Part 3
Iris terdiam. Matanya yang berwarna ungu meneteskan bulir-bulir air mata dengan deras. Bibirnya yang sedikit terbuka, kini menutup rapat. Giginya terkatup, menahan suara yang mungkin saja keluar dari sana.
Gadis itu, menangis dalam diam.
"Maafkan ayah. Maafkan ayah."
Kata maaf terus terucap dari bibir ayahnya. Pria itu semakin memeluk erat Iris. Wajahnya sangat sendu dan penuh rasa penyesalan.
"Kenapa?" tanya Iris dengan suara bergetar.
"Ayah tidak tahu kau masih hidup. Ayah sungguh-sungguh tidak tahu. Ayah sudah memastikan kematianmu sebelum melakukan itu."
Iris menutup matanya.
"Ayah, tahukah engkau seberapa ingin aku mengakhiri hidupku? Aku selalu bertahan karena percaya ayah masih hidup," ujarnya dengan suara semakin bergetar. Bulir matanya semakin mengalir deras.
"Iris ... maafkan ayah."
"Tujuh ratus tahun aku sendirian. Rasanya berat, sangat berat. Sepuluh tahun aku menunggumu di sana. Tidak sekali pun ayah datang melihatku. Apakah aku sungguh putri ayah?" tanya Iris yang langsung membuat ayahnya terguncang.
"Tentu saja kau adalah putriku. Kau satu-satunya putriku yang sangat kusayang."
"Lalu kenapa? Apakah aku membuat kesalahan fatal hingga tidak layak dikunjungi? Atau itu karena aku anak lemah yang hanya bisa membuat malu Ayah? Ah, atau harus kusebut Tuan Stein yang terhormat?" Iris menghapus air mata di pipinya dengan tangan kirinya yang bebas dari pelukan.
Stein langsung melepaskan pelukan. Satu tangannya menahan lembut pundak Iris, sedang tangan lainnya menggantikan tangan kiri Iris menghapus air mata.
"Apa maksudmu? Kau tidak pernah membuat malu ayah. Kau adalah putriku yang kusayang dan paling membanggakan."
- akhir dari hari keenam -
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro