dengan karyawati di sini. Aku tidak mau menjalin hubungan apa pun sekarang dan ke depannya dengan pria manapun.
Aku mencoba mengembalikan fokusku pada tabel excel di hadapanku. Sidak kali ini bukan pengalaman pertama selama aku bekerja di sini. Meski aku tetap saja ketar-ketir mengingat efisiensi karyawan yang akan diberlakukan.
Rombongan itu berjalan mendekat ke arah kubikel divisiku. Bu Erika berjalan tergopoh-gopoh menyambut pria yang berdiri di antara rombongan itu. Seseorang yang paling menonjol dengan setelan jasnya yang melekat pas badan, tubuh tegap, dan wajah rupawannya.
Wajah rupawannya..
Aku membelalakan mata ketika menyadari pria itu bukan orang asing bagiku. Wajahnya, senyumnya, bahkan jernih matanya benar-benar kuhapal.
Aku merendahkan badanku agar tubuhku tertutupi dinding kubikel. Aku merapalkan doa apa saja yang kuingat agar situasi yang paling aku takuti tidak kesampaian. Debar jantungku rasanya sudah mendobrak-dobrak tulang rusukku. Keringat dingin mengalir dari pelipis turun ke pipiku.
"Vhiya.''
Hatiku mencelos. Debarannya hilang. Aku meneguk ludahku. Mempersiapkan diri pada panggilan itu. Rasanya aku ingin menyangkal namaku sendiri.
Aku mengangkat kepalaku. Mataku menemukan Bu Erika berdiri di depan kubikelku dengan wajah cemas. Aku melirik kanan-kiri Bu Erika, tidak ada siapapun. Mataku mengintip di balik tubuh gempal atasanku itu, barulah aku menemukan rombongan para atasan itu berjalan menuju ke lantai atas.
"Vhiya'', panggil Bu Erika lagi.
"I-iya ap-p-pa bu?'' Aku menggigit lidahku dalam mulut. Mengutuki kegaguan yang tolot itu.
"Kamu sakit?'' Pertanyaan Bu Erika membuat Edi melirikku penuh tanda tanya.
"Nggak bu. Saya baik-baik saja. Cuma kebelet'', jawabku bohong.
Bu Erika bernapas lega dan Edi kembali melanjutkan aktivitasnya di komputer. "Saya kira kamu sakit. Pucat begitu mukanya. Kalau kebelet bilang saja, sidak bukan alasan kamu menahan buang air. Bisa bahaya kalau ditahan..''
"Bu'', potong Edi. Wajahnya kelihatan bosan mendengar ocehan Bu Erika. "Nanti Vhiya kencing di sini.''
Bu Erika tertawa. Dia mengizinkanku ke toilet. Aku terpaksa berjalan terburu-buru demi menutupi kebohonganku soal kebelet.
Aku mencuci tanganku usai mendekam dalam bilik toilet selama sepuluh detik yang tidak menghasilkan urin keluar sama sekali.
Saat berjalan keluar toilet, sebuah sapaan menyergap telingaku.
"Hai, Vhi.''
Tubuhku menegang. Suara itu jelas bukan suara Bu Erika. Otakku berpikir ada baiknya aku pura-pura tidak mendengar lalu kabur kembali ke kubikelku dengan aman. Ah, pasti tidak aman jika orang yang memanggilku menyusul dan menarik perhatian karyawan sekantor. Berikutnya gosip paling rendahan pasti akan menempel di belakang namaku.
Aku balik badan. Menatap pria dengan setelan kerjanya yang disetrika licin, mungkin hasil pelayanan laundry profesional. Beda denganku yang langganan laundry kiloan.
Pria itu menampilkan senyum ramahnya. Jika perempuan lain akan terbius untuk ikut tersenyum, tidak denganku yang mati-matian menahan ketakutan. Pria itu masih tampan dan mempunyai aura penggoda iman perempuan mana saja, namun aku sudah imun dengannya.
Aku mengangkat sebelah tanganku. Menginterupsinya yang mau berbicara.
"Jika ingin bertanya kabar, saya baik bahkan akan lebih baik jika bapak bersikap tidak mengenal saya. Jadi tolong jangan bersikap akrab dengan saya'', kataku.
Aku memutar tubuhku lalu berjalan cepat kembali ke mejaku dengan tenaga yang tersisa. Aku tidak ingin berbalik untuk melihat bagaimana raut wajah pria itu. Aku ingin dia tahu aku serius perihal ucapanku itu.
"Udah kencingnya?'' Tanya Edi begitu aku kembali.
"Udah'', desisku.
"Yakin nggak sakit?''
Aku menoleh ke Edi dengan tampang bodoh. "Hah? Apa deh maksudnya?''
"Muka lo masih pucet.'' Telunjuknya mengarah pada wajahku.
Bagaimana bisa aku menjelaskan ke Edi kalau aku baru saja bertemu orang yang pernah aku sakiti, yang secara kebetulan adalah bos dari kantor pusat. Secara kebetulan juga pria itu adalah kakak sepupu dari bos besar kantor ini, Friska.
"Perempuan biasa Ed, tamu bulanan.'' Aku pasang cengiran lebar. Percaya, Ed, plis percaya aja.
Edi mengangguk. Aku mengurut dada. Sedikit bisa tenang. Bathinku terus memohon pada Tuhan agar aku diizinkan bekerja di sini tanpa bersinggungan dengan masa laluku. Pranaji Devario dan keluarganya.
Tubuhku kontan melompat dari kursi saat mendengar dering telepon di mejaku. Edi menatapku kesal dan jengah. Aku mendesiskan kata 'maaf' lalu mengangkat gagang telepon itu.
"Nanti maksi bareng yuk. Awas kabur.''
Tut
Tut
Tut
Tut
Aku mematung di tempat. Panggilan itu begitu singkat tanpa sapaan halo atau basa-basi mengenalkan diri. Tidak. Tanpa mengenalkan diri pun aku tahu siapa yang menelepon dengan saluran kantor demi urusan pribadi. Ditambah dengan ancaman kekanakan di ujungnya.
Setelah cukup pulih dari 'tabrakan' kejutan seharian ini, aku meletakkan gagang telepon pada tempatnya. Tanganku memijat pelipisku yang mendadak terasa menusuk-nusuk.
"Siapa yang nelpon?'' Tanya Edi.
Friska. Jawabku dalam hati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro